Share

Bab 4 : Bercerita

Mata Ivy bergulir ke samping dengan genggaman tangan yang menguat pada kedua tangan anaknya. Bibirnya ia gigit dengan napas tertahan, membeku mendengar pertanyaan itu.

"Maaf?"

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya Ben mengulangi kalimatnya.

Ia dengan sabar menunggu jawaban dari wanita muda beranak dua di hadapannya, ingin memastikan ingatan samar yang tiba tiba saja melintas di kepalanya saat ia melihat wajah Ivy. Pria itu yakin sekali jika wanita muda yang berada di hadapannya ini adalah orang yang selama ini ia cari.

"Kita tak pernah bertemu sebelumnya, Tuan," jawab Ivy dengan nada tersendat, seolah kehilangan suara.

Tatapan mata Ivy terlihat begitu sendu, dibarengi dengan mata yang berkaca kaca. Ivy segera memejamkan matanya dan melirik kembali tangan yang dipegang oleh Ben.

"Anda bisa melepaskan tangan anda, Tuan. Saya harus pulang karena harus bekerja,"

Ben segera melepaskan tangan wanita muda itu dengan cepat. Pria itu baru sadar jika ia masih memegang tangan Ivy ketika tadi menatap wajah cantik wanita muda itu. Wajahnya menjadi sedikit gugup, dibarengi dengan semburat pink samar di wajah pria itu.

"Oh iya. Maaf," ujar Ben sambil menolehkan kepalanya ke arah lain agar tak bertatapan dengan Ivy yang saat ini terlihat tak nyaman.

Soalnya, saat melihat ke arah samping, Ben melihat Terry, si bocah laki laki yang tengah menatapnya dengan tajam seolah akan mencabiknya saat itu juga.

Ben mengacuhkan tatapan itu lalu kembali mengalihkan atensinya kepada Ivy dengan nada wajah datar, menyembunyikan rasa malu sekaligus gugup yang ia rasakan.

Ivy mengangguk. Ibu dua anak itu segera menggiring kedua anaknya untuk keluar dari cafe. Punggung mungil itu terlihat semakin menjauh, bersamaan dengan eksistensinya yang semakin tak terlihat.

Begitu Ivy benar-benar menjauh dari pandangan Ben, pria itu menghela napas berat sambil menatap Marinka yang masih asyik menggelayuti lengan kekarnya yang terbalut jas hitam.

"Marinka, lepaskan tanganmu dari lenganku dan segera belikan aku celana panjang di seberang sana," perintah Ben sambil menunjuk sebuah toko pakaian laki laki. diseberang jalan.

Akan tetapi, sepertinya Marinka mengabaikan perintah Ben dan lebih memilih untuk tetap memeluk lengan kekar itu sambil tersenyum kecil.

Jengah. Itulah yang Ben rasakan saat ini. Hanya ada satu hal yang bisa membuat Marinka melepaskan pegangannya pada lengannya, yaitu melepaskannya dengan paksa.

Ben menepis tangan Marinka dengan kekuatannya yang cukup besar, membuat Marinka hampir saja jatuh jika tak berpegangan pada meja. Marinka hendak mengeluarkan protes, namun ia telan kembali kata katanya saat ia melihat Ben yang tengah menatap tajam ke arahnya.

"Baiklah, Bos,"

Marinka pun segera melangkahkan kaki jenjangnya yang berbalut sepatu higheel warna hitam menuju ke toko di seberang cafe.

Begitu Marinka sudah tak terlihat, Ben segera kembali duduk dan menutup matanya sembari mengingat ingatan yang kembali terlintas di kepalanya bagaikan kaset rusak.

"Kau berbohong padaku, Ivy. Aku yakin kaulah orang yang ada dalam ingatanku. Sekalipun wajahmu tak terlintas, tapi bau parfum mu mengingatkanku pada "dia" di masa lalu."

.

.

.

Setelah menggiring kedua anak kembarnya menuju dan menyalakan sebuah televisi tabung yang menampilkan film kartun, Ivy segera berpamitan pada si kembar sembari mencium pipi keduanya dengan penuh sayang.

"Mommy, jangan pulang terlambat," pesan si manis Terra dengan senyum manisnya.

Senyuman Terra sangat mirip dengannya, membuat hati Ivy menghangat seperti tengah berbaring disebuah taman bunga dengan sinar mentari yang menyinari mereka.

"Tentu saja, sayang. Terry, tolong jaga Terra. Jangan buka pintu jika itu orang asing. Mengerti, sayang?"

"Oke, Mommy,"

Setelah memberi amanat itu pada kedua anaknya, Ivy segera meninggalkan apartemen yang ia sewa dengan harga murah dan melangkahkan kakinya menuju ke sebuah supermarket besar yang terletak cukup dekat tempat tinggalnya. Begitu masuk, ia langsung segera berlari ke bagian belakang untuk mengambil seragam dari loker karyawan yang sudah disediakan.

"Oh, Ivy. Kau datang cukup awal,"

"Iya. Aku tak ingin terkena teguran lagi dari atasan, Lea,"

Wanita berambut merah terang yang dipanggil Lea, atau dengan nama lengkap Leanore itu tertawa pelan sembari mengelus rambut Ivy dengan lembut, seolah Ivy adalah boneka mahal yang akan dipajang di etalase. Ia menatap Ivy dengan tatapan lembut dan ramah yang terpancar di matanya.

"Ya, aku rasa kau benar. Kau tak membawa si kembar?"

"Tidak. Mereka aku suruh untuk tinggal di rumah saja," sahut Ivy membuka baju yang ia kenakan dan menggantinya dengan seragam yang sudah ia ambil dari loker khusus yang bertuliskan namanya.

"Aku takut mereka membuat kekacauan lagi,"

"Oh, begitu. Tapi kenapa wajahmu terlihat kusut dan tertekan hari ini? Tak seperti biasanya?"

Ivy menghela napas kasar mendengar pertanyaan yang Lea lontarkan padanya. Dirinya ragu untuk bercerita mengenai keadaan yang sudah ia alami beberapa menit yang lalu. Matanya bergulir kesana kemari dengan raut wajah yang terlihat tak nyaman, terlihat kebingungan namun juga takut disaat yang bersamaan.

Leanore mengerti kondisi ibu beranak dua itu. Ia tak ingin memaksa Ivy jika gadis itu tak mau bercerita. Jadi, sebagai gantinya, wanita berambut merah itu mengelus punggung Ivy untuk memenangkan kerisauan hati.

"Tak perlu bercerita jika kau tak siap, Ivy. Jangan memaksakan diri,"

"Aku..." Ivy menggantungkan kalimatnya.

Ia menatap Leanore dengan tatapan bingung, marah dan juga putus asa. Leanore menaikkan alisnya, sangat heran dengan tingkah laku Ivy yang terlihat berbeda. Akan tetapi gadis itu tak protes dan memilih untuk menunggu apa yang ingin dikatakan oleh sahabatnya itu.

"Aku bertemu dengan orang itu,"

"Orang itu?"

"Ya, orang yang sudah memperkosaku 6 tahun yang lalu,"

Wajah Leanore terkejut luar biasa. Mata biru milik gadis itu membulat dengan mulut sedikit terbuka. Elusannya pada punggung Ivy terhenti begitu saja.

Leanore memindahkan tangannya ke bahu sempit milik Ivy, mencoba mencari celah kebohongan dari mata hijau yang jernih itu.

"Kau serius? Bagaimana bisa?"

Ivy menghela napas kasar lalu menatap koridor loker, takut ada yang mendengar pembicaraan ini. Ia mengedarkan tatapannya ke arah setiap penjuru ruangan itu dengan seksama.

Untungnya, hanya ada mereka berdua disana, mengingat ini masih jam bekerja dan belum jamnya pertukaran shift. Setelah dirasa aman, Ivy kembali mengeluarkan suaranya, tentu dengan nada pelan, nyaris berbisik.

"Terra tak sengaja menumpahkan eskrimnya pada celana pria itu saat ia berlari,"

"Oh, jadi kalian tak sengaja bertemu karena ulah Terra?" Tanya Leanore dengan nada penasarannya. Ia semakin mendekatkan tubuhnya pada Ivy, agar pembicaraan ini hanya terdengar oleh mereka berdua. Ivy mengangguk mengiyakan sebagai jawaban.

"Lalu, apa dia tahu kalau gadis kecil yang menabrak itu adalah anaknya?"

Ivy menggelengkan kepalanya dengan perlahan, membuat Leanore sedikitnya bersimpati pada wanita yang lebih pendek darinya ini. Tatapan Ivy berubah menjadi sendu dan juga terluka.

"Tentu saja tidak. Dia memperkosaku saat tengah mabuk. Jadi kemungkinan kecil ia tak akan tahu jika itu adalah anaknya,"

"Benar juga. Tapi katamu wajah Terra dan Terry itu sangat mirip dengan orang itu. Masa ia tak sadar?" Kali ini, Leanore bertanya dengan nada kesal bercampur gemas yang tergambar di wajah cantiknya.

"Tadi, dia sempat curiga padaku. Tapi aku mengelak," jawab Ivy dengan nada pelan sekali, membuat Leanore segera menjitak kepala Ivy cukup kencang hingga wanita berwajah boneka itu meringis kesakitan.

"Kenapa kau menghindar? Seharusnya, kau bilang padanya bahwa Terra dan Terry adalah anaknya. Kau tak bisa menyembunyikan fakta ini selamanya, Ivy,"

"Tapi aku takut, Lea," kilah Ivy dengan ringisan kecil yang keluar dari mulut mungilnya. Ia menatap Leanore dengan tatapan putus asa.

"Aku takut ia tak mengakui kedua anakku. Aku takut ia bilang jika aku hanya mengada ada. Daripada dipermalukan, bukankah diam adalah pilihan yang terbaik?"

"Tidak selamanya diam itu baik, Ivy. Kau harus berani bicara pada si brengsek itu. Karena dia, kau kehilangan segalanya!"

Leanore hampir saja berteriak jika ia tak ingat pembicaraan ini sangatlah sensitif untuk Ivy. "Kau harus meminta pertanggung jawaban orang itu!"

"Memang kau tahu siapa yang menjadi ayah Terra dan Terry?"

"Tidak. Memang siapa ayah biologis mereka berdua?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status