Mata Ivy bergulir ke samping dengan genggaman tangan yang menguat pada kedua tangan anaknya. Bibirnya ia gigit dengan napas tertahan, membeku mendengar pertanyaan itu.
"Maaf?""Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya Ben mengulangi kalimatnya.Ia dengan sabar menunggu jawaban dari wanita muda beranak dua di hadapannya, ingin memastikan ingatan samar yang tiba tiba saja melintas di kepalanya saat ia melihat wajah Ivy. Pria itu yakin sekali jika wanita muda yang berada di hadapannya ini adalah orang yang selama ini ia cari."Kita tak pernah bertemu sebelumnya, Tuan," jawab Ivy dengan nada tersendat, seolah kehilangan suara.Tatapan mata Ivy terlihat begitu sendu, dibarengi dengan mata yang berkaca kaca. Ivy segera memejamkan matanya dan melirik kembali tangan yang dipegang oleh Ben."Anda bisa melepaskan tangan anda, Tuan. Saya harus pulang karena harus bekerja,"Ben segera melepaskan tangan wanita muda itu dengan cepat. Pria itu baru sadar jika ia masih memegang tangan Ivy ketika tadi menatap wajah cantik wanita muda itu. Wajahnya menjadi sedikit gugup, dibarengi dengan semburat pink samar di wajah pria itu."Oh iya. Maaf," ujar Ben sambil menolehkan kepalanya ke arah lain agar tak bertatapan dengan Ivy yang saat ini terlihat tak nyaman.Soalnya, saat melihat ke arah samping, Ben melihat Terry, si bocah laki laki yang tengah menatapnya dengan tajam seolah akan mencabiknya saat itu juga.Ben mengacuhkan tatapan itu lalu kembali mengalihkan atensinya kepada Ivy dengan nada wajah datar, menyembunyikan rasa malu sekaligus gugup yang ia rasakan.Ivy mengangguk. Ibu dua anak itu segera menggiring kedua anaknya untuk keluar dari cafe. Punggung mungil itu terlihat semakin menjauh, bersamaan dengan eksistensinya yang semakin tak terlihat.Begitu Ivy benar-benar menjauh dari pandangan Ben, pria itu menghela napas berat sambil menatap Marinka yang masih asyik menggelayuti lengan kekarnya yang terbalut jas hitam."Marinka, lepaskan tanganmu dari lenganku dan segera belikan aku celana panjang di seberang sana," perintah Ben sambil menunjuk sebuah toko pakaian laki laki. diseberang jalan.Akan tetapi, sepertinya Marinka mengabaikan perintah Ben dan lebih memilih untuk tetap memeluk lengan kekar itu sambil tersenyum kecil.Jengah. Itulah yang Ben rasakan saat ini. Hanya ada satu hal yang bisa membuat Marinka melepaskan pegangannya pada lengannya, yaitu melepaskannya dengan paksa.Ben menepis tangan Marinka dengan kekuatannya yang cukup besar, membuat Marinka hampir saja jatuh jika tak berpegangan pada meja. Marinka hendak mengeluarkan protes, namun ia telan kembali kata katanya saat ia melihat Ben yang tengah menatap tajam ke arahnya."Baiklah, Bos,"Marinka pun segera melangkahkan kaki jenjangnya yang berbalut sepatu higheel warna hitam menuju ke toko di seberang cafe.Begitu Marinka sudah tak terlihat, Ben segera kembali duduk dan menutup matanya sembari mengingat ingatan yang kembali terlintas di kepalanya bagaikan kaset rusak."Kau berbohong padaku, Ivy. Aku yakin kaulah orang yang ada dalam ingatanku. Sekalipun wajahmu tak terlintas, tapi bau parfum mu mengingatkanku pada "dia" di masa lalu."...Setelah menggiring kedua anak kembarnya menuju dan menyalakan sebuah televisi tabung yang menampilkan film kartun, Ivy segera berpamitan pada si kembar sembari mencium pipi keduanya dengan penuh sayang."Mommy, jangan pulang terlambat," pesan si manis Terra dengan senyum manisnya.Senyuman Terra sangat mirip dengannya, membuat hati Ivy menghangat seperti tengah berbaring disebuah taman bunga dengan sinar mentari yang menyinari mereka."Tentu saja, sayang. Terry, tolong jaga Terra. Jangan buka pintu jika itu orang asing. Mengerti, sayang?""Oke, Mommy,"Setelah memberi amanat itu pada kedua anaknya, Ivy segera meninggalkan apartemen yang ia sewa dengan harga murah dan melangkahkan kakinya menuju ke sebuah supermarket besar yang terletak cukup dekat tempat tinggalnya. Begitu masuk, ia langsung segera berlari ke bagian belakang untuk mengambil seragam dari loker karyawan yang sudah disediakan."Oh, Ivy. Kau datang cukup awal,""Iya. Aku tak ingin terkena teguran lagi dari atasan, Lea,"Wanita berambut merah terang yang dipanggil Lea, atau dengan nama lengkap Leanore itu tertawa pelan sembari mengelus rambut Ivy dengan lembut, seolah Ivy adalah boneka mahal yang akan dipajang di etalase. Ia menatap Ivy dengan tatapan lembut dan ramah yang terpancar di matanya."Ya, aku rasa kau benar. Kau tak membawa si kembar?""Tidak. Mereka aku suruh untuk tinggal di rumah saja," sahut Ivy membuka baju yang ia kenakan dan menggantinya dengan seragam yang sudah ia ambil dari loker khusus yang bertuliskan namanya."Aku takut mereka membuat kekacauan lagi,""Oh, begitu. Tapi kenapa wajahmu terlihat kusut dan tertekan hari ini? Tak seperti biasanya?"Ivy menghela napas kasar mendengar pertanyaan yang Lea lontarkan padanya. Dirinya ragu untuk bercerita mengenai keadaan yang sudah ia alami beberapa menit yang lalu. Matanya bergulir kesana kemari dengan raut wajah yang terlihat tak nyaman, terlihat kebingungan namun juga takut disaat yang bersamaan.Leanore mengerti kondisi ibu beranak dua itu. Ia tak ingin memaksa Ivy jika gadis itu tak mau bercerita. Jadi, sebagai gantinya, wanita berambut merah itu mengelus punggung Ivy untuk memenangkan kerisauan hati."Tak perlu bercerita jika kau tak siap, Ivy. Jangan memaksakan diri,""Aku..." Ivy menggantungkan kalimatnya.Ia menatap Leanore dengan tatapan bingung, marah dan juga putus asa. Leanore menaikkan alisnya, sangat heran dengan tingkah laku Ivy yang terlihat berbeda. Akan tetapi gadis itu tak protes dan memilih untuk menunggu apa yang ingin dikatakan oleh sahabatnya itu."Aku bertemu dengan orang itu,""Orang itu?""Ya, orang yang sudah memperkosaku 6 tahun yang lalu,"Wajah Leanore terkejut luar biasa. Mata biru milik gadis itu membulat dengan mulut sedikit terbuka. Elusannya pada punggung Ivy terhenti begitu saja.Leanore memindahkan tangannya ke bahu sempit milik Ivy, mencoba mencari celah kebohongan dari mata hijau yang jernih itu."Kau serius? Bagaimana bisa?"Ivy menghela napas kasar lalu menatap koridor loker, takut ada yang mendengar pembicaraan ini. Ia mengedarkan tatapannya ke arah setiap penjuru ruangan itu dengan seksama.Untungnya, hanya ada mereka berdua disana, mengingat ini masih jam bekerja dan belum jamnya pertukaran shift. Setelah dirasa aman, Ivy kembali mengeluarkan suaranya, tentu dengan nada pelan, nyaris berbisik."Terra tak sengaja menumpahkan eskrimnya pada celana pria itu saat ia berlari,""Oh, jadi kalian tak sengaja bertemu karena ulah Terra?" Tanya Leanore dengan nada penasarannya. Ia semakin mendekatkan tubuhnya pada Ivy, agar pembicaraan ini hanya terdengar oleh mereka berdua. Ivy mengangguk mengiyakan sebagai jawaban."Lalu, apa dia tahu kalau gadis kecil yang menabrak itu adalah anaknya?"Ivy menggelengkan kepalanya dengan perlahan, membuat Leanore sedikitnya bersimpati pada wanita yang lebih pendek darinya ini. Tatapan Ivy berubah menjadi sendu dan juga terluka."Tentu saja tidak. Dia memperkosaku saat tengah mabuk. Jadi kemungkinan kecil ia tak akan tahu jika itu adalah anaknya,""Benar juga. Tapi katamu wajah Terra dan Terry itu sangat mirip dengan orang itu. Masa ia tak sadar?" Kali ini, Leanore bertanya dengan nada kesal bercampur gemas yang tergambar di wajah cantiknya."Tadi, dia sempat curiga padaku. Tapi aku mengelak," jawab Ivy dengan nada pelan sekali, membuat Leanore segera menjitak kepala Ivy cukup kencang hingga wanita berwajah boneka itu meringis kesakitan."Kenapa kau menghindar? Seharusnya, kau bilang padanya bahwa Terra dan Terry adalah anaknya. Kau tak bisa menyembunyikan fakta ini selamanya, Ivy,""Tapi aku takut, Lea," kilah Ivy dengan ringisan kecil yang keluar dari mulut mungilnya. Ia menatap Leanore dengan tatapan putus asa."Aku takut ia tak mengakui kedua anakku. Aku takut ia bilang jika aku hanya mengada ada. Daripada dipermalukan, bukankah diam adalah pilihan yang terbaik?""Tidak selamanya diam itu baik, Ivy. Kau harus berani bicara pada si brengsek itu. Karena dia, kau kehilangan segalanya!"Leanore hampir saja berteriak jika ia tak ingat pembicaraan ini sangatlah sensitif untuk Ivy. "Kau harus meminta pertanggung jawaban orang itu!""Memang kau tahu siapa yang menjadi ayah Terra dan Terry?""Tidak. Memang siapa ayah biologis mereka berdua?"Ben segera merebahkan dirinya di atas kasur kesayangannya setelah melakukan meeting dengan pemilik Adams Corp. Pria itu merasa kelelahan luar biasa setelah mengalami hari yang panjang. Celana yang kotor ia lempar kedalam keranjang cucian kotor yang terdapat di sudut ruangan. Karena merasa gerah, Ben segera mengendurkan dasi yang mencekik lehernya dan menyalakan air conditioner. Begitu udara yang dihasilkan oleh AC itu memenuhi ruangan, Ben segera menutup matanya. Ia ingin tidur hari ini dan berencana akan pergi ke klub malam nanti untuk mencari wanita yang bisa diajak tidur dengannya. Rasa rileks dapat Ben rasakan saat ini. Dirinya hampir saja terlelap sebelum bantingan pintu yang kasar dan juga keras menghancurkan niatnya, hingga matanya kembali terbuka dengan sempurna. "Sialan! Kau tak bisa membuka pintu dengan lebih santai?" Hardik Ben seraya menatap tajam si pelaku yang saat ini tengah memasang wajah tak berdosa. Ben ingin sekali mencekik orang itu andai saja ia tak ingat ji
"Mengapa anda menanyakan suami saya?" Tanya Ivy pelan, merasa tak nyaman dengan topik pembahasan yang Ben angkat. Ini adalah pembahasan yang normal, namun entah kenapa terlalu sensitif untuk Ivy. wanita muda itu merasa jika Ben terlalu ingin tahu akan urusan pribadinya."Kau masih punya hutang tentang celanaku yang kotor gara gara anak perempuanmu, omong-omong," Ben mengingatkan dengan nada rendah, membuat bulu kuduk Ivy merinding disko karenanya. "Dan lagi, kau bisa meminta pada suamimu untuk ganti rugi yang kau lakukan padaku. Jadi, aku tanya sekali lagi, dimana suamimu?"Wanita muda itu ingin meninggalkan Ben saat ini, berlari sejauh mungkin dari pria itu. Tatapan mengintimidasi dan mendominasi yang Ben keluarkan membuatnya tak nyaman seolah tercekik. Hanya saja ia tak bisa melakukannya untuk sekarang. Ivy tak mau dilaporkan oleh Ben pada atasannya dengan alasan tak melayani konsumen dengan baik yang berakhir dengan pemotongan gaji. Tidak! jangan sampai hal itu terjadi padanya."
"Ini, cemilanmu," Ben menyodorkan satu kantong keresek besar berisi snack, kue kering dan beberapa minuman botol pesanan kakak kembarnya. Steve segera meraih kantung keresek itu dengan hati riang. Pria itu berjalan menuju ke sebuah sofa yang berada di sudut ruangan, mengabaikan Ben yang berdiri mematung disana. Ben mengumpat dalam hati melihat perilaku Steve yang menurutnya kurang ajar. Bukannya berterima kasih, pria itu malah melenggang meninggalkan dirinya sendirian disana seperti orang bodoh. Dengan kesal, Ben segera menghampiri Steve yang saat ini tengah duduk santai di sofa sambil membuka snack dan kue kering yang tadi ia beli."Bukannya berterima kasih, kau malah meninggalkanku disana seperti orang bodoh," gerutu Ben kesal. Pria itu menghempaskan tubuhnya di sofa single terpisah yang berada di sebelah Steve sambil memijat kepalanya yang terasa berdenyut."Heh, biasanya juga kau langsung pergi," sahut Steve dengan yang terdengar menyebalkan di telinga Ben."Tumben kau masih d
"Maaf, tuan. Sepertinya saya harus menolak tawaran anda," Ivy menolak langsung tawaran itu lagi, tentu dengan bahasa yang sangat halus selembut sutra agar Ben tak tersinggung. Pria itu menaikkan alisnya, bingung dengan penolakan yang dilontarkan oleh wanita beranak dua di hadapannya. Matanya menelisik ke arah Ivy, dengan tatapan penasaran dan juga menuntut disaat yang bersamaan."Kenapa kau menolakku? Apa alasannya?" Tanya Ben bertubi tubi, tak terima ditolak lagi untuk kedua kalinya. Pria itu berusaha untuk mempertahankan sikap ramahnya agar bisa menggali rasa tertariknya pada Ivy.Ivy tersenyum manis menanggapi pertanyaan itu. Ia menghela napas sejenak dan kembali menatap Ben dengan senyuman kecil yang terukir di bibir mungilnya yang merah dan menggoda.Ben kehilangan fokus. Ia malah memerhatikan bibir mungil itu. Rasanya Ben ingin mencecap bibir manis itu dan membungkamnya dengan bibirnya. Berbagai pikiran liar kini merasuki tubuhnya, membuat hasrat yang terpendam entah kenapa te
Setelah pulang berbelanja bulanan, Ivy segera membereskan semua yang tadi ia beli ke dalam kulkas, tentu dengan dibantu oleh si kembar. Kedua anaknya itu begitu bersemangat menyodorkan benda yang tadi mereka beli pada Ivy. "Mommy, aku mau mengatakan sesuatu pada Mommy," ujar si kecil Terra yang saat ini menyodorkan sekotak telur pada Ivy. Wanita berambut hitam itu menoleh pada anak perempuannya dengan senyuman lembut yang terukir di bibir mungilnya. Ia paling suka melihat anak anaknya mengatakan apa yang mereka pikirkan.Selain itu Ivy juga mengajarkan kedua anaknya untuk saling terbuka satu sama lain jika ada masalah ataupun pengalaman menarik yang mereka alami."Tentu saja, sayang. Apa yang ingin kau katakan pada Mommy?"Terra tampak ragu. Raut wajah si kecil terlihat gelisah disertai dengan tatapan mata yang terlihat menghindar dari Ivy dan juga kembarannya, Terry. Tentu saja ini membuat Ivy merasa bingung sekaligus heran dengan kelakuan anak bungsunya.Setelah mengambil kotak te
Untuk menghilangkan rasa tak nyaman karena tawarannya ditolak oleh Ivy, Ben mengendarai mobilnya menuju salah satu bar yang paling terkenal dikawasan ini. Pria itu berkendara dengan kecepatan penuh agar bisa segera mendinginkan isi kepalanya yang terasa kusut seperti sekarang.Tak membutuhkan waktu lama, Ben pun tiba di tempat tujuannya. Setelah memarkirkan mobil, Ben segera melangkahkan kakinya menuju ke dalam bar, melewati para bodyguard yang berjaga disana dengan santai. Pria itu memasukkan tangannya ke saku dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya.Begitu masuk, suara dentuman musik yang cukup keras terdengar di telinga Ben. Lampu disko yang warna warni memancarkan cahayanya. Bau parfum yang cukup menyengat bercampur padu menjadi satu di ruangan itu. Wanita wanita berpakaian seksi yang tengah menari dengan gerakan sensual menjadi pemandangan surgawi bagi lelaki yang ingin mencuci mata. Aroma alkohol yang cukup menusuk menjadi pelengkap bagaimana keadaan bar yang Ben samb
Jayden mengernyitkan keningnya saat mendengar pertanyaan yang Terry lontarkan. Mata ambernya terlihat memutar, seolah enggan menjawab pertanyaan itu.Pria pemilik bar itu lebih memilih untuk mengalihkan atensinya pada Vodka pesanannya yang baru saja diantar oleh salah seorang bartender yang berpenampilan seksi yang bekerja di bar miliknya. Bartender wanita itu hanya menggunakan baju crop sedada dan rok mini yang membalut tubuh seksinya, memperlihatkan perutnya yang ramping dan kakinya yang begitu jenjang. Ben mencuri curi pandang pada bartender itu sebentar, melihat penampilan indah di depannya dengan gaya coolnya, yakni dengan tangan menyilang di depan dada dan tatapan mata lurus yang memberi kesan kuat dan juga dominan yang melekat pada dirinya. Hal ini tentu membuat bartender itu mengedipkan mata dengan kerlingan menggoda pada Ben untuk menarik perhatian pria itu. Ben tadinya ingin membalas godaan itu. Akan tetapi, ada hal mendesak yang jauh lebih penting saat ini, yakni tentan
"Jasa seperti apa yang kau maksud, Ben?"Ben tersenyum kecil mendengar pertanyaan itu. Ia menurunkan tangan dari wajahnya lalu membenarkan posisi duduknya menjadi tegap. Setelah itu, ia menatap Jayden yang saat ini tengah menampilkan mimik wajah bingung karena tak mengerti dengan ucapannya."Tolong jangan berpura pura bodoh di hadapanku, Jay. Aku tahu kau pasti mengerti apa yang aku maksud," Tawa kecil keluar dari mulut Ben, memenuhi ruangan yang terasa sunyi ini. Ben merasa geli jika sahabatnya berpura pura polos seperti sekarang, padahal ia adalah pemain paling handal dalam lingkaran pertemanan yang mereka buat. Ah... mengingatnya saja Ben merasa rindu. Ia ingin berkumpul lagi bersama grup yang ia buat jika semua temannya memiliki waktu senggang."Aku hanya tak ingin salah menangkap arti perkataanmu. Jadi lebih baik kau bicarakan saja secara langsung agar aku tak pusing berspekulasi ataupun menerka perkataanmu yang ambigu itu," jawab Jayden dengan nada tegas.Pria dengan mata amb