Home / Urban / Anak Kembar Tuan Miliader / Bab 4 : Bercerita

Share

Bab 4 : Bercerita

Author: Taehyunie05
last update Last Updated: 2023-10-04 18:10:34

Mata Ivy bergulir ke samping dengan genggaman tangan yang menguat pada kedua tangan anaknya. Bibirnya ia gigit dengan napas tertahan, membeku mendengar pertanyaan itu.

"Maaf?"

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya Ben mengulangi kalimatnya.

Ia dengan sabar menunggu jawaban dari wanita muda beranak dua di hadapannya, ingin memastikan ingatan samar yang tiba tiba saja melintas di kepalanya saat ia melihat wajah Ivy. Pria itu yakin sekali jika wanita muda yang berada di hadapannya ini adalah orang yang selama ini ia cari.

"Kita tak pernah bertemu sebelumnya, Tuan," jawab Ivy dengan nada tersendat, seolah kehilangan suara.

Tatapan mata Ivy terlihat begitu sendu, dibarengi dengan mata yang berkaca kaca. Ivy segera memejamkan matanya dan melirik kembali tangan yang dipegang oleh Ben.

"Anda bisa melepaskan tangan anda, Tuan. Saya harus pulang karena harus bekerja,"

Ben segera melepaskan tangan wanita muda itu dengan cepat. Pria itu baru sadar jika ia masih memegang tangan Ivy ketika tadi menatap wajah cantik wanita muda itu. Wajahnya menjadi sedikit gugup, dibarengi dengan semburat pink samar di wajah pria itu.

"Oh iya. Maaf," ujar Ben sambil menolehkan kepalanya ke arah lain agar tak bertatapan dengan Ivy yang saat ini terlihat tak nyaman.

Soalnya, saat melihat ke arah samping, Ben melihat Terry, si bocah laki laki yang tengah menatapnya dengan tajam seolah akan mencabiknya saat itu juga.

Ben mengacuhkan tatapan itu lalu kembali mengalihkan atensinya kepada Ivy dengan nada wajah datar, menyembunyikan rasa malu sekaligus gugup yang ia rasakan.

Ivy mengangguk. Ibu dua anak itu segera menggiring kedua anaknya untuk keluar dari cafe. Punggung mungil itu terlihat semakin menjauh, bersamaan dengan eksistensinya yang semakin tak terlihat.

Begitu Ivy benar-benar menjauh dari pandangan Ben, pria itu menghela napas berat sambil menatap Marinka yang masih asyik menggelayuti lengan kekarnya yang terbalut jas hitam.

"Marinka, lepaskan tanganmu dari lenganku dan segera belikan aku celana panjang di seberang sana," perintah Ben sambil menunjuk sebuah toko pakaian laki laki. diseberang jalan.

Akan tetapi, sepertinya Marinka mengabaikan perintah Ben dan lebih memilih untuk tetap memeluk lengan kekar itu sambil tersenyum kecil.

Jengah. Itulah yang Ben rasakan saat ini. Hanya ada satu hal yang bisa membuat Marinka melepaskan pegangannya pada lengannya, yaitu melepaskannya dengan paksa.

Ben menepis tangan Marinka dengan kekuatannya yang cukup besar, membuat Marinka hampir saja jatuh jika tak berpegangan pada meja. Marinka hendak mengeluarkan protes, namun ia telan kembali kata katanya saat ia melihat Ben yang tengah menatap tajam ke arahnya.

"Baiklah, Bos,"

Marinka pun segera melangkahkan kaki jenjangnya yang berbalut sepatu higheel warna hitam menuju ke toko di seberang cafe.

Begitu Marinka sudah tak terlihat, Ben segera kembali duduk dan menutup matanya sembari mengingat ingatan yang kembali terlintas di kepalanya bagaikan kaset rusak.

"Kau berbohong padaku, Ivy. Aku yakin kaulah orang yang ada dalam ingatanku. Sekalipun wajahmu tak terlintas, tapi bau parfum mu mengingatkanku pada "dia" di masa lalu."

.

.

.

Setelah menggiring kedua anak kembarnya menuju dan menyalakan sebuah televisi tabung yang menampilkan film kartun, Ivy segera berpamitan pada si kembar sembari mencium pipi keduanya dengan penuh sayang.

"Mommy, jangan pulang terlambat," pesan si manis Terra dengan senyum manisnya.

Senyuman Terra sangat mirip dengannya, membuat hati Ivy menghangat seperti tengah berbaring disebuah taman bunga dengan sinar mentari yang menyinari mereka.

"Tentu saja, sayang. Terry, tolong jaga Terra. Jangan buka pintu jika itu orang asing. Mengerti, sayang?"

"Oke, Mommy,"

Setelah memberi amanat itu pada kedua anaknya, Ivy segera meninggalkan apartemen yang ia sewa dengan harga murah dan melangkahkan kakinya menuju ke sebuah supermarket besar yang terletak cukup dekat tempat tinggalnya. Begitu masuk, ia langsung segera berlari ke bagian belakang untuk mengambil seragam dari loker karyawan yang sudah disediakan.

"Oh, Ivy. Kau datang cukup awal,"

"Iya. Aku tak ingin terkena teguran lagi dari atasan, Lea,"

Wanita berambut merah terang yang dipanggil Lea, atau dengan nama lengkap Leanore itu tertawa pelan sembari mengelus rambut Ivy dengan lembut, seolah Ivy adalah boneka mahal yang akan dipajang di etalase. Ia menatap Ivy dengan tatapan lembut dan ramah yang terpancar di matanya.

"Ya, aku rasa kau benar. Kau tak membawa si kembar?"

"Tidak. Mereka aku suruh untuk tinggal di rumah saja," sahut Ivy membuka baju yang ia kenakan dan menggantinya dengan seragam yang sudah ia ambil dari loker khusus yang bertuliskan namanya.

"Aku takut mereka membuat kekacauan lagi,"

"Oh, begitu. Tapi kenapa wajahmu terlihat kusut dan tertekan hari ini? Tak seperti biasanya?"

Ivy menghela napas kasar mendengar pertanyaan yang Lea lontarkan padanya. Dirinya ragu untuk bercerita mengenai keadaan yang sudah ia alami beberapa menit yang lalu. Matanya bergulir kesana kemari dengan raut wajah yang terlihat tak nyaman, terlihat kebingungan namun juga takut disaat yang bersamaan.

Leanore mengerti kondisi ibu beranak dua itu. Ia tak ingin memaksa Ivy jika gadis itu tak mau bercerita. Jadi, sebagai gantinya, wanita berambut merah itu mengelus punggung Ivy untuk memenangkan kerisauan hati.

"Tak perlu bercerita jika kau tak siap, Ivy. Jangan memaksakan diri,"

"Aku..." Ivy menggantungkan kalimatnya.

Ia menatap Leanore dengan tatapan bingung, marah dan juga putus asa. Leanore menaikkan alisnya, sangat heran dengan tingkah laku Ivy yang terlihat berbeda. Akan tetapi gadis itu tak protes dan memilih untuk menunggu apa yang ingin dikatakan oleh sahabatnya itu.

"Aku bertemu dengan orang itu,"

"Orang itu?"

"Ya, orang yang sudah memperkosaku 6 tahun yang lalu,"

Wajah Leanore terkejut luar biasa. Mata biru milik gadis itu membulat dengan mulut sedikit terbuka. Elusannya pada punggung Ivy terhenti begitu saja.

Leanore memindahkan tangannya ke bahu sempit milik Ivy, mencoba mencari celah kebohongan dari mata hijau yang jernih itu.

"Kau serius? Bagaimana bisa?"

Ivy menghela napas kasar lalu menatap koridor loker, takut ada yang mendengar pembicaraan ini. Ia mengedarkan tatapannya ke arah setiap penjuru ruangan itu dengan seksama.

Untungnya, hanya ada mereka berdua disana, mengingat ini masih jam bekerja dan belum jamnya pertukaran shift. Setelah dirasa aman, Ivy kembali mengeluarkan suaranya, tentu dengan nada pelan, nyaris berbisik.

"Terra tak sengaja menumpahkan eskrimnya pada celana pria itu saat ia berlari,"

"Oh, jadi kalian tak sengaja bertemu karena ulah Terra?" Tanya Leanore dengan nada penasarannya. Ia semakin mendekatkan tubuhnya pada Ivy, agar pembicaraan ini hanya terdengar oleh mereka berdua. Ivy mengangguk mengiyakan sebagai jawaban.

"Lalu, apa dia tahu kalau gadis kecil yang menabrak itu adalah anaknya?"

Ivy menggelengkan kepalanya dengan perlahan, membuat Leanore sedikitnya bersimpati pada wanita yang lebih pendek darinya ini. Tatapan Ivy berubah menjadi sendu dan juga terluka.

"Tentu saja tidak. Dia memperkosaku saat tengah mabuk. Jadi kemungkinan kecil ia tak akan tahu jika itu adalah anaknya,"

"Benar juga. Tapi katamu wajah Terra dan Terry itu sangat mirip dengan orang itu. Masa ia tak sadar?" Kali ini, Leanore bertanya dengan nada kesal bercampur gemas yang tergambar di wajah cantiknya.

"Tadi, dia sempat curiga padaku. Tapi aku mengelak," jawab Ivy dengan nada pelan sekali, membuat Leanore segera menjitak kepala Ivy cukup kencang hingga wanita berwajah boneka itu meringis kesakitan.

"Kenapa kau menghindar? Seharusnya, kau bilang padanya bahwa Terra dan Terry adalah anaknya. Kau tak bisa menyembunyikan fakta ini selamanya, Ivy,"

"Tapi aku takut, Lea," kilah Ivy dengan ringisan kecil yang keluar dari mulut mungilnya. Ia menatap Leanore dengan tatapan putus asa.

"Aku takut ia tak mengakui kedua anakku. Aku takut ia bilang jika aku hanya mengada ada. Daripada dipermalukan, bukankah diam adalah pilihan yang terbaik?"

"Tidak selamanya diam itu baik, Ivy. Kau harus berani bicara pada si brengsek itu. Karena dia, kau kehilangan segalanya!"

Leanore hampir saja berteriak jika ia tak ingat pembicaraan ini sangatlah sensitif untuk Ivy. "Kau harus meminta pertanggung jawaban orang itu!"

"Memang kau tahu siapa yang menjadi ayah Terra dan Terry?"

"Tidak. Memang siapa ayah biologis mereka berdua?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak Kembar Tuan Miliader    Bab 84 : Ending

    Setelah dirias oleh para pengantin professional selama dua jam lamanya, penampilan Ivy kini berubah drastis. Wanita sederhana yang saat ini sedang kebingungan itu terlihat berkali kali lipat lebih cantik daripada sebelumnya.Wajahnya yang seperti boneka dipoles sedemikian rupa, dengan gaun pengantin putih yang membalut tubuh rampingnya.Setelah memasangkan veil pada kepalanya, para perias itu pergi ke luar dari ruangan itu. Ivy menggigit bibirnya dan memegang dadanya lagi, merasa sesak dan juga tak nyaman.Ditengah kebingungannya itu, tiba tiba saja Ben datang menghampiri dirinya, dengan setelan jas hitam yang nampak gagah membalut tubuh kekarnya.Sejenak keduanya saling terkesima satu sama lain. Wajah Ivy sampai memerah melihat wajah Ben yang berkali kali lipat lebih tampan daripada biasanya. Meskipun kantung mata hitam tak bisa di samarkan dengan sempurna dari wajah pria tampan itu." Ben, jelaskan apa yang terjadi. Mengapa semuanya bisa terjadi seperti ini? Kenapa pernikahannya men

  • Anak Kembar Tuan Miliader    Bab 83 : Pengantin?

    "Kalau aku mau uncle Kai menjadi Daddy ku," sela Terry yang entah sejak kapan datang. Semua orang yang ada di ruangan itu mengalihkan fokus mereka pada Terry yang saat ini terlihat begitu berkeringat. Bocah laki-laki itu mengipasi wajahnya yang terlihat memerah menggunakan buku yang entah di dapat dari mana.Terra memperhatikan kakak kembarnya dengan intens. Ada seberkas rasa tak suka saat Terry menyebutkan demikian. Maka dari itu, Terra turun dari pangkuan Kai dan segera menghampiri Terry, lalu memukul tangan bocah laki-laki itu dengan cukup kencang.Terry yang mendapat geplakan kasih sayang dari sang adik tentu saja tak terima. Mata hijaunya menatap Terra dengan tatapan tajam. Rahang bocah laki-laki itu mengetat. Wajahnya yang terlihat memerah karena kelelahan menjadi semakin merah karena marah."Kenapa kau malah memukul tanganku?" Tanya Terry dengan nada setengah berteriak. Ia hampir saja mendorong tubuh Terra ke belakang jika saja Ivy tak menarik gadis kecil itu ke belakang."I

  • Anak Kembar Tuan Miliader    Bab 82 : Tuan Clayton

    "Ben, apakah kau sudah selesai dengan pekerjaanmu?" Tanya seorang pria paruh baya yang masih bugar di umurnya yang tak muda lagi.Ben yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya tentu saja menghentikan kegiatannya. Matanya bergulir dari laptop menuju ke arah sumber suara. Di depannya, Ben bisa melihat seorang pria yang sangat ia kenali. "Oh, belum," sahut Ben singkat lalu kembali memusatkan perhatiannya pada laptop dan kembali mengetik, mengabaikan eksistensi pria yang saat ini berada di hadapannya dengan wajah tak bersalah."Aku sedang sibuk, Daddy Apa yang Daddy butuhkan? Katakan dengan cepat dan segera keluar dari sini,"Perkataan Ben yang merupakan pengusiran secara langsung membuat pria dengan postur yang sangat mirip dengan Ben itu tertawa keras. Pria itu menegang perutnya yang terasa keram.Ben melirik sebentar ke arah pria yang ia panggil Daddy itu secara sekilas, lalu memutar mata malas saat mendengar tawa nyaring yang terdengar menyebalkan di telinganya."Dad, suaramu membuat

  • Anak Kembar Tuan Miliader    Bab 81 : Kejujuran

    "Well, sepertinya aku memang harus membicarakan hal ini, terutama kaitannya dengan penyembunyian statusku dan juga pelaku dari tragedi mawar hitam itu sendiri,"Ivy tersenyum miris pada dirinya sendiri. Dengan cepat, ia segera menarik rambut hitamnya yang panjang dan indah dari belakang dengan gerakan kasar. Wanita muda itu meringis kecil saat kepalanya terasa sangat sakit. Kai yang berada di hadapannya tentu saja terkejut dengan aksi dai wanita yang lebih muda darinya itu."Wow wow wow. Tunggu sebentar. Apa yang akan kau lakukan, Ivy?" Tanya Kai heran karena tak mengerti apa yang akan dilakukan oleh wanita beranak dua itu."Menarik apa yang tersembunyi," jawab Ivy ambigu, yang tentu menimbulkan tanda tanya besar di benak Leanore dan juga Kai."Maksudnya?" Tanya Leanore dengan nada pelan, benar benar gagal paham dengan apa yang Ivy katakan padanya."Aku akan menjelaskan itu nanti. Tapi bisakah kalian menarik rambutku terlebih dahulu?" Pinta Ivy dengan wajah memelas. Mata hijau itu t

  • Anak Kembar Tuan Miliader    Bab 80 : Fakta Tersembunyi (2)

    "Bukti nyata. Tidak hanya sekedar omongan saja. Kau tahu sendiri bukan jika perkataanmu itu tak memiliki kekuatan hukum jika masalah ini akan di usut?"Perkataan yang Kai lontarkan memang benar adanya. Ivy termenung sembari menggigit bibir, merasa ada yang kurang untuk mengungkap Flora sebagai dalang dari dua kejadian mengerikan yang terjadi selama beberapa tahun ke belakang.Kurangnya bukti dan saksi membuat Ivy terperangkap kata katanya sendiri. Wajah wanita beranak dua itu terlihat kebingungan, namun disisi lain terlihat sedikit kesal karena menemukan jalan buntu, disaat semuanya akan terungkap.Kai yang melihat hal itu menampilkan senyuman tipisnya. Ia segera berdiri untuk mengambil makanan yang sekiranya bisa di gunakan untuk mengganjal perut yang terasa lapar, mengingat sekarang sudah hampir makan siang. Kai baru ingat jika dirinya belum makan apapun selain air yang tadi ia teguk hari ini."Kau mau kemana?" Tanya Leanore menginterupsi Kai yang bangkit dari sofa."Bukankah kita s

  • Anak Kembar Tuan Miliader    Bab 79 : Fakta tersembunyi (1)

    "Darimana kau mendapatkan kesimpulan jika Flora adalah dalang dari semua ini?"Ethan tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh kakak tirinya itu. Bibirnya terlihat melengkung ke atas dengan mata yang terpejam.Hal ini membuat Jake selaku kakak tak sedarah dari pria bermata abu abu itu merasa kebingungan dengan tingkah sang adik yang tak bisa ia baca."Kau tak tahu?" Tanya Ethan balik, dengan nada datar seperti biasa.Jake menggelengkan kepalanya. Jujur saja, ia merasa kebingungan dan terkejut disaat yang bersamaan, karena mendapat sekali banyak kejutan dan informasi dalam satu waktu. Kejadian hari ini terlalu sulit untuk di cerna oleh otaknya yang seolah tersetting untuk bisnis saja.Ethan tertawa kecil melihat sang kakak yang terlihat kebingungan, namun disisi lain juga terlihat sangat penasaran. Ia ingin menggoda Jake lebih lama, hitung hitung sebagai hiburannya dikala suntuk.Akan tetapi, Ethan tak melakukannya mengingat ia tak punya banyak waktu untuk bercanda si situasi gedu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status