"Ini, cemilanmu," Ben menyodorkan satu kantong keresek besar berisi snack, kue kering dan beberapa minuman botol pesanan kakak kembarnya. Steve segera meraih kantung keresek itu dengan hati riang. Pria itu berjalan menuju ke sebuah sofa yang berada di sudut ruangan, mengabaikan Ben yang berdiri mematung disana. Ben mengumpat dalam hati melihat perilaku Steve yang menurutnya kurang ajar. Bukannya berterima kasih, pria itu malah melenggang meninggalkan dirinya sendirian disana seperti orang bodoh. Dengan kesal, Ben segera menghampiri Steve yang saat ini tengah duduk santai di sofa sambil membuka snack dan kue kering yang tadi ia beli."Bukannya berterima kasih, kau malah meninggalkanku disana seperti orang bodoh," gerutu Ben kesal. Pria itu menghempaskan tubuhnya di sofa single terpisah yang berada di sebelah Steve sambil memijat kepalanya yang terasa berdenyut."Heh, biasanya juga kau langsung pergi," sahut Steve dengan yang terdengar menyebalkan di telinga Ben."Tumben kau masih d
"Maaf, tuan. Sepertinya saya harus menolak tawaran anda," Ivy menolak langsung tawaran itu lagi, tentu dengan bahasa yang sangat halus selembut sutra agar Ben tak tersinggung. Pria itu menaikkan alisnya, bingung dengan penolakan yang dilontarkan oleh wanita beranak dua di hadapannya. Matanya menelisik ke arah Ivy, dengan tatapan penasaran dan juga menuntut disaat yang bersamaan."Kenapa kau menolakku? Apa alasannya?" Tanya Ben bertubi tubi, tak terima ditolak lagi untuk kedua kalinya. Pria itu berusaha untuk mempertahankan sikap ramahnya agar bisa menggali rasa tertariknya pada Ivy.Ivy tersenyum manis menanggapi pertanyaan itu. Ia menghela napas sejenak dan kembali menatap Ben dengan senyuman kecil yang terukir di bibir mungilnya yang merah dan menggoda.Ben kehilangan fokus. Ia malah memerhatikan bibir mungil itu. Rasanya Ben ingin mencecap bibir manis itu dan membungkamnya dengan bibirnya. Berbagai pikiran liar kini merasuki tubuhnya, membuat hasrat yang terpendam entah kenapa te
Setelah pulang berbelanja bulanan, Ivy segera membereskan semua yang tadi ia beli ke dalam kulkas, tentu dengan dibantu oleh si kembar. Kedua anaknya itu begitu bersemangat menyodorkan benda yang tadi mereka beli pada Ivy. "Mommy, aku mau mengatakan sesuatu pada Mommy," ujar si kecil Terra yang saat ini menyodorkan sekotak telur pada Ivy. Wanita berambut hitam itu menoleh pada anak perempuannya dengan senyuman lembut yang terukir di bibir mungilnya. Ia paling suka melihat anak anaknya mengatakan apa yang mereka pikirkan.Selain itu Ivy juga mengajarkan kedua anaknya untuk saling terbuka satu sama lain jika ada masalah ataupun pengalaman menarik yang mereka alami."Tentu saja, sayang. Apa yang ingin kau katakan pada Mommy?"Terra tampak ragu. Raut wajah si kecil terlihat gelisah disertai dengan tatapan mata yang terlihat menghindar dari Ivy dan juga kembarannya, Terry. Tentu saja ini membuat Ivy merasa bingung sekaligus heran dengan kelakuan anak bungsunya.Setelah mengambil kotak te
Untuk menghilangkan rasa tak nyaman karena tawarannya ditolak oleh Ivy, Ben mengendarai mobilnya menuju salah satu bar yang paling terkenal dikawasan ini. Pria itu berkendara dengan kecepatan penuh agar bisa segera mendinginkan isi kepalanya yang terasa kusut seperti sekarang.Tak membutuhkan waktu lama, Ben pun tiba di tempat tujuannya. Setelah memarkirkan mobil, Ben segera melangkahkan kakinya menuju ke dalam bar, melewati para bodyguard yang berjaga disana dengan santai. Pria itu memasukkan tangannya ke saku dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya.Begitu masuk, suara dentuman musik yang cukup keras terdengar di telinga Ben. Lampu disko yang warna warni memancarkan cahayanya. Bau parfum yang cukup menyengat bercampur padu menjadi satu di ruangan itu. Wanita wanita berpakaian seksi yang tengah menari dengan gerakan sensual menjadi pemandangan surgawi bagi lelaki yang ingin mencuci mata. Aroma alkohol yang cukup menusuk menjadi pelengkap bagaimana keadaan bar yang Ben samb
Jayden mengernyitkan keningnya saat mendengar pertanyaan yang Terry lontarkan. Mata ambernya terlihat memutar, seolah enggan menjawab pertanyaan itu.Pria pemilik bar itu lebih memilih untuk mengalihkan atensinya pada Vodka pesanannya yang baru saja diantar oleh salah seorang bartender yang berpenampilan seksi yang bekerja di bar miliknya. Bartender wanita itu hanya menggunakan baju crop sedada dan rok mini yang membalut tubuh seksinya, memperlihatkan perutnya yang ramping dan kakinya yang begitu jenjang. Ben mencuri curi pandang pada bartender itu sebentar, melihat penampilan indah di depannya dengan gaya coolnya, yakni dengan tangan menyilang di depan dada dan tatapan mata lurus yang memberi kesan kuat dan juga dominan yang melekat pada dirinya. Hal ini tentu membuat bartender itu mengedipkan mata dengan kerlingan menggoda pada Ben untuk menarik perhatian pria itu. Ben tadinya ingin membalas godaan itu. Akan tetapi, ada hal mendesak yang jauh lebih penting saat ini, yakni tentan
"Jasa seperti apa yang kau maksud, Ben?"Ben tersenyum kecil mendengar pertanyaan itu. Ia menurunkan tangan dari wajahnya lalu membenarkan posisi duduknya menjadi tegap. Setelah itu, ia menatap Jayden yang saat ini tengah menampilkan mimik wajah bingung karena tak mengerti dengan ucapannya."Tolong jangan berpura pura bodoh di hadapanku, Jay. Aku tahu kau pasti mengerti apa yang aku maksud," Tawa kecil keluar dari mulut Ben, memenuhi ruangan yang terasa sunyi ini. Ben merasa geli jika sahabatnya berpura pura polos seperti sekarang, padahal ia adalah pemain paling handal dalam lingkaran pertemanan yang mereka buat. Ah... mengingatnya saja Ben merasa rindu. Ia ingin berkumpul lagi bersama grup yang ia buat jika semua temannya memiliki waktu senggang."Aku hanya tak ingin salah menangkap arti perkataanmu. Jadi lebih baik kau bicarakan saja secara langsung agar aku tak pusing berspekulasi ataupun menerka perkataanmu yang ambigu itu," jawab Jayden dengan nada tegas.Pria dengan mata amb
Kini, Ivy berada di taman kota sendirian atas permintaan orang yang meneleponnya sewaktu ia akan memejamkan mata. Wanita itu sengaja tak membawa kedua anaknya karena takut mereka sakit, mengingat hari sudah sangat larut. Selain itu, ia tak mau Terra dan Terry kekurangan tidur hanya karena menemaninya ke taman kota untuk mencari tahu siapa orang yang meneleponnya tadi.Suhu udara yang rendah ditambah dengan angin yang berembus kencang membuat Ivy bersin beberapa kali karena ia memang memiliki alergi pada suhu udara yang dingin.Ivy merapatkan mantel yang ia gunakan untuk menghalau rasa dingin yang terus menusuk tubuhnya tanpa henti. Wanita itu menggigil kedinginan karena hanya menggunakan mantel tipis untuk menutupi tubuh mungilnya. Ivy melirik ke arah jam taman kota yang terletak di tengah taman. Sudah pukul setengah sebelas malam. Karena lelah berdiri, Ivy pun memutuskan untuk duduk di salah satu bangku taman sembari menunggu orang itu datang. Sesekali, Ivy juga menggosok telapak
Ivy kelabakan. Gadis itu tak tahu harus menjawab apa di situasi sekarang ini. Bibirnya terasa kelu, seolah kata kata yang sudah ia susun rapi dalam kepalanya tak bisa keluar dari mulutnya, seperti ada sesuatu yang menahannya.Kai melirik Ivy dengan tatapan bingung. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya Ben bicarakan. Maka dari itu, Kai menggenggam tangan Ivy dan mengelusnya dengan perlahan, memberikan sensasi tenang pada Ivy."Ivy, jawab pertanyaannya. Apa maksud—"Perkataan Kai menggantung begitu saja ketika melihat Ivy yang mengedipkan mata dua kali, memberikan kode khusus para pria berambut pirang itu. Kai yang tak mengerti dengan situasi ini memilih untuk menganggukkan kepala. Setelah itu, Kai memusatkan perhatiannya pada Ben yang saat ini masih menatap dengan kesal ke arah keduanya."Um...tuan, bisa anda duduk dahulu? Kita bicarakan baik baik," pinta Kai dengan nada lembut, berusaha untuk mencari tahu apa tujuan Ben membuat keributan di tengah malam seperti sekarang ini.Ben tak men