“Sabrina?!”
Aku bergeming. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku di sini? Padahal sudah mati-matian aku pergi dan pulang secara diam-diam menghindari orang-oramg yang mengenalku, termasuk dia. Persembunyian ku ternyata gagal total.Aku memejamkan mata, menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan sebelum membalikkan badan.“Semua orang cariin—““Gue tahu,” selaku tanpa menoleh ke arahnya.“Tadi—“ sebelum dia meneruskan ucapannya, aku membalikkan badan menatapnya nanar.“Kenapa lu tahu gue di sini?” Tanyaku.Kini, kami sudah saling berhadapan.“Nggak sengaja lewat,” jawabnya. “Terakhir saat gue balikin mobil ingat kalau gerbang gue selop. Tadi gue lihat terbuka.”Kukuh berjalan mendekatiku. “Bri, Sabia nyariin lu, dia khawatir sama lu.”Benarkah?Aku tertegun sejenak, kemudian mengembalikan ekspresiku seperti semula.“LMama menatap sengit Pak Rully sementara aku menatapnya tak percaya. “Bagi saya, cukup Sabia membalas cinta saya, maka saya akan lakukan apa pun untuknya. Termasuk jika dia meminta Sabrina keluar dari series itu.”Perkataan Pak Rully menari di benakku. Seperti ada bunga yang bermekaran di dalam hatiku. Ibarat seperti Padang tandus yang di guyur air hujan satu tahun yang mengakibatkan rumput tumbuh tanpa izin.Anggap saja begitu.Aku tak bisa mengungkapkannya, tapi aku yakin wajahku sudah semerah buah naga.Kalau tomat asem, buah naga saja yang ada manis-manisnya seperti aku.“Pak—“Tatapan kami beralih ke beberapa perawat dan seorang dokter yang masuk ke ruangan Papa. Mama yang mau memprotes ucapan Pak Rully pun mengurungkan niatnya saat melihat mereka masuk ruangan Papa.Ada apa?Jiwa kepo ku bergejolak. Melirik dari balik celah pintu, aku bernapas lega karena mereka hanya
Aku menjatuhkan diri di atas kasur. Mataku menerawang menatap langit-langit kamar Sabia dengan hiasan bintang dan bulan. Entah kenapa kamar Sabia jadi terasa nyaman, dan membuatku betah berdiam diri di dalamnya. Aku akan meneruskan membaca novel karya Sabia yang lainnya. Dulu, membaca adalah hal yang sangat aku jauhi, buku pelajaran saja aku enggan membacanya, apalagi sebuah novel. Tapi, buku-buku Sabia benar-benar membuatku merasa candu untuk terus membuka lembarannya. Pikiranku tiba-tiba saja mengingat kejadian sebelum aku memasuki rumah.Apa maksud ucapan Kukuh tadi?Apa dia juga menyukaiku seperti aku menyukainya?Dadaku menghangat mengingat perkataan lelaki yang katanya sudah bersahabat lama dengan Sabia itu. Membayangkan mereka dekat lalu tertawa bersama membuatku sedikit panas. Kenapa tidak aku saja dulu yang mengenal Kukuh?Ah, Sabia, kamu benar-benar beruntung.Aku merogoh saku, tering
“Alhamdulillah, Pak Surya sudah membuka matanya.”Aku memegang. Bukan karena tak senang, tapi karena aku sudah berprasangka buruk terhadap Mama.Astaghfirullah.Urusan dengan Mama akan kuurus nanti setelah Papa benar-benar pulih. Aku yakin Mama juga mungkin akan memakluminya.Setelah memastikan kondisi Papa stabil, dokter akan memindahkan Papa ke ruang rawat inap. Setelah itu, barulah kami boleh menemuinya. “Pa,” lirihku setelah dokter memperbolehkan aku menemui Papa.Papa tersenyum sembari melambaikan tangan ke arahku. Segera mendekat, aku mencium tangan Papa takzim, sementara Pak Rully masih menunggu di luar ruangan.“Kamu nggak pernah makan?” tanya Papa dengan suara parau.Aku tertawa. “Kamu kurus sekali. Apa selama tinggal dengan Mamamu, dia tak memberimu makan?” tanya Papa lagi.Aku menggeleng. “Maafkan Sabia, Pah.”“Papa senang kamu baik-
“Kalian pacaran?”Aku dan Kukuh saling melempar pandangan lalu menunduk bersama. Kami sudah seperti anak muda yang sedang terkena cinta monyet. Sabia tertawa mengejek. Suasana seperti ini tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Siapa yang menyangka jika sakitnya Papa akan membuat kecanggungan aku dan Sabia sedikit mengikis. “Gue mau ketemu Papa,” ucapku menghindari tatapan meminta penjelasan dari Sabia.“Gue juga,” kata Kukuh.Sabia mengumpat kesal. Kami yang seperti ini seperti anak kecil yang berebut mainan. Senang sekali rasanya, kami tertawa bersama. Suasana rumah sakit padahal sudah sepi karena sudah larut malam. Tapi bagi kami seolah tak masalah dengan keadaan, tetap tertawa bersama. Hingga kami masuk ke dalam ruangan Papa sedikit tertegun dengan pemandangan di depan mata.Papa, sedang tertawa bersama Pak Rully. Aku melirik Sabia yang juga menatap tak percaya. Pandai sekali lelak
“Bi.” Aku membuka mata saat ada yang menyebut namaku. Aku melonjak ketika wajah Pak Rully hanya berjarak sepuluh senti dari wajahku. “Bapak ngapain?!” aku menyilangkan kedua tangan di depan dada.Apa dia sudah tak sabar anu? Astaghfirullah. Di rumah sakit saja berani mau macam-macam, apalagi nanti kalau sudah menikah?Bisa—aku menggelengkan kepala tak sanggup membayangkan. Kepalaku di dorong oleh Pak Rully“Mikir apa kamu Sabia?” Pak Rully menatapku kesal.“Bapak yang ngapain dekat-dekat saya? Astaghfirullah, Pak, belum halal, Pak. Sabar.”“Jadi kamu mau saya halalin?”“Ya, mau, lah.” Aku membekap mulutku sendiri dengan tangan begitu sadar dengan apa yang kuucapkan barusan.Keceplosan!Ya ampun Sabia, jaga image. Jadi perempuan harus pura-pura jual mahal.Aku menggetok kepalaku sendiri.“Ya, sudah, ayo!”
“Dari mana Sabrina mendapatkan obat ini?” tanyaku dengan perasaan kalut.Apa begitu berat masalah hidupnya sampai harus mengonsumsi obat haram ini? Astaghfirullah, Sabrina.Apa video itu penyebabnya? Atau karena Mama yang terus memaksanya melakukan hal yang tak ia sukai?Akting dan kegiatan lain yang membuatnya tertekan.“Sabia,” panggil Pak Rully lirih. “Sebaiknya kita tanyakan langsung saja pada Sabrina.”Aku bergeming. Berpikir bagaimana caranya untuk sedikit meringankan beban Sabrina. Bagaimanapun juga dia kembaranku, walaupun hubungan kami tak baik, dia satu-satunya saudara yang kupunya. Seperti yang Papa ucapkan berkali-kali. Kelak kami akan saling membutuhkan, dan kini Sabrina tengah membutuhkanku.“Sabia.”“Pak, apa berbicara di depan kamera itu sulit?” tanyaku membuat Pak Rully menautkan alisnya.“Saya sudah memutuskan—““Sabia—“
Aku masuk ke ruangan Papa tak lama setelah kepergian Sabia. Entah kenapa hatiku panas ketika Kukuh dan Pak Rully berebut menawarkan diri untuk mengantar pulang kembaranku itu.Kalau Pak Rully sih, silakan saja. Kalau Kukuh? Jelas aku merasa cemburu. Bahkan dia tak sadar ketika aku menatapnya kesal. Dasar tak peka!Untunglah Sabia memilih Pak Rully yang mengantarnya. Aku tak berbicara apa pun padanya setelah kejadian itu. Biarkan saja dia introspeksi diri. Beraninya mengucap cinta padaku tapi masih berniat mengantar Sabia pulang.Ya, walaupun mereka berteman, setidaknya hargai posisiku.“Pa,” lirihku mengeluh punggung tangannya yang terasa sedikit hangat. “ternyata seperti ini rasanya cemburu.”Dulu aku merasa cemburu pada Sabia yang dekat dengan Papa, seorang aku cemburu Sabia dekat dengan Kukuh. “Dia bilang suka sama aku, tapi dia masih mendekati Sabia. Aku tahu mereka sudah berteman
“Gue ingat, Bi.”Aku menatap antusias pada Sabrina. “Lu curiga seseorang?”Sabrina mengangguk. “Siapa?”Sabrina terdiam, menatapku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan. Lalu menggeleng. Aku mengernyit.“Lupakan,” katanya.“Bri?”Entah kenapa aku merasa Sabrina menyembunyikan sesuatu. Apa sebenarnya yang terjadi?“Nggak usah diperpanjang,” kata Sabrina sambil menunduk. “Nanti juga bakal hilang sendiri kok, beritanya.”Aku menatapnya kecewa. Bukan soal hilang atau tidaknya berita itu, tapi aku hanya ingin menjaga nama baik Mama dan Sabrina. Apa dia tidak mengerti itu?Netizen juga tak akan respek lagi dengannya, kenapa Sabrina begitu menggampangkan masalah ini?“Bri, nggak bisa gitu, dong. Ini harus segera diselesaikan.”Mata Sabrina tampak menerawang, lalu tersenyum tipis. “Biar gue yang urus,” katanya lalu duduk di kursi.Tangannya memijit kedua pelipisnya. Aku mencoba mendekatinya.“Bri,” lirihku.“Tolong hargai keputusan gue.”Aku bergeming menatap Sabrina penuh tanya. Teka t