Share

Bab III. Keputusan

“Saya ... saya laki-laki yang harus dimintai tanggung jawabnya oleh Arisha.”

Seketika sebuah dentuman kencang terdengar cukup keras membuat semua yang ada di ruang tamu terkejut dibuatnya. Suara kencang itu berasal dari meja kayu yang di gebrak dengan kencang oleh pria paruh baya yang kini dadanya sedang naik turun karena sebegitu emosinya. Ia seketika terasa sangat marah saat mendengar apa yang Ilham ucapkan sebelumnya.

“Maksud kamu apa, Mas?” Bukan sang ayah yang bertanya tetapi, Kian sendirilah yang mempertanyakan apa maksud dari perkataan calon suaminya itu.

“Kamu jangan bercanda ya, Ilham! Kamu itu calon suami dari Kian dan beberapa hari lagi kalian akan melaksanakan pernikahan!” seru calon ayah mertuanya itu geram.

“Maaf, tapi memang benar saya laki-laki yang harus bertanggung jawab. Saya siap menikahi Arisha,” ujar Ilham dengan berani.

“Terus aku gimana, Mas? Aku gak mau berbagi suami, lagi pula kenapa harus kamu yang harus bertanggung jawab? Belum tentu itu anak kamu. Ini gak masuk akal, Mas. Aku gak terima!” seru Kian meluapkan emosinya yang seketika dirangkul oleh sang mama yang mencoba menenangkannya.

“Apa maksudnya ini, Arisha? Apa kamu menggoda calon kakak ipar kamu sendiri? Apa kamu memang sengaja untuk menghancurkan rencana pernikahan kakak kamu?” tanya sang mama kesal.

Arisha menggelengkan kepalanya dengan cepat, masih dengan air matanya yang mengalir deras. Ia sendiri tidak mau ini terjadi. Bahkan, pengakuan calon kakak iparnya itupun di luar dugaannya. Arisha sama sekali tidak akan bilang Ilham yang harus bertanggung jawab tetapi, Ilham sendirilah yang mengungkapkan fakta itu.

“Aku gak bermaksud, aku ... aku gak gitu,” jawab Arisha tebata, ia tidak tau lagi harus berkata apa.

Kian tidak bisa menahan emosinya saat mendengar jawaban Arisha. Kakinya melangkah dengan cepat ke arah Arisha. Saat sudah berada tepat di depannya, Kian melayangkan tangannya membuat suara renyah berhasil tercipta dari tamparannya yang cukup keras di pipi Arisha.

Ilham membelalakan matanya tidak percaya dengan apa yang Kian perbuat pada Arisha. Sementara Arisha, ia hanya bisa pasrah saat merasakan pipinya mulai berdenyut nyeri disertai panas setelah mendapat sebuah tamparan keras dari kakaknya. Ia sendiri merasa kalau ia memang pantas mendapatkannya.

“Dari awal kamu datang ke rumah ini udah aku duga kalau kamu pasti akan buat banyak masalah buat hidup aku! Dan sekarang benar terbukti, ‘kan? Dasar wanita Jalang!” seru Kian murka.

“Cukup, Kian! Bukan Arisha yang salah!” timpal Ilham menarik Kian untuk menjauh dari Arisha.

“Terus siapa? Kamu yang salah!?” geram ayah marah.

“Saya yang salah, maka dari itu saya yang harusnya bertanggung jawab,” ujar Ilham lagi dan lagi berbicara dengan konteks yang sama kalau ia yang harusnya bertanggung jawab.

“Kian, maaf, biarkan Arisha menggantikan kamu di hari pernikahan kita,” imbuh Ilham membuat hati Kian semakin sesak dibuatnya.

“Kamu jangan seenaknya, Ilham! Kamu mau mempermalukan keluarga kami? Undangan sudah tersebar dengan nama Kian!” seru calon mama mertuanya yang terkejut dengan apa yang Ilham katakan.

Suasana sore yang awalnya hangat itu benar-benar menjadi kacau dan tidak nyaman. Arisha berharap apa yang sedang terjadi saat ini hanyalah mimpi belaka. Namun, tidak bisa ia pungkiri kalau semua ini nyata adanya.

“Oke.”

Kedua orang tua Arisha dan Kian menoleh ke arah Kian saat mendengar jawaban singkat dari anaknya itu. Begitu juga dengan Arisha, ia yang tadinya menunduk kini menengadahkan kepalanya menatap Kian tidak percaya. Bagaimana bisa Kian dengan mudahnya setuju setelah sebelumnya protes begitu hebatnya.

“Kian, kamu serius?” tanya sang ayah memastikan.

Kian tampak mengangguk sambil menatap lantai di bawahnya. Wajahnya tampak sedih dan juga kecewa. Arisha merasa sangat bersalah karena itu, ia merasa tidak tega untuk menggantikan kakaknya nanti.

“Aku ... aku gak mau, aku gak bisa,” ujar Arisha lirih. Matanya menatap dengan tatapan memohon pada Ilham. Ia ingin meyakinkan kalau ia benar-benar tidak mau.

“Keputusan saya sudah final, saya minta maaf. Lagi pula pernikahan saya dan Kian hanya sebatas hubungan bisnis, bisnis kita masih bisa berlanjut setelah saya dan Arisha menikah karena Arisha salah satu anak Anda juga,” balas Ilham yang terdengar seenaknya.

“Tidak seharusnya kamu bicara begitu, Mas.” Kini Arisha memberanikan diri untuk menegur. Ucapan Ilham terdengar kurang pantas menurutnya, selain itu, ia juga tidak mau menghancurkan lebih dalam lagi perasaan sang kakak.

“Gak apa-apa, apa yang Mas Ilham bilang itu memang benar. Kalian nikah aja, aku gak apa-apa kalau posisinya digantikan sama Arisha. Lagi pula, Arisha sudah hamil duluan. Dan kalau memang benar Mas Ilham yang menghamili, aku bisa apa?” balas Kian yang tampak tegar sekarang.

Sesak di dada Arisha sekarang benar-benar terasa hebat. Ia tidak menyangka kakak tirinya itu rela posisinya digantikan olehnya. Dan posisi di sini adalah sebagai pengantin yang kelak akan menjadi istri dari Ilham, bukan posisi yang sederhana.

“Masalah selesai, ‘kan? Aku mau balik ke kamar,” ujar Kian yang kini melangkahkan kakinya pergi dari ruang tamu ke kamarnya.

Kepergian Kian langsung disusul sang mama yang tampak khawatir dan juga cemas terhadapnya. Sementara sang ayah, ia menatap marah pada Arisha membuat Arisha hanya bisa menunduk diam. Ia tau, ia sangat salah membuat Arisha berpikir memang seharusnya ia tidak pernah datang ke rumah itu.

“Kalian sangat mengecewakan,” desis sang ayah yang pergi meninggalkan Arisha dan Ilham di ruang tamu.

***

Sebuah hotel bintang lima menjadi sebuah tempat yang ramai pagi ini. Hal itu karena tepat di hari ini adalah hari di mana Ilham seharusnya menikahi Kian tetapi karena keadaan, Ilham malah akan menikahi Arisha sebagai ganti Kian. Sebuah pergantian posisinya yang sangat tidak adil untuk Kian sebenarnya.

Orang-orang tampak sibuk berlalu lalang dengan tugas dan pekerjaannya masing-masing. Sementara Ilham sedang menyembunyikan rasa gugupnya dengan cara memakan sarapan miliknya pagi ini di ruang rias pengantin pria. Ia ditemani oleh seorang teman laki-laki sekaligus asisten pribadinya.

Sebuah pakaian pengantin khas Sunda berwarna putih telah Ilham kenakan tak luput juga sebuah bendo berfungsi sebagai penutup kepala. Tidak lupa ditambahkan keris yang melambangkan kejantanan seorang laki-laki sekaligus boro sarangka yang berfungsi sebagai tempat menyimpan keris yang berada di pinggang.

“Gimana perasaannya, Pak Ilham? Udah siap? Kalau udah, kita langsung mulai aja. Pengantin perempuannya juga udah datang.”

Ilham menganggukkan kepalanya dengan mantap. Ia segera bergegas untuk melangsungkan akad pernikahannya dengan Arisha. Entah kenapa, ia merasa gugup dan juga senang walaupun masih terasa sedikit samar-samar.

Saat Ilham dan asistennya itu berdiri dari duduknya. Ada salah seorang staff yang menangani pernikahan Ilham datang mengahampiri. “Pengantin pria sudah siap?” tanyanya. Ilham kembali menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

“Baik, tapi sebelum itu saya terima surat dari seorang gadis untuk pengantin pria,” imbuh staff itu memberikan sebuah amplop berisi secarik surat.

Mata Ilham membelalak saat membaca surat tersebut. “Cari Arisha, dia pergi,” perintah Ilham pada asistennya dengan tegas. Surat itu berisi sebuah kalimat perpisahan dan juga permohonan maaf Arisha padanya. Dan terlebih lagi diakhir kalimat, gadis itu menulis kalau anak yang sedang di kandungnya itu bukanlah anak mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status