“Saya ... saya laki-laki yang harus dimintai tanggung jawabnya oleh Arisha.”
Seketika sebuah dentuman kencang terdengar cukup keras membuat semua yang ada di ruang tamu terkejut dibuatnya. Suara kencang itu berasal dari meja kayu yang di gebrak dengan kencang oleh pria paruh baya yang kini dadanya sedang naik turun karena sebegitu emosinya. Ia seketika terasa sangat marah saat mendengar apa yang Ilham ucapkan sebelumnya.
“Maksud kamu apa, Mas?” Bukan sang ayah yang bertanya tetapi, Kian sendirilah yang mempertanyakan apa maksud dari perkataan calon suaminya itu.
“Kamu jangan bercanda ya, Ilham! Kamu itu calon suami dari Kian dan beberapa hari lagi kalian akan melaksanakan pernikahan!” seru calon ayah mertuanya itu geram.
“Maaf, tapi memang benar saya laki-laki yang harus bertanggung jawab. Saya siap menikahi Arisha,” ujar Ilham dengan berani.
“Terus aku gimana, Mas? Aku gak mau berbagi suami, lagi pula kenapa harus kamu yang harus bertanggung jawab? Belum tentu itu anak kamu. Ini gak masuk akal, Mas. Aku gak terima!” seru Kian meluapkan emosinya yang seketika dirangkul oleh sang mama yang mencoba menenangkannya.
“Apa maksudnya ini, Arisha? Apa kamu menggoda calon kakak ipar kamu sendiri? Apa kamu memang sengaja untuk menghancurkan rencana pernikahan kakak kamu?” tanya sang mama kesal.
Arisha menggelengkan kepalanya dengan cepat, masih dengan air matanya yang mengalir deras. Ia sendiri tidak mau ini terjadi. Bahkan, pengakuan calon kakak iparnya itupun di luar dugaannya. Arisha sama sekali tidak akan bilang Ilham yang harus bertanggung jawab tetapi, Ilham sendirilah yang mengungkapkan fakta itu.
“Aku gak bermaksud, aku ... aku gak gitu,” jawab Arisha tebata, ia tidak tau lagi harus berkata apa.
Kian tidak bisa menahan emosinya saat mendengar jawaban Arisha. Kakinya melangkah dengan cepat ke arah Arisha. Saat sudah berada tepat di depannya, Kian melayangkan tangannya membuat suara renyah berhasil tercipta dari tamparannya yang cukup keras di pipi Arisha.
Ilham membelalakan matanya tidak percaya dengan apa yang Kian perbuat pada Arisha. Sementara Arisha, ia hanya bisa pasrah saat merasakan pipinya mulai berdenyut nyeri disertai panas setelah mendapat sebuah tamparan keras dari kakaknya. Ia sendiri merasa kalau ia memang pantas mendapatkannya.
“Dari awal kamu datang ke rumah ini udah aku duga kalau kamu pasti akan buat banyak masalah buat hidup aku! Dan sekarang benar terbukti, ‘kan? Dasar wanita Jalang!” seru Kian murka.
“Cukup, Kian! Bukan Arisha yang salah!” timpal Ilham menarik Kian untuk menjauh dari Arisha.
“Terus siapa? Kamu yang salah!?” geram ayah marah.
“Saya yang salah, maka dari itu saya yang harusnya bertanggung jawab,” ujar Ilham lagi dan lagi berbicara dengan konteks yang sama kalau ia yang harusnya bertanggung jawab.
“Kian, maaf, biarkan Arisha menggantikan kamu di hari pernikahan kita,” imbuh Ilham membuat hati Kian semakin sesak dibuatnya.
“Kamu jangan seenaknya, Ilham! Kamu mau mempermalukan keluarga kami? Undangan sudah tersebar dengan nama Kian!” seru calon mama mertuanya yang terkejut dengan apa yang Ilham katakan.
Suasana sore yang awalnya hangat itu benar-benar menjadi kacau dan tidak nyaman. Arisha berharap apa yang sedang terjadi saat ini hanyalah mimpi belaka. Namun, tidak bisa ia pungkiri kalau semua ini nyata adanya.
“Oke.”
Kedua orang tua Arisha dan Kian menoleh ke arah Kian saat mendengar jawaban singkat dari anaknya itu. Begitu juga dengan Arisha, ia yang tadinya menunduk kini menengadahkan kepalanya menatap Kian tidak percaya. Bagaimana bisa Kian dengan mudahnya setuju setelah sebelumnya protes begitu hebatnya.
“Kian, kamu serius?” tanya sang ayah memastikan.
Kian tampak mengangguk sambil menatap lantai di bawahnya. Wajahnya tampak sedih dan juga kecewa. Arisha merasa sangat bersalah karena itu, ia merasa tidak tega untuk menggantikan kakaknya nanti.
“Aku ... aku gak mau, aku gak bisa,” ujar Arisha lirih. Matanya menatap dengan tatapan memohon pada Ilham. Ia ingin meyakinkan kalau ia benar-benar tidak mau.
“Keputusan saya sudah final, saya minta maaf. Lagi pula pernikahan saya dan Kian hanya sebatas hubungan bisnis, bisnis kita masih bisa berlanjut setelah saya dan Arisha menikah karena Arisha salah satu anak Anda juga,” balas Ilham yang terdengar seenaknya.
“Tidak seharusnya kamu bicara begitu, Mas.” Kini Arisha memberanikan diri untuk menegur. Ucapan Ilham terdengar kurang pantas menurutnya, selain itu, ia juga tidak mau menghancurkan lebih dalam lagi perasaan sang kakak.
“Gak apa-apa, apa yang Mas Ilham bilang itu memang benar. Kalian nikah aja, aku gak apa-apa kalau posisinya digantikan sama Arisha. Lagi pula, Arisha sudah hamil duluan. Dan kalau memang benar Mas Ilham yang menghamili, aku bisa apa?” balas Kian yang tampak tegar sekarang.
Sesak di dada Arisha sekarang benar-benar terasa hebat. Ia tidak menyangka kakak tirinya itu rela posisinya digantikan olehnya. Dan posisi di sini adalah sebagai pengantin yang kelak akan menjadi istri dari Ilham, bukan posisi yang sederhana.
“Masalah selesai, ‘kan? Aku mau balik ke kamar,” ujar Kian yang kini melangkahkan kakinya pergi dari ruang tamu ke kamarnya.
Kepergian Kian langsung disusul sang mama yang tampak khawatir dan juga cemas terhadapnya. Sementara sang ayah, ia menatap marah pada Arisha membuat Arisha hanya bisa menunduk diam. Ia tau, ia sangat salah membuat Arisha berpikir memang seharusnya ia tidak pernah datang ke rumah itu.
“Kalian sangat mengecewakan,” desis sang ayah yang pergi meninggalkan Arisha dan Ilham di ruang tamu.
***
Sebuah hotel bintang lima menjadi sebuah tempat yang ramai pagi ini. Hal itu karena tepat di hari ini adalah hari di mana Ilham seharusnya menikahi Kian tetapi karena keadaan, Ilham malah akan menikahi Arisha sebagai ganti Kian. Sebuah pergantian posisinya yang sangat tidak adil untuk Kian sebenarnya.
Orang-orang tampak sibuk berlalu lalang dengan tugas dan pekerjaannya masing-masing. Sementara Ilham sedang menyembunyikan rasa gugupnya dengan cara memakan sarapan miliknya pagi ini di ruang rias pengantin pria. Ia ditemani oleh seorang teman laki-laki sekaligus asisten pribadinya.
Sebuah pakaian pengantin khas Sunda berwarna putih telah Ilham kenakan tak luput juga sebuah bendo berfungsi sebagai penutup kepala. Tidak lupa ditambahkan keris yang melambangkan kejantanan seorang laki-laki sekaligus boro sarangka yang berfungsi sebagai tempat menyimpan keris yang berada di pinggang.
“Gimana perasaannya, Pak Ilham? Udah siap? Kalau udah, kita langsung mulai aja. Pengantin perempuannya juga udah datang.”
Ilham menganggukkan kepalanya dengan mantap. Ia segera bergegas untuk melangsungkan akad pernikahannya dengan Arisha. Entah kenapa, ia merasa gugup dan juga senang walaupun masih terasa sedikit samar-samar.
Saat Ilham dan asistennya itu berdiri dari duduknya. Ada salah seorang staff yang menangani pernikahan Ilham datang mengahampiri. “Pengantin pria sudah siap?” tanyanya. Ilham kembali menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
“Baik, tapi sebelum itu saya terima surat dari seorang gadis untuk pengantin pria,” imbuh staff itu memberikan sebuah amplop berisi secarik surat.
Mata Ilham membelalak saat membaca surat tersebut. “Cari Arisha, dia pergi,” perintah Ilham pada asistennya dengan tegas. Surat itu berisi sebuah kalimat perpisahan dan juga permohonan maaf Arisha padanya. Dan terlebih lagi diakhir kalimat, gadis itu menulis kalau anak yang sedang di kandungnya itu bukanlah anak mereka.
Arisha melirik jam di tangannya, sudah waktunya, pikir Arisha. Namun, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya saat ini. Salah satu pekerjanya tidak bisa masuk kerja hari ini membuat Arisha harus turun tangan karena orderan yang begitu banyak masuk.Arisha mengambil ponselnya dan mencari satu nama di kontaknya. Setelah ia menemukannya, Arisha segera membuat panggilan telepon dengan orang tersebut. Tidak lama Arisha menunggu paggilan teleponnya dijawab, suara seorang wanita di seberang sana terdengar olehnya.“Halo, Bunga. Maaf, aku boleh minta tolong sama kamu? Ada orderan katering masuk dalam jumlah besar, salah satu pekerja aku gak masuk jadi aku yang nanganin pekerjaan dia. Bisa bantu aku buat jemput si kembar? Atau kamu lagi sibuk?” tanya Arisha sambil harap-harap cemas.Sebuah senyum terlukis di wajahnya saat ia mendengar jawaban dari lawan bicaranya. Ia mendapat kabar baik kalau Bunga bisa menjemput si kembar di taman kanak-kanak hari ini. Kini Arisha bisa bernapas lega saat meng
Elgantara segera berbalik menatap Elrantya, sang adik, yang baru saja berteriak dengan kencang. Tentu saja ia tekejut sekaligus panik dibuatnya. Dan terlebih lagi wanita paruh baya yang ada dihadapannya juga sama terkejutnya seperti Tara.“Kenapa? Kamu kenapa?” tanya Tara pada sang adik dengan suara khas seorang anak kecil.“Itu, tadi ada serangga terbang,” jawab Tya sambil menutup matanya dengan kedua tangannya.Sontak Tara melihat sekitar, tapi ia tidak menemukan serangga yang dimaksud adiknya itu. Tara mengembuskan napasnya pelan, satu tangannya menggapai bahu sang adik. “Udah gak ada,” ujar Tara tenang.Tya menurunkan kedua tangannya dengan perlahan. Matanya melirik dengan hati-hati ke arah sekitarnya, takut-takut serangga yang ia lihat sebelumnya masih berterbangan disekitarnya. Sementara Tara kembali berbalik menghadap wanita paruh baya yang masih berada di hadapannya.“Ada perlu apa?” tanya Tara lagi tetapi kini terdengar sinis.Wanita paruh baya itu terlihat tersenyum dengan r
Arisha merasa kepalanya sedikit pusing. Namun, ia tidak mau lagi mengecewakan kedua anaknya yang sudah ia janjikan untuk makan malam di luar malam ini. Ia berdiri di depan wastafel ruang kerjanya, melihat pantulan wajahnya sendiri di cermin dan bisa ia lihat betapa pucat wajahnya.Untuk menutupi hal itu, Arisha mengambil beberapa alat rias di sebuah tas kecil miliknya. Ia memilih menutup wajah pucatnya itu dengan riasan yang sedikit lebih tebal dari biasanya agar bisa menutupi betapa pucat wajahnya. Terakhir, Arisha memoleskan sebuah lipstik berwarna merah bata di bibirnya.“Momi!” Arisha terperanjat saat mendengar suara anak perempuannya yang memanggilnya cukup kencang dari ruang kerjanya. Untung saja, lipstiknya itu tidak mencoret bagian wajah yang lain selain bibirnya.“Iya, sebentar, Sayang,” balas Arisha sambil membereskan semua alat riasnya kembali.“Ih, Mama lama banget. Tya udah laper!” keluh Tya yang terlihat cemberut.“Mama dandan dulu? Mama ‘kan udah cantik walaupun gak dan
Sebuah rumah sakit menjadi persinggahan Ilham malam ini. Masih dengan kedua anak kembar Arisha yang menangis, Ilham diam duduk menunggu para tenaga medis menangani Arisha di ruang gawat darurat. Ilham menatap kedua anak kembar yang wajahnya sudah memerah karena tangisannya. Ilham mengembuskan napasnya, merasa sangat tidak tega melihat keduanya seperti itu. Ia bangkit dari duduknya lalu bersimpuh tepat di depan sepasang anak kembar itu. Senyumnya terukir dengan indah, Ilham mengangkat tangannya untuk menggapai puncak kepala Elrantya dan mengusapnya lembut. Samar-samar, Tya menghentikan tangisnya dan menatap Ilham yang berada tepat di hadapannya. Ilham tersenyum lembut kearahnya. Namun, Ilham dibuat terkejut saat Tya menabrakan tubuhnya pada Ilham. Tangan kecil Tya memeluk leher Ilham dan tangisnya kembali terdengar. “Momi ... Momi kenapa, Om ...?” tanya Tya sambil menangis. Ilham membalas pelukan gadis kecil itu, ia mencoba untuk menenangkannya dengan mengusap
“Tara!” Tara dan Ilham menoleh ke asal sumber suara di mana Arisha kini sudah terbangun dan menatap ke arah mereka dengan tatapan yang tidak bisa mereka artikan.“Mama!”Tara melepas pelukannya pada Ilham dengan segera lalu ia berlari menghampiri ranjang di mana Arisha diam menatap mereka. Sementara Tya, ia sudah terlelap di samping sang ibu tanpa tau kalau Arisha sudah tersadar dari pingsannya. Ilham bangkit berdiri menatap Arisha yang juga menatapnya.Ada perasaan gelenyar di hatinya saat menatap mata sayu indah milik Arisha. Namun, Ilham juga menyadari kalau ia bisa melihat ada terselip tatapan ketakutan dan kekecewaan di mata perempuan yang selama ini selalu ia cari-cari keberadaannya. Terbesit sebuah pemikiran kalau pertemuan tidak sengaja ini adalah sebuah jalan yang sudah ditakdirkan agar dirinya dan Arisha bisa bertemu kembali.“Kamu sudah siuman?” tanya Ilham yang terdengar cukup bodoh.“Kenapa And
Arisha bisa mendengar suara pintu kamar inapnya dibuka oleh seseorang. Namun, Arisha memilih pura-pura tidur daripada melihat siapa yang datang ke kamarnya selarut ini tetapi ia menduga kalau yang datang adalah Ilham dan Tara. Derap langkah kaki yang dibalut dengan sebuah sepatu pantofel yang beradu dengan lantai keramik terdengar cukup kencang karena sunyinya ruang inap Arisha.Arisha merasa sedikit keheranan, kenapa hanya ada satu pasang suara derap langkah yang masuk ke dalam ruangannya? Kalau memang Ilham dan Tara yang datang, seharusnya ada suara Tara juga. Apa memang bukan Ilham dan anak laki-lakinya yang datang? Pikir Arisha dalam pejaman matanya.Sebuah pergerakan di kasurnya cukup terasa oleh Arisha. Mata Arisha sedikit ia buka untuk mengintip. Samar-samar ia bisa melihat seorang pria jangkung yang sedang mencoba dengan sangat hati-hati untuk memindahkan Tara yang tertidur di gendongannya ke sebelah Arisha.“Anak pintar,” gumam pria jangkung
Dengan tergesa, Arisha menuntun kedua anaknya di sisi kiri dan kanannya. Langit sudah gelap dan Arisha memutuskan untuk pergi dari rumah sakit di mana ia harus dirawat. Ia memilih pergi sebelum Ilham kembali datang menemui mereka kembali.Hal ini sudah Arisha rencanakan sedari pagi tadi. Dan waktu inilah waktu di mana Ilham pergi karena sebuah urusan yang dia bilang pada kedua anaknya kalau urusannya tidak bisa ia tunda dan tinggalkan. Bisa Arisha lihat saat Ilham meninggalkan anaknya dengan berat hati, tetapi, itulah saat-saat yang Arisha tunggu.“Kita mau ke mana, Mah? Momi ‘kan harusnya masih harus dirawat sama suster,” ujar Tya yang ia tuntun di sisi kanannya.Arisha tampak celingak-celinguk di depan lobi rumah sakit seakan mencari sosok yang ia tunggu. Sekaligus ia takut kalau-kalau ada Ilham datang. Akan gagal sudah acara kabur dari laki-laki itu bila Ilham tiba-tiba muncul, pikir Arisha.“Nanti kalau Pap ... eh, kalau Om Ilh
“Ada apa, Kian? Saya sedang banyak pekerjaan. Bila ingin sesuatu, katakan dengan jelas,” tegas Ilham saat mendengar suara manja dari sang istri di seberang sambungan teleponnya.Ilham sudah tau betul bagaimana sikap istrinya itu bila menginginkan sesuatu. Selalu terdengar manja dan menyebalkan. Dan yang menjengkelkan, Kian hanya menghubunginya jika ia menginginkan sesuatu. Tidak pernah Kian benar-benar mencarinya jika tidak punya suatu keinginan, itula hal yang paling memuakkan dari istrinya menurut Ilham.“Hehe ... Mas, kok nanyanya gitu, sih? Aku cuma kangen loh, udah dua hari gak lihat Mas,” balas Kian.“Kalau tidak ada yang penting, saya tutup teleponnya,” ancam Ilham yang semakin dibuat jengkel.“Eh, tunggu, Mas. Anu ... aku mau pergi ke Bali sama temen-temenku. Bole—”“Terserah, Kian. Lakukan apa yang kamu mau,” jawab Ilham dengan cepat memotong ucapan Kian ya