Share

Bab IV. Sebuah Nama

Arisha melirik jam di tangannya, sudah waktunya, pikir Arisha. Namun, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya saat ini. Salah satu pekerjanya tidak bisa masuk kerja hari ini membuat Arisha harus turun tangan karena orderan yang begitu banyak masuk.

Arisha mengambil ponselnya dan mencari satu nama di kontaknya. Setelah ia menemukannya, Arisha segera membuat panggilan telepon dengan orang tersebut. Tidak lama Arisha menunggu paggilan teleponnya dijawab, suara seorang wanita di seberang sana terdengar olehnya.

“Halo, Bunga. Maaf, aku boleh minta tolong sama kamu? Ada orderan katering masuk dalam jumlah besar, salah satu pekerja aku gak masuk jadi aku yang nanganin pekerjaan dia. Bisa bantu aku buat jemput si kembar? Atau kamu lagi sibuk?” tanya Arisha sambil harap-harap cemas.

Sebuah senyum terlukis di wajahnya saat ia mendengar jawaban dari lawan bicaranya. Ia mendapat kabar baik kalau Bunga bisa menjemput si kembar di taman kanak-kanak hari ini. Kini Arisha bisa bernapas lega saat mengetahui hal itu.

“Jam 11 ya, Bunga. Makasih banyak ya, aku ketolong banget. Kalau gak ada kamu, aku bisa keteteran,” imbuh Arisha merasa sangat bersyukur.

Setelah menutup sambungan teleponnya, Arisha kembali ke pekerjaannya. Ia menatap layar tipis komputer yang ada di hadapannya. Melihat lebih rinci lagi para konsumen yang menyewa jasa kateringnya.

Sudah kurang lebih lima tahun berlalu sejak kejadian dirinya pergi dari rumah sang ayah bersama janin yang ia kandung. Arisha memilih untuk melahirkan bayi yang ada dikandungannya. Walaupun ia harus menghidupi kedua anak kembarnya seorang diri, Arisha tetap gigih hingga akhirnya kini ia cukup sukses untuk membangun sebuah usaha katering miliknya sendiri.

“Bu, daftar konsumen yang baru udah saya kirim ke email kantor. Saya seneng deh, Bu. Kayaknya katering Ibu semakin dikenal banyak orang,” ujar salah satu pegawainya yang datang menghampirinya.

Arisha menatap sekilas dan tersenyum lalu mengangguk paham. “Iya, alhamdulillah. Oh iya, makasih ya, kamu bisa tolong sekalian urus yang pesen katering menu diet. Kasih datanya ke bagian ahli gizi,” ujar Arisha yang seketika diangguki oleh pegawainya.

“Baik, Bu,” ujar pegawainya itu seraya berlalu pergi.

Tak bisa Arisha pungkiri, ia memang merasa sangat senang dengan banyaknya orang yang mulai mengenal usaha kateringnya. Itu karena Arisha selalu memanjakan konsumen yang ada, ia juga sangat profesional dan ramah membuat konsumen yang datang merasa nyaman sehingga menyebar luaskan dari mulut ke mulut tentang usahanya. Arisha merasa bangga pada dirinya sendiri, ia cukup bahagia terlebih dengan adanya dua anak kembarnya yang menggemaskan.

Arisha kembali pada komputer yang ada di hadapannya. Ia membuka daftar konsumen baru yang dikirim oleh pegawainya tadi. Begitu banyak pesanan yang masuk membuat Arisha tersenyum puas dan bersemangat.

Tatapan mata Arisha fokus pada satu pesanan katering yang jauh lebih banyak dari sebelumnya. Baru kali ini ia menerima pesanan dalam jumlah sebanyak ini. “Alhamdulillah,” gumamnya tersenyum senang.

Namun, baru saja senyumnya terpatri di wajahnya, kini Arisha mengubah ekspresi wajahnya. Matanya membelalak saat melihat nama sang pemesan. Ilham ... Ilham Putra Arindama. Arisha merasakan dadanya seketika sesak, tangannya bergetar dan seketika menutup mulutnya sendiri saat membaca nama itu.

Nama Ilham di dunia ini memang tidak hanya satu. Tapi nama belakang Ilham yang membuatnya hanya ada satu-satunya di dunia, seharusnya. Sebuah nama yang besar dan terkenal di dunia bisnis. Arisha sendiri selalu berusaha untuk menghindari nama laki-laki itu. Nama ayah dari kedua anak kembarnya yang kini seharusnya tidak mengetahui keberadaannya.

“Nggak, aku gak mau bertemu dan berurusan dengan dia lagi,” gumamnya cemas.

Arisha bangkit dari duduknya, ia segera beranjak untuk mendatangi pegawainya yang tadi. Ia berniat akan menyuruhnya membatalkan atau menolak pesanan katering dari laki-laki itu. Sungguh ia tidak mau berurusan lagi dengannya.

“Aku liat sih yang pesen dalam jumlah banyak itu, namanya Ilham Arindama. Pengusaha terkenal yang bisa aja naikin katering ini jadi lebih berkelas. Kalau berhasil, kita juga pasti bisa dapet bonus dari Bu Icha. Gak sabar buat kirim uang ke keluarga di kampung.”

“Iya, aku juga pengen banget beliin handphone baru buat adik aku sekolah, semoga aja lancar. Gak apa-apa deh lembur atau kerjaan makin banyak, asalkan bisa dapet bonus. Bu Icha kalau kasih bonus suka banyak banget, bikin seneng kerja di sini.”

Arisha menghentikan langkah kakinya tepat di balik dinding ruangan kerja pegawainya. Arisha mendengar percakapan dua pegawainya yang sedang membahas pesanan dalam jumlah besar dari Ilham. Baru saja ia ingin membuat pengumuman kalau ia akan menolak pesanan dari Ilham, tetapi, saat mendengar percakapan pegawainya, Arisha jadi merasa dilema. Pegawainya itu sepertinya sangat antusias saat mendapat pesanan dalam jumlah besar.

Terdiam, hanya itu yang bisa Arisha lakukan. Ia tidak mungkin membuat para pegawainya kecewa dengan menolak pesanan dari Ilham. Kalau ia menolak karena masalah pribadinya, Arisha akan tampak tidak profesional kali ini.

“Eh, Bu Icha. Ada yang bisa saya bantu?” Arisha terkejut saat salah satu pegawainya yang keluar dari ruangannya seketika memergoki dirinya sedang melamun.

Arisha segera menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Buat pesanan atas nama Ilham Putra Arindama ... tolong kamu tangani, ya. Persiapkan dengan sebaik mungkin, jangan sampai ada yang salah,” ujar Arisha.

“Saya, Bu?” tanya pegawainya itu terkejut.

“Iya, saya percayakan sama kamu. Biar kerjaan kamu dialihkan ke saya, tenang, saya pasti kasih kamu bonus lebih,” jawab Arisha.

Pegawainya itu segera mengangguk dan tersenyum senang. “Baik, Bu. Makasih banyak, saya akan kerjakan dengan sebaik mungkin,” balas pegawainya itu terlihat antusias membuat Arisha kembali tersenyum.

Senang rasanya bisa membuat para pekerjanya tersenyum senang seperti itu, pikir Arisha. Ia hanya bisa berharap kalau keputusannya ini tidak akan membuat ia bertemu dengan Ilham kelak. Arisha hanya takut Ilham tau keberadaan anaknya dan mengambil hak asuh si kembar darinya nantinya.

***

Seorang bocah laki-laki yang sedang mendorong pelan ayunan yang diduduki adiknya menangkap satu pergerakan yang membuat matanya memicing ke arah seseorang. Seorang wanita paruh baya tengah memperhatikan dirinya dan adiknya dengan begitu intens membuat dirinya merasa harus waspada. Terlebih saat wanita paruh baya itu mulai berjalan mendekat ke arah mereka berdua.

“Tara, kenapa udahan ngedorongnya?” tanya adik perempuannya keheranan saat melihat sang kakak kini berdiri membelakanginya.

“Ish, Tara! Dorongin lagi,” pinta Tya sang adik kembar menarik-narik tangan Tara pelan.

Karena sang kakak tidak menanggapinya, akhirnya Tya mendorong sendiri ayunannya dengan pelan menggunakan kakinya. “Nyebelin,” gumam Tya sebal.

“Ada perlu apa ya?” Tara mendongakan kepalanya menatap wanita paruh baya yang sedari tadi memperhatikannya akhirnya kini benar-benar datang menghampiri mereka. Tya melihat sekilas dan tidak begitu memedulikannya. Ia fokus mengayunkan ayunannya pelan agar sang kakak tidak tertabrak olehnya.

Tara bisa melihat wanita paruh baya itu tersenyum ramah walaupun ia tau kalau Tara menatapnya sinis. Entah, Tara hanya takut kalau wanita paruh baya ini menculik mereka berdua yang sedang menunggu jemputan. Ia teringat dengan pesan yang mamanya sampaikan padanya untuk menjaga adik perempuannya di manapun mereka berada.

Tya menghentikan laju ayunannya dan menatap Tara dan wanita paruh baya itu secara bergantian. Ia bisa merasakan kalau kakaknya itu sangat waspada dan curiga pada wanita paruh baya tersebut. Beberapa saat kemudian, terdengar suara teriakan anak perempuan tersebut menggema.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status