“Arisha, sini.”
Arisha berjalan dengan lesu saat memasuki rumahnya. Tujuan awalnya Arisha berniat untuk masuk dan mengurung diri di dalam kamarnya seperti biasa. Hanya saja, baru saja ia melangkah masuk ke dalam rumahnya, sudah ada Ilham dan Kian serta kedua orang tuanya yang sedang mengobrol di ruang tamu.
Arisha menoleh saat mendengar namanya dipanggil oleh sang ayah. Tatapannya datar melihat ke arah Ilham yang juga tengah menatapnya. Ada sedikit rasa sesak yang ia rasakan di hatinya saat melihat manik mata lelaki itu, mengingat karena laki-laki itulah kini ia harus merasakan penat di kepalanya.
“Kamu kok lemes gitu? Udah makan? Sini duduk, kita lagi bahas pernikahan kakak kamu yang akan berlangsung beberapa hari lagi,” ujar sang ayah menyuruhnya untuk bergabung bersama mereka.
Dengan ragu, kakinya melangkah mendekat ke arah mereka yang kembali berbincang. Arisha duduk di bagian sofa yang kosong di sebelah sang ibu. Pandangannya tertunduk, jari jemarinya ia mainkan dengan saling menautkannya satu sama lain. Bisa dilihat kalau gadis itu terlihat tidak begitu nyaman di sana.
“Arisha,” panggil sang ayah membuat kepalanya terangkat.
“Kamu keliatan kurang sehat, kamu lagi gak enak badan?” imbuh sang ayah yang menyadari kalau salah satu anaknya itu terlihat lebih murung dari biasanya. Hal itu mampu membuat semua yang ada di ruang tamu itu menatap ke arahnya.
Arisha menggigit bibir bawahnya lalu ia menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Gak apa-apa, kok, Pah,” jawab Arisha.
“Mungkin Arisha capek, Pah,” timpal Kiannisa, sang kakak.
Arisha tampak menundukan kembali kepalanya, matanya menatap ke arah jari jemarinya yang ia tautkan. Dering ponsel menganggetkan mereka yang ada di sana. Arisha segera terperanjat saat menyadari kalau ternyata ponselnya lah berbunyi kencang.
“Ma-maaf,” ujar Arisha yang merasa tidak enak karena nada dering ponselnya cukup mengganggu. Namun, ia merasa bersyukur karena dengan adanya telepon itu membuat Arisha bisa terbebas dari suasana yang tidak nyaman karena berada dekat dengan calon kakak iparnya.
“Aku permisi angkat telepon dulu ya,” pamit Arisha saat tangannya berhasil menemukan ponselnya yang masih berada di dalam tasnya.
Ia bangkit dari duduknya sambil mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Tak sadar, ada sesuatu yang ikut mencuat sehingga jatuh ke lantai. Arisha yang sudah menempelkan ponselnya pada telinga dan berbalik pegi pun tidak menyadari hal itu sama sekali.
Namun, sang ibu menyadari hal tersebut lalu segera mengambil benda yang jatuh itu. “Arisha,” panggil sang ibu dengan satu tangan menutup mulutnya seakan tidak percaya dengan benda apa yang ia lihat kini ada di tangannya. Arisha yang baru saja akan pergi dari sana menolehkan kepalanya ke arah sumber suara yang memanggilnya masih dengan ponselnya yang sudah ia tempelkan pada telinganya siap untuk berbincang dengan seseorang yang meneleponnya.
Mata Arisha seketika membulat saat melihat apa yang sang ibu pegang di tangannya. Melihat tingkah ibunya yang terkejut membuat sang ayah penasaran dengan apa yang di pegang oleh istrinya itu. Segera ayahnya pun merebut benda kecil yang istrinya pegang sebelumnya membuat Arisha mematung. Ingin sekali ia memaki dirinya sendiri saat itu juga.
“Kamu ... hamil ...?” tanya sang ibu masih dengan keterkejutannya.
“Hah? Arisha hamil?” Kian yang mendengar ucapan sang ibu dibuat ikut terkejut. Tidak terkecuali dengan Ilham.
“APA MAKSUDNYA INI, ARISHA!?” bentak sang ayah yang segera bangkit dari duduknya sambil mempertanyakan testpack yang kini sudah ada di tangannya. Bentakan itu mampu membuat suasana di ruang tamu itu menjadi tegang terlebih mereka semua cukup terkejut karenanya.
Arisha mematung, ia tidak pernah memikirkan kalau dirinya akan ketahuan hamil secepat ini oleh kedua orang tuanya. Ia tidak tau harus melakukan apa kali ini, ia benar-benar tidak bisa berpikir saat itu juga. Saking bingungnya, ia hanya bisa mencoba meneguk ludahnya yang terasa sulit dan pahit.
“Apa maksudnya? Apa ini milik kamu, Arisha!?” seru sang ayah membentak Arisha lagi membuat ia menundukkan kepalanya.
“Jangan diam saja, Arisha. Beri kami semua penjelasan, testpack milik siapa ini? Kenapa ada di tas kamu?” tanya sang ibu yang menuntut penjelasan.
Tidak tau, Arisha benar-benar tidak tau harus menjawab apa. Dirinya benar-benar tertangkap basah sore itu. Ia tidak pernah mengira hal ini akan terjadi sebelumnya membuat Arisha tidak tau harus menjawab apa untuk semua pertanyaan yang menyudutkannya. Apakah ia harus berbohong?
“Jawab Papa, Arisha! Kamu saya bawa ke rumah ini bukan untuk membuat nama saya buruk ya, Arisha!” seru sang ayah yang terdengar tidak bisa mengontrol emosinya.
“Maaf ....”
Hanya kata itu yang bisa Arisha ucapkan setelah mendengar sang ayah menyeru kepadanya. Mendengar ucapan sang ayah, hatinya terasa seperti dicubit dengan kencang. Arisha tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap kedua orang tuanya kini, ia memilih menatap lantai keramik yang kini ia pijak.
“Apa maksudnya permintaan maaf kamu itu!? Jawab dengan benar, Arisha! Ini, alat tes kehamilan yang menunjukan dua garis ini milik siapa!?” tegas sang ayah yang mulai geram karena jawaban Arisha tidak membuat dirinya puas.
“Arisha! Jawab pertanyaan saya! Jadi benar kalau ini milik kamu!? Saya bawa kamu ke rumah ini karena kasihan, kamu tau!? Apa ini balasannya!?” seru sang ayah yang semakin mengeluarkan warnanya setelah ia terbakar emosi.
Seperti tersambar petir, Arisha bisa merasakan hatinya berkedut nyeri. Air matanya sudah mulai merembes keluar mengalir di pipinya. Apa yang sang ayah katakan padanya sudah lebih dari cukup untuk membuat hatinya hancur. Bagaimana bisa seorang ayah mengatakan hal menyakitkan seperti itu pada anak kandungnya?
“Memang kamu sama seperti ibu kamu! Seharusnya kamu tinggal saja sama dia! Di sini kamu hanya bisa mencoreng nama baik saya! Dasar anak tidak tau diuntung!” seru ayahnya lagi melepas cengkraman tangannya pada Arisha dengan kasar membuat Arisha sedikit terdorong ke belakang.
Tangis Arisha kini terdengar keras. Ia tidak bisa menahannya, perkataan sang ayah padanya terlalu membuat hatinya terkoyak dan terluka. Wajah Arisha kini memerah karena tangisnya. Semua terdiam, Kian, sang ibu dan juga Ilham, mereka sama-sama diam. Kian dan mamanya masih menutup mulutnya karena merasa tidak percaya, sementara Ilham? Ia hanya mematung dengan kedua tangannya yang mengepal dengan kuat.
“Siapa ayah dari bayi yang kamu kandung!? Minta tanggung jawab sama laki-laki itu dan pergi dari rumah ini, Arisha!” imbuh ayahnya yang sudah jelas maksud dari perkataannya itu adalah mengusir Arisha.
Arisha menggelengkan kepalanya, tangisnya kini semakin tidak bisa ia kendalikan. “Maaf, Pah, maafin Arisha. Jangan usir Arisha,” mohon Arisha sambil bergegas mendekat lalu memegang kedua tangan sang ayah yang langsung saja ditepis olehnya dengan kasar.
“Gila ya kamu, Arisha! Laki-laki mana yang jadi ayah dari anak kamu? Bukannya kamu selalu berganti pasangan, ‘kan?” tuduh Kian yang bicara seenaknya dengan niat memperkeruh suasana. Mendengar apa yang Kian ucapkan, Ilham kini menatapnya tidak percaya. Bagaimana bisa kakaknya itu malah memperkeruh suasana? Ilham tidak habis pikir dibuatnya.
Arisha menggelengkan kepalanya sebagai tanda kalau ia menyangkal apa yang Kian katakan. Selalu berganti pasangan? Sejauh ini, satu saja Arisha tidak punya, pikirnya.
“Saya gak mau tau, Arisha. Saya gak mau menganggap kamu sebagai anak saya lagi. Temui laki-laki yang menghamili kamu dan minta pertanggung jawaban darinya sendiri! Setelah itu, pergi dari sini! Saya gak sudi punya anak yang hanya bisa merusak nama baik saya dan keluarga!” tegas ayahnya murka.
“Kamu sangat keterlaluan loh, Arisha. Sudah enak hidup di sini, tapi balasan kamu malah mempermalukan keluarga ini. Kamu dan anak kamu hanya akan menjadi aib di keluarga ini, saya setuju dengan suami saya. Lebih baik kamu lekas keluar dari rumah ini,” imbuh sang ibu dengan sinis seakan ini adalah waktu yang ia dan Kian tunggu-tunggu.
Ingin sekali Arisha berkata kalau Ilham lah yang menodainya dan menyimpan benih yang sekarang berhasil tumbuh di rahimnya. Ya, Ilham calon kakak iparnya lah yang harus bertanggung jawab atas janin yang ada di rahimnya. Pada dasarnya ia memiliki sebuah pembelaan, tapi lidahnya kelu. Ia berpikir apa keluarganya itu akan percaya? Terlebih Ilham bisa saja menyangkalnya dan membuat Arisha seakan menuduhnya.
Kini Arisha hanya bisa menangis. Ia menyesal, seharusnya memang sedari awal ia tidak datang ke rumah ayahnya. Seharusnya ia tidak percaya pada laki-laki mana pun termasuk sang ayah yang memang pada dasarnya tidak memiliki rasa sayang padanya walaupun sedikit.
“Saya ... saya laki-laki yang harus dimintai tanggung jawabnya oleh Arisha.”
Semua yang ada di dalam ruangan itu membulatkan matanya ketika mendengar perkataan tersebut. Pandangan mata mereka segera dialihkan pada laki-laki yang berdiri menatap Arisha dengan tatapan datarnya.
Ketukan di pintu membuat Arisha tersadar dari keterkejutannya karena tawaran dari Ilham sebelumnya. Arisha menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu ia bangkit dari duduknya. “Masuk,” ujar Arisha.Ilham tampak merasa sedikit kecewa karena momen ia menyatakan tawarannya terganggu. Namun, wajahnya berubah saat ia melihat Tara dan juga Tya masuk ke dalam ruangan dengan antusias. Seketika Ilham tersenyum senang saat melihat sepasang anak kembar tersebut.“Mama!” seru Tya berlari kecil menghampiri Arisha.“Mama, tangannya jadi dibuntel,” ujar Tara tampak sedih melihat tangan Arisha yang terbalut perban.Arisha mencoba untuk tersenyum. Tangan satunya ia gunakan untuk mengelus lembut puncak kepala Tara. “Gak akan lama, kok. Nanti juga tangan Mama sembuh, Tara sama Tya doain Mama, ya?” balas Arisha.Tya yang mendengar itu segera merangkul tangan Ilham. “Papa, temenin kita ya buat jagain Mama,” pinta Tya pada Ilham membuat Ilham dan Arisha saling beradu pandang.“Kalian ini, ‘kan ada Tante Bun
“Saya denger dari Tara, waktu malam hari kamu terlihat kesal dan gelisah, Arisha. Jawab saya dengan jujur untuk kali ini, apa ada sesuatu yang mengganggu? Apa ada yang mengancam kamu dengan sesuatu?”Arisha terbatuk lalu dengan cepat Ilham menyuguhkan segelas air mineral. Setelah meminumnya, Arisha terdiam saat ia kembali mengingat kalau dirinya tidak diperbolehkan untuk dekat-dekat dengan Ilham. Benar, kenapa ia malah sangat dekat dengan Ilham sekarang? Pikir Arisha.“Mas, lebih baik kamu pergi. Jangan dekat-dekat sama aku dan kedua anak aku,” tegas Arisha yang tampak serius menatap Ilham.Ilham sedikit keheranan saat tiba-tiba Arisha berubah. Ia semakin curiga kalau Arisha mendapatkan sebuah teror yang mengancam bila berdekatan dengannya. Terlebih Ilham menyadari kalau Arisha sebenarnya tidak masalah dengan kehadirannya.“Arisha, jujur, apa ada seseorang yang meneror kamu? Jangan pendam hal tersebut sendirian. Terlebih kalau hal-hal buruk itu berhubungan dengan saya,” kata Ilham yan
Derung motor yang terdengar kencang pun melewat dengan cepat. Arisha tidak sempat untuk melangkah mundurkan kakinya membuat tangan kirinya sempat terkena senggolan motor berkecepatan tinggi yang sepertinya sang pengemudi sengaja melakukan hal tersebut. Teriakan kedua anak kembar Arisha bisa Arisha dengar dengan jelas saat dirinya terjatuh dengan rasa nyeri di bagian tangan.“Mama!”Arisha tampak meringis kesakitan. Tangannya bergetar entah karena rasa sakit atau terkejut. Tara dan Tya segera menghampiri sang ibunda dengan tangis yang mulai mereka ekspresikan. Beberapa orang yang melihat kejadian itu pun segera menghampiri Arisha untuk membantu.Arisha dibantu untuk berdiri dan berjalan ke sisi jalan. Tara dan Tya masih menangis karena terkejut dengan apa yang terjadi pada sang ibunda. Mereka duduk di sebuah kursi kayu yang ada di sebuah kios warung kecil yang berada di sisi jalan.“Arisha,” panggil seorang laki-laki membuat Arisha menengadahkan kepalanya.“Papa,” rengek Tara dan Tya b
Bunga kini menatap Arisha penuh tanya. Ia juga tidak begitu mengerti dengan apa yang ia baca pada secarik kertas yang ia pegang. Ia segera mendudukan diri di kursi yang berada di seberang meja kerja Arisha.“Mbak, ini maksudnya apa? Ilham siapa?” tanya Bunga sambil menggenggam tangan Arisha yang berada di atas meja.Bunga bisa melihat dengan jelas kalau Arisha sepertinya sedang merasa terguncang atas apa yang baru saja ia lihat. Sebuah buket bunga yang indah tetapi terdapat sesuatu yang mengancam di dalamnya. Siang itu, Arisha lagi dan lagi dibuat merasa terserang rasa panik karena ancaman-ancaman yang berasal dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun, ada sebuah keyakinan pada hati Arisha bila hal ini berhubungan dengan Ilham, dalang di balik semua ancaman yang ia terima selama ini kemungkinan besar adalah Kian, kakak tirinya.Arisha menggigit bibir bawahnya sambil menatap Bunga yang ada di depannya. Ia ingin menceritakan apa yang akhir-akhir ini ia alami. Namun, ada sedik
Siang itu, Ilham dan Arisha masih duduk berhadapan ditemani lagu pop yang diputar di kedai yang masih menjadi tempat Ilham dan Arisha tempati. Raut wajah Ilham tampak berkerut saat ini, rahangnya pun mulai menegas menatap tajam Arisha yang berada di hadapannya. Ia merasa apa yang Arisha katakan padanya adalah sebuah hal yang membuat ia semakin curiga jika Tara dan Tya adalah kedua anaknya.“Kenapa?” tanya Ilham terdengar dingin membuat Arisha menggigit bibir bawahnya saat menyadari hal tersebut.“Apa Tara dan Tya memang benar anak kandung saya?” imbuh Ilham membuat Arisha membelalakan matanya lalu menggeleng dengan cepat.“Tentu, bukan. Bukan, mereka bukan anak Anda,” balas Arisha dengan cepat dan terdengar gugup.“Apa kamu berani kalau saya meminta test DNA?” tanya Ilham menantang membuat Arisha merasa gelisah dibuatnya.“Jangan bicara sembarangan ya, Pak. Saya cuma minta Anda untuk tidak mengganggu kehidupan saya dan kedua anak saya. Tidak ada hubungannya dengan apa yang Anda kataka
Arisha terduduk, tangannya yang berada di atas meja saling menggenggam. Malam itu, langit malam yang gelap terasa kelam. Arisha memperhatikan bintang-bintang yang terlihat jarang di langit lewat kaca jendela besar tak bertirai di depannya.Ia sedang merasa resah, cemas, gelisah saat mengingat pertemuannya tadi dengan Roseline. Arisha tau betul siapa wanita itu. Seorang ibu dari Ilham, ayah kandung kedua anak kembarnya.Arisha takut, ia berpikir keras bagaimana bisa kedua anaknya bertemu dengan Roseline setelah sebelumnya bertemu dengan Ilham? Arisha sendiri sudah yakin kalau kota tempat ia tinggal kali ini aman dari mereka. Tapi apa yang ia dapat? Setelah Arisha pindah ke kota ini, ia malah bertemu ayah dan nenek dari kedua anaknya.Arisha mengembuskan napasnya dengan berat. Piyama putih dengan corak beruang membuat ia lebih terlihat seperti gadis muda daripada ibu muda. Namun, semua dipatahkan saat salah satu anaknya datang menghampirinya lalu memeluknya dengan manja.Arisha sedikit