Share

Bab II. Ketahuan

“Arisha, sini.”

Arisha berjalan dengan lesu saat memasuki rumahnya. Tujuan awalnya Arisha berniat untuk masuk dan mengurung diri di dalam kamarnya seperti biasa. Hanya saja, baru saja ia melangkah masuk ke dalam rumahnya, sudah ada Ilham dan Kian serta kedua orang tuanya yang sedang mengobrol di ruang tamu.

Arisha menoleh saat mendengar namanya dipanggil oleh sang ayah. Tatapannya datar melihat ke arah Ilham yang juga tengah menatapnya. Ada sedikit rasa sesak yang ia rasakan di hatinya saat melihat manik mata lelaki itu, mengingat karena laki-laki itulah kini ia harus merasakan penat di kepalanya.

“Kamu kok lemes gitu? Udah makan? Sini duduk, kita lagi bahas pernikahan kakak kamu yang akan berlangsung beberapa hari lagi,” ujar sang ayah menyuruhnya untuk bergabung bersama mereka.

Dengan ragu, kakinya melangkah mendekat ke arah mereka yang kembali berbincang. Arisha duduk di bagian sofa yang kosong di sebelah sang ibu. Pandangannya tertunduk, jari jemarinya ia mainkan dengan saling menautkannya satu sama lain. Bisa dilihat kalau gadis itu terlihat tidak begitu nyaman di sana.

“Arisha,” panggil sang ayah membuat kepalanya terangkat.

“Kamu keliatan kurang sehat, kamu lagi gak enak badan?” imbuh sang ayah yang menyadari kalau salah satu anaknya itu terlihat lebih murung dari biasanya. Hal itu mampu membuat semua yang ada di ruang tamu itu menatap ke arahnya.

Arisha menggigit bibir bawahnya lalu ia menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Gak apa-apa, kok, Pah,” jawab Arisha.

“Mungkin Arisha capek, Pah,” timpal Kiannisa, sang kakak.

Arisha tampak menundukan kembali kepalanya, matanya menatap ke arah jari jemarinya yang ia tautkan. Dering ponsel menganggetkan mereka yang ada di sana. Arisha segera terperanjat saat menyadari kalau ternyata ponselnya lah berbunyi kencang.

“Ma-maaf,” ujar Arisha yang merasa tidak enak karena nada dering ponselnya cukup mengganggu. Namun, ia merasa bersyukur karena dengan adanya telepon itu membuat Arisha bisa terbebas dari suasana yang tidak nyaman karena berada dekat dengan calon kakak iparnya.

“Aku permisi angkat telepon dulu ya,” pamit Arisha saat tangannya berhasil menemukan ponselnya yang masih berada di dalam tasnya.

Ia bangkit dari duduknya sambil mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Tak sadar, ada sesuatu yang ikut mencuat sehingga jatuh ke lantai. Arisha yang sudah menempelkan ponselnya pada telinga dan berbalik pegi pun tidak menyadari hal itu sama sekali.

Namun, sang ibu menyadari hal tersebut lalu segera mengambil benda yang jatuh itu. “Arisha,” panggil sang ibu dengan satu tangan menutup mulutnya seakan tidak percaya dengan benda apa yang ia lihat kini ada di tangannya. Arisha yang baru saja akan pergi dari sana menolehkan kepalanya ke arah sumber suara yang memanggilnya masih dengan ponselnya yang sudah ia tempelkan pada telinganya siap untuk berbincang dengan seseorang yang meneleponnya.

Mata Arisha seketika membulat saat melihat apa yang sang ibu pegang di tangannya. Melihat tingkah ibunya yang terkejut membuat sang ayah penasaran dengan apa yang di pegang oleh istrinya itu. Segera ayahnya pun merebut benda kecil yang istrinya pegang sebelumnya membuat Arisha mematung. Ingin sekali ia memaki dirinya sendiri saat itu juga.

“Kamu ... hamil ...?” tanya sang ibu masih dengan keterkejutannya.

“Hah? Arisha hamil?” Kian yang mendengar ucapan sang ibu dibuat ikut terkejut. Tidak terkecuali dengan Ilham.

“APA MAKSUDNYA INI, ARISHA!?” bentak sang ayah yang segera bangkit dari duduknya sambil mempertanyakan testpack yang kini sudah ada di tangannya. Bentakan itu mampu membuat suasana di ruang tamu itu menjadi tegang terlebih mereka semua cukup terkejut karenanya.

Arisha mematung, ia tidak pernah memikirkan kalau dirinya akan ketahuan hamil secepat ini oleh kedua orang tuanya. Ia tidak tau harus melakukan apa kali ini, ia benar-benar tidak bisa berpikir saat itu juga. Saking bingungnya, ia hanya bisa mencoba meneguk ludahnya yang terasa sulit dan pahit.

 “Apa maksudnya? Apa ini milik kamu, Arisha!?” seru sang ayah membentak Arisha lagi membuat ia menundukkan kepalanya.

“Jangan diam saja, Arisha. Beri kami semua penjelasan, testpack milik siapa ini? Kenapa ada di tas kamu?” tanya sang ibu yang menuntut penjelasan.

Tidak tau, Arisha benar-benar tidak tau harus menjawab apa. Dirinya benar-benar tertangkap basah sore itu. Ia tidak pernah mengira hal ini akan terjadi sebelumnya membuat Arisha tidak tau harus menjawab apa untuk semua pertanyaan yang menyudutkannya. Apakah ia harus berbohong?

“Jawab Papa, Arisha! Kamu saya bawa ke rumah ini  bukan untuk membuat nama saya buruk ya, Arisha!” seru sang ayah yang terdengar tidak bisa mengontrol emosinya.

“Maaf ....”

Hanya kata itu yang bisa Arisha ucapkan setelah mendengar sang ayah menyeru kepadanya. Mendengar ucapan sang ayah, hatinya terasa seperti dicubit dengan kencang. Arisha tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap kedua orang tuanya kini, ia memilih menatap lantai keramik yang kini ia pijak.

“Apa maksudnya permintaan maaf kamu itu!? Jawab dengan benar, Arisha! Ini, alat tes kehamilan yang menunjukan dua garis ini milik siapa!?” tegas sang ayah yang mulai geram karena jawaban Arisha tidak membuat dirinya puas.

“Arisha! Jawab pertanyaan saya! Jadi benar kalau ini milik kamu!? Saya bawa kamu ke rumah ini karena kasihan, kamu tau!? Apa ini balasannya!?” seru sang ayah yang semakin mengeluarkan warnanya setelah ia terbakar emosi.

Seperti tersambar petir,  Arisha bisa merasakan hatinya berkedut nyeri. Air matanya sudah mulai merembes keluar mengalir di pipinya. Apa yang sang ayah katakan padanya sudah lebih dari cukup untuk membuat hatinya hancur. Bagaimana bisa seorang ayah mengatakan hal menyakitkan seperti itu pada anak kandungnya?

“Memang kamu sama seperti ibu kamu! Seharusnya kamu tinggal saja sama dia! Di sini kamu hanya bisa mencoreng nama baik saya! Dasar anak tidak tau diuntung!” seru ayahnya lagi melepas cengkraman tangannya pada Arisha dengan kasar membuat Arisha sedikit terdorong ke belakang.

Tangis Arisha kini terdengar keras. Ia tidak bisa menahannya, perkataan sang ayah padanya terlalu membuat hatinya terkoyak dan terluka. Wajah Arisha kini memerah karena tangisnya. Semua terdiam, Kian, sang ibu dan juga Ilham, mereka sama-sama diam. Kian dan mamanya masih menutup mulutnya karena merasa tidak percaya, sementara Ilham? Ia hanya mematung dengan kedua tangannya yang mengepal dengan kuat.

“Siapa ayah dari bayi yang kamu kandung!? Minta tanggung jawab sama laki-laki itu dan pergi dari rumah ini, Arisha!” imbuh ayahnya yang sudah jelas maksud dari perkataannya itu adalah mengusir Arisha.

Arisha menggelengkan kepalanya, tangisnya kini semakin tidak bisa ia kendalikan. “Maaf, Pah, maafin Arisha. Jangan usir Arisha,” mohon Arisha sambil bergegas mendekat lalu memegang kedua tangan sang ayah yang langsung saja ditepis olehnya dengan kasar.

 “Gila ya kamu, Arisha! Laki-laki mana yang jadi ayah dari anak kamu? Bukannya kamu selalu berganti pasangan, ‘kan?” tuduh Kian yang bicara seenaknya dengan niat memperkeruh suasana. Mendengar apa yang Kian ucapkan, Ilham kini menatapnya tidak percaya. Bagaimana bisa kakaknya itu malah memperkeruh suasana? Ilham tidak habis pikir dibuatnya.

Arisha menggelengkan kepalanya sebagai tanda kalau ia menyangkal apa yang Kian katakan. Selalu berganti pasangan? Sejauh ini, satu saja Arisha tidak punya, pikirnya.

“Saya gak mau tau, Arisha. Saya gak mau menganggap kamu sebagai anak saya lagi. Temui laki-laki yang menghamili kamu dan minta pertanggung jawaban darinya sendiri! Setelah itu, pergi dari sini! Saya gak sudi punya anak yang hanya bisa merusak nama baik saya dan keluarga!” tegas ayahnya murka.

“Kamu sangat keterlaluan loh, Arisha. Sudah enak hidup di sini, tapi balasan kamu malah mempermalukan keluarga ini. Kamu dan anak kamu hanya akan menjadi aib di keluarga ini, saya setuju dengan suami saya. Lebih baik kamu lekas keluar dari rumah ini,” imbuh sang ibu dengan sinis seakan ini adalah waktu yang ia dan Kian tunggu-tunggu.

Ingin sekali Arisha berkata kalau Ilham lah yang menodainya dan menyimpan benih yang sekarang berhasil tumbuh di rahimnya. Ya, Ilham calon kakak iparnya lah yang harus bertanggung jawab atas janin yang ada di rahimnya.  Pada dasarnya ia memiliki sebuah pembelaan, tapi lidahnya kelu. Ia berpikir apa keluarganya itu akan percaya? Terlebih Ilham bisa saja menyangkalnya dan membuat Arisha seakan menuduhnya.

Kini Arisha hanya bisa menangis. Ia menyesal, seharusnya memang sedari awal ia tidak datang ke rumah ayahnya. Seharusnya ia tidak percaya pada laki-laki mana pun termasuk sang ayah yang memang pada dasarnya tidak memiliki rasa sayang padanya walaupun sedikit.

“Saya ... saya laki-laki yang harus dimintai tanggung jawabnya oleh Arisha.”

Semua yang ada di dalam ruangan itu membulatkan matanya ketika mendengar perkataan tersebut. Pandangan mata mereka segera dialihkan pada laki-laki yang berdiri menatap Arisha dengan tatapan datarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status