Kenzi tetap berdiri terpaku di ambang pintu ruangan. Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, melainkan karena takut. Tatapan ayahnya yang gelap dan dingin seperti bayangan yang menghantui langkahnya.Rahayu kembali memanggil, suaranya lembut, penuh kasih.“Kenzi, sini sayang… Mami kangen pelukan kamu.”Langkah kecil itu mulai maju. Pelan sekali. Seolah setiap tapaknya menantang badai. Matanya terus melirik ke arah Arya yang berdiri kaku, kedua tangannya bersedekap, wajahnya datar tanpa emosi.Kenzi berhenti di sisi ranjang. Tubuhnya gemetar, dan air mata kembali turun membasahi pipi yang kotor oleh debu jalanan. Tangannya menggenggam ujung bajunya erat-erat.Rahayu membuka kedua tangannya. “Peluk Mami, Nak…”Dan seketika itu juga, Kenzi terjatuh dalam pelukan Rahayu. Ia menangis sejadi-jadinya.“Mami jangan tinggalin Kenzi… Kenzi janji gak bakal nakal lagi… jangan tinggalin Kenzi ya…”Rahayu membalas pelukannya, mencium kening bocah itu sambil menahan perih di tubuhnya.“Ssst… Mami d
“Anak itu belum pulang?” tanya Arya yang heran dengan Kenzi, semakin hari semakin banyak kelakuan nakal yang membuatnya naik pitam.“Namanya anak anak, ya biasa, Mas. Kamu selalu memarahinya, dia jadi gak betah di rumah mungkin,” terang Rahayu. “Masih kecil saja suka ngeluyur, nggak bisa dikasih tahu. Aku heran sama kamu, Del, kok bisa sabar banget sama anak itu.”Rahayu tersenyum. Meski bukan anaknya sendiri, Kenzi benar benar dia curahkan kasih sayangnya dengan porsi yang sama. Setiap keluhan dia dengarkan, sama halnya dengan Kaisar yang selalu menjadikan dirinya tempat curhat. Berbeda dengan Arya. Arya tak begitu suka jika Kenzi banyak maunya dan susah diberitahu.Keduanya memang memiliki watak yang berbeda. Kaisar cenderung pendiam dan rajin sedangkan Kenzi aktif dan tak mau diam. Keduanya sama sama memiliki kelebihan dan kekurangan, tapi hanya Rahayu yang bisa membuat Kenzi diam. Hal itulah yang membuat Arya heran, kenapa anak itu sangat susah diberitahu olehnya.“Ayu!!”Lagi l
“Rahayu!! Ambilkan Ibu makan!!” teriak Sekar dari dalam.“Iya, Bu, Ayu lagi masak, belum matang. Bentar ya?”Tarikan napas pelan Rahayu lakukan demi sabar yang harus ditata rapi. Bertahun-tahun menerima keadaan, pun setelah mertua lelakinya tak ada, hingga pada akhirnya dia ada di titik diam dan pasrah. Mertuanya memang tak mau ditinggal Arya, maka dari itu dia harus mengalah tinggal di rumah yang dibelikan Arya tak jauh dari rumahnya.Setelah menyiapkan sarapan, dia langsung kembali melanjutkan aktivitasnya. Rahayu kini lebih dewasa. Ia mengenakan kerudung sederhana, menjemur pakaian sambil sesekali melihat Kaisar dan adik nya, Kenzi yang bermain di halaman. Senyum anak anak itu seharusnya jadi sumber bahagia semua orang… kalau saja Sekar bisa sedikit saja melembutkan hatinya. Kaisar lebih sering dengan ayahnya, tapi Kenzi? Bahkan anak itu tidak akan mudah menurut jika bukan dengan dirinya.Dari balik jendela lantai atas, Sekar mengintip. Tatapannya masih sama: tajam, mencurigai, p
Kematian WIra membuat Sekar benar benar terpuruk. Keadaannya kini sangat memprihatinkan. Semuanya benar benar di luar kendalinya, entah kenapa bukan penyesalan karena Wira mati karena dia tak sabar menunggu sampai di rumah, tapi karena ada wanita lain yang jadi penyebab matinya sang suami.“Arya, kamu tahu tentang siapa Neneng itu?” tanya Sekar saat Wira menemaninya di kamar, setelah suaminya benar benar disadarinya tak ada lagi di dunia.“Arya tidak tahu, Bu. Yang Arya tahu, Bapak bekerja keras demi bisa menghidupi kita dan membayar semua biaya pengobatan Arya sampai bisa berjalan lagi.”Sekar menengok, “Artinya, kamu juga harus bertanggung jawab dengan ini.”“Bu…”“Kamu yang bawa Rahayu ke sini, hah?” murkanya. “Kamu tahu dia bawa sial dalam rumah kita, hah?”“Bu, gak ada kaitanya dengan Rahayu. DIa sumber kebahagiaanku dan Ayah yang memintaku untuk bertanggung jawab dengan masalah ini. Kenzi, bahkan ditinggalkan Paramita dan Rahayu menolongnya. Bukan dia yang menjadi sumber kesial
Sekar masih setengah diseret, setengah melangkah sendiri, tapi hatinya hancur berkeping. Mulutnya bungkam meski pikirannya gaduh. Napasnya tersengal bukan karena lelah, tapi karena menahan tangis yang belum tuntas, sementara mata-mata para pedagang dan pembeli pasar masih mengiringi langkahnya dengan lirikan dan bisik-bisik yang memekakkan hati.Di parkiran motor, Wira menatap Sekar nyalang. Tangannya mencekal pergelangan Sekat erat, napasnya berat. Dia tahu, semua kebohongan yang selama ini ia bangun dengan rapi, hari ini ambruk seperti lapak sayur disapu angin puting beliung. Tapi dia sudah tahu, ini semua akan terjadi cepat atau lambat.“Lepas!” Sekar mengibaskan tangannya murka.“Aku akan antar kamu pulang. Kita bicara di rumah,” ucap Wita tegas, nyaris bentakan.“Kenapa? Malu kalau kamu kelihatan boroknya di sini? Malu kalau kamu ketahuan banyak orang, punya banyak istri tapi disembunyikan kayak maling? Malu sama mereka yang_”“Sekar! Diam dan kita akan pulang. Semua akan kita se
Sekar mulai kepikrian Wira yang memang jarang pulang dengan alasan kerja dan menjaga Arya. Bahkan, Sekar beberapa kali mimpi tentang suaminya yang tak enak dan membuat hatinya semakin curiga.Pagi itu, dia sempatkan keluar rumah untuk pergi ke pasar. Biasanya, dia meminta anak sulungnya–Kartika yang membawa makanan ke rumah atau meminta anaknya yang lain untuk berbelanja kebutuhan dapur. Entah kenapa, pagi ini perasaan ingin keluar menggebu, meski sang suami melarang dia keluyuran di luar rumah. Umur sudah bukan lagi muda, hampir setengah abad dan tentunya Sekar merasa suaminya juga tak mungkin aneh aneh di luar sana. Dia yakin, semua hanya prasangka dan berusaha dia menepis semua itu.Pasar Senen terlihat ramai seperti biasa. Semua orang berbelanja di pasar kota yang dikenal berbagai bahan kebutuhan hidup ada di sana. Pedagang dan pembeli saling bertukar suara, ada yang menawar dan ada pula yang menawarkan dagangannya.Sekar berjalan ke arah bakulan sayur yang ramai. Tempat itu d