Share

Bab 8

 Saat sedang membicarakan yang akan mereka rencanakan selanjutnya, mereka mendengar suara keras dari luar pintu, dan suara orang tertawa. Jhony, Gerry dan Beni bergegas keluar ruangan dan melihat Tommy berdiri di pintu depan, memeluk Angela, istrinya dan tersenyum.

 Jhony, Tommy dan Beni duduk di kantor Freddy. Mereka berencana membunuh Doni, bertanya-tanya di mana Jack, memikirkan apa yang harus dilakukan jika Freddy benar-benar meninggal.

Gerry duduk di sofa, mendengarkan percakapan mereka, tetapi tidak diizinkan untuk berbicara. Ada ketukan di pintu, dan mereka mengetahui itu adalah Heri setelah membuka pintu. Dia menutup hidung dan mulutnya menggunakan masker, dan tampak sangat sakit.

 "Ada seorang pria di gerbang menunggumu," kata Heri sambil memandang Jhony. "Dia bilang punya sesuatu untukmu."

 Jhony memerintahkan Beni untuk melihat siapa dan apa itu. Lalu dia tersenyum pada Heri.

“Apakah kamu baik-baik saja, Heri?” Dia bertanya. "Kenapa kamu tidak pergi ke dapur dan mengambil sesuatu untuk diminum? Kamu terlihat menyedihkan.”

 Setelah Heri pergi, Jhony menoleh ke Tommy. "Aku ingin kau membunuhnya malam ini," katanya. “Dia mengkhianati Ayah pada Doni. Aku tidak ingin melihatnya lagi.”

 Tommy tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya dan hanya mengangguk. Baginya, itu hanya pekerjaan. 

 Kemudian Beni masuk kembali ke ruangan Freddy. Dia membawa sesuatu erbungkus rapi di dalam kertas cokelat besar. Dia memberikannya pada Jhony, dan melangkah mundur. Jhony membuka kertas itu. Di dalam, ada jaket Jack. Dan di dalam jaket, ada ikan mati.

 Jhony menatap Beni, bingung. “Apa maksudnya ini?” Dia bertanya.

 “Ini pesan pembunuhan," kata Beni dengan suaranya yang dalam dan tatapan tajam. “Artinya pemilik jaket ini sudah mati. Mereka telah membunuh Jack.”

 Penjelasan Beni membuat yang lainnya terkejut dan marah. “Bajingan! Aku pastikan akan membunuh mereka semua.” Teriak Jhony berdiri dan matanya merah melotot.

*** 

 Malam berikutnya, sebelum mengunjungi ayahnya di rumah sakit, Gerry makan malam dengan Jenny di hotel tempatnya menginap. Mereka tidak banyak bicara. Jenny terus memandang ke seberang meja ke arah Gerry, merasa khawatir dengan kebisuannya. 

 Gerry meletakkan gelas anggurnya, kemudian berdiri dan berkata, “Aku harus pergi, Jen.” 

 “Bisakah kau mengajakku ikut bersamamu?” kata Jenny sambil menatap makanannya.

 "Akan ada polisi di rumah sakit," kata Gerry sambil mengenakan jaketnya. “Wartawan juga disana. Aku tidak ingin membuatmu terlibat sedikitpun dalam hal ini.”

 Jenny menatapnya sedih. Dia mengerti bahwa sejak penembakan ayahnya, Gerry menjadi seperti orang yang berbeda. Dia merasa Gerry bukan lagi orang yang di kenalnya. “Kapan kamu akan menemuiku lagi?” dia bertanya dengan berusaha tetap tenang.

 Gerry merasa sangat sulit untuk menatap mata pacarnya. "Kembalilah dulu ke orang tuamu dan setelah urusanku disini selesai aku akan meneleponmu," katanya.

 Tapi Jenny mengulangi pertanyaannya: “Kapan aku bisa bertemu denganmu lagi?”

 Kali ini, Gerry menatap dengan bimbang. "Aku tidak tahu, Jen. Aku mohon, mengertilah!" katanya, menyentuh bahu Jenny dengan lembut. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, dia pergi meninggalkannya duduk sendirian di meja dan berjalan menuju pintu.

 Seketika Jenny merasakan dadanya bergetar mesarakan sakit yang tidak dapat dijelaskan. Untuk sesaat dia memikirkan sikap Gerry, Jenny benar-benar merasa tidak mengenalinya lagi, dan pikiran itu membuat air matanya memaksa keluar dengan sendirinya. Sambil menangis, dia berlari mengejar Gerry, namun dia sudah tidak lagi bisa menemukannya. Jenny duduk bersimpuh di trotoar jalan, menundukkan kepalanya. "Aku hanya ingin membantumu, Gerry". ucapnya lirih.

***

 Di tempat lain, Gerry telah tiba di depan rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Ketika dia turun dari taksi, dia terkejut melihat jalan di luar rumah sakit itu sepi dan kosong. Ketika dia menaiki tangga dan melewati pintu depan, dia bahkan lebih terkejut menemukan bahwa tidak ada seorang pun dari pengawal keluarganya di luar maupun dalam rumah sakit. “Dimana anak buah Beni?” pikirnya gugup sambil naik lift ke lantai empat. Dengan cepat dia berlari menuju ruangan tempat ayahnya berada dengan perasaan khawatir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status