Begitu Jhony meletakkan telepon, ada sesorang yang mengetuk pintu rumahnya.
"Mereka bilang dia sudah mati, Jhon," kata Beni saat dia masuk. Jhoni menarik kerah bajunya dengan kasar dan mendorongnya ke dinding.
"Tenanglah Jhon," seru Beni.
Jhoni menarik napas dalam-dalam dan melepaskan tangannya. “Maaf,” katanya.
Dan kemudian bertanya: “Bagaimana dengan Heri Saputra?”
“Heri tidak ada di sana. Dia sakit.”
“Maksud kamu apa? Sudah berapa kali dia sakit?”
“Aku tidak tahu, Jhon," kata Beni, setengah takut, setengah bingung. "Tiga, mungkin empat kali dalam bulan ini."
“Dengarkan! Aku tidak peduli seberapa sakit dia. Aku ingin kau membawanya ke rumah ayahku sekarang. Sebagai kepala pengawal pribadi ayah seharusnya dia bertanggung jawab dengan semua ini. Apakah kamu mengerti?”
Setelah Beni pergi, Jhony menatap Cicilia, istrinya, yang berdiri gelisah di ambang pintu, menggendong bayi yang menangis. Dia memeluk dan mencium mereka berdua, mencoba menenangkan mereka. Dan juga menenangkan dirinya. Tiba-tiba, telepon berdering lagi. Suara di ujung sana sangat lembut, sangat lembut sekali.
“Kami memiliki Tommy,” kata suara itu. "Dalam waktu sekitar tiga jam kita akan membiarkan dia pergi. Dia akan memiliki pesan untuk Anda. Jangan melakukan hal bodoh sampai Anda mendengar apa yang dia katakan. Ayahmu sudah meninggal. Mari kita semua tetap berpikiran jernih tentang ini, oke?”
“Oke.” Meski ingin berteriak, Jhony berbicara pelan. “Aku akan menunggu.” Dia segera meninggalkan rumahnya dan menyeberangi jalan pribadi ke jalan tempat tinggal ayahnya. Dia menemukan ibunya di dapur.
“Ma, ayah terluka, sekarang berada di Rumah sakit” Jhony memberitahu ibunya. "Saya tidak tahu seberapa buruk."
Ibunya hanya berkata: “Aku sudah mendengarnya, Helen sedang bersiap-siap, kami akan ke rumah sakit. Aku ingin segera melihatnya.” Dia tidak mengajukan pertanyaan apa pun kepada putranya, karena dia sangat panik, namun berusaha tetap tenang.
Ketika ibunya pergi, Jhony mengambil seteguk anggur, lalu pergi ke ruang kerja ayahnya dan menelepon. “Yuna, saya ingin lima puluh orang terbaik kesini segera.”
“Bagaimana dengan anak buahnya Heri?” tanya Yuna.
“Tidak. Saya tidak ingin menggunakan anak buahnya sekarang.”
Kemudian dia melakukan panggilan kedua. Kali ini kepada temannya yang bekerja di perusahaan telepon. “Farrel? Aku ingin kamu membantuku. Aku ingin kamu memeriksa dua nomor telepon untuk saya. Beri saya semua panggilan yang mereka lakukan dan terima selama tiga bulan terakhir. Ini sangat penting. Beri saya informasi sebelum tengah malam.” Dia memberinya nomor Tommy dan Heri.
Kemudian dia melakukan panggilan ketiga. Dia menelepon Jack. Tapi kali ini tidak ada jawaban.
***
Ketika Gerry tiba, dia menemukan rumah ayahnya penuh dengan pria yang tidak dia kenal. Dia pergi ke ruang tamu, mencium pipi Cicilia istri Jhony, lalu pergi ke ruang kerja ayahnya.
Jhony sedang duduk di kursi ayahnya berbicara dengan Beni. Ketika dia melihat Gerry, dia berdiri dan berlari ke arahnya. "Aku sangat senang bertemu denganmu, Ger." katanya, memeluk saudaranya dengan hangat. “Mama di rumah sakit bersama Helen dan suaminya. Dia akan baik-baik saja jika kau disana.”
Tapi kemudian dia melihat Gerry duduk, dan dia berhenti tersenyum. “Apa yang sedang kamu lakukan?” dia berkata. “Aku sedang membicarakan urusan penting dengan Beni.”
“Mungkin aku bisa membantu.” Kata Gerry.
“Jika kamu tetap tinggal di sini, kamu akan mendengar hal-hal yang tidak seharusnya kau dengar,” Jhony memperingatkannya. “Orang tua itu akan membunuhku jika dia tahu hal ini saat dia sembuh.”
Gerry menatap kakaknya. “Dia ayahku juga,” katanya pelan.
“Oke,” kata Jhony, kesal karena Gerry menolak pergi. “Kau ingin mendengar? Maka aku akan memberitahumu. Kepala siapa yang akan kita tembak, kepala Tommy atau Heri? Salah satu dari mereka mengkhianati Ayah itu untuk Doni. Menurutmu siapa itu?”
Jika Jhony berharap untuk mengejutkan Gerry, maka dia tidak berhasil. Adik laki-lakinya hanya menatapnya dengan dingin dan berkata, "Yang menghianati ayah bukan Tommy."
Jhony menatap adiknya sejenak, lalu menatap Beni dengan tidak percaya. “Aku tidak percaya. Anak kampus yang polos itu benar. Itu adalah Heri. Saya telah memeriksa nomor mereka. Sementara Heri sakit, dia mendapat telepon dari Doni dan anak buahnya.”
Gerry bangkit dan berdiri di depan saudaranya. “Apakah akan ada perang, Jhon?” dia berkata.
“Tentu saja. Aku akan menembak Doni, Heri dan seluruh keluarga Dicky." kata Jhony dengan lantang. "Aku akan membunuh mereka semua jika itu akan menjadi hal terakhir bisa aku lakukan."
DING DING Ponsel Tommy di atas meja berbunyi, layarnya menyala menampilkan sebuah nama yang meneleponnya. “Jenny.” Gumam Tommy menatap layar ponselnya mengenali identitas si penelepon. Tommy mengangkat ponsel dan mendekatkan ke telinganya setelah menerima panggilan telepon itu. Dia mengangkat salah satu tangannya sebagai instruksi agar orang-orang di sekitarnya diam. Suasana menjadi hening dalam sekejap. Meskipun berada di dalam area night club, ruang VIP itu hampir sepenuhnya terisolasi dari kebisingan luar karena diselimuti peredam suara. “Apa kabar, Jen?” sapa Tommy dengan lembut. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Helen, Tom?” tanya Jenny terdengar lirih dari ponsel Tommy. Tommy sejenak terdiam tanpa ekspresi mendengar pertanyaan Jenny yang tanpa basa-basi. “Jawab aku, Tom.” Jenny mendesak Tommy. “Kau sudah mengetahui beritanya, Jen?” Tommy balik bertanya. “Apa maksudmu berbalik menanyaiku?” Jenny mulai terdengar marah. “Semua saluran berita menyiarkan ke
Gatot sedang rebahan dia atas sofa panjang sambil menonton televisi di ruang keluarga rumahnya ketika hari menjelang gelap. Tiba-tiba dia terperanjat duduk. Matanya terbelalak menatap tajam ke arah televisi yang menayangkan siaran berita tentang kecelakaan. Tanpa dia sadari tubuhnya mulai bergetar saat matanya fokus memperhatikan dua gambar potret wajah orang yang sepertinya dia kenali. Itu adalah dua foto wajah Jordi dan Helen, keponakan Gatot. “Tidak mungkin.” Bisiknya lirih kepada dirinya sendiri seolah dia belum bisa menerima kebenaran dari kabar siaran berita yang ditontonnya. Beberapa saat Gatot terpaku menyaksikan siaran televisi dengan tidak percaya. “Kakak ipar!” teriak Gatot yang masih duduk tercengang menatap televisinya. “Kakak ipar! Kakak ipar!” Gatot terus berteriak memanggil Luciana dengan panik karena tidak segera mendapatkan respons. Luciana keluar dari dalam kamarnya yang tidak jauh dari tempat Gatot berada. “Ada apa, Gatot? Kau berisik sekali” kata Luciana
Jordi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang melaju di tengah padatnya jalanan. Di dalam mobil suasana tampak canggung. Jordi dan Helen tidak berbicara satu sama lain. Sunyi. Hanya terdengar deru suara mesin kendaraan yang melaju di jalanan. Helen diam bersandar pada jok dan menatap keluar melalui kaca jendela mobil. Banyak hal yang sedang dia pikirkan. Jordi fokus menyetir sambil sesekali melirik ke arah Helen. Dia masih menganalisis sikap istrinya itu yang berbeda setelah bertemu dengan Albert. Jordi merasa seolah tidak mengenal dengan sosok cantik yang duduk di sampingnya. Ding Ding Ponsel Jordi berbunyi memecah keheningan. Rangkaian nomor terpampang di layar. Itu sebuah panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenanya. Helen seketika melirik layar ponsel suaminya dengan ekspresi penuh selidik. “Kenapa tidak diterima?” tanya Helen saat melihat Jordi yang hanya menatap layar ponselnya. “Oh. Hanya sebuah nomor, aku tidak mengenalnya.” Jawab Jordi ragu-ragu. “Mungkin
Jordi dan Helen memasuki sebuah rumah mewah yang terletak di pusat kota ketika hari menjelang siang. Itu adalah rumah Albert. Albert yang sudah menunggu kedatangan mereka sedang duduk di ruang tamu rumahnya. Beberapa pria berdiri di belakang Albert. Albert bangkit dan tersenyum menyambut Jordi dan Helen. Jordi membalas senyuman itu saat menjabat tangan Albert. Mereka terlihat sangat akrab. Sedangkan Helen tampak canggung melihat pemandangan itu. Dia awalnya merasa biasa saja, namun sekarang dia merasa ada yang aneh. Jordi sebelumnya bilang tidak mengenal pria paruh baya itu. Namun, ketika Helen memperhatikan lebih lama Jordi dan Albert, mereka tampak mirip. ‘Siapa pria ini?’ ‘Apa hubungan dia dengan Jordi?’ “Jadi kamu Helen?” pertanyaan Albert membuyarkan pikiran Helen. Helena memaksakan senyumnya. “Betul.” Jawabnya singkat. Mereka berjabat tangan sejenak. Albert menatap lekat mengenali Helen. Secara naluriah dia mengagumi sosok cantik dan tenang yang diperlihatkan oleh
Jam di pergelangan tangan Dedi menunjukkan pukul dua lewat empat puluh lima menit dini hari, ketika dia dan Dodi selesai mengemasi barang-barang bawaannya. Dedi dan Dodi sudah menggendong ransel masing-masing dan bersiap untuk pergi dari rumah Jhony. “Kami sudah siap berangkat, paman.” Kata Dedi hendak berpamitan kepada Jack. “Apakah Anda yakin akan tetap di sini?” Tanyanya untuk memastikan kembali keputusan Jack. “Pergilah! Jaga diri kalian baik-baik. Dan kalian tidak perlu mengkhawatirkanku.” Jawab Jack meyakinkan si kembar. “Baiklah, paman. Anda juga harus menjaga diri.” Kata Dodi tersenyum kepada Jack. “Jika terjadi sesuatu, Anda bisa menghubungi nomor saya, paman.” Kata Dedi mengingatkan Jack. “Kami akan segera membicarakannya dengan Gerry sesampainya di sana.” Jack tersenyum kepada si kembar. “Berhati-hatilah!” katanya dengan singkat sesaat sebelum akhirnya Dedi dan Dodi pergi menin
Setelah Tommy dan anak buahnya pergi, terlihat jelas sekali Jack menampilkan ekspresi wajah yang tidak senang. Dia merasa tidak puas atas perlakuan Tommy kepadanya. Begitu juga dengan Dedi dan Dodi. Namun, mereka tidak memikirkan tentang terbongkarnya persembunyiannya dari Tommy, melainkan mereka lebih memikirkan semua ucapan Tommy sebelum dia pergi. Untuk beberapa waktu mereka bertiga hanya duduk dalam keheningan di dalam ruangan itu. Mereka terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. “Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, paman?” tanya Dedi yang memecah keheningan meminta pendapat dari Jack. Pertanyaan dari Dedi seketika menyadarkan Jack dari lamunannya. “Aku juga sedang memikirkannya.” Jawab Jack yang masih terlihat kebingungan. “Aku masih memikirkan perkataan Tommy. Entah kenapa aku merasa dia orang yang bersih.” Kata Dedi menyampaikan asumsinya. “Ya. Aku juga.” Dodi menimpali untuk mene