"Valen, jangan terlalu kejam pada anakmu. Ayolah, kau tidak ingin anakmu dipermalukan bukan?" ucap Thomas Miller.
Dia sedang menelepon Valentino Araya, putra tirinya sekaligus ayah dari cucunya, Vesa Araya.
Hera Adnan yang duduk di dekat suaminya itu pun hanya bisa menatap suaminya dengan tatapan prihatin.
"Anakmu sudah sering dibuat malu. Apakah kau tidak kasihan? Biarkan kali ini saja dia membungkam mulut teman-temannya itu."
Valentino dari seberang sana berkata, "Tidak, Dad. Belum saatnya. Biarkan saja seperti ini dulu."
"Apa!? Kau-"
Thomas dengan kesal mematikan saluran panggilan itu.
"Dasar keras kepala. Bisa-bisanya dia tidak mau membantu putranya sendiri? Kenapa anakmu itu masih juga bersikeras tetap tidak ingin Vesa mendapatkan sesuatu apapun yang lebih baik? Apa gunanya-"
Suaranya terputus kala ponselnya berdering kembali. Nada ponselnya sengaja disetel dengan nada yang cukup tinggi karena Thomas Miller yang sudah mengalami gangguan pendengaran yang agak parah di usianya yang sudah menginjak delapan puluh tahun.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, Thomas masih beruntung karena meskipun usianya sudah renta, dia masih diberi kemampuan indranya yang lain dengan normal. Thomas juga tak pernah terserang sakit karena gaya hidupnya yang cukup sehat. Pria itu suka mengkonsumsi makanan sehat sejak masih muda dan juga suka berolahraga jadi tak heran jika di masa tuanya, dia masih terlihat sangat bugar.
"Kenapa tidak kau angkat?" tanya Hera heran.
"Biarkan saja, Sayang!" balas Thomas.
Hera yang paham dengan sifat suaminya itu lalu berkata, "Kau sama saja dengan Valen. Sama-sama keras kepala. Dan kau lagi, kau seharusnya tak menjanjikan apapun terhadap cucumu itu."
Thomas menghela napas.
"Aku hanya tidak ingin melihat Vesa dipermalukan lagi, Hera. Tidakkah kau mengerti? Anak itu sudah terlalu banyak mengalah. Sebagai kakeknya aku tidak rela dia berkali-kali harus diperlakukan secara tidak adil sementara ayahnya..."
"Sstt.. Sudahlah. Valentino tahu yang terbaik untuk putranya. Kita harus membantunya, Thomas. Ingat? Lebih baik kau jelaskan pada Vesa pelan-pelan. Dia pasti mengerti," ucap Hera bijak.
Thomas mengangguk sedih.
Mereka berdua tidak tahu jika saat itu, pemuda yang sedang mereka bicarakan itu mendengar perbincangan mereka. Vesa lalu naik ke lantai atas menuju kamarnya dengan pelan.
Dia duduk di tempat tidurnya dan meraih ponselnya. Dia melihat photo dirinya bersama dengan ayahnya yang dia ambil tahun lalu. Dia menjadikan photo itu sebagai wallpaper ponselnya.
"Ayah, sebenarnya apa alasan ayah melakukan semua ini? Apakah hidup ayah begitu menyedihkan di sana? Kalau memang begitu kenapa ayah tidak tinggal di sini bersama kami? Kenapa ayah malah tinggal sana? Atau jangan-jangan ayah sudah punya istri baru? Ayah, kenapa kau membuatku bingung?" Vesa bergumam sendirian sambil masih menatap photo itu.
Dia sebenarnya pernah mengira hidup ayahnya yang tidak baik di negara itu tapi mengingat ayahnya selalu datang setiap satu tahun sekali rasanya itu tidak mungkin. Tiket penerbangan pesawat London-Jakarta itu tidak murah. Jadi rasanya mustahil ayahnya itu hidup miskin.
Vesa tak akan menemukan jawaban-jawaban itu kalau dia diam saja. Dia harus tahu. Tiba-tiba saja dia membuka lacinya dan melihat sebuah amplop besar yang berisi paspor kebangsaan Inggris.
Di kunjungan terakhirnya, Valentino mengajak putranya itu untuk mengurus paspor dan awalnya Vesa sudah kegirangan karena mengira akan diajak ke Indonesia tapi nyatanya itu hanya harapannya saja yang terlalu tinggi.
"Aku punya paspor. Jadi tinggal visa dan tiket pesawat," ucap Vesa pelan.
Dia telah memutuskan. Dia akan menemui sang ayah walupun tanpa izinnya.
***
Vesa dengan canggung memarkir mobil butut yang dipakainya ke pesta yang diselenggarakan oleh Derrick White, salah satu teman kuliahnya.
Dia tidak malu tentu saja. Dia hanya tidak ingin mobil tua kakeknya itu dihina oleh teman-temannya.
Benar dugaannya. Suara tawa memenuhi area parkir gedung mewah itu. Teman-temannya menertawakan dirinya termasuk sang pemilik acara.
"Astaga, Vesa. Kau benar-benar membawa mobil butut ini. Ya Tuhan. Aku tidak tahu kalau kau ternyata begitu percaya diri. Tapi kau keren," ujar Jessica, gadis cantik berkulit putih dengan mata biru dan rambut pirangnya. Dia mencibir Vesa.
Vesa mengabaikan ucapan gadis itu. Dia dengan tenang keluar dari mobilnya dan berjalan dengan santai menuju area tempat acara.
"Ah, Vesa. Terima kasih telah menyempatkan diri datang ke acaraku," ucap Derrick dan dia juga tersenyum pada Vesa yang tentu saja senyum palsu.
Vesa hanya mengangguk. Saat Vesa akan melangkah ke dalam gedung tiba-tiba seorang wanita cantik lainnya, Alea Green menghadangnya.
Vesa terkejut dan hanya menatap bodoh pada gadis yang telah lama ditaksirnya itu. Alea memiliki postur tubuh yang layaknya gitar spanyol serta memiliki wajah cantik alami. Banyak pria yang rela bertekuk lutut pada Alea karena kecantikan bak dewinya itu. Tak terkecuali Vesa yang saat ini memandangnya tanpa berkedip.
Cantik sekali, Vesa membatin.
"Kenapa kau berani membawa benda rongsokan itu ke sini? Apakah kau tidak malu?" cibir Alea.
"Memangnya ada masalah?"
"Tentu saja. Mobilmu merusak pemandangan area parkir. Kau coba lihat!" Alea memutar tubuh Vesa untuk menghadap area parkir dan benar saja apa yang dibilang oleh Alea.
Di sana banyak mobil mewah dan mengkilat berjejer dengan rapi. Mobil bututnya yang berwarna merah marun itu memang terlihat sangat mencolok sekali.
"Mataku jadi sakit melihatnya," ujar Alea lagi.
Derrick dan semua teman-temannya di sana tertawa mendengarnya.
Vesa tahu sejak dulu gadis itu memang suka sekali berkata dengan pedas, ucapannya selalu membuat telinganya sakit. Namun entah kenapa, dia masih saja menyukai Alea.
Vesa masih terdiam jadi Alea yang tak sabar itu berkata lagi, "Vesa, tidakkah lebih baik kau bawa mobilmu pulang saja?"
Vesa lalu menoleh. Dia tidak sakit hati. Dia malah tersenyum dan dengan santai menjawab, "Well, kalau mata kamu sakit karena melihat mobil bututku, kenapa kau tidak tutup mata saja?"
Alea membelakakan matanya karena terlalu terkejut atas ucapan Vesa yang menurutnya kurang ajar itu.
Halo, readers. Kita ketemu lagi di sini. Akhirnya selesai juga season kedua ini. Lega sekali rasanya bisa menyelesaikan cerita ini. Zila ucapkan banyak terima kasih yang sudah antusias membaca kisah Vesa Araya, anak dari Valentino Araya ini dan mengikutinya sampai akhir. Semoga ceritanya tidak mengecewakan ya dan kalian puas dengan cerita ini. Endingnya semoga juga memuaskan bagi para readers ya dan nggak ada yang kecewa. Zila harap kisah Vesa Araya ini semoga bisa diingat oleh para pembaca. Akhir kata, Zila harap bisa membuat cerita lain yang juga disukai para pembaca. Salam hangat dari Zila Aicha, sampai ketemu di karya Zila berikutnya.
Tubuh Gea terlihat begitu mengerikan. Dadanya tertancap pisau dan mulutnya mengeluarkan busa serta matanya pun terbuka.Vesa langsung memerintah, "Hubungi polisi sekarang."Inka menutup wajahnya karena tak sanggup melihatnya. Vesa langsung saja memeluk gadis itu agar Inka tak merasa takut."Siapa yang membunuhnya? Itu terlalu kejam, Vesa. Sungguh mengerikan," ujar gadis itu dengan suara bergetar."Kita akan segera tahu, biarkan polisi yang menanganinya," ujar Vesa.Tak lama kemudian polisi datang dan langsung saja memeriksa kasus itu."Apakah Anda berdua bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberi kesaksian?" tanya petugas polisi itu."Ya," jawab Vesa.Vesa pun mengajak Inka untuk ikut ketua polisi itu.Vesa dan Inka harus berada di kantor polisi setidaknya selama dua jam lamanya guna memberi kesaksian mereka. Dan saat dia telah selesai dan keluar dari ruang interogasi, dia melihat Lara, anak Gea itu datang ke kantor polisi dengan raut wajah yang penuh air mata."Apa Anda sudah mene
"Aku tidak membencimu, Alea. Hanya saja kau sudah keterlaluan," ucap Vesa. Dia lalu menggandeng Lara pergi dari sana.Alea berteriak, "Vesa."Vesa tak memperdulikannya. Alea hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan getir. Vesa sudah tak mau berhubungan lagi dengannya. Pria muda itu pastilah sudah begitu jijik padanya.Alea menjambak rambutnya sendiri lalu pergi dari kampus itu karena tak tahan melihat para mahasiswa yang menatapnya dengan tatapan aneh.Di sisi lain, Vesa berujar pelan, "Maafkan aku. Gara-gara aku, kamu jadi...""Tak apa. Well, omong-omong aku harus pergi sekarang, aku rasa temanku sudah datang," ujar Lara kemudian.Vesa mengangguk pelan, masih merasa begitu bersalah. Begitu gadis itu pergi, dia memilih untuk mengubah rencananya. Dia tak mungkin memanfaatkan Lara untuk menjebak Gea. Gadis itu tak tahu apa-apa. Entah kenapa, dia merasa jika Lara memang gadis polos. Maka dari itu dia memutuskan untuk menyerang Gea tanpa melibatkan Lara. Sore itu dia kembali
Hanya dalam waktu tak kurang dari tiga puluh detik saja, Stefan sudah mengirimkan sebuah photo begitu Vesa mematikan sambungan teleponnya.Vesa dengan tenang membuka pesan itu dan tersenyum miring begitu dia melihat photo itu.Kena kau, Gea. Vesa membatin.Segera dia mengantongi kembali ponselnya dan berjalan mendekati Lara sambil tersenyum cerah."Sudah selesai menghubungimu?" tanya Vesa yng jauh lebih ramah dari pada sebelumnya."Sudah. Mau berkeliling sekarang?" tanya Lara balik."Ya, langsung saja. Aku tak akan mengambil waktumu banyak-banyak," ucap Vesa.Lara mengangguk dan kemudian mulai bertindak sebagai seorang tour guide di sana. Meskipun baru meninggalkan kampus itu selama tujuh bulan lamanya, tapi kampus itu sudah cukup banyak berubah.Vesa mengenang masa-masa di kampusnya itu. Walaupun memang banyak kenangan buruk di sana, dia tetap masih sedikit kenangan baik hingga sekarang dia cukup merasa kecewa lagi ketika teringat masa-masa awal pertemanannya dengan Derrick.Derrick
Lara Serafin tergesa-gesa masuk ke dalam kampusnya, Greenwich University. Dia telah berjanji pada Gemma Jones semalam untuk menemani gadis itu ke perpustakaan.Saat dia melangkahkan kakinya menuju tempat itu, dia harus melewati segerombolan mahasiswa dari fakultas lain yang terlihat sedang berbincang-bincang santai.Lara begitu menikmati kehidupan barunya di kampus itu. Meskipun pada awalnya dia merasa banyak sekali hal yang begitu janggal seperti alasan yang tidak jelas sang ibu yang memilih negara ini. Di samping itu, ibunya yang sekarang ini memilih untuk bekerja dari rumah tentu membuatnya semakin bertanya-tanya.Ibunya, Gea Raharjo beralasan jika bekerja dari rumah berarti membuatnya memiliki waktu yang lebih banyak dengannya. Dikarenakan hal itu juga, Lara tak pernah bisa memprotes ataupun bertanya lebih banyak mengenai alasan utama ibunya itu.Dan ketika Lara bertanya tentang pekerjaan ibunya itu, ibunya hanya akan menjawab jika dia bergelut dengan saham. Entah saham yang seper
Derrick hanya bisa terdiam kala melihat sahabat baiknya pergi dari rumahnya. Dia melirik Alea sekilas, ingin sekali dia merengkuh tubuh Alea tapi di saat dia mendekat, Alea mundur ke belakang.Dengan wajah yang sudah basah karena air mata, Alea berkata dengan terisak-isak pelan, "Ini semua salahku. Salahku, Derrick."Derrick menggeleng, "Tidak. Ini salahku, Alea. Kau tidak salah. Aku yang membuat semuanya berantakan.""Aku yang datang padamu, aku yang paling bersalah," ujar Alea lagi."Aku yang memintamu datang, aku, Derrick," lanjut Alea.Derrick menyambar, "Dan aku juga mau datang ke sini. Oke, baiklah. Kita sama-sama bersalah. Kita berdua sama-sama bersalah."Alea jatuh terduduk di lantai halaman rumah Derrick, "Vesa pasti membenciku. Padahal kami baik-baik saja. Dia tidak pernah menyakitiku. Tapi kenapa aku? Derrick, aku hanya kesal karena dia tak pernah mau mengunjungiku ke sini. Padahal kan jelas uang bukan masalah baginya. Tapi dia lebih mementingkan perusahaannya itu. Aku hany