Vesa telah melepaskan Sebastian dan pria itu sudah menghilang dari hadapan mereka. Saat ini beberapa teman sekelas Vesa memandang dirinya dengan tatapan aneh yang tidak Vesa mengerti.
Vesa memutar tubuhnya menghadap Derrick. Dia mengembuskan napasnya pelan. Habislah sekarang dia. Dia baru saja ingin memberi kesan baik pada Derrick dengan melawan Sebastian tapi sepertinya yang terjadi adalah sebaliknya. Dia telah memberi kesan buruk pada Derrick dan juga teman-temannya tentang dirinya yang lepas kontrol.
"Aku tidak apa-apa," jawab Vesa. Pria itu sedikit menunduk. Dia rasa dia akan kehilangan teman yang bahkan belum benar-benar resmi menjadi temannya itu.
"Baguslah kalau begitu. Mau ke kantin saja dulu? Kau sepertinya butuh minum," ajak Derrick.
"Hah!?" Vesa mengangkat kepalanya kaget.
Eh, dia tidak salah dengar kan? Derrick White mengajaknya ke kantin? pikir Vesa bingung.
"Kenapa masih diam saja? Ayo, ke kantin dulu!" ajak Derrick lagi.
Derrick yang melihat Vesa masih terdiam seperti orang bodoh itu lalu menyeret Vesa keluar dari ruang kuliah mereka itu.
Vesa masih sedikit linglung saat mereka sampai di kantin.
"Tunggu dan duduk di sini sebentar!" titah Derrick.
Vesa menurut dan langsung duduk tanpa bertanya. Dia melihat Derrick berjalan ke sebuah mesin otomatis untuk membeli minuman.
Derrick menyodorkan sebotol air mineral dingin kepadanya dan Vesa hanya melongo.
"Minumlah!" ucap Derrick.
Vesa masih heran tapi dia menerima air minum itu namun tidak membukanya. Dia hanya memegang botol itu dengan bingung.
Derrick berdecak kesal dan berkata, "Hei, apa kau lupa bagaimana caranya membuka botol itu?"
Vesa menjawab dengan terbata-bata, "Ti-tidak. Bukan begi-tu maksud aku."
Derrick menaikkan sebelah alisnya lalu merampas botol itu dan membuka tutup botolnya dengan cepat. Dia menyerahkannya pada Vesa kemudian sambil berujar, "Minumlah dan dinginkan otakmu!"
Derrick duduk di sampingnya dan bernapas lega saat Vesa akhirnya meminum air mineral itu langsung sampai habis.
"Astaga. Itu enam ratus mililiter dan kau langsung menghabiskannya? Kau cukup haus ya rupanya?" Derrick terkekeh pelan.
Vesa dengan kikuk membalas, "Apa tidak boleh?"
Dan hal itu sontak membuat Derrick tertawa kencang apalagi melihat ekspresi lugu di wajah Vesa itu.
"Astaga, Vesa. Kau ini. Benar-benar." Derrick menggelengkan kepalanya karena baru sadar Vesa sebenarnya cukup polos. Dia jadi berpikir pantas saja banyak yang tega membullynya. Anak itu terlalu naif dan lugu.
Tiba-tiba saja perasaan bersalah datang menghampirinya. Dia teringat apa saja yang pernah dia lakukan pada pemuda yang sedang duduk di hadapannya ini.
Derrick lalu berdeham.
"Vesa, aku minta maaf."
Ucapan Derrick cukup pelan tapi Vesa bisa mendengarkannya dengan cukup jelas. Akan tetapi, pemuda itu tak mengeluarkan suaranya untuk membalasnya karena tak mengerti kenapa Derrick meminta maaf.
Derrick yang tidak mendengar Vesa membalasnya itu pun lalu berujar, "Aish, kau. Kau tidak dengar ya? Baiklah aku ulangi lagi, aku minta maaf. Aku minta maaf atas semua hal buruk yang pernah aku perbuat. Apa kau menerimanya?"
Vesa melongo kaget. Dia tidak sedang berhalusinasi kan? Apakah yang sedang duduk di hadapannya ini adalah benar-benar pemuda sombong itu? Pemuda yang sering memamerkan kekayaaan orang tuanya dan menganggap rendah orang lain yang status sosialnya di bawah dia termasuk dirinya ini. Benarkah ini Derrick White yang itu? Si Tuan Muda angkuh itu?
Derrick White yang itu mana mungkin meminta maaf pada seseorang? Apalagi dirinya. Apakah pemuda ini sedang gegar otak atau bagaimana? Kemarin dia mengantarkan pulang dirinya lalu tadi membelanya bahkan sampai berselisih dengan sahabatnya yang mengakibatkan Derrick kehilangan Sebastian sebagai sahabatnya.
Terus ini? Dia sedang meminta maaf. Hei, dia kenapa bisa berubah dalam waktu secepat ini? Apakah ini ada hubungannya dengan jam tangan tua itu? Benarkah begitu?
Vesa menatap Derrick yang sedang menunggu jawabannya dengan raut wajah yang rumit. Tapi kemudian Vesa berpikir mungkin memang Derrick sudah mulai berubah jadi dia menjawab, "Aku sudah melupakannya. Tak perlu dipikirkan lagi."
Derrick terkejut tapi kemudian tersenyum lega. Dia berkata, "Syukurlah. Aku kira kau masih dendam padaku. Omong-omong kau keren tadi. Aku baru tahu kau sebenarnya bisa melawan tapi kenapa kau selama ini diam saja jika ada yang membullymu?"
Derrick ingat betul, tak sekalipun Vesa pernah melawan. Dia hanya diam saja lebih tepatnya mengabaikan orang-orang yang selalu mengganggunya.
"Aku malas saja. Aku tidak suka mencari ribut dan menarik perhatian orang," jawab Vesa pelan.
"Apa!? Kau malas? Kenapa? Padahal jika di awal-awal kau mau membela diri, kejadian itu tak akan berlangsung lama. Dan mungkin mereka lebih cepat jeranya dari pada kamu mendiamkan perbuatan mereka," ucap Derrick.
Vesa tersenyum tipis. Dia membalas, "Aku merasa itu tidak perlu. Lagi pula tak ada gunanya. Aku juga masih bisa berkuliah dengan tenang. Jadi tak ada masalah untukku."
Derrick benar-benar heran kenapa ada orang yang begitu tenang dan santai padahal dia sering diperlakukan tidak adil.
"Kau jangan begitu. Kau harus melawan orang yang mengganggumu seperti tadi. Setidaknya itu akan lebih membuatmu lebih nyaman lagi berada di kampus," ujar Derrick.
Vesa lalu menjawab, "Baiklah. Aku akan melawan. Tapi aku senang tadi kau juga membelaku. Omong-omong terima kasih untuk bantuanmu tadi."
Vesa tersenyum tulus.
Mendengar hal itu telinga Derrick memerah seketika. Dia malu.
"Hei, jangan ucapkan kata-kata itu. Aku merinding mendengarmu mengucapkannya. Aku jadi terlihat seakan-akan telah berbuat sesuatu yang besar saja. Padahal tadi aku hanya.. Hanya.. yah aku payah tadi," ucap Derrick lagi-lagi malu.
Vesa semakin bingung dengan sikap Derrick yang tidak biasa itu tapi dengan cepat dia berkata, "Kau tidak payah. Aku sungguh-sungguh berterima kasih karena kau adalah orang pertama yang mau membelaku."
Derrick langsung saja mengusap wajahnya.
"Yak. Vesa, hentikan!" Derrick benar-benar merasa aneh tapi entah kenapa hatinya menghangat.
Oh, jadi ini rasanya jika sudah berbuat baik. Cukup menyenangkan, batin Derrick.
Dia tersenyum bodoh.
Vesa menggelengkan kepalanya dan semakin berpikir jika Derrick White tidaklah seburuk yang dia pikirkan.
Tiba-tiba saja Derrick mengulurkan tangannya dan berkata, "Vesa Araya, mari berteman!"
***
Kabar Derrick White yang telah menjalin pertemanan dengan seorang Vesa Araya yang notabene dikenal sebagai mahasiswa miskin itu dengan cepat tersebar.
Beberapa di antara mereka bahkan tampak memandang aneh ke arah mereka saat berjalan bersama.
Namun banyak juga yang tetap memandang remeh Vesa dan Derrick White hanya akan memberi tatapan tajam pada mereka. Dan tentu saja setelah itu mereka tak berani menatap merendahkan lagi. Mereka tak mau mencari masalah dengan seorang keturunan dari keluarga White.
Sebastian Wright yang melihat mantan sahabatnya itu semakin dekat dengan Vesa mengepalkan tangannya.
Ayahnya telah menampar Sebastian saat tahu putranya yang bodoh itu telah memutus pertemanan dengan Derrick White. Ayah Sebastian takut jika itu akan mempengaruhi kerjasama bisnis yang terjalin antara keluarga Wright dan keluarga White.
Maka dari itu Ayah Sebastian meminta anaknya itu untuk berbaikan dengan Derrick. Sayangnya, akhir-akhir ini Derrick selalu terlihat bersama dengan Vesa dan itu menyulitkan dirinya untuk mendekati Derrick lagi.
"Sialan, si miskin itu. Mengekor Derrick ke mana-mana," ucap salah seorang teman Sebastian yang juga tak suka melihat keakraban Vesa dan Derrick.
"Keparat, memang!" maki Sebastian.
"George, apa kau sudah menyiapkan apa yang aku minta kemarin?" tanya Sebastian dengan kesal.
"Sudah bos," jawab George sambil tersenyum miring.
Sebastian menyeringai, "Bagus. Sudah saatnya si miskin itu mendapatkan balasannya."
Halo, readers. Kita ketemu lagi di sini. Akhirnya selesai juga season kedua ini. Lega sekali rasanya bisa menyelesaikan cerita ini. Zila ucapkan banyak terima kasih yang sudah antusias membaca kisah Vesa Araya, anak dari Valentino Araya ini dan mengikutinya sampai akhir. Semoga ceritanya tidak mengecewakan ya dan kalian puas dengan cerita ini. Endingnya semoga juga memuaskan bagi para readers ya dan nggak ada yang kecewa. Zila harap kisah Vesa Araya ini semoga bisa diingat oleh para pembaca. Akhir kata, Zila harap bisa membuat cerita lain yang juga disukai para pembaca. Salam hangat dari Zila Aicha, sampai ketemu di karya Zila berikutnya.
Tubuh Gea terlihat begitu mengerikan. Dadanya tertancap pisau dan mulutnya mengeluarkan busa serta matanya pun terbuka.Vesa langsung memerintah, "Hubungi polisi sekarang."Inka menutup wajahnya karena tak sanggup melihatnya. Vesa langsung saja memeluk gadis itu agar Inka tak merasa takut."Siapa yang membunuhnya? Itu terlalu kejam, Vesa. Sungguh mengerikan," ujar gadis itu dengan suara bergetar."Kita akan segera tahu, biarkan polisi yang menanganinya," ujar Vesa.Tak lama kemudian polisi datang dan langsung saja memeriksa kasus itu."Apakah Anda berdua bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberi kesaksian?" tanya petugas polisi itu."Ya," jawab Vesa.Vesa pun mengajak Inka untuk ikut ketua polisi itu.Vesa dan Inka harus berada di kantor polisi setidaknya selama dua jam lamanya guna memberi kesaksian mereka. Dan saat dia telah selesai dan keluar dari ruang interogasi, dia melihat Lara, anak Gea itu datang ke kantor polisi dengan raut wajah yang penuh air mata."Apa Anda sudah mene
"Aku tidak membencimu, Alea. Hanya saja kau sudah keterlaluan," ucap Vesa. Dia lalu menggandeng Lara pergi dari sana.Alea berteriak, "Vesa."Vesa tak memperdulikannya. Alea hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan getir. Vesa sudah tak mau berhubungan lagi dengannya. Pria muda itu pastilah sudah begitu jijik padanya.Alea menjambak rambutnya sendiri lalu pergi dari kampus itu karena tak tahan melihat para mahasiswa yang menatapnya dengan tatapan aneh.Di sisi lain, Vesa berujar pelan, "Maafkan aku. Gara-gara aku, kamu jadi...""Tak apa. Well, omong-omong aku harus pergi sekarang, aku rasa temanku sudah datang," ujar Lara kemudian.Vesa mengangguk pelan, masih merasa begitu bersalah. Begitu gadis itu pergi, dia memilih untuk mengubah rencananya. Dia tak mungkin memanfaatkan Lara untuk menjebak Gea. Gadis itu tak tahu apa-apa. Entah kenapa, dia merasa jika Lara memang gadis polos. Maka dari itu dia memutuskan untuk menyerang Gea tanpa melibatkan Lara. Sore itu dia kembali
Hanya dalam waktu tak kurang dari tiga puluh detik saja, Stefan sudah mengirimkan sebuah photo begitu Vesa mematikan sambungan teleponnya.Vesa dengan tenang membuka pesan itu dan tersenyum miring begitu dia melihat photo itu.Kena kau, Gea. Vesa membatin.Segera dia mengantongi kembali ponselnya dan berjalan mendekati Lara sambil tersenyum cerah."Sudah selesai menghubungimu?" tanya Vesa yng jauh lebih ramah dari pada sebelumnya."Sudah. Mau berkeliling sekarang?" tanya Lara balik."Ya, langsung saja. Aku tak akan mengambil waktumu banyak-banyak," ucap Vesa.Lara mengangguk dan kemudian mulai bertindak sebagai seorang tour guide di sana. Meskipun baru meninggalkan kampus itu selama tujuh bulan lamanya, tapi kampus itu sudah cukup banyak berubah.Vesa mengenang masa-masa di kampusnya itu. Walaupun memang banyak kenangan buruk di sana, dia tetap masih sedikit kenangan baik hingga sekarang dia cukup merasa kecewa lagi ketika teringat masa-masa awal pertemanannya dengan Derrick.Derrick
Lara Serafin tergesa-gesa masuk ke dalam kampusnya, Greenwich University. Dia telah berjanji pada Gemma Jones semalam untuk menemani gadis itu ke perpustakaan.Saat dia melangkahkan kakinya menuju tempat itu, dia harus melewati segerombolan mahasiswa dari fakultas lain yang terlihat sedang berbincang-bincang santai.Lara begitu menikmati kehidupan barunya di kampus itu. Meskipun pada awalnya dia merasa banyak sekali hal yang begitu janggal seperti alasan yang tidak jelas sang ibu yang memilih negara ini. Di samping itu, ibunya yang sekarang ini memilih untuk bekerja dari rumah tentu membuatnya semakin bertanya-tanya.Ibunya, Gea Raharjo beralasan jika bekerja dari rumah berarti membuatnya memiliki waktu yang lebih banyak dengannya. Dikarenakan hal itu juga, Lara tak pernah bisa memprotes ataupun bertanya lebih banyak mengenai alasan utama ibunya itu.Dan ketika Lara bertanya tentang pekerjaan ibunya itu, ibunya hanya akan menjawab jika dia bergelut dengan saham. Entah saham yang seper
Derrick hanya bisa terdiam kala melihat sahabat baiknya pergi dari rumahnya. Dia melirik Alea sekilas, ingin sekali dia merengkuh tubuh Alea tapi di saat dia mendekat, Alea mundur ke belakang.Dengan wajah yang sudah basah karena air mata, Alea berkata dengan terisak-isak pelan, "Ini semua salahku. Salahku, Derrick."Derrick menggeleng, "Tidak. Ini salahku, Alea. Kau tidak salah. Aku yang membuat semuanya berantakan.""Aku yang datang padamu, aku yang paling bersalah," ujar Alea lagi."Aku yang memintamu datang, aku, Derrick," lanjut Alea.Derrick menyambar, "Dan aku juga mau datang ke sini. Oke, baiklah. Kita sama-sama bersalah. Kita berdua sama-sama bersalah."Alea jatuh terduduk di lantai halaman rumah Derrick, "Vesa pasti membenciku. Padahal kami baik-baik saja. Dia tidak pernah menyakitiku. Tapi kenapa aku? Derrick, aku hanya kesal karena dia tak pernah mau mengunjungiku ke sini. Padahal kan jelas uang bukan masalah baginya. Tapi dia lebih mementingkan perusahaannya itu. Aku hany