Share

Istri adalah pawang suami

Seorang perempuan tua mengenakan daster sederhana yang bahkan sudah sedikit robek dibagian bahu dan rambut yang digulung rendah menyambutnya dengan senyum terindah yang sudah lama tidak dilihatnya.

Ibunya syok melihat anak yang sudah lama dia rindukan tiba-tiba datang. Dia hanya diam mematung sementara Swastika bersujud dan mencium kaki ibunya sambil menangis kemudian dia berdiri dan langsung memeluk erat Ibunya seolah menyakurkan rasa rindu yang sudah menumpuk dihatinya hingga terasa sesak bukan main.

Kata maaf terus terucap dari bilah bibirnya. Setelah memandang Balin dan mendapat anggukan darinya, Ibunya yang semula diam membalas pelukan erat anak perempuannya itu. Air mata keduanya terasa tak mau berhenti hingga membuat baju mereka basah.

Rasa rindu yang sudah sangat lama mereka rasakan, mereka tuangkan semuanya bersamaan dengan keluarnya air mata kebahagiaan. Untaian doa yang selalu Ibunya panjatkan akhirnya terkabul dan dapat memeluk kembali anaknya yang telah lama menghilang.

Mendengar suara tangisan yang cukup kencang, seseorang yang sebelumnya berada diruang makan sedang menikmati makan siangnya berjalan keluar untuk melihat apa yang terjadi.

"Ayah" ucap Swastika lirih setelah melihat Ayahnya yang mendekati mereka bahkan masih memegang gelas yang berisikan teh hangat.

Setelah melihat siapa yang datang, Ayahnya diam terpaku tidak berbicara maupun bergerak. Dia hanya diam didepan pintu ruang keluarga yang memang langsung berhadapan dengan pintu luar.

Swastika segera melepas pelukan Ibunya dan berlari kemudian bersujud dikaki Ayahnya dan mencium kedua kakinya. Kata maaf terus terucap. Tapi ternyata dia mendapat respon yang berbading terbalik dengan yang didapat dari Ibunya. Sang Ayah justru menghentakkan kaki seolah risih dipegang oleh Swastika. Dan saat hentakan ketiga, Swastika melepaskan pegangannya. Dia menangis melihat Ayahnya justru pergi dan masuk kedalam kamarnya.

Balin yang sedari tadi mencoba menghalangi Abi untuk masuk akhirnya menyerah dan membiarkan Abi masuk. Sementara Itu Ibunya juga mendekati Swastika untuk membantunya bangun.

"MAMA" teriak Abi kemudian memeluk Mamanya yang masih menangis. "Kenapa kakek jahat sama Mama?" tanya Abi dengan sedikit kesal melihat perlakuan kakeknya.

"Abi" Swastika membalas pelukan anaknya tak kalah erat, Ibunya yang masih berada disana mengusap punggung anaknya agar bisa lebih tenang.

"Tidak sayang. Kakek baik, sangat baik. Oh, iya. Perkenalkan ini Nenek Abi. Maaf ya Mama baru bisa mengajak Abi main kesini sekarang" ucap Swastika setelah lebih tenang dan terus mengusap rambut Abi, sementara Abi menghapus jejak air mata dipipi Mamanya. "Dan Ibu, ini Abi anak Tika" ucapnya pada Ibunya.

"Tampannya cucu nenek. Kamu sudah besar ya. Boleh nenek peluk?" Abipun mengangguk dan justru dia yang lebih dulu memeluk neneknya.

Setelah melepas rindu dan sedikit bercanda yang masih dilakukan dilantai depan pintu ruang keluarga, Ibunya menyuruh Swastika dan Abi untuk beristirahat dikamar yang dulu ditempati oleh Swastika juga mengambilkan minum dan beberapa cemilan yang tadi malam dibelinya dipasar malam yang kebetulan sedang digelar dilapangan.

"Biar Ibu yang bicara" bisik Ibu pada Swastika yang tengah membantu Abi membuka kaleng toplea berisi cemilan. Swastika hanya mengangguk dan tersenyum kearah Ibunya.

"Ayah. Ibu masuk ya" ucapnya sebelum masuk kedalam kamar. Karena tidak mendapat jawaban apa-apa, akhirnya dia masuk dan melihat suaminya sedang berdiri didepan jendela dan masih memegang gelas yang isinya tidak berkurang sejak tadi. "Ayah. Cucu kita sangat tampan. Dia juga pintar" puji Ibunya untuk mencairkan suasana.

"Ini sudah 7 tahun lebih. Apa Ayah tidak rindu pada anak kesayangan Ayah? Ibu tau, saat tengah malam terbangun, Ayah sering pergi kekamar Tika" sambungnya saat berada tepat dibelakang suaminya sambil memegang tangan yang terasa dingin.

"Ibu tau darimana?" setelah mendengar ucapan istrinya, dia kemudian berbalik dengan tatapan heran juga sedikit malu karena ketahuan diam-diam pergi kekamar anaknya, setelah selama ini dia selalu bilang bahwa tidak ingin melihatnya lagi.

"Iya Ibu tau. Waktu itu Ibu terbangun ingin kekamar mandi trus dengar suara seseorang yang menangis, dan setelah Ibu ikuti arah suaranya, ternyata Ayah yang menangis didalam kamar Tika sambil memeluk fotonya dan bicara sendiri. Awalnya Ibu kira Ayah kesurupan jin tapi kok Ibu lihat hampir setiap hari Ayah seperti itu. Ayah pasti sangat merindukan Tika kan? Itu anaknya sudah ada didalam kamarnya. Sudah bisa dipeluk dan dicium" ucap Istrinya panjang lebar dengan nada yang dibuat sehalus mungkin agar tidak semakin membuat suaminya emosi.

"Ihh. Ibu nih, suaminya malah dikatain kesurupan" ucapnya sambil tersenyum malu karena sudah tertangkap basah oleh istrinya.

"Sudah. Ayo. diturunkan dulu egonya, kita kekamar Tika" ajak Istrinya sambil menggandeng suaminya dan mengambil gelas yang berada ditangan satunya untuk diletakkan diatas nakas.

Memang benar kata orang, istri adalah pawangnya suami. Hanya dengan beberapa kalimat saja, Ayah Swastika sudah luluh dan sekarang sudah berada didepan pintu kamar Swastika yang terbuka dan melihat anak juga cucunya sedang bercanda sambil melihat-lihat foto Swastika jaman dulu.

"Sayang" panggil Ibunya yang membuat keduanya menoleh dan raut wajah yang awalnya ceria menjadi sedikit tegang karena melihat Ayahnya berdiri disamping Ibunya.

Setelah disenggol beberapa kali oleh istrinya, Ayah Swastika maju dan berkata, "Maaf atas sikap Ayah yang tadi. Ayah tidak bermaksud untuk menyakiti kamu, Ayah cuma...."

Belum selesai dia bicara, Swastika sudah berlari kearahnya dan memeluknya dengan erat.

"Ayah. Maafin Tika ya Yah. Maaf karena Tika belum jadi anak yang membanggakan, tapi justru menjadi aib bagi keluarga" ucapnya setelah itu menyembunyikan wajahnya didada bidang Ayahnya sambil menangis.

"Tidak ada orang tua yang tidak memaafkan kesalahan anaknya. Kesalahan anak juga kesalahan orang tua. Kami yang gagal. Maaf kami tidak ada disaat kamu kesulitan dan sangat membutuhkan keberadaan kami" sesal Ayahnya sambil membalas pelukan anaknya dengan tak kalah erat, yang kemudian disusul Ibunya yang juga memeluk mereka.

Swastika memang lebih dekat dengan Ayahnya, sejak dulu Swastika selalu dimanja dan dituruti apapun maunya. Ayahnya sangat merindukan Swastika, dia seperti kehilangan separuh semangat hidupnya saat Swastika memutuskan untuk kabur. Rasa kecewanya berangsur melebur menjadi rasa rindu yang teramat dalam pada anaknya itu.

"Ini Abi tidak diajak pelukan?" sejenak mereka melupakan Abi yang sedari tadi melihat mereka bertiga berpelukan.

"Ya ampun. Kakek sampai lupa. Sini sayang" ajak Ayah Swastika sambil menyuruh Abi untuk mendekat.

Awalnya Abi ragu, tapi setelah mendapat kode dari Mamanya, Abi langsung mendekat dan memeluk kakeknya tapi langsung dilepas. Semuanya heran melihat sikap Abi.

"Abi, kenapa sayang?" tanya Swastika yang keheranan.

"Iya sayang. Ada apa?" timpal neneknya yang langsung mengusap rambut Abi.

"Kakek Bau" jawab Abi sambil menutup hidung dan membuat yang berada disana tertawa terbahak-bahak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status