"Dokter lima belas menit lagi ruang operasi sudah siap" ucap salah satu perawat yang bertugas diruang operasi.Arya hanya berdeham dan sama sekali tidak berucap apapun, walau begitu auranya sudah membius siapa saja yang melihatnya, apalagi saat kacamatanya bertengger dihidung mancungnya seperti sekarang ini. "Oh My God. Jantung, kau baik-baik saja" gumam perawat itu setelah menutup pintu ruangan Arya sambil memegang dadanya sebelah kiri kemudian dia kembali keruang operasi. Arya memang dikenal sebagai dokter bertangan dingin yang tampan. Banyak operasi yang dianggap sulit tapi bisa dia atasi. Walau usianya yang masih tergolong muda, kemampuannya sudah diatas rata-rata dari dokter seusianya. Dengan kemampuannya ini, dia menjadi langganan para pejabat beserta keluarganya, pengusaha juga para selebritis. Bahkan sempat ada rumor kalau dia memiliki hubungan dengan salah seorang model terkenal. Seperti operasi kali ini, bahkan profesor sekalipun banyak yang menolak dan menyarankan untuk
Pagi-pagi sekali Balin sudab berada di apartement Elena dan sedang memasak untuk sarapan. Bukan masakan rumit, dia hanya menganggang roti dan memberi selai diatasnya juga segelas susu dan air putih. TokTokTok"Elena, bangun" teriak Balin sambil terus mengetuk pintu kamar Elena yang masih tertutup rapat. Pada awalnya, dia mengetuk dengan cukup pelan tapi lama-kelamaan semakin keras karena tidak kunjung mendapat jawaban. "Dobrak ya nih" teriaknya lagi sambil terus mengetuk pintu dengan kasar. Elena yang masih tidur akhirnya terbangun karena merasa terganggu dengan suara bising itu. "Apa sih itu berisik banget" gumam Elena masih dengan mata tertutup. Tapi bukannya bangun, dia justru menutup telinganya menggunakan bantal. Dibalik pintu, Balinpun tidak menyerah. Dia terus mengetuk pintu dengan kasar. "Argghh... Berisik banget sih" teriaknya lagi karena ketukan itu semakin kencang dan brutal juga disertai umpatan. Mau tidak mau dia akhirnya bangun dan membuka pintu. Saat dia membuka
Balin langsung berlari menuju dapur menyiapkan pesanan Ibunya kemudian ke kebun belakang untuk memanggil Ayahnya. "Yah. Sebenarnya Balin anak kandung atau anak pungut sih?" tanya Balin sambil duduk didekat Ayahnya yang bercucuran keringat karena baru saja menebang beberapa pohon pisang yang buahnya sudah matang. "Emang keliatannya bagaimana?" jawab Ayahnya dengan santai dan seolah tidak peduli dengan pertanyaan konyol sang anak Karena bagaimanapun Balin sangat mirip dengan dirinya saat muda dulu, jelas dia tidak meragukan kalau Balin adalah benar anaknya. "Tadi Balin datang sana Elena. Bisa-bisanya Balin dicuekin dan disuruh ini itu. Disuruh panggil Ayah juga buat kedepan" Ayahnya langsung bangkit dan segera masuk kedalam rumah meninggalkan parang dan pisang berjejer yang baru ditebangnya begitu saja. Balinpun membawa masuk semuanya dan kemudian dia membawa cemilan dan air minum ke ruang tamu setelah Ibunya berteriak beberapa kali memanggil namanya. "Hubungan kamu dan Balin seben
Balin dengan cepat langsung menarik Doni dan menghajarnya. Pada awalnya Doni mencoba melawan, tapi tenaganya kalah jauh dengan Balin yang memang rutin latihan boxing. Sedangkan Elena masih diam terpaku setelah melihat apa yang Doni lakukan pada Swastika sampai Balin mendorongnya hingga dia terjatuh didekat Swastika yang masih menangis ketakutan. Balin menyeret keluar tubuh Doni yang mulai tidak berdaya dan penuh luka lebam. Elena yang sudah sadar dari syoknya segera mengambil selimut untuk menutupi bagian dada Swastika karena bajunya sudah sobek kemudian memeluknya dengan sangat erat. Walau hatinya hancur sehancur-hancurnya karena melihat kelakuan Doni tapi kondisi sahabatnya jauh lebih penting baginya. Dalam pelukkannya, Swastika menangis tersedu-sedu. Balin yang sudah sampai didepan rumah, meletakkan Doni yang sudah terkapar begitu saja dilantai kemudian dia menelfon polisi dan orang tua Swastika. Papa Swastika yang mendapat kabar dari Balin buru-buru mengajak istri dan cucunya
"Kita Flashback keenam tahun lalu, saat Abi masih sangat kecil. Ingat waktu kamu ada job di NTT?" Elena pun menggangguk pertanda bahwa dia mengingat kejadian waktu itu, perjalanan dinasnya kesekian kali tapi untuk pertama kalinya dia menginjakkan kakinya di NTT dan sampai sekarang belum ada lagi klien yang mengundangnya kesana. "Saat kamu pergi, Doni mendatangi Swastika di kontrakan saat Abi sedang tertidur. Pada awalmya Swastika tidak menaruh curiga apapun pada Doni. Dia menerima bingkisan yang dibawa oleh Doni kemudian ke dapur untuk memindahkannya dipiring dan membuatkan minum. Saat dia sedang didapur, tiba-tiba Doni menghampirinya dan memeluknya dari belakang, sontak Swastika kaget dan langsung menepis tangan Doni yang ada di pinggangnya. Sadar mendapat perlawanan, Doni semakin menyudutkan Swastika dengan terus mendekatinya. Dan beruntunglah, saat itu tangan Swastika meraih pisau kemudian mengacungkan pada Doni, Swastika pun mengancam akan berteriak jika dia berani macam-macam.
Melihat Swastika yang sudah berada diluar rumah sakit, Balin mengajak Elena dan Abi yang baru saja bangun tidur untuk kembali ke mobil. "Om, Mama kenapa?" tanya Abi dalam gendongan Balin. "Kok Mama pakai kursi roda?" tanyanya lagi. "Mama capek, makanya pakai kursi roda" jawab Balin sambil melihat kanan kiri karena akan menyebrang jalan. "Kalau Abi sudah besar, Abi yang akan gendong Mama, Om" ucap Abi sambil menepuk dadanya dengan percaya diri. Balin dan Elena hanya tersenyum dan mengusap rambut lebat Abi dengan gemas. Setelah menurunkan Abi, Balin membantu memegang kursi roda saat Swastika mencoba berdiri dan masuk kedalam mobil. "Bagaimana hasilnya?" tanya Balin yang sekarang sudah duduk dibalik kemudi. Sementara Abu duduk bersama Elena dan neneknya dikursi belakang. "Hasilnya baru keluar paling cepat satu minggu lagi" jawab Swastika yang sudah merasa lebih baik. Disepanjang perjalanan, Abi tertawa riang, dia bernyanyi dan menggoda nenek dan kakeknya yang duduk di kursi paling
"Kalian bersih-bersih dulu terus makan, Ibu tunggu" ucap Ibu Balin setelah membukakan pintu untuk keduanya. Dia tidak lagi tersenyum ramah seperti saat menyambut Elena pertama kali. Elena merasa sakit saat melihat perubahan sikap Ibu dan Ayah Balin tapi dia sadar bahwa mereka pasti sangat kecewa setelah tau kebenarannya. Balin yang biasanya mengeluarkan banyolan-banyolan kali ini benar-benar diam dan hanya menundukkan kepala. Setelah menyelesaikan mandi dan makan, Balin dan Elena mendatangi orang tua Balin yang sedang menonton tv di ruang keluarga. "Bu" sapa Elena tapi hanya mendapat deham dari Ibu Balin. "Bu, jangan seperti itu. Semua Balin yang salah. Balin yang menyuruh Elena untuk pura-pura jadi pacar Balin. Balin yang memaksa Elena" jelas Balin sambil duduk jongkok di depan Ibunya. "Ayah sama Ibu tidak pernah mengajarkan kamu untuk berbohong. Tapi teganya kamu melakukan itu sama kami" ucap Ayahnya yang sedari tadi hanya diam sedang mencurahkan rasa kecewanya. "Maaf Yah, Bu
Arya yang sejak tadi menunggu disekitar rumah Swastika akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana mencari warung karena merasa lapar dan mungkin sedikit mengorek informasi dari warga sekitar. "Nasi gorengnya pedes ya Pak, tambah telur ceplok setengah matangnya satu" ucapnya yang mendapat anggukan kepala dari si Abang Nasgor. Saat sedang menunggu pesanannya, beberapa orang sedang membicarakan perihal kejadian yang menimpa keluarga Pak Rudi. Awalnya Arya bingung, siapa sebenarnya Pak Rudi? Tapi setelah semakin lama menguping pembicaraan warga setempat, akhirnya Arya mengetahui bahwa yang dibicarakan adalah keluarga Swastika. "Terus bagaimana kelanjutannya Pak?" tanyanya dengan nada yang dibuat sehalus mungkin tapi tetap saja terdengar kaku dan seolah dibuat-buat. "Dibawa kekantor polisi Pak. Tadi saya juga kaget tiba-tiba dengat suara sirine mobil polisi, kirain bakalan ada grebekan ternyata ke rumahnya Pak Rudi" jawab salah satu dari mereka dengan nada medok khas orang Kebumen. "I