"Itu hanya mimpi buruk Abi. Tadi Abi baca doa sebelum tidur?" tanya Swastika sambil terus mengusap punggung Abi.
Abi hanya menggeleng dan saat nafasnya mulai teratur, Swastika melepas pelukkannya kemudian mencium kening anak semata wayangnya itu. Elenapun mendekat dan memberikan segelas air putih agar Abi kembali tenang."Sudah jagoan. Mulai sekarang kalau mau tidur harus baca doa dulu. Ok" ucap Elena yang mengusap rambut tebal Abi.Setelahnya, Swastika mengantar Abi kembali kedalam kamar dan menyuruhnya untuk tidur lagi tapi Abi menolak dan justru berlari kearah Elena dan memeluknya."Ada apa Sayang?" tanya Elena sambil bermain kode-kodean dengan Swastika yang berada didepan pintu kamar Abi.Abipun membisikkan keinginannya dan membuat Elena justru tertawa tetapi tetap mengiyakan asalkan mendapat ijin dari Mamanya. Awalnya Abi ragu untuk bilang ke Mamanya, dia tidak berani bicara dan hanya melirik Mamanya saja. Tapi setelah Elena meyakinkannya, akhirnya Abi memberanikan diri minta ijin.Swastika memberinya ijin asalkan PR-nya sudah selesai dikerjakan. Dan akhirnya dengan semangat membara, Abi mengerjakan PR dikamarnya.Setelah PR Abi di cek Swastika dan semua jawabannya benar, akhirnya mereka pergi ke salah satu mall sesuai dengan permintaan Abi yang ingin bermain di Timezone.Sampai di Timezone, Abi langsung menarik tangan Elena dan mengajaknya bermain, meninggalkan Swastika yang merasa dilupakan. Sambil menunggu Elena dan Abi yang sedang bermain, Swastika duduk disebuah cafe yang juga berada di sekitar kawasan Timezone. Setelah pesanannya datang, dia mengeluarkan buku yang memang sedang dia ikuti."Selamat siang Nona, Apakah tempat duduk ini kosong? Bolehkah saya duduk disini?" tanya seseorang yang sudah berdiri didepannya."Maaf. Tapi..... Balin" ucapnya saat melihat ternyata Balin yang sedang mengajaknya bicara, karena terlalu fokus membaca dia jadi tidak menyadari bahwa itu suara Balin."Mana Abi?" tanya Balin sambil menarik kursi dan duduk disana."Main disana" tunjuk Swastika pada permainan bombomcar."Bersama bocah bar-bar itu? Mereka memang cocok. Sangat cocok" ucapnya sambil terus mengangguk karena heran kelakuan Abi lebih mirip Elena yang bar-bar daripada Mamanya yang lemah lembut.Sambil sesekali melihat dan melambaikan tangan kearah Abi, mereka melanjutkan mengobrol dan membicarakan perihal perkembangan apotek yang dikelola oleh Swastika dan rencana kedepannya termasuk rencana untuk mempertemukan Abi dengan Orang tua Swastika.Sebenarnya Swastika masih ragu untuk mempertemukan mereka, dia takut Abi tidak diterima dengan baik disana dan akan menjadikan Abi trauma terhadap nenek dan juga kakeknya.Dan setelah satu minggu berpikir, akhirnya hari ini Swastika berencana mengajak Abi untuk mengunjungi Nenek dan Kakeknya."Rumah nenek sama kakek jauh Ma?" tanya Abi yang antusias ingin bertemu dengan mereka, dia bahkan yang memilih sendiri apa-apa saja yang akan mereka berikan setelah sampai disana."Tidak sayang. Tapi kalau Abi capek dan mengantuk, Abi tidur dulu saja. Kalau sudah sampai nanti Mama bangunin" ucap Swastika sambil mengusap kepala Abi yang duduk dikursi belakang dan saat ini berdiri diantara kursi depan.Dan benar saja, belum lama mereka berkendara, Abi sudah tertidur pulas. Sementara Swastika sama sekali tidak bisa tidur, pikirannya terban kemana-mana membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti.Tanpa terasa saat ini sebuah mobil berhenti tepat didepan sebuah rumah sederhana dengan cat yang sudah memudar ditembok bagian luarnya dan pekarangan yang dulu tertata indah, penuh dengan banyak tanaman hias, sekarang justru tidak terawat dan banyak sampah.Balin turun lebih dulu, sedangkan Swastika masih didalam mobil mengatur pikiran dan hatinya. Sesekali dia melihat Abi yang sedang tertidur pulas. Setelah menguatkan hatinya, Swastika turun dari mobik setelah beberapa kali Balin melambaikan tangan untuk menyuruhnya turun.Dengan langkah pelan dan jantung yang berdegup kencang, Swastika terus melangkah hingga sampai didepan pintu. Beberapa kali tangannya terangkat untuk mengetuk tapi dia turunkan lagi karena masih ragu. Setelah Balin meyakinkannya lagi, akhirnya Swastika mengetuk pintu yang terlihat sudah mulai lapuk.Satu ketuk, dua ketuk tidak ada jawaban hingga saat dia akan mengetuknya lagi, tiba-tiba pintu terbuka dan menampilkan sosok yang sangat tidak asing bagi Swastika, dan seseorang yang sangat dia rindukan."Ibuuu"Seorang perempuan tua mengenakan daster sederhana yang bahkan sudah sedikit robek dibagian bahu dan rambut yang digulung rendah menyambutnya dengan senyum terindah yang sudah lama tidak dilihatnya. Ibunya syok melihat anak yang sudah lama dia rindukan tiba-tiba datang. Dia hanya diam mematung sementara Swastika bersujud dan mencium kaki ibunya sambil menangis kemudian dia berdiri dan langsung memeluk erat Ibunya seolah menyakurkan rasa rindu yang sudah menumpuk dihatinya hingga terasa sesak bukan main. Kata maaf terus terucap dari bilah bibirnya. Setelah memandang Balin dan mendapat anggukan darinya, Ibunya yang semula diam membalas pelukan erat anak perempuannya itu. Air mata keduanya terasa tak mau berhenti hingga membuat baju mereka basah. Rasa rindu yang sudah sangat lama mereka rasakan, mereka tuangkan semuanya bersamaan dengan keluarnya air mata kebahagiaan. Untaian doa yang selalu Ibunya panjatkan akhirnya terkabul dan dapat memeluk kembali anaknya yang telah lama menghilang
Setelah mendapat ejekan dari cucunya, Ayah Swastika segera pergi mandi dan berganti pakaian. Dan kemudian bermain dengan cucunya lagi. Mereka bahkan terlihat seperti seorang teman, saling bercerita dan enggan pergi jauh satu sama lain. Sementara Balin yang sudah pulang ke rumah orang tuanya sejak Abi berlari masuk untuk memeluk Mamanya yang sedang menangis didepan pintu, saat ini sedang disidang oleh kedua orang tuanya karena belum juga membawa pulang calon menantu. Ini adalah salah satu hal yang membuatnya malas untuk pulang sejak terakhir kali dia memutuskan untuk pulang. Berbanding terbalik dengan Balin, Elena saat ini sedang kasmaran karena Doni menyusulnya dan saat ini sedang mengajaknya kesalah satu restoran terkenal. "Kamu berapa hari disini?" tanya Elena sambil memotong daging steak kemudian melahapnya. "Hanya dua hari, besok aku harus sudah balik lagi. Ada kerjaan yang tidak bisa ditinggal" jawabnya sambil juga menikmati daging steak yang direkomendasikan oleh Elena. "Kam
"Dokter lima belas menit lagi ruang operasi sudah siap" ucap salah satu perawat yang bertugas diruang operasi.Arya hanya berdeham dan sama sekali tidak berucap apapun, walau begitu auranya sudah membius siapa saja yang melihatnya, apalagi saat kacamatanya bertengger dihidung mancungnya seperti sekarang ini. "Oh My God. Jantung, kau baik-baik saja" gumam perawat itu setelah menutup pintu ruangan Arya sambil memegang dadanya sebelah kiri kemudian dia kembali keruang operasi. Arya memang dikenal sebagai dokter bertangan dingin yang tampan. Banyak operasi yang dianggap sulit tapi bisa dia atasi. Walau usianya yang masih tergolong muda, kemampuannya sudah diatas rata-rata dari dokter seusianya. Dengan kemampuannya ini, dia menjadi langganan para pejabat beserta keluarganya, pengusaha juga para selebritis. Bahkan sempat ada rumor kalau dia memiliki hubungan dengan salah seorang model terkenal. Seperti operasi kali ini, bahkan profesor sekalipun banyak yang menolak dan menyarankan untuk
Pagi-pagi sekali Balin sudab berada di apartement Elena dan sedang memasak untuk sarapan. Bukan masakan rumit, dia hanya menganggang roti dan memberi selai diatasnya juga segelas susu dan air putih. TokTokTok"Elena, bangun" teriak Balin sambil terus mengetuk pintu kamar Elena yang masih tertutup rapat. Pada awalnya, dia mengetuk dengan cukup pelan tapi lama-kelamaan semakin keras karena tidak kunjung mendapat jawaban. "Dobrak ya nih" teriaknya lagi sambil terus mengetuk pintu dengan kasar. Elena yang masih tidur akhirnya terbangun karena merasa terganggu dengan suara bising itu. "Apa sih itu berisik banget" gumam Elena masih dengan mata tertutup. Tapi bukannya bangun, dia justru menutup telinganya menggunakan bantal. Dibalik pintu, Balinpun tidak menyerah. Dia terus mengetuk pintu dengan kasar. "Argghh... Berisik banget sih" teriaknya lagi karena ketukan itu semakin kencang dan brutal juga disertai umpatan. Mau tidak mau dia akhirnya bangun dan membuka pintu. Saat dia membuka
Balin langsung berlari menuju dapur menyiapkan pesanan Ibunya kemudian ke kebun belakang untuk memanggil Ayahnya. "Yah. Sebenarnya Balin anak kandung atau anak pungut sih?" tanya Balin sambil duduk didekat Ayahnya yang bercucuran keringat karena baru saja menebang beberapa pohon pisang yang buahnya sudah matang. "Emang keliatannya bagaimana?" jawab Ayahnya dengan santai dan seolah tidak peduli dengan pertanyaan konyol sang anak Karena bagaimanapun Balin sangat mirip dengan dirinya saat muda dulu, jelas dia tidak meragukan kalau Balin adalah benar anaknya. "Tadi Balin datang sana Elena. Bisa-bisanya Balin dicuekin dan disuruh ini itu. Disuruh panggil Ayah juga buat kedepan" Ayahnya langsung bangkit dan segera masuk kedalam rumah meninggalkan parang dan pisang berjejer yang baru ditebangnya begitu saja. Balinpun membawa masuk semuanya dan kemudian dia membawa cemilan dan air minum ke ruang tamu setelah Ibunya berteriak beberapa kali memanggil namanya. "Hubungan kamu dan Balin seben
Balin dengan cepat langsung menarik Doni dan menghajarnya. Pada awalnya Doni mencoba melawan, tapi tenaganya kalah jauh dengan Balin yang memang rutin latihan boxing. Sedangkan Elena masih diam terpaku setelah melihat apa yang Doni lakukan pada Swastika sampai Balin mendorongnya hingga dia terjatuh didekat Swastika yang masih menangis ketakutan. Balin menyeret keluar tubuh Doni yang mulai tidak berdaya dan penuh luka lebam. Elena yang sudah sadar dari syoknya segera mengambil selimut untuk menutupi bagian dada Swastika karena bajunya sudah sobek kemudian memeluknya dengan sangat erat. Walau hatinya hancur sehancur-hancurnya karena melihat kelakuan Doni tapi kondisi sahabatnya jauh lebih penting baginya. Dalam pelukkannya, Swastika menangis tersedu-sedu. Balin yang sudah sampai didepan rumah, meletakkan Doni yang sudah terkapar begitu saja dilantai kemudian dia menelfon polisi dan orang tua Swastika. Papa Swastika yang mendapat kabar dari Balin buru-buru mengajak istri dan cucunya
"Kita Flashback keenam tahun lalu, saat Abi masih sangat kecil. Ingat waktu kamu ada job di NTT?" Elena pun menggangguk pertanda bahwa dia mengingat kejadian waktu itu, perjalanan dinasnya kesekian kali tapi untuk pertama kalinya dia menginjakkan kakinya di NTT dan sampai sekarang belum ada lagi klien yang mengundangnya kesana. "Saat kamu pergi, Doni mendatangi Swastika di kontrakan saat Abi sedang tertidur. Pada awalmya Swastika tidak menaruh curiga apapun pada Doni. Dia menerima bingkisan yang dibawa oleh Doni kemudian ke dapur untuk memindahkannya dipiring dan membuatkan minum. Saat dia sedang didapur, tiba-tiba Doni menghampirinya dan memeluknya dari belakang, sontak Swastika kaget dan langsung menepis tangan Doni yang ada di pinggangnya. Sadar mendapat perlawanan, Doni semakin menyudutkan Swastika dengan terus mendekatinya. Dan beruntunglah, saat itu tangan Swastika meraih pisau kemudian mengacungkan pada Doni, Swastika pun mengancam akan berteriak jika dia berani macam-macam.
Melihat Swastika yang sudah berada diluar rumah sakit, Balin mengajak Elena dan Abi yang baru saja bangun tidur untuk kembali ke mobil. "Om, Mama kenapa?" tanya Abi dalam gendongan Balin. "Kok Mama pakai kursi roda?" tanyanya lagi. "Mama capek, makanya pakai kursi roda" jawab Balin sambil melihat kanan kiri karena akan menyebrang jalan. "Kalau Abi sudah besar, Abi yang akan gendong Mama, Om" ucap Abi sambil menepuk dadanya dengan percaya diri. Balin dan Elena hanya tersenyum dan mengusap rambut lebat Abi dengan gemas. Setelah menurunkan Abi, Balin membantu memegang kursi roda saat Swastika mencoba berdiri dan masuk kedalam mobil. "Bagaimana hasilnya?" tanya Balin yang sekarang sudah duduk dibalik kemudi. Sementara Abu duduk bersama Elena dan neneknya dikursi belakang. "Hasilnya baru keluar paling cepat satu minggu lagi" jawab Swastika yang sudah merasa lebih baik. Disepanjang perjalanan, Abi tertawa riang, dia bernyanyi dan menggoda nenek dan kakeknya yang duduk di kursi paling