LOGIN
Di sudut bar yang redup itu, Vania duduk bersama Elisa, adik tirinya, dan Hendra, pria yang memenangkan hatinya. Mereka merayakan ulang tahun Hendra dalam suasana yang terasa begitu eksklusif, hanya Vania dan Elisa yang terpilih hadir. Hendra memang sengaja hanya mengundang mereka berdua agar suasana terasa lebih hangat.
"Ayolah sayang, minum sedikit saja." Rayu Hendra, kekasih Vania yang tengah menyodorkan wine dengan kadar alkohol tinggi. "Aku tidak terbiasa minum sayang," tolak halus Vania. "Come on baby, sedikit saja," kembali Hendra merayu Vania. Akhirnya mau tak mau Vania pun meminumnya dan tinggal setengah. "Ayolah sayang sedikit lagi," Hendra memaksa Vania untuk meminumnya hingga habis. Karena gelas wine tadi sudah berada dibibir Vania, Hendra langsung memaksanya untuk menghabiskan semua minuman itu. Vania pun tersedak karena tak biasa meminum minuman dengan kadar alkohol tinggi dan berbau menyengat. "Uhuk, uhuk" Vania pun sampai terbatuk. "Nah itu baru kekasihku," ucap Hendra sembari tersenyum dan merangkul Vania. Sesaat kemudian, Elisa, adik tiri Vania pun datang dari toilet. Hendra pun memberi kode pada Elisa agar membawa Vania ke kamar yang sudah mereka sewa sebelumnya di bar tersebut. "Ayo kak kita ke kamar," papah Elisa. Vania pun menurut saja karena kepalanya sudah mulai terasa berputar. Di belakang Vania, ternyata Elisa sudah menyiapkan kamar yang berisi pria gendut berkepala plontos yang sedang menunggu Vania. Pria tersebut sudah membayar mahal pada Elisa dan pria tersebut dijanjikan akan dilayani oleh wanita cantik dan juga masih perawan. Rupanya ini adalah rencana Elisa dan juga Hendra untuk menjebak Vania dengan memasukkan obat perangsang dan juga memberikan Vania pada pria hidung belang dengan imbalan yang cukup besar. Mereka adalah sepasang kekasih. Ya, Hendra memang pacar dari Vania, tapi ia juga pacar dari Elisa yang merupakan adik tiri Vania. Elisa dan juga Hendra berencana untuk menguasai harta peninggalan ibu dari Vania, termasuk perusahaan yang kini dikelola oleh Vania. "Masuklah kak," ucap Elisa. Elisa kemudian meninggalkan Vania sendirian. Vania pun mencekal tangan Elisa. "Kamu mau kemana, temani aku disini." Ujar Vania lemah. "Aku ke bawah dulu kak. Ponselku ketinggalan. Nanti aku akan balik lagi kesini. Kakak masuk duluan saja," ucap Elisa lagi sembari tersenyum lembut. Vania pun mengangguk. Ia tak curiga sama sekali dengan adik tirinya itu. Vania pun membuka pintu kamar. Walau kepalanya pusing, Vania bisa melihat jelas kalau kondisi kamar tersebut gelap gulita. Ia meraba tembok kamar dan mencoba mencari saklar lampu agar bisa terlihat lebih terang. Rupanya tangan Vania disentuh oleh seseorang. Vania pun terlonjak kaget dan ia pikir itu adalah Elisa. "Siapa itu? Elisa? Kamu Elisa kan?" tanya Vania. Ia masih memegangi kepalanya yang sedikit pusing. Tiba-tiba, lampu kamar pun menyala. Vania bisa melihat kalau ada laki-laki didepannya yang mencoba berbuat tak baik padanya. Pria tersebut mendekati Vania dari belakang, namun Vania yang merasa tidak nyaman langsung memberontak. Dengan gerakan cepat, Vania menginjak kaki pria tersebut dan berhasil melepaskan diri. Di kesempatan itu Vania segera meninggalkan ruangan tersebut, meninggalkan pria plontos itu dalam keadaan terkejut. Vania yang sedari tadi selalu menoleh ke belakang karena takut dikejar pria tadi, ia pun jatuh karena menabrak sesuatu. Brugghh,,!! Rupanya ia menabrak seorang pria misterius. Pandangannya mulai kabur dan ia pun jatuh pingsan. Entah apa yang terjadi selanjutnya ia pun tak tahu, karena saat ia bangun ia sudah berada di tempat tidur. "Kenapa badanku panas sekali ya rasanya," ucap Vania yang mulai mengibas-kibaskan tangannya. Padahal pendingin udara menyala tapi ia tetap merasa kepanasan. Ia pun membuka satu kancing bajunya sembari masih mengibas-kibaskan tangannya kearah lehernya. Ia lalu menuju kamar mandi dan ingin segera mendinginkan tubuhnya. Namun langkahnya terhenti karena ia mendengar ada gemericik air di dalam kamar mandi. "Siapa itu?," ucapnya pelan sembari berpikir. Bukankah dia sudah lepas dari pria gendut berkepala plontos tadi. Karena terlalu lama berpikir, ternyata pintu kamar mandi pun sudah dibuka dan Vania pun melihat ada pria tampan yang hanya memakai piyama mandi. Vania sedikit terkejut dengan kemunculan pria itu, namun pemandangan di depannya malah membuat Vania lebih kepanasan lagi. Ia pun menarik pria tersebut dan memeluknya dengan erat. Rupanya obat yang diberikan oleh Hendra tadi sudah mulai terasa efeknya. Vania merasakan sensasi yang aneh ketika kulitnya bersentuhan dengan pria misterius itu. "Sayang," Vania mulai meracau. Ia pikir yang ada dihadapannya ini adalah kekasihnya, Hendra. "Aku bukan kekasihmu!!" sentak pria itu yang mencoba melepaskan pelukan Vania. Lagi dan lagi Vania mendekati pria itu lalu menariknya ke tempat tidur dengan paksa. "Tolong aku," ucap Vania dengan suara parau. Wajahnya juga terlihat merah seperti kepiting rebus karena menahan sesuatu di bawah sana. Pria itu menyadari bahwa Vania sedang terpengaruh obat, dan dia tahu bahwa cara terbaik untuk mengurangi efeknya adalah dengan memberikan sentuhan dan kehangatan. Vania mulai menyentuh lembut tengkuk pria itu. Namun, tidak ingin selalu dipimpin, pria itu dengan lembut membalikkan posisi mereka, sehingga kini ia yang berada di atas. "Jangan salahkan aku. Ini adalah kemauanmu sendiri," ucap si pria misterius itu. Sang pria pun memulai aksinya menjelajahi tubuh Vania dengan penuh perhatian. Vania yang merasakan sentuhan itu sangat menikmatinya, meskipun ini adalah pengalaman pertama bagi Vania. Pria tersebut mencium bibir Vania dengan lembut, kemudian beralih ke tengkuk Vania dengan penuh kelembutan. Tidak hanya itu, pria itu juga dengan lembut menyentuh setiap lekuk tubuh Vania, membuat Vania merasakan sensasi baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pria itu terus memberikan sentuhan demi sentuhan pada Vania, membuatnya merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Vania merasa sebuah pengalaman baru yang mendebarkan. Ketika mereka semakin intim, Vania merasakan sedikit ketidaknyamanan di area pribadinya karena ini adalah kali pertama baginya. Namun, seiring waktu, ia mulai menyesuaikan diri dan menikmati irama yang diciptakan oleh pria tersebut. Hingga hampir 1 jam, barulah permainan itu usai. Pria itu ambruk dan tidur disebelah Vania. Vania yang juga kelelahan pun ikut tidur. Pagi pun datang. Vania kaget karena bunyi alarm dari ponselnya. Vania mencoba mengerjapkan matanya dan berusaha sadar walau kepalanya masih sangat pusing. Ia pun melihat waktu di ponselnya yang ternyata sudah menunjukkan jam 9 pagi. "Astaga, aku terlambat," ujar Vania. Saat ia mulai turun dari tempat tidur, ia pun meringis kesakitan. "Auww," Ia lebih terkejut dan tidak nyaman karena mendapati dirinya tidak mengenakan pakaian apapun. "Aaaaahhhh," Vania menjerit karena shock. Ia langsung berlari menuju ke kamar mandi sembari menutup pintu dengan keras. Brakk!! "Hah, hah, hah," nafasnya terdengar memburu karena terlalu terburu-buru. "Siapa pria itu?" tanyanya dalam hati.Tanpa menunggu lama, ia memanggil salah satu anak buahnya, menyusun rencana licik dengan senyum tipis penuh rencana di bibirnya."Pergilah ke kantor VL, pesan sebuah kalung berlian, katakan itu untuk nenekmu. Katakan dia mencintai keindahan, tapi kamu belum punya desain yang pas," ucap Xander dengan suara dingin yang tak meninggalkan ruang untuk protes.Dalam hati, hatinya bergemuruh, "Aku harus tahu, bagaimana sebenarnya kerja ibu tiri Vania."Sebelum rencana ini lahir, Xander sudah menyusuri jejak digital perusahaan itu, menelusuri setiap desain dan penghargaan yang dipajang. Rancangan-rancangan Vania, penuh estetika dan keindahan, bukan sekadar perhiasan biasa. Mereka adalah mahakarya yang memikat pelanggan-pelanggan elite hingga rela merogoh kocek dalam-dalam.Selain itu, ia juga ingin menghadiahkan kalung tersebut pada sang nenek, meski ia tahu bukan Vania yang mendesign kalung tersebut, jadi sudah pasti hasilnya akan berbeda dari ekspektasi
"Ayo kita masuk ke dalam," ucap dokter Willy sebelum ia menjawab pertanyaan dari Vania.Setelah mereka masuk ke dalam ruangan pak Widodo, bukannya menjawab pertanyaan Vania, justru dokter Willy balik bertanya."Vania, apakah kamu tahu obat yang di konsumsi pak Widodo selama ini?" Tanya dokter Willy."Tidak dok. Tapi yang ku tahu, dokter yang biasa menangani ayah saya itu memberikan beberapa obat yang dia klaim bisa menyembuhkan penyakit vegetatif ayah saya, walaupun dalam jangka waktu yang cukup lama karena katanya sarafnya rusak." Jawab Vania dengan jujur. Ia masih ingat betul apa perkataan dokter yang menangani kesembuhan sang ayah selama ini, jadi dia percaya saja."Sepertinya kamu telah dibodohi oleh dokter tersebut. Lihatlah hasilnya," ucap dokter Willy sembari menyerahkan kertas selembar berisi data hasil lab pak Widodo yang baru saja keluar."Apa maksudnya ini dok?" Tanya Vania yang tak faham dengan bahasa kedokteran."Dis
"Untuk informasi itu, saya belum menemukannya tuan. Para tetangga pun tak melihat kemana nona Vania pergi. Yang saya tahu, nona Vania pergi ke luar negeri untuk mengobati penyakit ayahnya yang tak kunjung sembuh sejak kecelakaan itu terjadi," ucap anak buah Xander lagi."Baiklah, informasi ini saya terima. Ingat, jangan bocorkan pada siapapun tentang informasi ini. Jika sampai kamu melakukannya, maka kamu tahu sendiri akibatnya," ucap Xander penuh dengan penegasan."Baik tuan. Ucapan anda adalah perintah bagi saya," ucap anak buahnya itu."Kamu keluarlah!" Titah Xander dan anak buahnya itu langsung menunduk patuh dan berjalan keluar pintu.Xander tenggelam dalam lamunan berat di ruangannya, pergulatan batin yang tak terbendung menghantui setiap detik waktu luangnya. Ketidakmampuannya untuk hanya diam dan terus-menerus dihantui oleh kenyataan bahwa ia telah merenggut kesucian Vania, membebani hatinya dengan rasa bersalah yang mendalam. Bagi Xander, momen itu mungkin juga baru bagi diri
"Xander," panggil nenek Bernett. "Iya nek," sahut Xander dengan penuh semangat, mulutnya penuh sesak dengan lahap menikmati setiap gigitan masakan lezat di hadapannya. "Benar-benar kangen masakan rumah!" Ucap Xander sembari tersenyum. Nenek Bernett tersenyum lembut ke arahnya, mengelus kepala Xander dengan sayang. "Puas ya, Nak? Rasanya seperti pelukan ibumu, kan?" Tanya nenek Bernett. Xander mengangguk, matanya berkaca-kaca, "Iya Nek, tiap suapan dari tangan Nenek seperti mendapat pelukan hangat dari ibu. Meski tak ada yang bisa menggantikan Ibu, tapi Nenek... Nenek buat hati ini begitu hangat." Ucapnya. Nenek Bernett memeluk cucunya itu, merapatkan dekapannya. "Nenek selalu di sini buat kamu, Nak. Cinta Nenek juga nggak akan berkurang sedikit pun Untukmu." Ucap nenek Bernett. "Terimakasih banyak Nek. Hiduplah lebih lama lagi Nek. Aku masih ingin merasakan ini lebih lama di hidupku," ujar Xander. "Tentu Xander. Nenek akan berusaha yang terbaik untuk kesehatan nene
Sementara itu, setelah mendapat telepon dari sang nenek, pria misterius itu pergi meninggalkan Vania sendirian di kamar tersebut. Sekitar 1 jam kemudian, pria tersebut sampai di rumah neneknya dengan membawa beberapa hadiah yang sempat ia beli sewaktu perjalanan menuju rumah sang nenek. "Nek," panggil pria tersebut. "Ah Xander, rupanya cucuku sudah pulang," ucap sang nenek sembari berjalan menuju kearah cucunya dan langsung memeluknya. Malam itu, Vania ditemani oleh seorang lelaki yang tidak lain adalah Xander Abraham Bernett, pengusaha muda yang namanya tersohor seantero jagat. Xander, yang masuk dalam daftar lima besar pengusaha terkaya di dunia, memiliki kekayaan yang belum pernah tertandingi di negeri ini. Dengan sikap yang elegan, Xander mencium punggung tangan neneknya, sebuah gestur yang menggambarkan hormat mendalam kepada sosok yang lebih tua. "Kamu kemana saja Xander? Kenapa tak ingat rumah? Apa kamu sudah lupa dengan nenekmu ini?" Ucap nenek Sania Bernett sendu, t
Aldo ke rumah Vania dengan membawa temannya yang seorang dokter ahli saraf. Mereka pun kemudian masuk kedalam tanpa memperdulikan ocehan bu Lina. "Heeeh awas kalian ya," kesal Bu Lina. Bu Lina juga ikut masuk kedalam sembari memperhatikan mereka. Sesaat setelah sampai di kamar pak Widodo, "Tolong periksa ayah saya dok," ucap Vania. Teman Aldo yang bernama Willy itu pun segera memeriksa keadaan ayah Vania yang hanya bisa terbaring lemah tak berdaya diatas tempat tidur. "Lebih baik kita segera membawa beliau kesana. Disana alat-alat kesehatannya sudah sangat canggih. Saya yakin ayahmu akan sembuh jika ditangani dengan baik disana," ucap teman Aldo tersebut. Vania pun menatap Aldo sesaat dan terlihat Aldo langsung mengangguk. Vania pun ikut mengangguk dan menyetujui keputusan dokter. Baginya, kesehatan sang ayah amatlah penting dari apapun. "Baiklah saya setuju," Vania segera mengambil koper miliknya dan milik sang ayah yang memang sudah ia persiapkan sebelumnya. "Tungg







