MasukPria yang ada disamping Vania pun terbangun karena mendengar jeritan Vania.
"Ini masih pagi, kenapa kau berisik sekali," ujar pria tersebut kesal karena waktu tidurnya terganggu, namun ia tak menemukan wanita disampingnya yang menemaninya semalam. Di sisi lain, pertanyaan demi pertanyaan terus berkecamuk di pikiran Vania. 'Kenapa jadi seperti ini? Siapa pria itu? Dan... apa yang sebenarnya terjadi semalam?' Vania tak menemukan satupun jawaban dari begitu banyak pertanyaan. Ia hanya bisa menghela nafas panjang karena semuanya terjadi begitu cepat. Sementara itu, si pria misterius terkejut karena ada noda d*rah di sprei. Ponsel milik pria itu berdering, "Halo nek," ujar pria itu. "Baiklah aku akan pulang sekarang juga," ucapnya lagi. Ia pun segera memakai kemeja dan juga jasnya. Ia lalu keluar dari kamar tersebut. Ternyata sang asisten sudah menunggunya diluar. "Selamat pagi tuan," ucap sang asisten. "Hm. Oh ya, selidiki siapa wanita yang ada didalam." Ujar si pria misterius. "Baik tuan," ucap sang asisten. Mereka pun kemudian pulang ke rumah untuk menemui nenek si pria misterius. *** "Apa dia sudah pergi?" tanya Vania pada diri sendiri. Sedari tadi ia menguping di pintu kamar mandi. Ia pun mencoba mengintip dan ia melihat kalau kamar itu sudah kosong. Ia mencoba mengendap-endap keluar dari kamar mandi. "Astaga," ucap Vania. Ia tak bisa membayangkan apa yang telah terjadi pada dirinya malam tadi. Ia lalu memungut bajunya satu persatu yang berserakan di lantai sembari mengatur nafasnya yang masih belum stabil. Vania pun kembali menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah selesai, ia kembali ke rumahnya dan bersiap untuk pergi ke kantor. Vania pun mengendarai mobilnya menuju rumah. Setelah beberapa saat mengemudi, ia pun sampai di rumahnya dan ternyata ia sudah disambut oleh ibu tirinya dan juga adik tirinya didepan pintu rumah. Plakk,!! Vania pun langsung di sambut dengan tamparan keras oleh ibu tirinya. "Dari mana saja kau gadis jalang?, masih berani kau pulang ke rumah, hah?" Tanya si ibu tiri, bu Lina, sembari berkacak pinggang. Wajahnya pun terlihat tak bersahabat sama sekali. "Dari mana aku tidak ada urusannya denganmu!" Jawab Vania lantang. Ia memang dari dulu tidak suka dengan ibu tirinya. Baginya, lebih baik tak punya ibu karena percuma saja, bu Lina hanya menyayangi anak kandungnya. Dari kecil Vania hanya dijadikan pembantu. Setelah besar pun Vania hanya dijadikan alat mencari uang untuk ibu tiri dan adik tirinya itu. Saat Vania umur 5 tahun, ayah dan ibunya mengalami kecelakaan. Sang ibu meninggal dunia di tempat, sedangkan dirinya dan sang ayah selamat dari kecelakaan tersebut dan mereka hanya mengalami luka-luka. "Sudah berani ya kau dengan ibumu!" Teriak bu Lina. Ia kembali mengangkat tangannya dan hendak menampar Vania lagi. Vania segera menangkap tangan bu Lina. Dihempaskannya tangan bu Lina itu dengan kasar hingga Bu Lina meringis kesakitan. "Cih, ibu kau bilang? lalu apakah kau menganggapku sebagai anakmu?" tanya Vania telak. "Ten-tentu saja," ujar bu Lina terbata. "Tentu saja tidak. Karena kau hanya mempunyai 1 anak, yaitu dia." Ujar Vania sembari menunjuk ke arah Elisa. Vania melangkah mendekati Elisa, lalu ia membalas tamparan ibu tirinya ke wajah Elisa dengan keras. Plakk,!! "Aww," Elisa sampai meringis kesakitan. Terlihat ada noda darah yang keluar dari sudut mulut Elisa. "Vania, apa-apaan kamu?" bu Lina begitu terkejut dengan aksi Vania yang spontan itu. "Itu akibatnya jika mengusik diriku. Jika kalian masih mencoba mempersulitku, aku akan melakukan yang lebih dari ini," ujar Vania. Sudah saatnya ia bertindak. Ia tak mau terus menerus ditindas oleh kedua benalu ini. Toh semua yang mereka miliki, seperti rumah dan juga perusahaan adalah milik ibunya, warisan dari kakek Vania. "Dan kau Elisa, urusan kita belum selesai." Ucap Vania sembari menunjuk ke arah Elisa. Vania pun masuk kedalam rumah. Ia sengaja menyenggol lengan Elisa hingga Elisa hampir terjatuh karena terhuyung. "Tunggu Vania," ujar bu Lina. Vania pun menghentikan langkah kakinya. Ia pun berbalik sambil tangannya bersedekap. "Apa lagi," Vania sudah nampak jengah dengan ibu tirinya. Bu Lina melemparkan map berwarna biru. Kertas didalam map itu pun berhamburan menyentuh lantai. "Bacalah," titah bu Lina pongah. Vania pun dengan malas memunguti kertas-kertas tersebut. Ia membaca satu persatu kertas yang ada di genggamannya dan ia sangat terkejut dengan apa yang tertulis didalamnya. "Apa-apaan ini?" tanya Vania kesal. "Apa kau buta? bacalah dengan seksama!!" ucap bu Lina lagi. Ia pun tersenyum licik. "Kalian tak bisa seenaknya seperti ini. Ini adalah warisan ibuku dan kalian tak berhak memilikinya!" Teriak Vania. "Tak bisa kami miliki? itu tandatangan asli milik ibumu dan juga ayahmu. Bagaimana bisa itu dibilang palsu? Ha ha," bu Lina tertawa lebar. Ia sangat senang karena semua aset milik ibunya Vania berpindah ke tangannya. Vania pun merobek kertas tersebut hingga menjadi bagian terkecil dan melemparkan kertas-kertas itu ke lantai. Ia tak bisa terima dengan semua yang terjadi. "Robek saja kertas itu. Aku masih menyimpan yang asli. Ha ha ha," gelak Bu Lina. Vania kemudian masuk ke dalam rumah dan masuk kedalam kamarnya tanpa memperdulikan ucapan Bu Lina. Brrakk,,!!Tanpa menunggu lama, ia memanggil salah satu anak buahnya, menyusun rencana licik dengan senyum tipis penuh rencana di bibirnya."Pergilah ke kantor VL, pesan sebuah kalung berlian, katakan itu untuk nenekmu. Katakan dia mencintai keindahan, tapi kamu belum punya desain yang pas," ucap Xander dengan suara dingin yang tak meninggalkan ruang untuk protes.Dalam hati, hatinya bergemuruh, "Aku harus tahu, bagaimana sebenarnya kerja ibu tiri Vania."Sebelum rencana ini lahir, Xander sudah menyusuri jejak digital perusahaan itu, menelusuri setiap desain dan penghargaan yang dipajang. Rancangan-rancangan Vania, penuh estetika dan keindahan, bukan sekadar perhiasan biasa. Mereka adalah mahakarya yang memikat pelanggan-pelanggan elite hingga rela merogoh kocek dalam-dalam.Selain itu, ia juga ingin menghadiahkan kalung tersebut pada sang nenek, meski ia tahu bukan Vania yang mendesign kalung tersebut, jadi sudah pasti hasilnya akan berbeda dari ekspektasi
"Ayo kita masuk ke dalam," ucap dokter Willy sebelum ia menjawab pertanyaan dari Vania.Setelah mereka masuk ke dalam ruangan pak Widodo, bukannya menjawab pertanyaan Vania, justru dokter Willy balik bertanya."Vania, apakah kamu tahu obat yang di konsumsi pak Widodo selama ini?" Tanya dokter Willy."Tidak dok. Tapi yang ku tahu, dokter yang biasa menangani ayah saya itu memberikan beberapa obat yang dia klaim bisa menyembuhkan penyakit vegetatif ayah saya, walaupun dalam jangka waktu yang cukup lama karena katanya sarafnya rusak." Jawab Vania dengan jujur. Ia masih ingat betul apa perkataan dokter yang menangani kesembuhan sang ayah selama ini, jadi dia percaya saja."Sepertinya kamu telah dibodohi oleh dokter tersebut. Lihatlah hasilnya," ucap dokter Willy sembari menyerahkan kertas selembar berisi data hasil lab pak Widodo yang baru saja keluar."Apa maksudnya ini dok?" Tanya Vania yang tak faham dengan bahasa kedokteran."Dis
"Untuk informasi itu, saya belum menemukannya tuan. Para tetangga pun tak melihat kemana nona Vania pergi. Yang saya tahu, nona Vania pergi ke luar negeri untuk mengobati penyakit ayahnya yang tak kunjung sembuh sejak kecelakaan itu terjadi," ucap anak buah Xander lagi."Baiklah, informasi ini saya terima. Ingat, jangan bocorkan pada siapapun tentang informasi ini. Jika sampai kamu melakukannya, maka kamu tahu sendiri akibatnya," ucap Xander penuh dengan penegasan."Baik tuan. Ucapan anda adalah perintah bagi saya," ucap anak buahnya itu."Kamu keluarlah!" Titah Xander dan anak buahnya itu langsung menunduk patuh dan berjalan keluar pintu.Xander tenggelam dalam lamunan berat di ruangannya, pergulatan batin yang tak terbendung menghantui setiap detik waktu luangnya. Ketidakmampuannya untuk hanya diam dan terus-menerus dihantui oleh kenyataan bahwa ia telah merenggut kesucian Vania, membebani hatinya dengan rasa bersalah yang mendalam. Bagi Xander, momen itu mungkin juga baru bagi diri
"Xander," panggil nenek Bernett. "Iya nek," sahut Xander dengan penuh semangat, mulutnya penuh sesak dengan lahap menikmati setiap gigitan masakan lezat di hadapannya. "Benar-benar kangen masakan rumah!" Ucap Xander sembari tersenyum. Nenek Bernett tersenyum lembut ke arahnya, mengelus kepala Xander dengan sayang. "Puas ya, Nak? Rasanya seperti pelukan ibumu, kan?" Tanya nenek Bernett. Xander mengangguk, matanya berkaca-kaca, "Iya Nek, tiap suapan dari tangan Nenek seperti mendapat pelukan hangat dari ibu. Meski tak ada yang bisa menggantikan Ibu, tapi Nenek... Nenek buat hati ini begitu hangat." Ucapnya. Nenek Bernett memeluk cucunya itu, merapatkan dekapannya. "Nenek selalu di sini buat kamu, Nak. Cinta Nenek juga nggak akan berkurang sedikit pun Untukmu." Ucap nenek Bernett. "Terimakasih banyak Nek. Hiduplah lebih lama lagi Nek. Aku masih ingin merasakan ini lebih lama di hidupku," ujar Xander. "Tentu Xander. Nenek akan berusaha yang terbaik untuk kesehatan nene
Sementara itu, setelah mendapat telepon dari sang nenek, pria misterius itu pergi meninggalkan Vania sendirian di kamar tersebut. Sekitar 1 jam kemudian, pria tersebut sampai di rumah neneknya dengan membawa beberapa hadiah yang sempat ia beli sewaktu perjalanan menuju rumah sang nenek. "Nek," panggil pria tersebut. "Ah Xander, rupanya cucuku sudah pulang," ucap sang nenek sembari berjalan menuju kearah cucunya dan langsung memeluknya. Malam itu, Vania ditemani oleh seorang lelaki yang tidak lain adalah Xander Abraham Bernett, pengusaha muda yang namanya tersohor seantero jagat. Xander, yang masuk dalam daftar lima besar pengusaha terkaya di dunia, memiliki kekayaan yang belum pernah tertandingi di negeri ini. Dengan sikap yang elegan, Xander mencium punggung tangan neneknya, sebuah gestur yang menggambarkan hormat mendalam kepada sosok yang lebih tua. "Kamu kemana saja Xander? Kenapa tak ingat rumah? Apa kamu sudah lupa dengan nenekmu ini?" Ucap nenek Sania Bernett sendu, t
Aldo ke rumah Vania dengan membawa temannya yang seorang dokter ahli saraf. Mereka pun kemudian masuk kedalam tanpa memperdulikan ocehan bu Lina. "Heeeh awas kalian ya," kesal Bu Lina. Bu Lina juga ikut masuk kedalam sembari memperhatikan mereka. Sesaat setelah sampai di kamar pak Widodo, "Tolong periksa ayah saya dok," ucap Vania. Teman Aldo yang bernama Willy itu pun segera memeriksa keadaan ayah Vania yang hanya bisa terbaring lemah tak berdaya diatas tempat tidur. "Lebih baik kita segera membawa beliau kesana. Disana alat-alat kesehatannya sudah sangat canggih. Saya yakin ayahmu akan sembuh jika ditangani dengan baik disana," ucap teman Aldo tersebut. Vania pun menatap Aldo sesaat dan terlihat Aldo langsung mengangguk. Vania pun ikut mengangguk dan menyetujui keputusan dokter. Baginya, kesehatan sang ayah amatlah penting dari apapun. "Baiklah saya setuju," Vania segera mengambil koper miliknya dan milik sang ayah yang memang sudah ia persiapkan sebelumnya. "Tungg







