Share

Kabar Menyakitkan

Ketika Ivy baru saja kembali dari pekerjaan paruh waktu sepulang kuliah, tak sengaja mendengar obrolan Payton dan Lucy.

"Pemberkatan pernikahan akan digelar minggu ini, Mama. Pestanya menyusul bulan depan. Bagaimana menurut Mama?" Lucy tampak semringah, sambil menggelayut manja di lengan Brian.

"Terserah bagaimana baiknya saja. Di mana diadakan pestanya?" Payton tersenyum lebar.

"Di rumah ini saja, Tante. Aku akan mengirimkan uang untuk biaya keseluruhannya. Atau Tante mau terima beres?" Brian menatap manis ke arah Lucy.

Hati Ivy terasa seperti ditikam pisau. Di saat dirinya harus menyeimbangkan antara mencari uang untuk menghidupi diri, mengurus ayah, juga menjaga kandungan, Lucy mendapatkan semua dengan mudah.

Jika biasanya Ivy bisa menahan diri, kali ini entah kenapa dia merasa begitu kesal. Apalagi ketika melihat bagaimana cara Brian mengusap lembut perut Lucy yang terekspos jelas itu. Lucy tanpa malu mengenakan tank top model crop top.

'Tuhan, ini tidak adil. Kenapa selalu aku yang mengalami nasib buruk sejak mereka datang dan merampas segalanya?' Air mata Ivy luruh.

Seharian tadi, Ivy berjuang keras untuk menahan rasa mual. Diajaknya janin dalam kandungan itu mengobrol. Meminta bantuan agar dikuatkan dalam mencari uang.

Menjadi pelayan di restoran cepat saji dengan status mahasiswi paruh waktu, membuatnya harus sigap melayani pembeli. Tidak ada waktu untuk meratapi nasib. Namun, melihat bagaimana hidup bersikap tak adil, muncul rasa yang tidak bisa diterjemahkan oleh Ivy.

"Sayang, bolehkah aku meminta set perhiasan di hari pemberkatan kita?" Lucy berucap sangat manja.

"Tentu saja. Apa pun untuk Ibu dari calon anakku," balas Brian tak kalah lembut.

Ivy tak sanggup bertahan lebih lama di sana. Bisa-bisa dia akan meneriaki dan menerjang sepasang kekasih yang sudah tega menusuk dari belakang itu.

Sambil berlinang air mata, Ivy mendatangi kamar ayahnya. Di lantai samping ranjang Alden, air matanya sering sekali tercurah deras. Lantai dingin menjadi saksi bagaimana seringkali dia tertidur dengan air mata yang masih membasahi pipi.

Ayahnya sedang tertidur pulas. Ivy duduk di sebelah ranjang. 'Ayah, kenapa aku harus mengalami ini semua? Kenapa Tuhan begitu percaya kalau aku mampu?'

Sejak Payton masuk ke mansion mereka, awan hitam begitu betah bertengger di atas langitnya. Lengkap dengan petir, angin kencang dan segala badainya. Hidup Ivy langsung berubah drastis.

Tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka. "Aku tau kau pasti di sini."

Cepat-cepat Ivy menghapus air matanya. Namun, dia masih enggan berbalik badan.

"Uh, kamar ini ... menjijikkan." Lucy bergidik jijik. "Ivy, aku hanya ingin memintamu untuk tidak berkeliaran di sekitar mansion malam ini."

"Iya."

"Kenapa kau tidak mau bertanya, ada acara apa malam ini?" Lucy mulai kesal.

"Apa aku perlu bertanya?" Suara Ivy benar-benar dingin dan datar.

Lucy memutar bola matanya, malas. "Malam nanti, keluarga Brian akan datang berkunjung. Untuk membicarakan tentang pernikahan. Ah, ya, mereka begitu antusias setelah mengetahui aku mengandung."

Ivy memejamkan matanya. Rasa sakit, marah, luka juga kecewa, bercampur menjadi satu. Cintanya masih sama untuk Brian. Namun, Ivy sadar, di tubuhnya juga sedang bersemayam janin dari laki-laki yang entah siapa namanya. Lagipula, apa Brian sudi melirik ketika mengetahui apa yang Ivy lakukan di malam terkutuk itu?

Ivy mengigit bibirnya. Rasa sakit itu menjalari sekujur tubuh. Sampai-sampai dia merasa sesak.

"Aku hanya ingin berterima kasih kepadamu, Kakak. Ternyata dicintai sepenuh hati oleh Brian, seindah ini." Lucy tertawa kecil.

Ivy tahu. Jika Brian mencintai seseorang, sikapnya akan sangat lembut dan penuh perhatian. Selama ini, Brian adalah sosok pelindung bagi Ivy. Wajar saja jika dirinya merasa kehilangan sandaran jiwa.

"Sudah? Jika kau hanya ingin memamerkan kebahagiaan, aku sudah mendengar semuanya. Selamat, Lucy." Sebisa mungkin Ivy menutupi rasa getir dari nada bicaranya.

"Ivy, kau Kakak yang terbaik. " Lucy tersenyum puas. "Ah, iya, bagaimana dengan hasil uji kehamilan itu?"

Ivy membelalak. Jantungnya berdetak kencang. Takut kalau diam-diam Alden mendengar semuanya. "Aku tidak mencobanya. Lagipula untuk apa? Aku cuma kelelahan karena terlalu sibuk dengan urusan kampus."

Lucy mengedikkan bahunya. "Ya sudah. Aku hanya mencemaskan keadaanmu. Siapa tahu terjadi sesuatu padamu di kamar pinjaman Mike malam itu."

Semakin mengerikan detak jantung Ivy. "Ti-tidak terjadi apa pun di sana. Aku hanya bekerja sampai larut malam. Kau tau, membereskan kekacauan akibat pesta itu sangat menyita waktu."

"Ya, ya. Terserah kau sajalah. Ingat, jangan berkeliaran! Aku tak mau kau merusak acaraku." Lucy mendengkus keras.

"Ah, seakan kau lupa, Brian adalah kekasihku yang kau rebut semudah itu," ucap Ivy, terlalu pelan. Hanya dia sajalah yang mendengarnya karena Lucy langsung beranjak keluar.

Ivy bangkit dari posisi bersimpuhnya di lantai. Berdesir darahnya ketika melihat Alden sudah membuka mata. Rasa takut menyergap, kalau-kalau sang ayah mendengar pertanyaan Lucy tentang alat uji kehamilan itu.

"Ayah."

Alden mengerjapkan mata. Ivy mendekat. "Aku tinggal sebentar, ya. Aku akan menyiapkan makanan."

Dengan segera, Ivy keluar dari ruangan sempit itu. Bukan hanya ruangan saja, hatinya pun ikut sempit setelah mengetahui dan mendengar langsung kabar gembira versi Lucy.

Ivy termangu di depan pintu dapur. Jam makan sudah selesai, entah masih ada yang tersisa, Ivy tak tahu.

"Ivy, apa kau lapar?"

Ivy menoleh dengan tatapan takut. Suara Payton terdengar begitu lembut, tetapi tetap saja mengerikan di telinga gadis muda itu. "Tan-tante, aku harus memberi makan Ayah."

Di luar dugaan, Payton tersenyum. "Mintalah koki memasak sesuatu. Untukmu juga."

Ivy menelan ludah. Seperti mendapatkan keajaiban ketika melihat sikap Payton yang tak biasa itu. "Ba-baik, Tante. Terima kasih."

Payton tersenyum. 'Makanlah yang kenyang, Anak Tiriku.'

Hatinya sedang baik karena Brian memberikan sejumlah uang. Jadi Payton berpikir tak ada salahnya sedikit berbaik hati ke pemilik sesungguhnya mansion dan segala isinya ini.

Ivy duduk sambil melamun di kursi kayu yang dahulu menjadi tempat paling hangat di dalam mansion. Dahulu, sesuai makan malam bersama, keluarga kecil mereka selalu mengobrol santai di sini.

Ah, Ivy bisa mendengar tawa lepas dari bibir ibunya. Lalu tatapan lembut dari Alden yang menatap Elisabeth penuh cinta.

"Ini. Bawalah. Aku tak punya banyak waktu untuk memasak menu lain." Riddle meletakkan nampan berisi sosis panggang, omelette dan cream sup.

"Terima kasih banyak, Tuan. Tuhan memberkati Anda." Ivy tersenyum tulus sambil membawa keluar nampan itu.

Riddle hanya bisa menghela napas panjang. 'Bahkan setelah aku berkata ketus, kau malah mendoakan kebaikan untukku.'

Mood Ivy berubah baik hanya karena makanan itu. "Ayah pasti senang bisa makan enak lagi."

Baru saja Ivy berbelok ke lorong yang menghubungkan antara dapur dan kamar ayahnya, sesuatu terjadi.

"Oopst, aku tak sengaja, Ivy," ucap Lucy sambil memasang wajah memelas.

Isi nampan itu tumpah mengotori lantai. Mata Ivy berkaca-kaca. Hilang sudah kesempatan untuk menyuapi ayahnya dengan makanan yang lebih manusiawi ketimbang biasanya.

Tubuh Ivy luruh ke lantai. Tak peduli jika pakaian lusuh yang dikenakannya terkena tumpahan makanan itu.

"Ivy, aku akan meminta Riddle memasaknya lagi. Tunggulah sebentar." Lucy langsung menjauh.

Ivy meremas ujung pakaiannya. Dia heran kenapa nasib sial selalu saja mengikuti langkahnya.

"Dasar, pemalas dan kotor," ejek Lucas yang entah muncul dari arah mana.

Gemetar jemari Ivy ketika membereskan makanan yang sudah tidak bisa dimakan itu. Jika orang lain mungkin santai ketika tak menghabiskan makanan, Ivy malah merasa sakit hati. Menu seperti ini saja merupakan kesempatan langka untuk dinikmati olehnya dan Alden.

Setelah membereskan kekacauan akibat isi nampan yang tertumpah itu, Ivy kembali ke dapur.

"Ivy, baru saja aku hendak mengantarkannya. Kau malah sudah ke sini." Lucy tersenyum lebar. "Ini. Bawalah. Ayahmu pasti lapar."

Ivy tersenyum tipis mendengar panggilan itu. Dia enggan menanggapi dan memilih mengambil alih nampan yang berisi menu sama seperti tadi.

"Terima kasih."

"Ingat, jangan berkeliaran!" Lucy separuh berteriak karena Ivy sudah keluar dari pintu dapur.

Kali ini, Ivy lebih berhati-hati dalam melangkah. Walau kondisi pakaian Ivy agak berantakan, tetapi senyumnya mengembang ketika memasuki kamar.

"Ayah, ayo, makan." Ivy dengan telaten menyuapi Alden.

Setelah Alden bereaksi dengan isyarat penanda sudah kenyang, barulah Ivy memakan sisa makanan sampai habis.

Ivy menguap berkali-kali. Dilihatnya Alden pun sudah kembali terlelap. Padahal belum jam tidur, tetapi rasa kantuknya tak tertahankan lagi. Tanpa sadar, Ivy sudah merebahkan tubuh di atas lantai dingin itu.

Di depan pintu kamar yang tak tertutup rapat itu, seulas senyum muncul di wajah sang pengintip.

Lysa_Yovita22

Hai, Dear Pembaca, Salam kenal, ya. Semoga suka dengan karya baruku. Tolong tinggalkan komentar dan dukungan bintang limanya. Big hug 🌹💙

| Like
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cindy Listiyani Aprilian
up yg banyak thor biar aku semngat juga ngasih gems nyaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status