Share

Anak Selundupan Suamiku
Anak Selundupan Suamiku
Author: kupukupuku

99.99% dan 0%

Probabilitas Soraya Wirma Malik sebagai ibu dari Nala Arvino Bentala adalah 99.99%.

Probabilitas Soraya Wirma Malik sebagai ibu dari Naka Arvino Bentala adalah 0%.

Soraya seketika membeku saat membaca tulisan bercetak tebal yang tercantum di dua kertas hasil pemeriksaan DNA terhadap sepasang anak kembarnya. Dengan tangan yang bergetar, ia pun segera membuka map kuning satunya untuk mengeluarkan hasil yang ada di dalamnya.

Probabilitas Arvino Hardean Bentala sebagai ayah dari Nala Arvino Bentala adalah 99.99%.

Probabilitas Arvino Hardean Bentala sebagai ayah dari Naka Arvino Bentala adalah 99.99%.

Apa-apaan ini? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

Bagaimana mungkin hasil pemeriksaan terhadap suaminya itu normal, sementara dirinya terhadap putra mereka Naka berbeda.

“Sus, ini pasti ada yang salah.” Soraya dengan cepat mengangkat wajahnya lagi untuk bicara dengan staf rumah sakit yang menyerahkan hasil pemeriksaan itu. “Ada yang salah dari hasil pemeriksaan ini, Sus. Anda mungkin salah membandingkan sampelnya atau semacamnya.”

“Maaf, Bu. Tapi itu tak mungkin terjadi, Bu. Karena kami selalu memastikan agar sampel yang masuk terjaga keakuratannya sampai hasilnya keluar. Seperti yang Anda lihat di hari penyerahan sampel, saat itu petugas yang berwenang langsung menyegel data dan sampel yang dibutuhkan di depan Anda. Data tersebut lalu dijaga sehingga hanya dibuka oleh petugas profesional yang berwenang. Jadi hal-hal seperti salah membandingkan atau tertukar tak mungkin terjadi,” jelas petugas itu dengan panjang lebar.

“Tapi ini ngawur loh Sus hasilnya. Nggak masuk akal sama sekali. Bagaimana mungkin hasil tes saya nggak cocok dengan salah satu anak kembar yang saya lahirkan dari rahim saya sendiri.” Soraya mencoba untuk tetap sopan walaupun hatinya kini telah tak karuan. “Atau kalau enggak… mungkin ada yang jahat kali, Sus. Mungkin tanpa sepengetahuan Suster ada yang menukar salah satu hasilnya dengan sembarangan kertas?”

“Maaf, Bu. Tapi hal seperti itu juga tak mungkin terjadi. Kami menjamin keamanan data yang masuk di dalam ruangan khusus dengan pantauan CCTV dan hanya diakses oleh staf kami saja. Jadi tak akan ada orang luar yang bisa keluar masuk ke sana tanpa sepengetahuan kami. Sehingga selama Ibu yakin telah memasukkan data dan sampel yang benar, maka hasilnya sudah pasti akurat.”

“T-Tapi, Sus—“

“Sampe kapan sih Mbak, kamu mau denial?”

Ucapan Soraya terpotong saat ucapan sinis dari suara menyebalkan itu terdengar. Benar saja, seorang wanita yang berusia lebih muda darinya tampak berdiri di sana dengan pakaiannya yang glamor itu. Di mana dia juga tampak memegang sebuah map kuning di tangannya.

“Hasil DNA antara Mbak dan Naka nggak bakalan cocok. Karena seperti yang sering kukatakan, kalau dia adalah anakku dan Mas Vino.”

Soraya semakin merasa terguncang. Nyatanya selama ini ucapan wanita itu telah cukup mengusiknya, namun kini dia seperti menemukan sebuah bukti pendukung untuk itu semua. Di mana kini kenyataan semakin tak sesuai dengan harapan.

Tapi tidak. Ini belum tentu sepenuhnya benar. Ini masih berkemungkinan dimanipulasi. Sehingga Soraya harus tetap tenang agar tak terprovokasi.

“Saya bilang kamu nggak usah ikut campur dengan urusan saya. Kenapa juga kamu sampai mengikuti saya ke sini? Karena saya nggak percaya sama kamu—“

“Mbak selalu bilang begitu, tapi akhirnya terpengaruh juga kan? Buktinya Mbak sampai melakukan tes DNA terhadap kedua anak yang awalnya sangat Mbak yakini sebagai darah daging Mbak itu. Lalu lihat sendiri hasilnya, bukan? Mau sampai kapan Mbak bersikeras dan terus saja denial?!”

Mendengar perempuan ini tak akan pernah ada gunanya. Yang ada Soraya malah dibuat malu dengan perhatian semua orang di sekitar mereka akibat ucapan tak tahu malunya. Sehingga lebih baik dia pergi saja dan mengabaikan perempuan gila ini.

Tapi bagaimana bisa? Karena dia masih saja bersikeras mengikuti Soraya.

“Semua yang kubilang terbukti kan, Mbak? Mbak jangan terus menghindar begini dan akui saja kenyataannya. Seperti yang kubilang, kalau aku dulu juga melahirkan anak dari Mas Vino berdekatan dengan waktu Mbak melahirkan. Saat itu Mbak melahirkan Nala lalu aku melahirkan Naka lebih awal demi menyempurnakan rencana mereka semua – sehingga mungkin itu sebabnya Naka jadi lebih lemah dan sakit-sakitan daripada Nala. Semua itu jadi mungkin karena Mas Vino dan mertua Mbak bekerja sama dengan sahabat Pak Hardean yang merupakan Direktur di Rumah Sakit itu. Mereka menjadikan seakan-akan Naka terlahir kembar dengan Nala, sehingga dia bisa menyembunyikan perselingkuhannya denganku.”

Ratu, wanita tak tahu malu itu, terus saja mengoceh sambil mengiringi langkah Soraya. Ia benar-benar tak peduli sama sekali dengan pendapat orang-orang di sekitar mereka yang mendengarkan aib itu, sebab wanita gila ini sepertinya benar-benar ingin mempermalukan Soraya. Padahal bukankah itu seharusnya menjadi hal yang lebih memalukan baginya?

“Ini nyata, Mbak. Aku bahkan berbaik hati memberi tahu sebelum Mbak Soraya semakin dibohongi oleh suami dan mertua Mbak itu seumur hidup. Mbak seharusnya berterima kasih padaku—“

Sampai di lahan parkir, Soraya menghentikan langkahnya. Dia dengan cepat berbalik dan menatap wanita itu dengan tatapan tajam.

“Apa kamu bilang? Berbaik hati dan berterima kasih? Kalau itu benar adanya, kamu seharusnya nggak menggoda suami orang dari awal!”

Soraya malah menyeringai puas mendengarnya. “Lihat. Akhirnya Mbak percaya padaku, kan? Mbak akhirnya tak bisa menolak fakta kalau aku dulu berselingkuh dengan suami Mbak, kan? Lalu Naka memang anakku.”

Soraya tercekat. Dia merasa terjebak namun tetap tak mau mengakuinya. Sampai kapanpun dia tak mungkin menerima fakta gila seperti itu.

Hingga ketika dia baru saja hendak menaiki mobilnya, tiba-tiba saja sebuah kendaraan yang familier tampak juga memasuki perkarangan rumah sakit itu. Tak lama sosok seorang pria dengan setelan formal ke luar dari sana dengan terburu-buru.

“Mas Vino!”

Ratu langsung terlonjak girang sambil mendekati pria itu, di mana diabaikan begitu saja oleh sang pria. Ia kini malah mendekati Soraya yang tampak heran mengapa suaminya itu bisa ada di sini. Padahal uji DNA ini dilakukan secara diam-diam.

“Sayang—“

Perempuan itu akhirnya tak tahan. Dia melempar kedua map kuning di tangannya ke dada sang suami.

“Jelaskan padaku kenapa hasil tes DNA ini terkesan aneh seperti ini. Jelaskan padaku kenapa bisa aku tercantum tak sedarah dengan Naka di sana?” tanya Soraya masih berusaha menahan tangis. Prinsipnya adalah tak boleh terlihat lemah di depan siapapun, terutama di depan pengkhianat dan musuh seperti mereka berdua.

“Sayang, ini nggak benar sama sekali. Aku bisa jelas—“

“Bukankah sudah jelas? Sudah kukatakan kalau Naka itu bukan anak Mbak, melainkan anak kami berdua. Mbak nggak sadar soal itu karena melahirkan secara Caesar waktu itu, sehingga dengan mudah juga ditipu oleh Mas Vino dan kedua orang tuanya—“

“Diam kamu!”

Vino akhirnya mengeraskan suaranya untuk membungkam wanita pengganggu itu. Walaupun dia tak terlihat bersalah sama sekali mengatakan aib yang memalukan itu. Dia malah terus senyam-senyum puas dan mengejek Soraya.

“Apa itu benar, Mas? Benar begitu?” tanya Soraya lagi yang kembali mendesak untuk mendapatkan kepastian.

Vino tampak kesulitan untuk menyahut. Walau ia terus berusaha berdalih, “Nggak mungkinlah, sayang. Mana mungkin aku melakukan hal seperti itu—“

“Kalau nggak mungkin kenapa hasil DNA-nya begitu? Kamu pikir teknologi sekarang bisa keliru hanya terhadap diriku saja?!” teriak Soraya tak tahan olehnya. Sukses membuat pria itu bungkam dan semakin serba salah menjelaskan.

“P-Pokoknya aku bisa jelaskan, sayang. Ini nggak seperti itu—“

“Kapan… terjadinya?” Soraya menyela penjelasan itu lagi. “Aku bahkan hamil dengan cepat setelah pernikahan kita, lalu sekarang aku harus menerima kenyataan kamu juga menghamili wanita di saat bersamaan? Kapan kamu menidurinya?”

“Sayang, aku—“

“Kami punya waktu bersama karena aku ini adalah mantan sekretarisnya, Mbak lupa? Tapi kalau lebih tepatnya sih saat kayaknya Naka tercipta saat kami melakukan perjalanan bisnis bersama ke Singapura selang sebulan setelah kalian menikah. Mbak kayaknya ingat deh karena kalian langsung melakukan bulan madu yang tertunda setelah itu—“

“Diam kataku! Kamu tidak berhak bersuara atas hal ini!”

Vino kembali berusaha untuk membungkam Ratu. Namun, Dara sepertinya telah mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya. Karena sepertinya kini dia harus menerima kenyataan kalau Ratu memang mengatakan kebenaran selama ini. Hal itu terbukti dari hasil pemeriksaan ini, sehingga sisanya mungkin memang juga benar. Lagipula dipikir-pikir waktunya memang terasa cocok.

“Tega kamu, Mas. Gimana mungkin kamu ngelakuin ini semua padaku? Terlebih… setelah lima tahun lebih lamanya?” Soraya semakin tak bisa menepis kenyataan yang ada. Hal itu pun semakin melemahkannya.

“Sayang, bukan begitu. Tapi—“

Soraya memilih untuk tak mendengarkan lagi. Dia segera memilih untuk memasuki mobilnya.

“Sayang, kamu sedang kalut. Kamu nggak bisa menyetir sendiri. Sayang, buka. Biarkan aku masuk.”

Vino berusaha untuk mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil yang sudah tertutup rapat. Namun, Soraya sudah tak mendengarkan sama sekali. Walau dengan pikiran kalut dan mata yang berair, dia pun tetap menyalakan mesin mobil.

“Sayang, dengarkan aku dulu. Soraya, Soraya!”

Wanita itu pun akhirnya memacu mobilnya dari tempat itu. Meninggalkan kedua orang yang telah berhasil menghancurkan dunianya secara berkeping-keping.

***

Sepasang bocah yang tampak sama-sama berusia sekitar lima tahunan tampak duduk berdampingan di teras dari sebuah rumah mewah. Keduanya tampak asyik mengobrol sambil mewarnai buku gambar di tangan mereka masing-masing. Sementara itu seorang wanita paruh baya ditemani dua orang pelayan tampak mengamati mereka dari kejauhan.

“Lihat. Gambarku lebih mirip sama Mama. Mama pasti akan menyukai gambarku,” ucap sang anak perempuan sambil membanggakan diri dan hasil gambarnya.

“Tidak, tidak.” Yang laki-laki menggeleng cepat. “Gambarkulah yang paling mirip dengan Mama. Kamu tak dengar tadi Bu guru memuji gambarku?”

“Gambarku juga dipuji oleh Bu Guru kok. Bahkan teman-teman juga banyak yang bilang bagus,” kata anak perempuan itu tak mau kalah.

“Dua-duanya terlihat bagus kok. Oma yakin Mama pasti bakal suka keduanya.” Wanita paruh baya tadi pun ikut bersuara.

“Benarkah, Oma?” tanya keduanya secara serempak.

“Ya. Kita tunggu sebentar lagi pas Mama pulang ya? Oma yakin, pasti Mama akan menyukai kedua gambar kalian itu.”

Hanya dengan begitu, perdebatan bisa langsung terselesaikan. Kedua bocah itu malah kembali saling bercengkerama dengan akrab. Mereka bahkan saling menilai gambar satu sama lain.

Di saat itulah, sebuah sedan berwarna merah tampak memasuki pekarangan rumah. Hal itu sukses menghentikan celotehan mereka, lalu kini dengan antusias menunggu seseorang yang berada di atas kendaraan itu.

“Mama pulang. Sebaiknya kita tanyakan sekarang saja yuk, Naka.”

“Iya, kak Nala.”

Sosok Soraya pun langsung turun dari mobil. Air mata yang memenuhi wajahnya tadi tampak telah terhapus, walaupun ekspresinya tampak masih saja muram. Apalagi karena tak lama kemudian mobil suaminya juga menyusul memasuki tempat itu.

“Mama, lihat deh. Kami hari ini di sekolah disuruh menggambar lukisan wajah Mama,” ucap Nala dengan riang.

“Iya, Ma. Lihatlah gambar Mama dan beri tahu kami siapa yang Mama suka,” kata Naka yang berjalana di sampingnya.

Saat itu pandangan Soraya langsung terhenti pada sosok Naka. Di mana bocah laki-laki itu menengadah sambil memamerkan kertas gambarnya. Senyuman lebar terlihat di wajah yang begitu polos itu.

“Lihatlah ini, Ma. Ini gambar wajah Mama. Gimana menurut Mama?”

Hati Soraya kembali jadi tak karuan saat memandang wajah sang putra. Dadanya terasa sangat sakit, sedih, walau tentu saja Soraya tak akan menyalahkannya dalam hal ini. Namun perasaan asing kini menyertai dadanya terhadap si bungsu kesayangannya ini.

Semua itu lantas diperburuk saat ia menyadari sosok Vino yang akhirnya turun dari mobil dan mendekat dengan ragu-ragu. Rasa muak kembali menebal di hati Soraya terhadap keadaan yang ada.

“Mama, ayo lihat. Ini—“

Sekali lagi Soraya sempat menatap wajah Naka, sebelum kemudian beralih pada sang putri. Gadis itu pun dengan cepat meraih gambar itu. Lantas kemudian berlutut untuk menggendong anak yang tadi terbukti 99.99% merupakan darah dagingnya.

“Nala, ayo kamu ikut Mama.”

Tanpa menoleh ke belakang di mana sudah bisa dipastikan kalau Naka mungkin terluka karena perbuatannya, Soraya membawa Nala memasuki rumah bersamanya. Dia bahkan juga melewati mertua yang biasanya dia hormati itu begitu saja. Mengabaikan setiap panggilan dari mereka.

“Mama, kenapa gambar Naka tak dilihat? Kenapa Naka ditinggal?”

“Naka!”

Sang putra hendak menyusul Mama dan kakak kembarnya, namun Vino menahan. Dengan kebingungan, pria itu pun berlutut di depan Naka guna menenangkannya.

“Pa, kenapa Mama tak melihat gambarku dan hanya peduli dengan gambarnya Kak Nala? Apakah gambarku benar-benar jelek sehingga Mama jadi membencinya?” rengek Naka menahan tangis.

“Mana mungkin Mama membencinya, Nak. Tentu saja tidak. Mama kan selalu bangga dan sayang dengan apapun yang kalian kerjakan.” Vino tambak bingung menghadapi pertanyaan sang putra. Otaknya berusaha keras berdalih agar sang putra tak merasakan dampak dari perbuatannya. “Mama tadi sengaja membawa Kak Nala ke dalam karena mungkin… hm… mungkin ada urusan perempuan yang harus mereka urus. Sehingga kita para laki-laki nggak boleh ikut mendengarkannya, Naka.”

“Tapi aku ingin tahu pendapat Mama soal gambarku.”

“Nanti ya, sayang. Nanti. Mama pasti bakal lihat punya kamu juga kok nanti. Kamu tunggu dulu ya.”

Vino memeluk Naka untuk menenangkan dan menghiburnya. Di saat itu ia melayangkan pandangan pada orang tua wanitanya yang tampak menunggu penjelasan darinya. Namun, sekali Vino mengirim sinyal pandangan tertentu pada beliau, wanita itu tampak langsung menutup mulutnya.

Sepertinya beliau pun langsung paham apa yang tengah terjadi pada anak dan menantunya itu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status