Dua bulan setelah kehamilan Soraya.
“Tada!!! Selamat menikmati!”
Soraya tersenyum cerah sambil membuka tutup dari kotak bekal yang dibawakannya untuk sang suami. Dipamerkannya berbagai jenis makanan hasil olahannya yang memang khusus ia masakkan untuk menu makan siang Vino di hari itu.
“Wah… menggugah selera banget ini. Aku yakin pasti rasanya enak,” ucap Vino langsung memuji masakan sang istri untuknya.
“Tentu saja. Karena selain bahan makanan biasa, aku juga menaburkan bumbu kasih sayang di dalamnya. Kamu nggak akan menemui makanan seenak ini di restoran mewah sekalipun.”
Dengan riang Vino menyantap makanan itu. Kalau boleh jujur sih rasanya biasa, sebab istrinya juga baru belajar memasak belakangan ini. Namun, fakta kalau semua ini disiapkan khusus untuknya sepertinya menjadikannya spesial. Apalagi karena istrinya yang sedang hamil ini tadi memberi kunjungan kejutan tepat di jam makan siang.
“Tapi, Mas. Aku lihat sekretaris kamu baru lagi. Memangnya kemana sekretaris kamu yang lama. Ratu ya namanya kalau nggak salah?”
Pertanyaan tiba-tiba Soraya itu nyaris membuatnya jadi tersedak. Sedikit was-was kalau sang istri menyadari kejanggalan yang berhubungan dengan sang mantan sekretaris. Namun, dilihat dari ekspresinya mungkin Soraya memang hanya keheranan saja.
“Hm… Ratu… dia pindah. Katanya sih mau melanjutkan kuliah di luar negeri. Aku sendiri juga nggak yakin,” sahut Vino sok cuek saat mengatakannya.
Untungnya Soraya memang terlihat tak ambil pusing. Dia hanya mengangguk sambil kembali mendampingi suaminya menghabiskan makanan.
Soraya tak tahu saja, kalau Ratu sejak sebulan yang lalu terpaksa mengundurkan diri atas kesepkatan bersama. Sehingga dengan begitu pihak kantor tak tahu kalau sekretaris muda yang masih lajang itu kini tengah berbadan dua – bayi dari sang Direktur Marketing.
Ratu kini tinggal di sebuah apartemen yang sengaja Vino sewakan untuknya. Di sanalah Vino berusaha memenuhi kebutuhannya secara diam-diam, seraya tetap menjaga kehamilannya. Sesekali Vino juga terpaksa berkunjung ke sana karena Ratu kadang memintanya.
Entahlah.
Entah bagaimana lanjutan ke depannya. Yang jelas selang dua bulan setelah Vino mendengar kehamilannya, untuk sekarang dia meminta Ratu untuk bersembunyi dahulu seraya Vino memikirkan jalan ke luarnya. Untungnya sekretarisnya itu mau menurut tanpa menuntut apapun darinya. Setidaknya sejauh ini.
‘Aku benar-benar bingung harus bagaimana. Aku juga takut ketahuan oleh Soraya, lalu dia mungkin akan marah terhadapku. Tapi… nasi telah menjadi bubur. Ini adalah sesuatu yang tak bisa lagi kuperbaiki sehingga aku hanya perlu memikirkan jalan ke luar untuk selamat dari krisis ini. Tapi bagaimana caranya?’
***
Sekitar sebulan kemudian, Vino tiba-tiba dipanggil untuk menghadap ke ruangan Papanya. Mereka memang bekerja satu kantor di mana sang ayah adalah pimpinan dari perusahaan yang mengepalai beberapa hotel dan pusat perbelanjaan di ibukota ini.
“Ada apa, Pa?”
Dilihatnya Hardian Bentala – sang ayah – memasang ekspresi yang sangat serius. Bahkan tatapan pada Vino tampak sangatlah tajam, seakan-akan tengah memarahi sang putra. Ada apa ya ini?
“Jelaskan pada Papa ini apa maksudnya, Vin? Hal bodoh apa yang sedang kamu lakukan?”
Vino heran saat sang ayah malah melempar sebuah amplop cokelat ke atas meja di antara mereka. Dengan cepat pria itu memeriksanya, di mana ia langsung terkejut setelahnya.
Amplop-amplop itu ternyata berisikan beberapa foto saat dia menemui Ratu di unit apartemen rahasianya itu.
“I-Ini….”
“Apa yang sedang kamu lakukan dengan mantan sekretarismu itu? Kamu main gila di belakang istri kamu yang sedang hamil? Apa-apaan kamu?”
“B-Bukan, Pa. Semuanya tak begitu!”
Vino langsung mengoreksi dengan cepat. Walaupun memang ia telah melakukan kesalahan dan kini menyimpan rahasia di belakang Soraya, namun ia menolak dituduh berselingkuh. Dari awal ia merasa melakukan semua ini karena terpaksa.
Tapi kalau sudah begini bagaimana caranya menjelaskan kepada beliau?
“Ayo. Jelaskan pada Papa apa yang sebenarnya terjadi? Kamu jelas sering menemuinya secara diam-diam seperti itu. Jangan main-main kamu. Umur pernikakahan kalian bahkan belum menyentuh enam bulan, serta yang terpenting istrimu tengah mengandung anak pertama kalian. Bukankah kamu bersikeras menikahinya karena kamu sangat mencintai Soraya? Tapi kenapa kenyataannya malah berbeda?”
“Semuanya bukan begitu, Pa. Aku memang selalu mencintai Soraya. Hanya dia wanita satu-satunya di hidupku—“
“Lalu apa hubunganmu dengan mantan sekretarismu itu?”
Vino tergagap lagi. Ia serba salah, tak tahu harus menjelaskan dari mana soal kebodohan dan kecerobohannya yang kini benar-benar mengacaukan hidupnya.
Tapi, mungkin memang inilah jalannya. Sudah selama tiga bulan ini pria itu terus memikirkan jalan yang harus dia ambil untuk menyelesaikan semua ini, namun sama sekali tak ada titik terangnya. Mungkin memang ia tak bisa mengatasinya sendiri. Melainkan sang ayah mungkin bisa menyelamatkannya agar hidupnya dengan keluarga kecilnya tetap terkendali walaupun karena permasalahan ini.
Maka Vino putuskan untuk mengakuinya kepada sang ayah.
“A-Aku… aku salah langkah, Pa. Aku bodoh dan ceroboh sehingga berakibat fatal terhadap diriku sendiri. K-Kini aku pun bingung harus bagaimana membereskan semuanya kembali agar tidak berpengaruh terhadap hidup serta pernikahanku dengan Soraya….”
***
Delapan bulan kemudian.“Papa!!!”Vino yang awalnya bersandar pada badan mobil tampak langsung mengangkat wajahnya. Ekspresi wajahnya tampak berubah cerah saat melihat Nala dan Naka yang berlari-lari kecil ke arahnya. Di belakangnya tampak sang wali kelas yang mengiringi sambil memperingatkan untuk berhati-hati.Menggunakan tongkat yang selalu dipegangnya, Vino pun juga berusaha mendekati mereka. Hanya beberapa langkah saja sebelum mereka berhadapan.“Sudah sering dibilangin jangan lari-larian. Tuh, denger juga Bu guru Farida sampe kesusahan mengejar kalian begitu,” ucap Vino menasehati mereka. Dengan gemas mengacak rambut mereka secara bergantian.“Habisnya kami senang karena dijemput sama Papa lagi. Mama kan bilang kalau ini terakhir kalinya sebelum Papa kembali masuk kerja,” sahut Naka sambil cemberut.“Iya. Kalau Papa udah kerja kan Papa bakal sibuk banget sehingga nggak bisa antar jemput kami lagi,” sambung Nala ikut cemberut.“Ini artinya kalian nggak suka dijemput Mama begitu?
Sosok yang biasa terlihat glamor itu tampak berantakan. Dengan baju tahanan yang terpasang di tubuhnya, dia duduk di sudut sel dengan memeluk kakinya. Mengabaikan hiruk pikuk dari napi lain yang berbagi ruangan dengannya.“Tahanan nomor 1036, Anda mendapatkan kunjungan!”Seorang sipir wanita berteriak dari luar sel, namun beliau tak didengarkan. Baik oleh sosok penyendiri tadi ataupun para napi yang asyik bergosip itu.“Tahanan nomor 1036, Anda mendapatkan kunjungan!”Di satu titik salah satu napi yang sibuk bergosip itu melayangkan pandangannya menuju napi yang menyendiri tadi. “Hey, 1036. Ada yang manggil lo tuh. Tuli ya?”Sosok itu masih diam.“Siapa sih dia namanya? Oh, ya, Ratu! Bu sipir manggil lo tuh.”Baru di saat itulah wanita itu bereaksi. Dia mengangkat wajahnya memandang ke arah lawan bicaranya.“Ada yang manggil lo. Dasar ya, belum juga terbiasa sama nomor lo sendiri. Lo hapalin tuh karena itu nama yang bakal lo pake selama bertahun-tahun setelah apa yang lo lakuin ke ana
“Kenapa Bi Yuyun pergi dari rumah kita, Mama? Apa Bi Yuyun beneran nggak bakal kembali?” tanya Naka padanya dengan ekspresi polos. Di mana langsung diangguki oleh gadis kecil di sampingnya.“Iya, Mama. Bi Yuyun kan selalu bersama kita. Bi Yuyun juga sering nemenin Nala dan Dek Naka saat Mama nggak ada. Kami sedih deh kalau Bi Yuyun nggak ada.”Soraya menghela napas pelan mendengar curhatan para malaikat perginya setelah melihat kepergiaan Bi Yuyun beberapa menit yang lalu. Ya, seperti yang sudah disarankan oleh Vino tiga hari yang lalu, Soraya langsung mengecek gerak-gerik Bi Yuyun di rumah ini melalui rekaman CCTV. Dari sana baru disadarinya kalau selama ini sang ART ternyata sering melakukan hal-hal yang mencurigakan.Tentu saja beliau sudah tak bisa kerja di sini lagi. Apalagi karena Bi Yuyun akhirnya mengakui segala tuduhan itu. Walaupun dia minta maaf sambil memohon dan berjanji tak mengulangi tapi nasi telah menjadi bubur. Apalagi mengingat dampak yang terjadi karena ulah beliau
“Udah empat hari sejak kejadian itu, tapi… Vino belum sadar juga.”Soraya langsung mengelus pundak Indah saat mendengar hal itu. Lantas dia mengalihkan pandangannya menuju ranjang pasien di mana suaminya berbaring.Vino saat ini masih dirawat di ruang ICU, namun keluarga akhirnya diizinkan menjenguk mulai dari kemarin. Walaupun mereka harus dipastikan steril dan mengenakan jubah khusus. Serta hanya boleh sekitar lima belas menit saja di dalamnya.“Apa semuanya akan baik-baik saja? Apakah dia akan sadar? Mama nggak bakal kuat kalau Vino juga harus pergi seperti Papa --““Sst, Ma. Jangan mikir gitu. Mas Vino pasti kuat kok, Ma. Dia pasti akan segera sadar. Sebab itulah yang sedang dia perjuangkan dengan terus bertahan seperti sekarang. Jadi… dia pasti akan bangun, Ma. Mas Vino kan orangnya kuat dan pemberani.”Soraya mengatakan itu dengan penuh keyakinan dan semangat, walaupun ada celah di dalam hatinya yang malah berpikir sebaliknya. Nyatanya dia juga mempunya ketakutan yang besar meli
Seluruh tubuh Soraya langsung bergetar hebat saat mendengar kabar di telepon. Dia sampai tak tahu harus bicara apa.“Ada apa, Bu? Apa ada masalah?” tanya babysitter Ekky yang awalnya bercengkerama ringan dengannya di ruang tamu apartemennya Evan. Sekitar beberapa menit setelah mereka menidurkan si kecil.Soraya tak mampu menjawab pertanyaan itu. Dia terlalu syok dan kebingungan dengan semua ini. Rasa takut juga langsung melingkupinya.“Bu?” tanya babysitter itu lagi dengan khawatir.“S-Saya… saya pulang dulu ya, Sus. A-Ada masalah di rumah. S-Saya titip E-Ekky… nanti saya telepon Evan juga buat kasih tahu. S-Saya permisi.”Dengan tubuh masih bergetar Soraya bangkit dari sana. Tampak kebingungan sendiri dengan apa yang dia lakukan. Untungnya sang babysitter tadi dengan sigap mengambilkan tas Soraya yang tertinggal di atas sofa.“Ini, Bu. Nanti ketinggalan.”“O-Oh ya. Makasih ya, Sus. S-Saya pulang dulu.”“Y-Ya, Bu. Hati-hati.”Soraya bergegas meninggalkan unit apartemen itu dengan tubu
Vino tak bisa menepis perasaan di hatinya. Ia benar-benar yakin kalau memang ada penyusup di antara pegawainya berdasarkan pengamatannya belakangan ini, namun sayangnya ia belum sempat memastikan hal itu sama sekali. Sehingga kini itu jadi ganjalan baru di tengah pekerjaannya.‘Haruskah aku mengambil cuti sejenak untuk sekadar memastikan? Aku benar-benar kepikiran dan khawatir kalau firasat ini benar. Tapi masalahnya kan sekarang lagi banyak kerjaan.’Di saat itu tiba-tiba ia jadi kepikiran tentang apa yang menimpanya saat Fadly berkhianat. Vino sangat ingat bagaimana itu semua itu terjadi tanpa peringatan sama sekali, seperti hujan badai yang datang di siang hari yang awalnya cerah. Vino tak akan pernah melupakan perasaan itu. Ia tak akan pernah lupa rasanya ditikam dari belakang oleh orang begitu ia percayai. Lalu saat tersadar semuanya benar-benar sudah terlambat.‘Enggak. Aku harus memastikannya sekarang. Aku nggak boleh jatuh ke lubang yang sama.’Kala memikirkan itu Vino segera