LOGINWanita yang mengaku Marissa, tersenyum seraya menyibakkan rambut panjangnya yang kecokelatan. Wanita itu tidak bertanya balik, seolah-olah sudah tahu siapa yang berdiri di hadapannya.
"Mas Rivan di mana?" tanya Senja dengan suara yang setengah tercekat. Sebenarnya ia takut untuk bertanya lebih lanjut. Ia tak sanggup andai kenyataan sama persis dengan prasangka buruknya kala itu. "Dia masih tidur. Maaf ya, aku nggak bisa membangunkannya, semalam dia kecapekan banget." "Capek kenapa?" Marissa tertawa renyah. "Kamu yakin ingin tahu?" Senja melengos. Rasanya Marissa sedang menertawakan dirinya yang mungkin memang kalah telak. "Kamu dan Mas Rivan ada hubungan apa?" Bisa disebut pertanyaan bodoh. Namun, mau bagaimana lagi, Senja penasaran dan ingin tahu jawaban yang sebenarnya. "Senja Pramudita. Benar, kan, itu namamu?" Senja terdiam, sekadar memandang Marissa dengan nanar. "Bukannya kamu dan Rivan sudah cerai ya? Kok ... masih ingin tahu aja? Kamu sendiri yang selingkuh dan mengkhianati Rivan. Kenapa sekarang bersikap seperti korban?" Senja menggeleng cepat. "Aku nggak pernah selingkuh. Aku—" "Oh ya? Terus ... janin di perutmu itu apa? Rivan itu mandul, nggak bisa punya anak. Kamu mau mengelak gimana lagi, hmm?" "Tapi, aku memang nggak selingkuh!" "Ah, udahlah! Benar kata Rivan, lama-lama capek ngomong sama kamu. Suka ngotot. Sekarang langsung kukasih tahu aja, aku ... adalah calon istrinya Rivan. Jadi, ke depannya kamu jangan gangguin dia lagi. Jangan menjadi orang ketiga dalam hubungan orang. Paham, kan?" Senja melangkah mundur. Apa yang dia takutkan menjadi kenyataan. Marissa adalah wanitanya Rivan. Tidak! Itu tidak mungkin! Belum genap sebulan mereka bercerai, mengapa semudah itu Rivan mendapatkan penggantinya. Bahkan ... mereka sudah tinggal bersama. Oh Tuhan, ujian apa lagi ini? "Ah, satu lagi, ke depannya jangan mengharap uang dari Rivan. Nggak pantas. Kamu bukan siapa-siapanya lagi. Mending ... datangi saja ayah dari anakmu itu, terus minta uang dan pertanggungjawaban darinya. Itu lebih masuk akal. Oke?" Marissa tersenyum. Enteng sekali melontarkan kalimat pedas itu. "Aku ingin bertemu Mas Rivan. Panggilkan dia!" ujar Senja dengan lebih tegas. "Kamu nggak tahu diri ya?" Kamu—" "Masih ada hal yang harus kami bicarakan. Panggilkan dia!" Marissa memutar bola mata dengan jengah. "Kalau begitu masuklah!" Senja melangkah masuk dengan canggung dan ragu. Langkahnya lebar tetapi pelan, mengikuti Marissa yang berjalan lebih cepat darinya. Sesungguhnya, lima tahun lebih dia tinggal di rumah itu. Namun, sekarang rasanya sangat asing. Tak ada lagi hangat cinta dan kasih yang tersisa di sana. Yang tertinggal hanyalah dingin, sesak, dan sayatan luka di setiap jengkalnya. Semudah itu Rivan mendapatkan penggantinya? Atau ... dari awal memang sudah ada Marissa dalam hubungan mereka, hanya saja Senja terlalu bodoh dan tak menyadari itu semua. "Mas Rivan ... apa artinya ini?" Senja membatin sambil duduk di sofa ruang tamu. Sangat berbeda dari sebelumnya. Perabotan di rumah itu sudah banyak yang diganti baru. Tatanannya pun jauh berbeda dengan saat Senja masih tinggal di sana. Entah kapan Rivan mengubahnya. Apakah sejak Senja keluar dari sana? Atau sejak posisinya digantikan Marissa? Entahlah. "Sayang! Sayang! Mantan istrimu datang nih!" Hati Senja makin teriris saat mendengar teriakan Marissa. Begitu ringan bibir merah itu menyebut Rivan dengan panggilan 'sayang', dan begitu ringan pula Marissa menyebut dirinya 'mantan istri'. Baru hitungan hari Senja dan Rivan berpisah, bahkan akta cerai pun belum ada, tetapi asingnya sudah seperti cerai bertahun-tahun. Belum berhasil Senja menata hatinya yang berantakan, tiba-tiba Rivan datang dengan penampilan yang jauh dari kata rapi. Rambut masih acak-acakan, belum tersentuh sisir. Tidak ada baju yang menutup dadanya, sekadar celana selutut yang melekat di tubuhnya. Rivan tampak santai berjalan di depan Marissa dengan penampilan demikian, tidak ada kecanggungan sedikit pun dari raut wajahnya. Mungkin, Rivan memang sudah terbiasa melakukan hal itu di depan Marissa. Tak khayal Senja makin terluka dibuatnya. "Mas ...." Senja menyapa pelan dengan tatapan penuh tanya. Namun, Rivan tampak tak acuh. Sambil menyisir rambutnya dengan jemari, ia duduk di depan Senja. Langsung saja mencomot sebatang rokok, lantas menyulutnya dan mengisapnya kuat-kuat, seakan tak ada sedikit pun niat untuk menanyakan kabar Senja. Bahkan, ia pura-pura lupa kalau seharusnya sudah memberikan uang untuk Senja. "Siapa dia, Mas? Apa kalian sudah tinggal bersama?" Senja tak sanggup menahan diri untuk tidak bertanya. Dia ingin tahu dari Rivan sendiri, siapa Marissa. Meskipun sadar kenyataan mungkin akan meremukkan hati, tetapi Senja tak bisa diam saja. Beruntungnya, Marissa tidak ikut duduk di sana. Jadi, Senja memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik mungkin. "Namanya Marissa, calon istriku. Dan ... ya, seperti yang kamu lihat."Berbeda dengan Chandra yang pulang membawa kemenangan dan membagi kebahagiaan dengan wanita pujaan, sore ini Sintia pulang dengan langkah gontai.Niat hati mencari jawaban dengan menemui Benny, tetapi bukannya lega, ia malah makin hancur. Bisa-bisanya selama ini dimanfaatkan oleh pria sialan itu.Sudah totalitas dirinya dalam memberikan pelayanan di ranjang, berharap ada timbal balik yang memuaskan. Bahkan, dia sampai berani bermimpi untuk meninggalkan Dion dan berpaling pada Benny.Namun, balasan dari pria itu ternyata sangat kejam. Selain menikmati tubuhnya, Benny juga menjual informasi pada Chandra. Tak cukup itu saja, Benny masih merekam setiap adegan yang pernah mereka lakukan. Sialnya lagi, wajah Benny membelakangi kamera. Berbeda jauh dengan dirinya yang terpampang jelas.'Jadilah wanita yang patuh! Jual Altera pada Chandra dan jangan ikut campur lagi di perusahaan itu. Jika tidak ... maka video-video ini bisa menyebar di publik. Kamu pasti tidak ingin, kan, lekuk tubuhmu dinik
Tepat tengah hari, Chandra tiba di tempat Senja. Tanpa memberi kabar, tanpa meminta izin, ia langsung datang begitu saja. Dengan senyum dan hati yang berbunga-bunga tentunya.Kebetulan siang itu pelayan sedang sibuk di dapur, berkutat menyiapkan makan siang. Jadi Senja sendiri yang keluar membuka pintu, sembari membawa Askara dalam gendongan.Lantas, ia tertegun dalam beberapa detik lamanya. Menatap wajah Chandra yang begitu tenang mengulum senyum, perasaan Senja mendadak tidak nyaman. Terlebih lagi, hati malah dengan tidak tahu malunya berdebar tak karuan, seakan sengaja melawan kehendak otak yang makin gigih membangun tembok pertahanan."Aku boleh masuk, kan?" tanya Chandra dengan senyuman yang lebih manis, seolah sengaja menyadarkan Senja bahwa dirinya memiliki paras rupawan yang wajib dijadikan bahan pertimbangan."Silakan, Pak!" Senja menyahut gugup.Lantas, ia melangkah masuk dan membiarkan Chandra mengekor di belakangnya. Meski agak enggan, tetapi Senja duduk jua di sofa ruang
"Cukup, Mas! Berhenti membentak! Berhenti memukul! Kamu nggak pantas melakukan ini padaku!" teriak Sintia sambil berusaha bangkit.Habis sudah kesabarannya. Tak mau lagi direndahkan sang suami, apalagi membiarkan diri dihajar secara fisik sampai babak belur. Oh tidak!Tamparan barusan saja sudah menyisakan rasa perih dan panas di kedua pipi. Sintia tak mau merasakan sakit yang lebih parah lagi. Cukup! Dia harus melawan dan membuka mata Dion, agar pria itu paham bagaimana caranya berkaca."Aku melakukan semua ini demi kebaikan kita! Aku berkorban agar perusahaan nggak jatuh ke tangan Chandra brengsek itu! Aku—""Kamu sudah gila, Sintia! Berkorban apa yang kamu katakan, hah? Kamu selingkuh, kamu tidur dengan pria lain. Itu yang kamu sebut berkorban?" pungkas Dion."Itu adalah imbalan yang harus kubayar agar dia mau membantu perusahaan kita, Mas. Kamu pikir aku bisa mengandalkan siapa? Kamu sendiri malah terkapar di rumah sakit, nggak bisa melakukan apa-apa. Kamu kira aku rela melihat pe
"Bu Sintia, tidak menyangka Anda akan mengurusi masalah pribadi saya juga. Padahal sebenarnya itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, kecuali ... saya pacarannya di sini, sambil rapat seperti ini." Chandra kembali mengulas senyum. Lagi-lagi masih tenang dan tidak terpancing emosi Sintia yang sudah menggebu-gebu. "Tapi—""Saya akui, memang tidak sekali dua kali menjalin hubungan dengan wanita. Karena memang ... ada saja masalah yang membuat hubungan berakhir. Ada saja ketidakcocokan yang membuat kami memilih berhenti dan tidak melanjutkan hubungan pada tahap yang lebih serius. Tapi, saya rasa ini masih termasuk hal wajar. Saya yakin di luar sana, baik laki-laki maupun perempuan, banyak juga yang berkali-kali gagal dalam hubungan. Dan ... tidak otomatis karena merekanya yang tak bermoral. Terkadang sudah niat serius, tapi masih saja ada masalah yang membuat hubungan putus. Jadi, saya rasa ini bukan hal yang patut dibesar-besarkan, Bu Sintia."Chandra memotong ucapan Sintia dengan
"Bu Sintia, beliau-beliau sudah menyatakan kesediaannya untuk tetap berinvestasi di Altera. Dan ...."Chandra menggantungkan kalimatnya sesaat. Menyisihkan sedikit waktu untuk menyodorkan dokumen yang sedari tadi ia bawa."Ini adalah surat kontrak yang baru dari Voltanic. Ke depannya, Altera akan kembali menjadi distributor utama bagi perusahaan tersebut. Jadi ... dua janji saya sudah terpenuhi," lanjut Chandra dengan sangat tenang, malah disertai senyuman lebar, seakan sengaja menertawakan kekalahan Sintia.Melihat itu semua, Sintia hanya bisa menggeram lirih. Ini tak masuk akal, pikirnya. Para investor yang sebelumnya sudah berjanji menghancurkan Chandra, nyatanya hanya omong kosong. Voltanic yang katanya akan tersandung kasus, faktanya sampai sekarang belum ada kabar kedatangan polisi di sana."Bu Sintia, bagaimana tanggapan Anda?" ucap Chandra lagi, masih dengan senyum yang sama.Sebuah pertanyaan yang dibiarkan mengabur bersama keheningan dalam ruang rapat tersebut. Alih-alih mem
Menurut jadwal yang ditentukan, rapat akan dimulai jam setengah sembilan. Namun, baru jam setengah delapan, beberapa peserta sudah hadir di sana. Sintia beserta keluarganya, Chandra yang didampingi Norman, dan juga beberapa investor yang sebelumnya sempat mengundurkan diri.Setelah Chandra yang mengambil alih kursi kepemimpinan, mereka bersedia menjadi investor lagi untuk Altera. Karena dari sebelumnya, mereka sudah berdiri di pihak Chandra. Namun, entah akan bertahan lama atau tidak kesetiaan tersebut. Hanya waktu yang akan memberikan jawaban akurat."Kamu boleh bersikap angkuh sekarang, tapi lihat saja nanti. Kamu ... akan menangis darah, Chandra! Dan asal kamu tahu, menyesal pun sudah tidak akan ada gunanya," batin Sintia dengan tatapan yang memicing, meremehkan Chandra yang saat itu tampak tenang dan penuh percaya diri.Awalnya, Sintia sekadar bicara sendiri dalam hati, meluapkan kepuasan atas kemenangan yang sudah terpampang di depan mata. Namun, melihat Chandra yang seolah tidak







