LOGINMendengar tudingan Chandra, Rivan malah tersenyum miring. Lantas tanpa merasa bersalah, dia berucap santai, "Pak Chandra yang terhormat, di antara kita hanya ada transaksi jual beli. Masalah lain, itu bukan urusan Anda. Semoga Anda bisa memahaminya.""Kalau dari awal tahu niatmu seperti ini, aku tidak akan pernah menerima tawaran gilamu. Lebih baik kulaporkan tindakan korupsimu daripada tutup mulut dengan meniduri istrimu! Dulu aku mau karena katamu ingin anak dalam pernikahan. Kamu tidak mau istrimu mengetahui kondisimu yang mandul. Tapi rupanya, kamu hanya mencari kambing hitam untuk menutupi kelakuan bejatmu. Kamu ingin menceraikan Senja dengan nama tetap bersih. Begitu, kan?""Kalaupun iya, memangnya kenapa, Pak Chandra? Itu urusan saya dengan Senja, bukan urusan Anda. Oh ... atau Anda mulai menyukai mantan istri saya, makanya mengurusi hal-hal privasi ini?""Jaga ucapanmu, Rivan! Buang jauh pikiran picikmu! Aku hanya tidak suka kamu manfaatkan untuk melancarkan trik kotormu."Riv
"Pak, Anda baik-baik saja?" tegur Senja. Ia menyadari perubahan ekspresi Chandra yang terjadi begitu cepat. "Ahh, iya, aku tidak apa-apa."Senja hanya mengangguk pelan. Tidak bicara, pun tidak melanjutkan niatnya untuk keluar dari mobil. "Senja!""Iya, Pak.""Boleh tanya sekali lagi? Tapi, ini lebih privasi dan ... ya, kuharap kamu bisa jujur."Senja diam sejenak. Agak ragu. Namun, akhirnya mengangguk. Chandra adalah orang baik, setidaknya seperti itulah penilaian Senja tentangnya. "Dalam perceraian ini, Rivan memberimu apa?"Senja menunduk. Pertanyaan Chandra sedikit melenceng dari dugaannya. Dia kira Chandra akan bertanya seputar kehamilan lagi, tetapi ternyata malah soal uang. "Kalau kamu keberatan, tidak apa-apa, tidak usah dijawab. Lupakan saja!""Awalnya Mas Rivan memberikan semua perhiasan yang kami punya. Tapi, saya tidak tahu sejak kapan semua perhiasan itu berubah palsu. Bahkan, cincin pernikahan yang tidak pernah saya lepaskan juga palsu. Semua hanya imitasi yang tidak
Sesampainya di rumah, Senja menangis sejadi-jadinya. Ia kecewa, sedih, tak rela diperlakukan sedemikian rupa. Sikap Rivan berubah drastis, seolah-olah menegaskan bahwa sikap manisnya selama ini adalah palsu.Di tengah tangis yang tak kunjung reda, Senja teringat lagi dengan Marissa, wanita yang cantik dan mendekati sempurna. Tempatnya telah digantikan oleh wanita itu, entah sejak kapan."Aku nggak pernah mengkhianatimu, Mas, kenapa semudah ini kamu membuangku? Apa sebenarnya salahku ke kamu, Mas?"Senja meratap sendiri, menangisi cinta dan pernikahan yang tinggal puing-puingnya.Tak lama berselang, Senja merasa mual. Janin di rahimnya seakan mengingatkan bahwa saat ini masih ada sesuatu yang harus diperjuangkan."Bunda janji akan kuat, Nak. Bunda janji ini terakhir kalinya menangisi ayahmu," batin Senja seraya bangkit dari tempat duduknya. Lantas, ke kamar mandi untuk muntah dan membersihkan diri.Keadaan memaksanya untuk bangkit, mengusaikan kesedihan dan memulai hidup barunya dengan
Hati Senja seperti tersundut api. Panas, sakit, dan perih. Semudah itu Rivan mengakui Marissa sebagai calon istri. Lantas, dianggap apa dirinya selama ini? "Kita pisah baru hitungan hari, Mas. Kamu sudah ada calon istri?" "Memangnya kenapa? Kamu saja bisa hamil anak orang lain selagi kita masih suami istri, kan?" Rivan menjawab sarkas. Sikapnya jauh berbeda dari terakhir kali mereka bersama. "Mas! Aku nggak pernah selingkuh. Ini anakmu, bukan anak orang lain!"Senja mulai meninggikan intonasi. Sampai sekarang dia tetap tak rela jika Rivan menuduhnya berselingkuh, karena dirinya memang tak pernah melakukan itu. "Kamu kan sudah dengar sendiri bagaimana penjelasan dokter. Aku mandul, mustahil bisa menghamili kamu.""Tapi, aku beneran nggak selingkuh, Mas. Aku—""Sstt, cukup! Aku sudah muak dengan jawaban itu. Aku nggak mau lagi mendengarnya. Sekarang katakan saja, apa tujuanmu datang ke sini?" Sembari menepis perasaan sesaknya, Senja mengerjap cepat, berusaha menahan air mata yang t
Wanita yang mengaku Marissa, tersenyum seraya menyibakkan rambut panjangnya yang kecokelatan. Wanita itu tidak bertanya balik, seolah-olah sudah tahu siapa yang berdiri di hadapannya. "Mas Rivan di mana?" tanya Senja dengan suara yang setengah tercekat. Sebenarnya ia takut untuk bertanya lebih lanjut. Ia tak sanggup andai kenyataan sama persis dengan prasangka buruknya kala itu. "Dia masih tidur. Maaf ya, aku nggak bisa membangunkannya, semalam dia kecapekan banget.""Capek kenapa?" Marissa tertawa renyah. "Kamu yakin ingin tahu?"Senja melengos. Rasanya Marissa sedang menertawakan dirinya yang mungkin memang kalah telak. "Kamu dan Mas Rivan ada hubungan apa?" Bisa disebut pertanyaan bodoh. Namun, mau bagaimana lagi, Senja penasaran dan ingin tahu jawaban yang sebenarnya. "Senja Pramudita. Benar, kan, itu namamu?" Senja terdiam, sekadar memandang Marissa dengan nanar. "Bukannya kamu dan Rivan sudah cerai ya? Kok ... masih ingin tahu aja? Kamu sendiri yang selingkuh dan mengkh
Malam sudah menyapa. Lagi-lagi hujan setia mengguyur kota. Senja masih terbaring di ranjang rumah sakit. Meski sudah keluar dari IGD, tetapi dokter belum mengizinkannya pulang. Paling cepat masih besok sore, itu pun jika keadaannya terus membaik.Selama berjam-jam itu, Senja tak sendirian. Sama seperti hujan, Chandra juga masih setia menemaninya. Walau tak banyak interaksi, tetapi sikap lelaki itu menunjukkan kepedulian yang tinggi. Selain sigap memanggil perawat ketika Senja ingin ke kamar mandi, Chandra juga berinisiatif membelikan buah dan susu khusus ibu hamil. Padahal, sedikit pun Senja tak memintanya."Jangan repot-repot, Pak, saya sudah berterima kasih Anda mau menolong saya." Begitulah kata Senja tadi. Dia merasa segan mendapat perlakuan yang luar biasa baik dari Chandra."Tidak repot. Kebetulan aku keluar beli kopi." Seperti biasa, Chandra tanggapan Chandra terkesan tak acuh. Mungkin, memang itu ciri khasnya.Kini, dua orang itu masih terdiam di ruangan yang sama. Senja berba







