LOGINMalam sudah menyapa. Lagi-lagi hujan setia mengguyur kota. Senja masih terbaring di ranjang rumah sakit. Meski sudah keluar dari IGD, tetapi dokter belum mengizinkannya pulang. Paling cepat masih besok sore, itu pun jika keadaannya terus membaik.
Selama berjam-jam itu, Senja tak sendirian. Sama seperti hujan, Chandra juga masih setia menemaninya. Walau tak banyak interaksi, tetapi sikap lelaki itu menunjukkan kepedulian yang tinggi. Selain sigap memanggil perawat ketika Senja ingin ke kamar mandi, Chandra juga berinisiatif membelikan buah dan susu khusus ibu hamil. Padahal, sedikit pun Senja tak memintanya. "Jangan repot-repot, Pak, saya sudah berterima kasih Anda mau menolong saya." Begitulah kata Senja tadi. Dia merasa segan mendapat perlakuan yang luar biasa baik dari Chandra. "Tidak repot. Kebetulan aku keluar beli kopi." Seperti biasa, Chandra tanggapan Chandra terkesan tak acuh. Mungkin, memang itu ciri khasnya. Kini, dua orang itu masih terdiam di ruangan yang sama. Senja berbaring sambil memilin ujung selimut, sedangkan Chandra duduk di kursi sambil memainkan ponsel. Tidak ada interaksi. Senja kesulitan memulainya meski sebenarnya ingin mengutarakan sesuatu. "Ada apa?" Senja terkejut mendapati pertanyaan yang tiba-tiba. Alhasil, bibirnya sekadar bergerak-gerak tanpa menggumamkan kata. "Sepertinya kamu ingin mengatakan sesuatu. Apa?" Senja mengerjap cepat. Lantas dengan hati-hati berkata, "Sebenarnya ... saya hanya tidak enak hati Pak Chandra terus menjaga saya di sini, dari siang sampai malam. Mmm, kalau Pak Chandra capek atau ada urusan, pulang saja, Pak, tidak apa-apa." "Meninggalkanmu sendirian begitu?" "Di sini banyak suster, Pak, saya—" "Aku tidak capek, juga tidak ada urusan. Jadi, kamu tidak perlu berpikir yang macam-macam. Istirahat saja!" pungkas Chandra, agak datar. "Baik, Pak, sekali lagi terima kasih." "Iya." Walau sebenarnya keberatan dengan keputusan Chandra, tetapi Senja tak berani membantah. Dirinya sudah ditolong, pun dibayari pengobatannya, mana pantas jika banyak mengeluh ini itu, meskipun untuk kebaikan Chandra. "Aku akan menunggumu di luar. Sepertinya kamu tidak nyaman dengan keberadaanku di sini." Senja terperanjat mendengar ucapan Chandra yang dibarengi dengan langkah kaki, siap meninggalkan kursi tempatnya duduk sedari tadi. "Pak, saya tidak ... tidak seperti itu." "Aku mengerti, kamu masih menganggap dirimu sebagai istri orang. Tapi, perlu kamu tahu, suami yang baik tidak akan mencampakkan istrinya dalam keadaan hamil." Sembari berkata demikian, Chandra melanjutkan langkahnya, meninggalkan Senja sendirian. Chandra tak tahu bahwa sepeninggalannya, Senja jadi berpikir keras. Banyak hal yang mulai mengganggu benaknya. Tentang ketidakpercayaan Rivan terhadap pengakuannya, nomor yang mendadak tidak bisa dihubungi, perhiasan yang ternyata palsu, dan ... omongan Chandra barusan. Ini ... ada apa sebenarnya? Apa ada sesuatu tentang Rivan yang tidak ia tahu? Sayangnya, begitu lama berpikir, Senja tak jua menemukan jawabannya. Ia tetap bertanya-tanya dalam kebingungannya terkait kejanggalan-kejanggalan yang ia temui akhir-akhir ini. *** Pagi ini menjadi pagi yang menyenangkan bagi Senja. Pasalnya, setelah tiga hari kemarin dirawat di rumah sakit, hari ini untuk pertama kalinya menghirup udara pagi dari rumah. Kondisi Senja hampir pulih seperti sedia kala. Tidak lemas, tidak pusing, dan perutnya pun tidak bermasalah. Hanya mual sedikit jika makan yang terlalu kuat bumbu. Untuk hari ini, Senja masih mengandalkan pemberian Chandra. Kemarin saat mengantarnya pulang, lelaki itu tak hanya membelikannya susu dan buah, tetapi juga daging dan sayur-sayuran. Untuk persediaan lauk, katanya. Selain itu, Chandra juga memberikan uang lima ratus ribu. Sebenarnya, Senja sudah bersikeras menolak. Namun, Chandra juga bersikeras memberi. Katanya, untuk pegangan. Nanti akan dipotong dari bonus bulanannya Rivan. Begitu lihai Chandra bicara, hingga Senja tak menemukan celah untuk membantah. Dengan uang yang ada, Senja berniat memulai usahanya, yaitu membuat kue-kue kering. Sambil belanja bahan-bahannya, niat Senja juga sambil bertandang ke rumah Rivan. Ia bawa seluruh perhiasan yang ternyata memang palsu semua. Tidak ada satu pun dari perhiasan itu yang ada nomor kodenya. Artinya, memang semua telah ditukar dengan yang imitasi. "Aku harap ada jawaban baik darimu, Mas," batin Senja ketika sudah berada di dalam angkot. Campur aduk perasaannya, membayangkan pertemuan dengan Rivan setelah ini. Apa yang akan terjadi nanti? Akankah ia mendapat jawaban yang memuaskan atau justru mendapat luka yang lebih dalam lagi? Sekitar empat puluh menit menempuh perjalanan, akhirnya Senja tiba di depan rumah Rivan, rumah yang dulu menjadi istana terindahnya. Sejenak, Senja termangu. Terlintas lagi kenangan-kenangan indah di sana. Bagaimana dia bercanda tawa dengan Rivan, berkeluh kesah, berbagi bahagia, bahkan memadu kasih dengan hangatnya. Semua masih terasa nyata di benak Senja. Masih seperti mimpi buruk, dirinya berpisah dengan lelaki yang sangat dicintainya itu. Dengan cara yang menyakitkan pula. Setelah memantapkan hati, Senja melangkah mendekati pintu gerbang yang masih menutup. Ia tekan bel yang ada di sana seraya menatap garasi yang masih terdapat mobil Rivan. "Syukurlah kamu belum berangkat kerja, Mas," batin Senja. Tidak sia-sia dia berangkat pagi-pagi sekali. Karena setibanya di sana, Rivan masih ada di rumah. Akan tetapi, sampai beberapa menit menunggu, Rivan tak kunjung datang membukakan pintu. Sampai Senja menekan bel untuk kedua kalinya, tetap tak ada respon. "Mas, aku udah jauh-jauh datang ke sini. Kumohon ... keluar dan temui aku, Mas." Senja membatin dengan perasaan yang kian gusar. Bagaimana jika kedatangannya hari itu sia-sia? Lantas, kapan lagi ia bisa bertemu Rivan? Selang lima menit, Senja mencoba menekan bel lagi. Mulutnya terus bergerak, menggumamkan harapan untuk bertemu Rivan. Namun, malah seorang wanita yang datang, dengan perawakan yang tinggi langsing dan paras cantik menawan. Dalam beberapa saat, Senja terpaku menatapnya. Memandangi setiap inci wajah dan tubuh wanita itu. Wajahnya oval, putih, dan mulus. Hidung mancung, bibir merah merona, alis tebal, dan dagu yang lancip. Tubuhnya pun sangat ideal, pinggang ramping, sedangkan bagian lain tampak berisi. Kakinya jenjang, mulus, tidak ada cela sedikit pun. Gambaran wanita yang nyaris sempurna. Senja merasa kecil saat berhadapan dengannya. Ia kalah jauh, baik dari segi wajah maupun postur tubuh. Namun, tunggu! Ada satu hal yang mencuri perhatian Senja. Yakni kalung dan gelang yang dikenakan wanita itu, sama persis dengan kalung dan gelang imitasi milik Senja. Jangan-jangan .... "Kamu siapa?" Sontak, pertanyaan itu keluar dari bibir Senja. "Aku Marissa."Berbeda dengan Chandra yang pulang membawa kemenangan dan membagi kebahagiaan dengan wanita pujaan, sore ini Sintia pulang dengan langkah gontai.Niat hati mencari jawaban dengan menemui Benny, tetapi bukannya lega, ia malah makin hancur. Bisa-bisanya selama ini dimanfaatkan oleh pria sialan itu.Sudah totalitas dirinya dalam memberikan pelayanan di ranjang, berharap ada timbal balik yang memuaskan. Bahkan, dia sampai berani bermimpi untuk meninggalkan Dion dan berpaling pada Benny.Namun, balasan dari pria itu ternyata sangat kejam. Selain menikmati tubuhnya, Benny juga menjual informasi pada Chandra. Tak cukup itu saja, Benny masih merekam setiap adegan yang pernah mereka lakukan. Sialnya lagi, wajah Benny membelakangi kamera. Berbeda jauh dengan dirinya yang terpampang jelas.'Jadilah wanita yang patuh! Jual Altera pada Chandra dan jangan ikut campur lagi di perusahaan itu. Jika tidak ... maka video-video ini bisa menyebar di publik. Kamu pasti tidak ingin, kan, lekuk tubuhmu dinik
Tepat tengah hari, Chandra tiba di tempat Senja. Tanpa memberi kabar, tanpa meminta izin, ia langsung datang begitu saja. Dengan senyum dan hati yang berbunga-bunga tentunya.Kebetulan siang itu pelayan sedang sibuk di dapur, berkutat menyiapkan makan siang. Jadi Senja sendiri yang keluar membuka pintu, sembari membawa Askara dalam gendongan.Lantas, ia tertegun dalam beberapa detik lamanya. Menatap wajah Chandra yang begitu tenang mengulum senyum, perasaan Senja mendadak tidak nyaman. Terlebih lagi, hati malah dengan tidak tahu malunya berdebar tak karuan, seakan sengaja melawan kehendak otak yang makin gigih membangun tembok pertahanan."Aku boleh masuk, kan?" tanya Chandra dengan senyuman yang lebih manis, seolah sengaja menyadarkan Senja bahwa dirinya memiliki paras rupawan yang wajib dijadikan bahan pertimbangan."Silakan, Pak!" Senja menyahut gugup.Lantas, ia melangkah masuk dan membiarkan Chandra mengekor di belakangnya. Meski agak enggan, tetapi Senja duduk jua di sofa ruang
"Cukup, Mas! Berhenti membentak! Berhenti memukul! Kamu nggak pantas melakukan ini padaku!" teriak Sintia sambil berusaha bangkit.Habis sudah kesabarannya. Tak mau lagi direndahkan sang suami, apalagi membiarkan diri dihajar secara fisik sampai babak belur. Oh tidak!Tamparan barusan saja sudah menyisakan rasa perih dan panas di kedua pipi. Sintia tak mau merasakan sakit yang lebih parah lagi. Cukup! Dia harus melawan dan membuka mata Dion, agar pria itu paham bagaimana caranya berkaca."Aku melakukan semua ini demi kebaikan kita! Aku berkorban agar perusahaan nggak jatuh ke tangan Chandra brengsek itu! Aku—""Kamu sudah gila, Sintia! Berkorban apa yang kamu katakan, hah? Kamu selingkuh, kamu tidur dengan pria lain. Itu yang kamu sebut berkorban?" pungkas Dion."Itu adalah imbalan yang harus kubayar agar dia mau membantu perusahaan kita, Mas. Kamu pikir aku bisa mengandalkan siapa? Kamu sendiri malah terkapar di rumah sakit, nggak bisa melakukan apa-apa. Kamu kira aku rela melihat pe
"Bu Sintia, tidak menyangka Anda akan mengurusi masalah pribadi saya juga. Padahal sebenarnya itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, kecuali ... saya pacarannya di sini, sambil rapat seperti ini." Chandra kembali mengulas senyum. Lagi-lagi masih tenang dan tidak terpancing emosi Sintia yang sudah menggebu-gebu. "Tapi—""Saya akui, memang tidak sekali dua kali menjalin hubungan dengan wanita. Karena memang ... ada saja masalah yang membuat hubungan berakhir. Ada saja ketidakcocokan yang membuat kami memilih berhenti dan tidak melanjutkan hubungan pada tahap yang lebih serius. Tapi, saya rasa ini masih termasuk hal wajar. Saya yakin di luar sana, baik laki-laki maupun perempuan, banyak juga yang berkali-kali gagal dalam hubungan. Dan ... tidak otomatis karena merekanya yang tak bermoral. Terkadang sudah niat serius, tapi masih saja ada masalah yang membuat hubungan putus. Jadi, saya rasa ini bukan hal yang patut dibesar-besarkan, Bu Sintia."Chandra memotong ucapan Sintia dengan
"Bu Sintia, beliau-beliau sudah menyatakan kesediaannya untuk tetap berinvestasi di Altera. Dan ...."Chandra menggantungkan kalimatnya sesaat. Menyisihkan sedikit waktu untuk menyodorkan dokumen yang sedari tadi ia bawa."Ini adalah surat kontrak yang baru dari Voltanic. Ke depannya, Altera akan kembali menjadi distributor utama bagi perusahaan tersebut. Jadi ... dua janji saya sudah terpenuhi," lanjut Chandra dengan sangat tenang, malah disertai senyuman lebar, seakan sengaja menertawakan kekalahan Sintia.Melihat itu semua, Sintia hanya bisa menggeram lirih. Ini tak masuk akal, pikirnya. Para investor yang sebelumnya sudah berjanji menghancurkan Chandra, nyatanya hanya omong kosong. Voltanic yang katanya akan tersandung kasus, faktanya sampai sekarang belum ada kabar kedatangan polisi di sana."Bu Sintia, bagaimana tanggapan Anda?" ucap Chandra lagi, masih dengan senyum yang sama.Sebuah pertanyaan yang dibiarkan mengabur bersama keheningan dalam ruang rapat tersebut. Alih-alih mem
Menurut jadwal yang ditentukan, rapat akan dimulai jam setengah sembilan. Namun, baru jam setengah delapan, beberapa peserta sudah hadir di sana. Sintia beserta keluarganya, Chandra yang didampingi Norman, dan juga beberapa investor yang sebelumnya sempat mengundurkan diri.Setelah Chandra yang mengambil alih kursi kepemimpinan, mereka bersedia menjadi investor lagi untuk Altera. Karena dari sebelumnya, mereka sudah berdiri di pihak Chandra. Namun, entah akan bertahan lama atau tidak kesetiaan tersebut. Hanya waktu yang akan memberikan jawaban akurat."Kamu boleh bersikap angkuh sekarang, tapi lihat saja nanti. Kamu ... akan menangis darah, Chandra! Dan asal kamu tahu, menyesal pun sudah tidak akan ada gunanya," batin Sintia dengan tatapan yang memicing, meremehkan Chandra yang saat itu tampak tenang dan penuh percaya diri.Awalnya, Sintia sekadar bicara sendiri dalam hati, meluapkan kepuasan atas kemenangan yang sudah terpampang di depan mata. Namun, melihat Chandra yang seolah tidak







