Compartir

Siapa Marissa

last update Última actualización: 2025-10-29 06:04:38

Malam sudah menyapa. Lagi-lagi hujan setia mengguyur kota. Senja masih terbaring di ranjang rumah sakit. Meski sudah keluar dari IGD, tetapi dokter belum mengizinkannya pulang. Paling cepat masih besok sore, itu pun jika keadaannya terus membaik.

Selama berjam-jam itu, Senja tak sendirian. Sama seperti hujan, Chandra juga masih setia menemaninya. Walau tak banyak interaksi, tetapi sikap lelaki itu menunjukkan kepedulian yang tinggi. Selain sigap memanggil perawat ketika Senja ingin ke kamar mandi, Chandra juga berinisiatif membelikan buah dan susu khusus ibu hamil. Padahal, sedikit pun Senja tak memintanya.

"Jangan repot-repot, Pak, saya sudah berterima kasih Anda mau menolong saya." Begitulah kata Senja tadi. Dia merasa segan mendapat perlakuan yang luar biasa baik dari Chandra.

"Tidak repot. Kebetulan aku keluar beli kopi." Seperti biasa, Chandra tanggapan Chandra terkesan tak acuh. Mungkin, memang itu ciri khasnya.

Kini, dua orang itu masih terdiam di ruangan yang sama. Senja berbaring sambil memilin ujung selimut, sedangkan Chandra duduk di kursi sambil memainkan ponsel. Tidak ada interaksi. Senja kesulitan memulainya meski sebenarnya ingin mengutarakan sesuatu.

"Ada apa?"

Senja terkejut mendapati pertanyaan yang tiba-tiba. Alhasil, bibirnya sekadar bergerak-gerak tanpa menggumamkan kata.

"Sepertinya kamu ingin mengatakan sesuatu. Apa?"

Senja mengerjap cepat. Lantas dengan hati-hati berkata, "Sebenarnya ... saya hanya tidak enak hati Pak Chandra terus menjaga saya di sini, dari siang sampai malam. Mmm, kalau Pak Chandra capek atau ada urusan, pulang saja, Pak, tidak apa-apa."

"Meninggalkanmu sendirian begitu?"

"Di sini banyak suster, Pak, saya—"

"Aku tidak capek, juga tidak ada urusan. Jadi, kamu tidak perlu berpikir yang macam-macam. Istirahat saja!" pungkas Chandra, agak datar.

"Baik, Pak, sekali lagi terima kasih."

"Iya."

Walau sebenarnya keberatan dengan keputusan Chandra, tetapi Senja tak berani membantah. Dirinya sudah ditolong, pun dibayari pengobatannya, mana pantas jika banyak mengeluh ini itu, meskipun untuk kebaikan Chandra.

"Aku akan menunggumu di luar. Sepertinya kamu tidak nyaman dengan keberadaanku di sini."

Senja terperanjat mendengar ucapan Chandra yang dibarengi dengan langkah kaki, siap meninggalkan kursi tempatnya duduk sedari tadi.

"Pak, saya tidak ... tidak seperti itu."

"Aku mengerti, kamu masih menganggap dirimu sebagai istri orang. Tapi, perlu kamu tahu, suami yang baik tidak akan mencampakkan istrinya dalam keadaan hamil." Sembari berkata demikian, Chandra melanjutkan langkahnya, meninggalkan Senja sendirian.

Chandra tak tahu bahwa sepeninggalannya, Senja jadi berpikir keras. Banyak hal yang mulai mengganggu benaknya. Tentang ketidakpercayaan Rivan terhadap pengakuannya, nomor yang mendadak tidak bisa dihubungi, perhiasan yang ternyata palsu, dan ... omongan Chandra barusan. Ini ... ada apa sebenarnya? Apa ada sesuatu tentang Rivan yang tidak ia tahu? 

Sayangnya, begitu lama berpikir, Senja tak jua menemukan jawabannya. Ia tetap bertanya-tanya dalam kebingungannya terkait kejanggalan-kejanggalan yang ia temui akhir-akhir ini. 

***

Pagi ini menjadi pagi yang menyenangkan bagi Senja. Pasalnya, setelah tiga hari kemarin dirawat di rumah sakit, hari ini untuk pertama kalinya menghirup udara pagi dari rumah. 

Kondisi Senja hampir pulih seperti sedia kala. Tidak lemas, tidak pusing, dan perutnya pun tidak bermasalah. Hanya mual sedikit jika makan yang terlalu kuat bumbu. 

Untuk hari ini, Senja masih mengandalkan pemberian Chandra. Kemarin saat mengantarnya pulang, lelaki itu tak hanya membelikannya susu dan buah, tetapi juga daging dan sayur-sayuran. Untuk persediaan lauk, katanya.

Selain itu, Chandra juga memberikan uang lima ratus ribu. Sebenarnya, Senja sudah bersikeras menolak. Namun, Chandra juga bersikeras memberi. Katanya, untuk pegangan. Nanti akan dipotong dari bonus bulanannya Rivan. Begitu lihai Chandra bicara, hingga Senja tak menemukan celah untuk membantah. 

Dengan uang yang ada, Senja berniat memulai usahanya, yaitu membuat kue-kue kering. Sambil belanja bahan-bahannya, niat Senja juga sambil bertandang ke rumah Rivan. Ia bawa seluruh perhiasan yang ternyata memang palsu semua. Tidak ada satu pun dari perhiasan itu yang ada nomor kodenya. Artinya, memang semua telah ditukar dengan yang imitasi. 

"Aku harap ada jawaban baik darimu, Mas," batin Senja ketika sudah berada di dalam angkot. 

Campur aduk perasaannya, membayangkan pertemuan dengan Rivan setelah ini. Apa yang akan terjadi nanti? Akankah ia mendapat jawaban yang memuaskan atau justru mendapat luka yang lebih dalam lagi? 

Sekitar empat puluh menit menempuh perjalanan, akhirnya Senja tiba di depan rumah Rivan, rumah yang dulu menjadi istana terindahnya. 

Sejenak, Senja termangu. Terlintas lagi kenangan-kenangan indah di sana. Bagaimana dia bercanda tawa dengan Rivan, berkeluh kesah, berbagi bahagia, bahkan memadu kasih dengan hangatnya. Semua masih terasa nyata di benak Senja. Masih seperti mimpi buruk, dirinya berpisah dengan lelaki yang sangat dicintainya itu. Dengan cara yang menyakitkan pula. 

Setelah memantapkan hati, Senja melangkah mendekati pintu gerbang yang masih menutup. Ia tekan bel yang ada di sana seraya menatap garasi yang masih terdapat mobil Rivan. 

"Syukurlah kamu belum berangkat kerja, Mas," batin Senja. 

Tidak sia-sia dia berangkat pagi-pagi sekali. Karena setibanya di sana, Rivan masih ada di rumah. 

Akan tetapi, sampai beberapa menit menunggu, Rivan tak kunjung datang membukakan pintu. Sampai Senja menekan bel untuk kedua kalinya, tetap tak ada respon. 

"Mas, aku udah jauh-jauh datang ke sini. Kumohon ... keluar dan temui aku, Mas." Senja membatin dengan perasaan yang kian gusar. Bagaimana jika kedatangannya hari itu sia-sia? Lantas, kapan lagi ia bisa bertemu Rivan? 

Selang lima menit, Senja mencoba menekan bel lagi. Mulutnya terus bergerak, menggumamkan harapan untuk bertemu Rivan. 

Namun, malah seorang wanita yang datang, dengan perawakan yang tinggi langsing dan paras cantik menawan. Dalam beberapa saat, Senja terpaku menatapnya. Memandangi setiap inci wajah dan tubuh wanita itu. 

Wajahnya oval, putih, dan mulus. Hidung mancung, bibir merah merona, alis tebal, dan dagu yang lancip. Tubuhnya pun sangat ideal, pinggang ramping, sedangkan bagian lain tampak berisi. Kakinya jenjang, mulus, tidak ada cela sedikit pun. 

Gambaran wanita yang nyaris sempurna. Senja merasa kecil saat berhadapan dengannya. Ia kalah jauh, baik dari segi wajah maupun postur tubuh. 

Namun, tunggu! Ada satu hal yang mencuri perhatian Senja. Yakni kalung dan gelang yang dikenakan wanita itu, sama persis dengan kalung dan gelang imitasi milik Senja. Jangan-jangan .... 

"Kamu siapa?" Sontak, pertanyaan itu keluar dari bibir Senja. 

"Aku Marissa." 

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Anak Siapa di Rahimku   Watak Asli

    Hati Senja seperti tersundut api. Panas, sakit, dan perih. Semudah itu Rivan mengakui Marissa sebagai calon istri. Lantas, dianggap apa dirinya selama ini? "Kita pisah baru hitungan hari, Mas. Kamu sudah ada calon istri?" "Memangnya kenapa? Kamu saja bisa hamil anak orang lain selagi kita masih suami istri, kan?" Rivan menjawab sarkas. Sikapnya jauh berbeda dari terakhir kali mereka bersama. "Mas! Aku nggak pernah selingkuh. Ini anakmu, bukan anak orang lain!"Senja mulai meninggikan intonasi. Sampai sekarang dia tetap tak rela jika Rivan menuduhnya berselingkuh, karena dirinya memang tak pernah melakukan itu. "Kamu kan sudah dengar sendiri bagaimana penjelasan dokter. Aku mandul, mustahil bisa menghamili kamu.""Tapi, aku beneran nggak selingkuh, Mas. Aku—""Sstt, cukup! Aku sudah muak dengan jawaban itu. Aku nggak mau lagi mendengarnya. Sekarang katakan saja, apa tujuanmu datang ke sini?" Sembari menepis perasaan sesaknya, Senja mengerjap cepat, berusaha menahan air mata yang t

  • Anak Siapa di Rahimku   Kenyataan Pahit

    Wanita yang mengaku Marissa, tersenyum seraya menyibakkan rambut panjangnya yang kecokelatan. Wanita itu tidak bertanya balik, seolah-olah sudah tahu siapa yang berdiri di hadapannya. "Mas Rivan di mana?" tanya Senja dengan suara yang setengah tercekat. Sebenarnya ia takut untuk bertanya lebih lanjut. Ia tak sanggup andai kenyataan sama persis dengan prasangka buruknya kala itu. "Dia masih tidur. Maaf ya, aku nggak bisa membangunkannya, semalam dia kecapekan banget.""Capek kenapa?" Marissa tertawa renyah. "Kamu yakin ingin tahu?"Senja melengos. Rasanya Marissa sedang menertawakan dirinya yang mungkin memang kalah telak. "Kamu dan Mas Rivan ada hubungan apa?" Bisa disebut pertanyaan bodoh. Namun, mau bagaimana lagi, Senja penasaran dan ingin tahu jawaban yang sebenarnya. "Senja Pramudita. Benar, kan, itu namamu?" Senja terdiam, sekadar memandang Marissa dengan nanar. "Bukannya kamu dan Rivan sudah cerai ya? Kok ... masih ingin tahu aja? Kamu sendiri yang selingkuh dan mengkh

  • Anak Siapa di Rahimku   Siapa Marissa

    Malam sudah menyapa. Lagi-lagi hujan setia mengguyur kota. Senja masih terbaring di ranjang rumah sakit. Meski sudah keluar dari IGD, tetapi dokter belum mengizinkannya pulang. Paling cepat masih besok sore, itu pun jika keadaannya terus membaik.Selama berjam-jam itu, Senja tak sendirian. Sama seperti hujan, Chandra juga masih setia menemaninya. Walau tak banyak interaksi, tetapi sikap lelaki itu menunjukkan kepedulian yang tinggi. Selain sigap memanggil perawat ketika Senja ingin ke kamar mandi, Chandra juga berinisiatif membelikan buah dan susu khusus ibu hamil. Padahal, sedikit pun Senja tak memintanya."Jangan repot-repot, Pak, saya sudah berterima kasih Anda mau menolong saya." Begitulah kata Senja tadi. Dia merasa segan mendapat perlakuan yang luar biasa baik dari Chandra."Tidak repot. Kebetulan aku keluar beli kopi." Seperti biasa, Chandra tanggapan Chandra terkesan tak acuh. Mungkin, memang itu ciri khasnya.Kini, dua orang itu masih terdiam di ruangan yang sama. Senja berba

  • Anak Siapa di Rahimku   Chandra Wijaya

    Senja keluar dari toko perhiasan dengan langkah lunglai. Teriris sakit hatinya mendapati kenyataan yang ada. Cincin palsu, kemungkinan perhiasan lain juga palsu, artinya ia tak punya apa-apa lagi sekarang. Uang tinggal delapan ribu, bahkan untuk pulang pun tidak akan cukup. Lapar, haus, yang perlahan mulai menyergap, entah dengan apa Senja akan mengatasinya."Ya Allah, harus bagaimana sekarang?"Senja menggigit bibir, menahan sesak dan perih yang menuntutnya untuk menitikkan air mata. Tatapan yang nanar itu terus tertuju pada layar ponselnya yang sudah butut. Berkali-kali ia melakukan panggilan pada Rivan, tetapi hasilnya nihil. Nomor Rivan tetap di luar jangkauan.Entah karena dahaga yang dibiarkan atau pikiran yang penuh tekanan, tiba-tiba perut Senja terasa melilit. Luar biasa sakitnya. Senja merintih sendiri. Menghentikan langkah dan kemudian bersandar pada batang pohon pinang di tepi jalan.Senja memegangi perutnya yang makin sakit. Sialnya, kepala juga mendadak pusing dan pandan

  • Anak Siapa di Rahimku   Palsu

    "Kamu udah nengok Senja? Atau ... minimal telfon gitu?"Pertanyaan pertama yang dilontarkan Bima pada Rivan adalah seputar Senja. Bentuk kepedulian lelaki itu terhadap mantan istri temannya, yang memang patut dikasihani. "Untuk apa? Kami bukan suami istri lagi." Dengan angkuh Rivan mengisap rokok di tangannya. Terus menikmatinya dan tak acuh dengan tatapan Bima. Kini, keduanya sedang ada di sebuah cafe yang tak jauh dari pabrik. Mereka sengaja minum di sana sambil mengobrol, melepas penat setelah seharian berkecimpung dengan pekerjaan. "Kamu yakin akan sekejam ini, Van? Senja itu istrimu. Sebelumnya kamu juga mencintainya setengah mati. Sekarang sedingin ini, kamu nggak takut nyesel?" Bima ikut mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Bukan untuk melepas penat, melainkan mengikis kegundahan karena cinta yang dipaksa patah sebelum mengepakkan sayapnya. Senja Pramudita, wanita yang berhasil mengusik hatinya pada pandangan pertama. Wanita yang sejak awal ia kenal sebagai pasangan

  • Anak Siapa di Rahimku   Tanda Tangan

    Tiga hari setelah resmi bercerai secara agama, Senja keluar dari rumah Rivan. Barang-barangnya sudah dikemas sejak semalam, tak ada yang tersisa. Perjanjian perceraian yang isinya tentang harta gono-gini pun sudah dia tanda tangani. Senja tidak meminta bagian rumah atau mobil. Ia sadar diri. Dulu rumah itu adalah warisan dari orang tua Rivan. Kalaupun renovasinya menghabiskan ratusan juta, bukankah nanti Rivan masih berlapang hati memberinya uang ganti. Begitu pun dengan mobil. Awal pembelian, selagi Rivan masih lajang. Sesudah menikah dengan Senja, hanya tersisa setahun angsuran. "Sudah, Dek? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Rivan. Ia bersiap mengantar Senja ke tempat barunya. "Nggak ada, Mas." Kemudian, keduanya bersama-sama masuk ke mobil. Lantas, meluncur meninggalkan rumah yang menyimpan berjuta kenangan itu. Lagi-lagi tidak ada percakapan di antara Rivan dan Senja. Mungkin sama-sama canggung dengan status yang bukan suami istri. Atau mungkin karena masing-masing menyimpan

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status