Share

04. Testpack

"Karina, sungguh, aku khawatir dugaanku ini benar."

Bella melipat kedua tangannya bersandar pada dinding kamar mandi dan menatap nanar pada Karina yang sedang sibuk memuntahkan isi perutnya —meskipun tidak bisa— pada closet.

Keadaan perempuan itu terlihat sangat tidak baik-baik saja, mengingat akhir-akhir ini kondisi tubuhnya mendadak drop dan sering sekali tiba-tiba mual dan muntah pada saat-saat tertentu. Apalagi pada pagi hari seperti sekarang ini.

Karina menggeleng lemah. Setelah menekan tombol push, perempuan itu berniat bangkit untuk segera membersihkan tubuhnya jika tidak ingin terlambat bekerja, namun baru dua langkah menjauh rasa mual itu kembali muncul.

"Astaga, Karina! Kau harus mendengarkan aku dan pergilah ke Dokter sesegera mungkin!"

Bella akhirnya menghampiri sahabatnya itu dan membantu memijat tengkuknya agar terasa lebih baik.

Tapi perempuan itu seperti hanya mual-mual saja dan ketika hendak memuntahkan isi perut tidak ada apapun yang keluar. Hanya membuat tubuh Karina semakin terasa lemas saja.

"Aku sedang merasa tidak enak badan saja. Bukankah itu adalah hal yang wajar?" sahut Karina yang kini sudah berdiri lemas di depan wastafel.

Karina menatap pantulan diri pada cermin wastafel dan menyadari betapa kacaunya seorang Karenina yang tidak pernah seperti ini sebelumnya. Wajah pucat, rambut acak-acakan seperti singa, dan mata merah sayu.

Sepertinya memang ia sedang demam biasa sekarang. Ya, wajar jika tiba-tiba seseorang terkena sakit, bukan? Seperti itulah yang kira-kira sedang terjadi pada Karina.

"Memang ini hanya dugaanku saja, tapi bagaimana kalau memang benar?"

Karina memegangi kepalanya yang terasa pusing setelah membasuh wajahnya.

"Apa maksudmu?!"

Bella berdecak kesal. "Jangan pura-pura bodoh! Bagaimana jika kau hamil, sialan?!"

Karina tertegun sesaat. Memang dirinya bukanlah perempuan polos yang tidak mengetahui apa konsekuensi berhubungan badan antara dua orang dewasa tanpa pengaman.

Tapi tidak mungkin.

Mereka hanya melakukannya sekali dan tidak mungkin dengan itu Karina bisa terbuahi.

"Mustahil. Itu hanya terjadi sekali." Karina mengedikkan bahu acuh, membuat Bella semakin geram saja.

"Tidak ada yang mustahil apalagi yang membuahimu adalah seorang Arshen Wijaya! Bisa saja benih pria itu kelewat bagus—"

"Astaga hentikan itu, Bella!"

Karina bergidik ngeri. Tidak sanggup mendengarkan lebih lanjut kata-kata tidak seronok dari perempuan ini.

Bella menatap kedua mata Karina sungguh-sungguh.

"Dengarkan aku, Karenina. Dua bulan yang lalu kau sudah melewatkan satu malam panas dengan Arshen tanpa pengaman, dan sekarang kutanya, kapan terakhir kali kau datang bulan, huh?"

Wajah Karina tampak berpikir keras. Ia bukan orang yang mempedulikan tanggal datang bulan dan rasanya sudah cukup lama Karina tidak didatangi lagi oleh tamu bulanannya itu.

"Belum lama ini." Jawab Karina asal-asalan. "Tidak ada yang namanya hamil, Bella. Hentikan dugaanmu itu. Aku tidak mungkin mengandung bayi bosku sendiri."

"Baiklah, tapi apa salahnya memastikan? Jika kau tidak hamil, tentu bagus. Dan masalahnya, bagaimana jika kau benar hamil? Bukankah lebih cepat lebih baik untuk mengetahuinya?"

***

Karina kembali merapikan berbagai berkas-berkas rapat yang baru saja selesai lima menit yang lalu itu. Bahkan selama dua jam tadi, perhatiannya harus terpecah belah akibat rasa pusing dan mual yang mengganggunya.

Maka saat Arshen terlihat sudah keluar ruangan, Karina menutup mulutnya dan buru-buru berlari menuju kamar mandi yang tidak jauh dari sana.

Tapi lagi-lagi yang keluar hanya sebatas saliva dan itu sangat menyiksa Karina akibat mual yang tak berujung ini.

Karina meringis. Ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Saat sakit parahpun, nafsu makannya tidak pernah luntur apalagi mual-mual seperti ini.

"Tidak, tidak mungkin aku hamil."

Perempuan itu berusaha menyangkal ketakutannya sendiri. Lalu kembali teringat pada alas tes kehamilan yang tadi dibelikan Bella sebelum mereka berangkat bekerja bersama.

Karina mengambil alat itu yang tersimpan di tasnya, lalu mengecek keadaan sekitar, takutnya Arshen tiba-tiba datang dan membutuhkan dirinya. Tapi sepertinya pria itu sedang ada urusan sendiri. Karina harus memanfaatkan waktu ini untuk segera mengetes kebenaran benda pipih ini.

Setelah masuk ke dalam salah satu bilik toilet, Karina membaca cepat petunjuk yang ada pada salah satu bungkus. Tak tanggung-tanggung, Bella bahkan membelikannya delapan buah sekaligus dengan berbagai merk berbeda agar lebih akurat nantinya. Tapi Karina memutuskan hanya akan menggunakan tiga diantaranya saja. Bella benar-benar sangat tidak efisien.

Karina menutup closet itu lalu duduk di atasnya. Menunggu hasil yang akan ditunjukkan benda itu dengan harap-harap cemas. Tapi, bunyi ponsel dalam sakunya yang begitu nyaring merusak suasana tegang ini begitu saja.

Matanya melebar melihat siapa si penelepon itu.

Pak Arshen!

"Karina, kau ada di mana?"

"S-saya.. sedang di lantai bawah, Pak. Apa anda membutuhkan sesuatu?"

"Saya sedang mencari proposal yang hendak kita diajukan pada JH Group, tapi tidak ada. Bisa kau membantu saya mencarinya, Karina?"

Karina memukul jidatnya pelan. Proposal yang dimaksud Arshen itu kan belum sempat diserahkan padanya, alias masih di meja Karina sekarang.

"Saya akan tiba dalam dua menit, Pak."

Sambungan telepon terputus dan tanpa perlu pikir panjang lagi perempuan itu memasukkan alat tes ke sela-sela buku agenda miliknya dan segera kembali ke meja kerjanya. Persetan dengan hasilnya, Karina bisa mengeceknya nanti.

***

Tok tok tok

"Permisi, Pak, saya membawakan proposal yang anda maksud. Sebelumnya memang masih saya pegang."

Arshen menerima berkas itu. Tapi matanya mendadak salah fokus pada wajah pucat sekretarisnya.

"Apa kau sedang sakit? Wajahmu terlihat pucat."

Kedua alis Karina terangkat beriringan dengan tangannya yang mengusap pipi reflek. Benar sekali, ia belum sempat melakukan touch up dan pasti terlihat sangat pucat setelah mual-mual tadi.

"S-saya hanya lupa belum memakai lipstik, Pak."

Arshen menggeleng. "Tidak, Karina. Selama lima tahun, tentu saya bisa membedakan keadaanmu ketika sedang fit atau tidak."

Karina meremat buku agenda di tangannya saat Arshen seolah meneliti wajahnya. Sialan, apa yang dia inginkan sekarang?!

"Saat meeting tadi pun, saya beberapa kali melihatmu tidak fokus. Dan saya tahu, sekretaris saya bukan orang yang lalai seperti itu."

"Maaf, Pak. Saya sepertinya sedang kurang enak badan."

"Karina, dengar, apapun yang terjadi denganmu, kau harus memberitahu saya."

"M-maksud anda.."

"Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi setelah malam itu, Karina."

Kedua iris mata Karina tentu melebar mendengarnya. Jangan sampai Arshen membahas kejadian itu di sini.

Karena pasti kalian pernah mendengar istilah, dinding berbicara.

Sudah cukup Karina sering dirumorkan macam-macam dengan Arshen, apalagi jika mereka mengetahui tentang kejadian itu?!

"Pak, tolong jangan membahas masalah itu lagi." Karina berkata lirih sembari menempelkan telunjuknya di depan bibir. "Saya memohon sekali, Pak."

Arshen tidak menjawab. Tapi matanya sama sekali tidak beralih sedikitpun dari wajah pucat Karina.

"Apa kau sedang mengerjakan sesuatu?"

Karina mengangguk.

"Saya masih harus menyiapkan berkas yang sudah ditunggu divisi lain untuk anda tanda tangani."

"Tiga puluh menit lagi kau harus ikut saya mensurvei lahan hotel baru."

Perempuan itu masih menampilkan senyumnya dan mengangguk. "Baik, Pak."

Lalu setelah tubuhnya berbalik dan membelakangi Arshen, Karina berdecak diam-diam. Kepalanya terasa sangat berat sekarang, tapi ia masih harus mensurvei lahan yang tidak mungkin akan selesai dalam satu jam saja.

***

Kebulan asap rokok dan teriknya matahari benar-benar menjadi combo mematikan bagi Karina yang tubuhnya sedang terasa sensitif ini.

Ia berjalan dan terus berjalan mengikuti langkah Arshen dan seorang kepala arsitek yang tengah sibuk menjelaskan menyusuri tiap sudut proyek pembangunan, dan Karina harus siap untuk mencatat segala hal penting mau tidak mau.

Sebagai sekretaris, tentunya ia dituntut untuk sigap dan cekatan atas segala hal. Terlebih jika sewaktu-waktu Arshen akan bertanya padanya mengenai proyek ini, maka Karina sudah pasti harus bisa menangani semuanya.

Perusahaan Wijaya Crop yang berjalan pada bidang furniture dan kini mulai melebarkan sayapnya membangun hotel-hotel mewah di berbagai kota, yang diberi nama Wijaya Hotel.

"Terimakasih sudah berkunjung Pak Arshen, saya akan berusaha memimpin proyek ini dengan sebaik-baiknya."

"Seluruh kepercayaan saya ada pada anda Pak Arshen. Jika anda ingin menanyakan sesuatu, anda bisa menanyakannya langsung pada sekretaris saya."

"Dengan senang hati, Pak."

Pimpinan arsitek bernama itu kemudian berjabat tangan dengan Arshen, tak lupa memberi salam hormat pada Karina.

"Apa jadwal saya selanjutnya, Karina?"

"Untuk hari ini tidak ada, Pak. Mungkin anda hanya harus mengecek kembali berkas dari divisi pemasaran yang saya serahkan tadi dan menandatanganinya."

Melihat anggukan Arshen, Karina kembali menutup bukunya dan beralih mengambil ponsel.

"Hari ini anda ingin makan siang apa, Pak?"

"Seperti biasa saja."

Karina mengangguk dan segera menghubungi restoran langganan tempat mereka makan dan memesan. Sudah bekerja sama cukup lama, tentu masalah makanan kesukaan Arshen sudah sangat Karina hafal.

Yang terpenting, pria itu sangat menghindari makanan kaki lima dan segala tetek bengeknya. Intinya, harus makanan yang higienis, higienis, dan higienis. Huh, tidak tahu saja dia betapa nikmatnya makan di bawah tenda biru pinggir jalan.

Meskipun badannya terasa tidak karu-karuan, Karina tetap harus menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin. Ia mengambil posisi supir bersama Arshen di sebelahnya. Memang Arshen memiliki karyawan bagian supir sendiri, tapi tak menutup kemungkinan Karina-lah yang akan mengambil alih dan mengantarkan sang bos ke manapun. Ya, seperti sekarang ini.

Dua puluh menit kemudian, keduanya sudah duduk berhadapan di meja restoran seafood langganan mereka.

Siapa sangka, menu favorit yang selalu Karina pesan ketidak datang ke mari baunya malah berubah menjadi semenyengat ini? Perempuan itu reflek menutup hidungnya menggunakan telapak tangan.

"Apa ada yang salah, Karina?"

Karina menggeleng dan masih berusaha tersenyum. "Tidak, Pak."

"Apa kau ingin memesan yang lain? Tapi bukankah kau selalu memilih menu ini?"

Arshen meletakkan sendoknya kembali begitu melihat wajah Karina kini berubah merah.

"Saya permisi sebentar, Pak." Katanya dan berjalan cepat menuju kamar mandi.

Lagi!

Karina merasakan perutnya bergejolak dan berusaha menuntaskan rasa mualnya ini. Untungnya kamar mandi sedang sepi, malu sekali jika kepergok sedang muntah-muntah tidak jelas di toilet sebuah tempat makan. Bisa saja menurunkan citra restoran langganan Arshen ini.

Setelah membasuh mulutnya dan menambahkan lipstik agar bibirnya tidak ketahuan pucat lagi oleh Arshen, Karina berjalan keluar toilet dengan pelan. Tubuhnya pasti akan terasa sangat lemas, bahkan Karina harus berpegangan pada dinding agar keseimbangannya tidak goyah. Karina takut ambruk.

"Ck. Jam pulang masih lama, kepalaku pusing sekali," gumamnya. Tak menyadari bahwa Arshen sedang menunggunya di depan pintu kamar mandi wanita dengan penuh kekhawatiran.

"Kau benar sedang sakit, Karina?"

"Pak Arshen?!"

Karina berusaha menegakkan badan, tapi entah karena kelewat lemas atau apa, tubuhnya hampir ambruk dan untung saja Arshen dengan sigap merangkul tubuh mungilnya.

"Karina, kau harus segera memeriksakan diri ke Dokter."

Karina mengangguk lemah, tapi tetap berusaha lepas dari dekapan lengan kekar Arshen itu. "I-iya, Pak. Nanti sesudah pulang dari kantor saya akan pergi ke Dokter."

"Sekarang, Karina." Titahnya tegas.

"Tapi.." Karina mengerjap beberapa kali, "Baik, Pak. Saya akan mengantar anda kembali ke kantor dulu—"

"Tidak perlu. Karena yang akan mengantarmu ke Dokter, Karenina."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status