Share

07. Lamaran

"Biar saya yang menyetir," kata Arshen setelah keluar dari restoran tempat mereka menghadiri jamuan makan malam.

"Tunggu. Saya akan menghubungi Pak Sigit."

Karina hendak mengambil ponselnya di dalam tas untuk menghubungi supir pribadi Arshen yang sebelumnya mengantarkan mereka berdua ke tempat ini, tapi Arshen menahannya.

"Saya yang akan menyetir, Karina," ulang Arshen dan kini lebih tegas tapi tetap terdengar lembut.

Karina pasrah, lalu berjalan memutar untuk duduk di kursi samping pengemudi.

Sepanjang perjalanan, tidak ada sama sekali percakapan di antara keduanya. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing.

"Anda tidak perlu mengantarkan saya pulang, Pak."

Suara Karina memecah keheningan setelah menyadari arah yang ditempuh Arshen bukanlah menuju apartemen pria itu sendiri, melainkan menuju ke kediaman Karina.

"Mengapa tidak boleh? Saya ada urusan penting di rumahmu."

"U..urusan penting?"Karina melotot.

"Tentu saja, saya harus segera menemui Ayahmu."

"Apa?! Jangan sembarangan, Pak! Ayah saya sama sekali belum mengetahui.. tentang.. kita.." suara Karina melirih di akhir.

"Justru itu, Karina. Dia harus tahu mengenai kehamilanmu cepatnya. Dan kita bisa segera membicarakan pernikahan."

"Pernikahan?! Pak, saya sudah mengatakan, tidak akan ada yang namanya pernikahan!"

"Lalu apa yang akan kamu lakukan? Pernikahan itu harus segera dilaksanakan sebelum perutmu semakin membesar, dan orang-orang tidak akan menilai buruk padamu, Karina. Mereka hanya bisa berkomentar, tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya," kata Arshen serius dan menatap sekilas pada Karina sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya.

"Tidak!" Karina menggeleng keras. "Intinya, bayi ini adalah kesalahan dan dia tidak pantas untuk lahir ke dunia."

Arshen meneguk salivanya. Jantungnya bergemuruh mendengar kalimat yang terkesan sangat keji bagi seorang ibu pada anaknya sendiri.

"Karina.. saya tidak suka mendengarmu mengatakan hal seperti itu." Suara Arshen yang lembut itu melirih.

"Saya memang tidak menginginkan kehamilan ini. Dan anda tidak memiliki hak apapun atas saya, Pak."

Arshen meremat kuat setirnya. Rahangnya mengeras.

Arshen harus bisa mencurahkan kesabaran yang lebih banyak untuk perempuan itu.

Tepat setelah mobil miliknya berhenti di depan gerbang kediaman sekretarisnya itu, Arshen langsung buru-buru mengikuti Karina yang langsung meninggalkan mobilnya tanpa mengatakan sepatah katapun.

"Karina, kita harus bicara." Arshen menahan lengan Karina. Dia menatap Karina lekat-lekat, terlihat sekali keseriusan pada sorot matanya yang hangat itu.

Karina menghela nafas panjang.

"Kita bisa membicarakan ini besok—"

"Bahkan jika bisa, saya mungkin akan langsung menikahi kamu malam ini, Karina," jawab Arshen dengan tatapan mata tajam.

Karina menganga. Detik kemudian Arshen merogoh kantong jas abu-abu yang dikenakannya, mengeluarkan sebuah kotak beludru merah yang membuat Karina semakin seperti keong.

Pria itu kini bahkan berlutut di hadapan Karina setelah membuka kotak berisi cincin berlian dengan model yang sederhana, namun terlihat sangat indah.

Karina benar-benar tercekat dan berusaha membuat Arshen berdiri sembari menoleh panik pada sekitar, takut Ayahnya keluar atau siapapun melihat dirinya sekarang tengah dalam posisi.. dilamar?!!

"Menikahlah dengan saya, Karina. Saya akan bertanggung jawab sepenuh hati saya atas kamu.. dan bayi kita."

Karina benar-benar kehabisan kata-kata!

"Pak—"

"Lupakan status di antara kita, saya bersungguh-sungguh ingin menikahi kamu, Karenina Ayla Dewi."

Karina yang masih kelabakan itu kembali menarik tubuh Arshen agar berdiri, tangannya menahan pada lengan.

"Walaupun anda melamar saya seratus kalipun, jawabannya tetap sama, Pak. Saya tidak bisa!"

"Apa kamu menginginkan anakmu terlahir tanpa seorang Ayah, Karina?" Arshen berkata serius.

Benar, pria itu sama sekali tidak bermain-main dengan apa yang dilakukannya sekarang.

"Menikah saja tidak pernah ada dalam bayangan saya, Pak. Apalagi memiliki anak?!"

Tanpa sadar, suara Karina meninggi. Ia sebenarnya takut kehebohan mereka di halaman rumah akan terdengar sampai dalam dan itu sama sekali bukan hal yang baik.

"Apapun sanggahanmu, saya, akan tetap bertanggung jawab."

Arshen benar-benar tidak main-main. Mungkin jika Karina adalah seseorang yang mendambakan suami idaman, tidak akan berpikir dua kali untuk menerima lamaran Arshen. Pria yang sempurna.

"Saya bahkan tidak meminta tanggung jawab anda, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri!"

"Lalu apa yang akan kamu lakukan?!"

Baik. Karina memang sudah memiliki rencana. Aborsi tentu saja!

Tabungannya bahkan lebih dari cukup untuk membayar Dokter terbaik dan dirinya bisa kembali hidup normal seperti biasanya. Ayahnya tidak akan kecewa, dan dia tidak akan mendapat kecaman dari siapapun.

Karina bingung harus mengatakan bagaimana, tapi dia harus segera menyelesaikan ini dan kembali dalam hubungan antar rekan kerja bersama Arshen dan menikmati gajinya dengan tenang.

"Saya akan aborsi."

Jawaban Karina bagai menghantamkan batu besar pada dada Arshen.

"Karina.. saya sudah mengatakan.. jangan mengatakan hal seperti itu.." suara Arshen lirih, kentara akan rasa takut.

Karina tak gentar sedikitpun.

"Itu hak saya, karena ini adalah tubuh saya."

"Baiklah, Karina. Jika kamu tidak ingin menikah dengan saya.. jika kamu tidak ingin adanya pernikahan.. saya akan menerima itu. Tapi kamu harus melahirkan anak itu untuk saya."

Karina melotot lagi.

"Tidak! Bukan seperti itu..." Karina jengah. Mengapa Arshen bersikeras sekali ingin memiliki anak?!

Bahkan dia bisa memberi benihnya pada wanita manapun.

Kenapa tidak dengan Maura saja?!

"Saya belum siap untuk menjadi orangtua. Itu bukan tugas yang mudah. Bukankah lebih baik dia tidak lahir sama sekali daripada merasakan kejamnya dunia?"

Arshen menghela nafas panjang.

"Saya tidak menyangka kamu keras kepala sekali, Karina. Baiklah.. saya tidak punya pilihan lain."

Arshen berjalan mendahului Karina. Berjalan menuju pintu rumahnya.

"Pak—" Karina kebingungan, dan berusaha menahan lengan bosnya itu. "Apa yang akan anda lakukan.. itu akan menimbulkan masalah untuk saya.."

Arshen melangkah. Dan kini berhasil menekan bel sekuat apapun Karina berusaha menahannya.

Karina kalah. Jika ia membuat keributan, maka semua akan semakin berantakan.

"Saya harus melakukan ini, Karina.." kata Arshen dengan suara lembut sebelum pintu terbuka.

"Selamat malam, Pak Arshen,"kata Gayatri, Ibu tiri Karina yang terlihat terkejut melihat Karina datang dengan bosnya itu.

"Selamat malam, Bu." Arshen tersenyum ramah. Sedangkan Karina hampir kehilangan kewarasan di sini.

Arshen tersenyum. Dia tidak ingin bertele-tele. "Kedatangan saya kemari, untuk membicarakan hal penting dengan Pak Rudi."

Gayatri melebarkan mata. "Baik, silahkan masuk, Pak."

Gayatri mempersilakan Arshen masuk, lalu menatap Karina yang keringat dingin.

"Ada apa, Karina?"

"Bunda.." Karina melirih. Dia tidak tahu ingin meminta pertolongan pada siapa. Karina tidak bisa membayangkan bagaimana kemarahan Ayah jika mengetahuinya hamil diluar nikah.

"Selamat malam, Pak Rudi." Arshen menjabat tangan 'calon mertuanya' itu.

Ayah Karina menerima salaman itu meskipun sedikit bingung.

"Pak Arshen? Ada apa malam-malam datang?" Rudi merasa segan, karena bagaimana mungkin atasan anaknya datang berkunjung malam-malam seperti ini.

"Karina belum sampai di rumah, Pak," sambung Rudi.

"Saya bersama Karina, Pak."

Beberapa saat kemudian, Karina akhirnya muncul di ruang tamu. Dengan wajah menunduk, seperti seorang tersangka kejahatan yang baru tertangkap dan sedang digiring menuju sel.

Karina tidak ingin menatap Ayahnya, atau bahkan Arshen yang ingin sekali Karina pukul itu.

Arshen tersenyum tenang. Bahkan tidak ada rasa takut sedikitpun dari raut wajah tampannya itu.

"Kedatangan saya ke sini, untuk melamar putri bungsu anda, Karenina Ayla Dewi."

Semua orang yang ada di sana terkejut bukan main. Rudi, Gayatri, bahkan Dara yang sedang sibuk mencatat nama-nama tamu undangan pesta pernikahannya bulan depan itu langsung menghampiri di ruang tamu.

"Apa? Jadi kalian ada hubungan selama ini?" tanya Dara.

Sedangkan Karina sendiri tengah sibuk memikirkan gaun untuk acara pemakamannya.

Karina serasa ingin mati besok.

"Melamar?" Rudi mengulangi kata itu bingung.

Rudi memang ingin sekali melihat Karina menikah, tapi semuanya seperti kejutan karena Karina baru saja mengatakan tidak ingin menikah seumur hidupnya dan kini seorang pria sedang melamarnya?

Terlebih adalah bosnya sendiri.

"Karina tidak pernah mengatakan sedang dekat dengan anda, Pak," kata Rudi terkekeh. Dia merasa lega perkataan Karina tentang pernikahan salah.

Arshen tersenyum. Dan mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan,

"Saya ingin menikahi Karina secepatnya, Karina tengah mengandung anak saya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status