Jangan lupa tambahkan buku ini ke daftar pustaka kalian yah, agar bisa dapat pemberitahuan kalau bab selanjutnya telah dipublish. Terima kasih banyak karena masih setia membaca cerita Jeceline dalam memperjuangkan rumah tangganya.
“Kalau aku jadi kamu, tidak akan kuterima pengkhianatan ini. Untuk apa menyembunyikan hal buruk Kevin di depan semua orang dan berpura-pura bahagia? Dasar wanita bodoh!” lanjut Feneysa mendengus kesal. “Sejak kapan kau mengetahui hal ini, Fenesya? Kenapa kau selalu membuntuti kehidupan rumah tanggaku?!” Jeceline menatap Fenesya, sementara berusaha membendung bening yang mulai menumpuk di kelopak matanya. “Aku sudah memperingatimu sebelumnya, hanya saja kau tidak waspada, malah memarahiku karena sengaja memprovokasi hubungan kalian berdua.” Jeceline terdiam memikirkan masalah lain yang akan datang jika Fenesya memberitahukan tentang keturunan Kevin yang dikandung Hillary. Leanora pasti akan senang dan sangat menerima cucu pertamanya meski status anak yang akan lahir itu hasil dari hubungan gelap Kevin. Tentu garis keturunan dari Kevin tak mungkin dibuang begitu saja. Air mata Jeceline mengalir di pipi. Meski ingin menahan karena tak mau jika Fenesya tertawa dalam kem
Jeceline segera bersiap. Sekretaris kantor menghubunginya tepat waktu, dengan begini dia bisa melupakan sejenak perbuatan Kevin dengan menyibukkan diri mengatasi masalah perusahaan. Begitu sampai di depan bangunan besar bertingkat, Jeceline memarkirkan mobilnya dan keluar dari dalam sana. Dia memperhatikan sekeliling, memastikan tidak ada bayangan para wartawan. Bukannya berpikir terlalu jauh, tapi dia hanya mencoba untuk mewaspadai keadaan karena sejak dulu ada beberapa orang yang tak suka dengan keberhasilan Kevin di usia muda sehingga berbagai cara selalu datang untuk mencemarkan nama baiknya. Di tambah lagi persaingan politik membuat mereka berdua harus ekstra hati-hati dalam bertindak. “Tolong parkirkan mobilku, dan pastikan tidak ada wartawan di sekitar sini,” ucap Jeceline saat salah satu karyawan laki-laki menyambutnya. Begitu masuk ke dalam gedung, beberapa karyawan yang berpapasan menyapa dengan memasang wajah cemas. Hal ini membuat Jeceline semakin penasaran
“Julius, apa Bu Selin menitipkan pesan padamu? Maksudku, apa dia memberitahumu ke mana dia akan pergi?” Pagi ini Kevin kembali ke rumah dan mendapati kamar Jeceline kosong. Pikirnya mungkin saja dia berada di taman atau di kolam, tapi setelah mencari di seluruh rumah tetap tak menemukan bayangan Jeceline. Nomor ponselnya juga tidak aktif setelah berkali-kali dihubungi, bahkan sms darinya pun tidak ada. Kevin semakin terbeban sebab setelah Hillary datang mengganggu, keharmonisan mereka berdua hilang. Biasanya Jeceline akan meninggalkan pesan sms atau menitipkan pesan pada Julius ke mana dia akan pergi, tapi kali ini tidak lagi seperti dulu. Mendengar pertanyaan Kevin, Julius menghentikan pergerakkan tangannya yang menggosok mobil dengan spons. Dia menengok ke arah Kevin lalu menggelengkan kepala, “Pak Kevin, wanita kalau terlanjur sakit hati harus segera dibujuk. Apalagi kesalahan Pak Kevin sangat fatal di mata semua wanita. Lebih baik Pak Kevin menghubungi Bu Selin saja da
Mata Jeceline mengernyit, perlahan dia mencoba membuka, membiasakan terang cahaya lampu di dalam ruangan. Jeceline meraih selimut di pundaknya, belum menyadari hal aneh yang dialami. Dia menengok ke kiri dan ke kanan, mencari Eiren di sekitar tapi hanya tas belanjaan makanan yang nampak jelas di meja belakang. “Ke mana dia?” gumam Jeceline berdiri dari kursi sambil membetulkan selimut yang menutupi badannya. Dia berjalan menghampiri tas belanjaan makanan di atas meja dan menengok sekilas. Pikirnya makanan itu pasti disediakan oleh Eiren, jadi tanpa berpikir panjang segera membuka dan mengeluarkan box dari dalam sana. Begitu membuka box makanan, Jeceline terpaku sejenak lalu menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya, “sangat kebetulan kau tahu apa yang ingin aku makan, Eiren.” “Nyonya, kau sudah bangun?” Jeceline sedikit terkejut mendengar suara Eiren, dia membalikkan badannya, “kau dari mana saja, Eiren? Kenapa tidak membangunkanku?” “Oh, aku, aku baru saja kem
Begitu membuka pintu, Jeceline terpaku melihat Hillary dengan perut membesar di depan pintu. Adegan yang sama persis saat pertama kali kebenaran pahit terungkap. Jika dulu wanita di depannya terasa asing, tapi sekarang tak lagi. Seberapa keras Jeceline menghindari masalah ini, tetap tak bisa mengembalikan apa yang sudah terjadi. Justru semakin membuat luka lebih besar. “Untuk apa kau datang kemari?” tanya Jeceline masih memasang wajah datar. Hillary tak menjawab, dia segera menerobos masuk, bahkan dengan sengaja menggunakan perut besarnya untuk menyingkirkan Jeceline yang menghalangi pintu masuk. Tentu saja Jeceline tak mungkin mendorongnya keluar dan mencelakai dua nyawa sekaligus. “Jangan melewati batas, Hillary. Meski kau mengandung anak Kevin, tapi bukan berarti kau bisa seenaknya masuk ke rumah orang!” Jeceline menutup kembali pintu rumah lalu mengikuti Hillary dari belakang yang dengan santainya berjalan dan duduk di sofa ruang tamu. “Bu Selin juga tahu sendi
Rupanya ancaman Hillary berhasil, dari cara bicara Kevin terdengar sangat mengkhawatirkan sesuatu hal terjadi pada calon anaknya, bahkan tanpa memikirkan perasaan Jeceline Kevin memintanya untuk menjaga bayi di dalam kandungan Hillary. Jeceline terdiam, membendung sendiri bening di kelopak matanya yang secara tiba-tiba muncul akibat mendengarkan permintaan Kevin yang benar-benar tak berperasaan. Dalam keterpaksaan bibir Jeceline menyetujui keinginan itu, tapi bukan berarti karena memikirkan nyawa bayi dalam perut Hillary melainkan tak ingin membuat Kevin tidak fokus dengan pekerjaannya. “Tapi Kevin, anakmu membutuhkanmu sekarang. Aku tak mau tahu, pokoknya kau harus pulang sekarang!” bentak Hillary mulai kesal. Ancamannya sama sekali tidak dianggap oleh Kevin, dan justru membuat dia malu di hadapan Jeceline karena tidak menunjukkan kemenangannya. Jeceline yang sudah tak tahan dengan sikap Hillary, merampas ponsel dan segera mengakhiri panggilan itu. “Selin....” Hil
Sejenak Kevin terdiam, memikirkan sesuatu, “Hillary adalah gadis yang sangat kasihan, Julius, kau tahu itu. Mungkin di awal aku keliru dengan perasaanku dan mengira itu adalah cinta. Namun sekarang tidak akan lagi, sebab seseorang yang mencintaiku telah terluka begitu dalam.” Julius mengangguk mengerti dengan maksud Kevin. Dia kembali fokus menyetir dan tak lagi mengajukan pertanyaan yang jelas akan membuat suasana hati Kevin berubah. Apalagi saat Hillary datang membawa masalah, sikap Kevin berubah, dia lebih pendiam dari biasanya bahkan sering lupa dan tidak konsentrasi di depan umum. Bahkan berat badannya turun drastis sebab tak punya selera makan seperti biasa. Di sisi lain, Hillary yang terbaring di ranjang, menolak untuk makan karena kesal dengan Kevin. Dia sengaja berbuat seperti itu untuk mencari perhatian terlebih ingin membalaskan dendam pada Jeceline karena meremehkannya. Namun begitu seorang perempuan masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan berisi sepiring makan
“Tidak mungkin!” Kevin menepis perkataan Hillary sebab baginya Jeceline tidak akan pernah melakukan hal buruk seperti itu bahkan dalam pikiran sekalipun. Dia meraih tangan Hillary sekali lagi sembari menepuk punggung telapak tangannya, “dia itu istriku, aku sangat mengenal temperamennya seperti apa. Apalagi kau sekarang mengandung anakku, tentu saja dia lebih tak ingin sesuatu hal buruk terjadi padamu.” Hillary tersedu, dalam hatinya begitu kesal sebab Kevin sangat mempercayai Jeceline. Namun hal ini tak membuat dia menyerah untuk mencapai tujuannya. Tangan yang dipegang Kevin ditarik perlahan bersamaan dengan embusan napas pasrah yang terdengar begitu panjang. “Aku sangat merasa bersalah sebab telah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga kalian, jadi memikirkan untuk datang menemui Bu Selin dan meminta maaf padanya ... tapi tak disangka dia malah menyuruhku meminum racun tikus.” Hillary tersedu di sela perkataan sembari mengelus lembut perutnya yang membulat besar, “tapi