Bentakkan Leonora membuat semua terdiam. Kedua telapak tangannya yang masih menempel di meja kaca dikepalkan kuat bersamaan dengan tatapan kesal ke arah Bryan. “Lelaki tertua? Kau lupa perbuatan apa yang kau lakukan hingga membuat keluarga kita hancur!? Perlu aku mengingatkanmu lagi?!” Kedua lelaki yang tadinya begitu percaya diri kini memasang ekspresi berbeda. Bryan memilih diam dan pergi dari sana, sedangkan Kevin yang berusaha untuk menenangkan diri justru tak tahan dengan perkataan yang mengingatkan kembali tragedi yang terjadi pada ayahnya hingga dia terpaksa pergi meninggalkan Jeceline dan Leonora. Suasana makan malam yang dikira akan penuh dengan kehangatan, ternyata hanya membangkitkan dendam membara di masa lalu. Ditatapnya manik hitam milik dari wanita yang dikenal tegas dan tak pernah menunjukkan kelemahan. Kecanggungan Jeceline berubah saat melihat sepasang mata Leonora memerah. Meski sengaja disembunyikan, tapi sebagai seoran
Rasanya seperti mimpi buruk yang berulang kali muncul dalam alam bawah sadar, seolah tak ingin membuatnya tersadar. Begitu masuk ke dalam rumah, bayangan seseorang yang dia kenali duduk bersandar di sofa tepat di ruang tamu. Rasa lelah bercampur dengan kekesalan mendesak langkah kaki Serafhine menuju ke ruang tamu. “Bagaimana kau bisa masuk?” Pertanyaan Jeceline tersela oleh suara yang sangat dikenali. Sontak dia menengok ke samping tepat dimana suara itu berasal. “Selin, kau sudah pulang? Maaf karena panik aku lupa memberitahukan hal ini padamu.” Lupa? Bagaimana mungkin hal sebesar ini bisa dilupakan. Pikiran Jeceline mulai mengada-ada dengan alasan yang kurang tepat dari Kevin. Bahkan ketika hendak berucap, kesabaran Jeceline diuji lagi sebab Kevin berjalan melewatinya dan justru memilih duduk di samping Hillary sambil memberikan segelas air minum. Berharap pemandangan yang ada di depan hanya mimpi. Kevin tidak mungkin
Tangan Jeceline bergetar.Sayang sekali semua adegan itu hanya dalam pikiran. Hatinya tak cukup kuat untuk bertindak jahat.Selang beberapa jam bel rumah berbunyi.Ting!Tong!Bunyi bel yang tak berhenti membangunkan Jeceline yang saat itu tengah tertidur.Tak mau Hillary mendahuluinya membukakan pintu, ia pun bergegas keluar dari kamar.Klek!“Paket Makanannya, Bu.”Jeceline menatap bingung ke arah tas belanjaan yang dijinjing lelaki pengantar pesanan.“Maaf, Pak. Tapi aku tidak memesan apapun.”Lelaki yang berdiri di depan Jeceline kembali lagi mengecek nama pengirim di ponselnya lalu menunjukkan riwayat pemesanan.Jeceline akhirnya sadar. Ia menerima pesanan dan membayarnya.“Apa itu pesananku?”Baru saja berbalik, Hillary telah berdiri di depannya.“Kau membeli sebanyak ini, apa bisa dihabiskan?”Hillary tersenyum menantang sambil mengelus perutnya, “ini bukan keinginanku. Aku juga tak mengerti dengan perasaan ini.”“Aku harap, Bu Selin bisa memakluminya,” tambahnya lagi lalu mera
“Janin dalam perutku milik Kevin!” “Apa katamu!?” tanya Jeceline Lorena tertawa bodoh menatap seorang wanita berambut panjang bergelombang yang berdiri di depan pintu rumah. “Anak yang saya kandung milik dari Pak Kevin, suami Bu Selin!” ungkap seorang wanita muda berusia sekitar sembilan belas tahun sambil mengelus perutnya yang membulat besar. “Nona, mungkin Anda salah alamat. Silakan pergi dari rumah saya, jangan membuat sensasi di sini.” Jeceline antara kesal dan ingin tertawa keras, sebab hal yang dituduhkan oleh seorang wanita asing sama sekali tidak benar dan tak menunjukkan karakter suaminya. Jeceline bahkan menganggap kalau wanita hamil itu pasti hanya salah alamat sebab tidak mungkin suaminya—Kevin yang begitu setia dan menyayangi dia akan memiliki simpanan di luar sana. Bahkan jika itu memang harus benar, sangat tidak mungkin jika Kevin akan membiarkan wanita simpanannya secara terang-terangan mengakui hubungan mereka. Seribu wanita atau pun gosip
Mata Jeceline terbuka lebar begitu sang wanita menunjukan layar ponselnya yang menampilkan bayangan Kevin sedang dikecup oleh wanita itu. Bahkan di slide berikutnya ada vidio berdurasi sepuluh detik yang memuat kemesraan intim mereka berdua. Jeceline merampas cepat ponsel di tangan sang wanita untuk memperhatikan lebih dekat lagi bayangan Kevin di dalam rekaman itu. Suara tawa Kevin menusuk telinga hingga sampai ke dalam hatinya. Bahkan jemari tangannya semakin kuat mencengkeram ponsel, berusaha menahan kenyataan pahit yang datang secara tiba-tiba. Mata Jeceline masih memaku pada layar ponsel, bahkan berulang kali dia memutar kembali rekaman tersebut untuk memperhatikan dengan benar kalau Kevin yang terekam benar adalah suaminya sendiri. Namun semakin berulang, bening di kelopak mata mulai muncul dan terbendung. Seperti ada seribu anak panah yang menancap di jantung Jeceline hingga bukan hanya sakit melainkan sesak untuk bernapas. “Sejak kapan kalian berhubungan?” ta
Bunyi bel rumah telah berdering beberapa menit lalu bersamaan dengan suara Kevin yang memanggil-manggil dari luar pintu. Sementara Jeceline bergegas kembali mendekati pintu dan menyambut kedatangan Kevin dengan senyuman melengkung indah di sudut bibirnya. Begitu membuka pintu, Kevin segera menyapa dengan kecupan lembut di dahi Jeceline, “I miss you so much.” Seperti biasa setiap kali Kevin habis melakukan perjalanan jauh karena panggilan tugasnya sebagai seorang anggota dewan di daerah, Jeceline selalu mendapatkan kecupan dan rangkulan hangat begitu dekap yang memakan waktu sekitar dua menit. Kerinduan Jeceline terhadap Kevin selama hampir dua minggu telah menutupi kenyataan pahit yang dibawa Hillary. Saat ini dia lebih memilih membiarkan dirinya melepaskan kerinduan dengan sang suami sebelum mempertanyakan hubungan gelap yang disembunyikan darinya. Hangat pelukan, dan aroma tubuh Kevin membuat Jeceline menarik napas dalam, menikmati bau khas dari sang suami tercinta
“Kau boleh keluar sekarang!” Ucapan Jeceline yang begitu kuat bersamaan dengan munculnya Hillary yang keluar dari balik dinding pemisah ruangan. Jeceline terdiam, memperhatikan bagaimana reaksi Kevin begitu melihat Hillary dalam keadaan perut mulai membesar. Manik hitam Kevin membesar dan terpaku melihat Hillary yang berjalan mendekatinya. Dia menelan saliva. Udara di dalam ruangan yang tadinya sejuk kini mulai memanas hingga membuat peluh keluar di dahi. “Kevin, kau ke mana saja? Kenapa kau menghindariku?” sapa Hillary begitu berdiri tepat di hadapan Kevin dan di samping Jeceline. “Hill, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Kevin mengerutkan kedua alis keningnya. “Aku kemari untuk meminta tanggung jawabmu sebagai Ayah biologis dari bayi dalam kandunganku!” Mata Kevin melotot, “apa katamu? Bayiku?!” Kevin menggelengkan kepalanya bersamaan dengan jari telunjuk yang ikut digerakkan di depan wajahnya, “kita sudah lama tidak berhubungan, itu tidak mungkin
“Jadi kau ingin aku tinggal serumah dengan selingkuhanmu?!” Jeceline memelototi Kevin sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Hillary. “Bukan seperti itu, Selin. Aku hanya memikirkan calon anak yang ada di dalam rahimnya.” Hati Jeceline semakin sakit mendengar pernyataan Kevin yang memberikan kepastian kalau benih dalam kandungan Hillary benar-benar adalah milik sang suami. Sekarang dia tak tahu harus turut merasa senang atau kecewa karena anak pertama Kevin bukan dilahirkan olehnya. “Baik! Kalau begitu kau tinggal memilih, aku atau calon anakmu di dalam rahim wanita ini!” Pilihan yang diberikan Jeceline jelas membuat Kevin bingung sebab kedua hal ini sangat penting dan berarti bagi kehidupannya. Ada istri yang sangat dia cintai dan ada calon bayi yang selama ini dinanti-nantikannya. “Tak perlu aku jawab, kau pasti sudah tahu pilihanku. Tapi Selin, bagaimana pun anak yang akan lahir ini bukan hanya anakku melainkan anakmu juga—” “Aku tidak akan per