Kegiatan pemeriksaan DNA yang dilakukan di rumah sakit Cipto Mangunkusumo berjalan lancar tanpa hambatan. Hasilnya masih menunggu kurang lebih satu bulan ke depan. Siska yang kukira akan menaruh amarah karena kejadian kemarin ternyata justru kebalikannya. Dia yang terlihat begitu antusias. Yang tak kupercaya, bahkan dia sampai meminta dokter yang menangani untuk berhati-hati agar hasil pencocokan DNA-nya tidak tertukar. Sungguh kenyataan yang membuat haru dada ini.Diantara segala yang kualami kemarin, satu yang membuat hati tak tenang. Yaitu sikap yang ditunjukkan Fandy kepada Sabrina. Aku menangkap ada perhatian lebih yang tak sekedar saja yang terpancar pada setiap kelakuan Fandy. Meski Sabrina kerap menghindar, tapi tak urung membuat Fandy melakukan hal lain yang pada akhirnya harus diterima Sabrina dengan perasaan sungkan.Mungkinkah Fandy menaruh rasa pada gadis itu? Semoga saja tidak, karena jika hal itu terjadi, kutakutkan akan memperburuk citranya di hadapan Mira ataupun S
Dina menghentikan gerakannya yang tak terkontrol, matanya tajam membidikku.Kuakui, saat ini jantung sudah tak karuan detakkannya, padahal menghadapi pasien jiwa di rumah sakit sudah biasa buatku yang memang berprofesi sebagai psikiater. Tapi berhadapan dengan Dina, terasa ada yang berbeda dari keadaan biasa."Din ...."Aku bangkit hendak menyentuh lengannya. Diluar dugaan, dia kembali menyerang. Aku terhempas ke ranjang. Dengan kekuatan ekstra, Dina terus memukul-mukul dada bahkan mencakar wajah ini. Ada apa lagi denganmu, Din?Kugenggam sprei dengan kuat menahan agar tangan ini tak tergerak untuk menghentikan pukulannya. Hari ini kubiarkan dia melampiaskan segala amarah yang terpendam di dalam dadanya. Jikapun harus sekarat, aku sudah pasrah.Tapi melihatku tak bereaksi, Dina seolah kasihann. Dia menghentikan gerakannya. Kini terduduk dengan kedua tangan lunglai di sisi tubuh. Detik berikut, Dina menghempaskan diri ke atas ranjang.Dan masih di posisiku, tubuh dan wajah terasa sak
Mataku membelalak. Tidak mungkin. Kucoba meneliti lebih dalam, huruf demi huruf yang ada dalam surat Dina dua puluh tahun silam, lalu menempelkan di sisi kanannya kertas yang ditulis oleh Mama. Kenapa bisa serupa begini? Bahkan panjang dan lebar tiap-tiap hurufnya pun sama. Sedang tulisan asli Siska, tidak ada kesamaan walau satu hurufpun.Astaghfirullah! Jadi semua ini kerjaan mama?Dadaku serasa tertusuk belati berkali-kali. Aku tak bisa percaya jika kepergian Dina, adalah mama yang mendalangi. Memang yang kutahu mama tak pernah suka dengan niatku menikahi Dina, sebab dia menginginkan Siska sebagai menantunya. Tapi tidak mungkin mama bisa sejauh ini melakukan tindak kriminal.Ya Allah ...Aku mengusap wajah kasar. Diri ini benar-benar sangat menyesali semua keburukan yang sudah ditebarkan oleh ibu kandungku sendiri. "Kenapa, Ma? Kenapa sampai sejauh ini? Jika surat ini Mama yang menulis, lalu, orang-orang yang sudah memperkosa Dina, Mama jugakah yang membayarnya? Sungguh kejam,
Gamis semata kaki berwarna mint kini menyatu dengan tubuhnya. Dengan khimar warna pink muda menjadikan aura kecantikan wajah Dina semakin memancar. Aku menghela napas mendapati penampilan sempurna dari istriku yang selama ini menjadi salah satu pasien di rumah sakit jiwa.Jika dilihat dari luar, kita memang tidak akan tahu jika Dina mengalami gangguan apapun. Ya, secara keseluruhan, iapun masih bisa melakukan kegiatan layaknya orang biasa. Shalat yang membutuhkan konsentrasi saja, Dina masih tahu cara mengerjakan. Ucapanku, banyak yang ia pahami dan dikerjakan. Hanya tekanan di jiwanya dan trauma yang masih membekas hingga membuat kondisi psikologisnya naik turun. Tapi Mas berjanji padamu Din, tak akan kamu temui lagi dalam hidupmu selain bahagia. Ya, bahagia. Itu janji Mas, Din.Pelan langkah tergerak mendekatinya yang tengah duduk menghadap keluar jendela. Boneka kesayangan masih dalam dekapan. Semoga hari ini dia tidak meledak-ledak seperti kemarin."Dina ...."Dia terhenyak men
"Mas Fadly ..."Mendengarnya memanggil, aku segera berbalik. Wajah Dina tengah menatapku lekat. Entah apa yang mendorong, tubuh ini lekas berhamburan memeluknya. Dina melakukan perlawanan kecil. Tapi aku tak menyerah."Saya menunggumu, Mas. Terus menunggu, tapi kamu tidak pernah datang ...."Dia berusaha melepaskan diri, tapi pelukan semakin kueratkan."Din ... Mas mencarimu kemanapun. Tapi seolah lenyap, Mas tidak sama sekali menemukanmu dimana-mana. Tolong maafkan Mas Din, Mas sudah semaksimal mungkin berusaha. Bahkan doa tak pernah henti Mas degungkan."Bukan hanya Dina yang berurai air mata, tapi diri ini. Kukecup wajahnya, lalu mengakhiri dengan mengecup puncak kepala. Dina masih terisak.Pelan tangan kugunakan untuk membuka jilbab yang masih dia kenakan tapi mendadak Dina menahan tanganku."Jangan sentuh saya, Mas.""Saya suamimu, Din."Dia mengeleng-gelengkan kepala. Kini mulai meringkuk. Ya Rabb, dosa jika aku memaksa mendapatkan apa yang kuinginkan sedang secara psikologis,
[Bagaimana Dok, saya harus bilang apa?]Aku menghela napas berat, sepertinya sudah tidak ada lagi yang perlu kututupi. Bukankah Dina sudah sehat? Maka Siska harus tahu masalah ini. [Katakan pada Nyonya Siska, saya akan pulang. Kurang lebih satu jam lagi, saya sampai di rumah.][Baik, Dok.]Kini pandangan Dina tertuju padaku saat tangan memindahkan ponsel di telinga kembali ke dalam saku."Yang nelpon ini Siska. Kamu masih ingat?" ucapku menjawab tanya yang terpancar dari sorot matanya.Dina tampak terhenyak. Lalu memilih kembali duduk di ranjang. Aku yang menyaksikan jadi merasa khawatir."Kamu mau 'kan ketemu sama Siska?"Dina mengangkat wajah, dua bola mata coklatnya menatapku lemah."Mas sudah berbahagia dengan kehidupan Mas yang sekarang, saya tidak ingin hadir sebagai pengganggu. Bisakah Mas pertemukan saya dengan anak saya tanpa harus kembali hidup bersama kalian?"Pertanyaan Dina seperti membebat seluruh harapanku. Bukan ini yang aku inginkan, tapi?"Tidak, Din? Kamu dan anakm
"Kamu lihat yang duduk di sofa itu?"Aku membelalak, menatap jauh ke dalam ruang keluarga. Seorang wanita duduk membelakangi. Siapa dia? Kenapa daritadi perasaanku aneh begini?"Siapa wanita itu, Pak?""Jika hasil DNA menunjukkan positif kamu anak saya, maka wanita yang duduk di dalam sana nantinya akan menjadi ibu biologismu."Dadaku tersentak, jadi kemungkinan wanita itu adalah ibuku? Ya Allah, akhirnya, tapi semua belum terbukti ..."Kamu ingin bertemu dengannya?""Emang boleh, Pak?""Tentu saja boleh. Saya membawa dia kemari memang tersebab dia ingin sekali bertemu denganmu. Tapi saya harapkan satu hal Sabrina. Mengakulah bahwa memang benar kamu anak kami, meski hasil test DNA itu belum keluar."Aku menghela napas."Bagaimana kalau hasilnya menunjukkan bahwa saya bukanlah anak Bapak?"Sejenak suasana dikuasai keheningan. Pak Fadly menarik napas."Kamu tetap akan menjadi anak angkat kami."Mataku kembali membelalak. Kenyataan apa lagi ini? Haruskah aku berbahagia? Atau justru sebal
Bu Asti mengurungkan niat untuk masuk lalu mendekati Bu Dina. Dia meraba-raba seluruh wajah Bu Dina."Masya Allah, tidak ada yang tak mungkin jika Allah sudah berkehendak. Barakallah Ibu sudah dipertemukan kembali dengan Sabrina. Mari silahkan masuk. Maaf, saya tidak bisa melihat."Bu Dina menggenggam jemari Bu Asti. Lalu mereka duduk di atas karpet."Bagaimana ceritanya sampai bisa kamu menemukan ibu kandungmu, Sabrina?"Bu Asti bertanya dengan penuh kelembutan. Bu Dina seperti kebingungan, maka dengan cepat aku mengambil alih pertanyaan tersebut."Rumah yang saya tempati kini ternyata adalah rumah lelaki yang tak lain adalah ayah kandung saya sendiri, Buk.""Alhamdulillah ... Sudah takdirnya seperti itu. Lalu kemana beliau, kenapa tidak ikut mengantar?""Ceritanya panjang, Buk. In Syaa Allah besok saya akan ceritakan semuanya.""Emm, yasudah kalau begitu, ajak ibumu masuk ke kamar. Supaya bisa beristirahat. Pasti esok punya cerita yang lebih menguras pikiran."Aku mengangguk sembari