"Sudah lama dia tidak begini. Saya bahkan memprediksi pasien ini sudah seratus persen sembuh. Tapi kenapa hari ini bisa kambuh lagi, ya?"
Sahabatku Rizky yang tak lain adalah Dokter Spesialis Penyakit Jiwa yang menangani Dina berucap padaku.
Sejenak suasana hening. Suster yang tadi berbicara padaku sudah menyatakan siapa Dina pada Rizky.
"Jadi dia istrimu?"
Tak ingin menutupi apapun, kuanggukan kepala.
"Dia pergi dari rumah karena disiksa oleh ibuku serta adik madunya. Istriku sekarang. Puluhan tahun aku hidup dalam penyesalan, kini aku mau menebus semuanya. Aku ingin merawatnya sendiri, Ris. Bisa aku membawa Dina sekarang?"
"Apa kamu yakin? Bagaimana kalau penyakitnya kambuh lalu dia menyerangmu."
"Saya yakin dia tidak akan menyerang. Atau jika memang itu terjadi, saya akan merawatnya di Magelang. Jadi saya bisa rutin mengunjungi."
"Yasudah kalau itu menjadi keputusanmu. Sangat disayangkan kalian baru bertemu setelah dua puluh tahun berlalu."
"Tidak Ris, walau sudah banyak waktu yang terbuang, aku sangat bersyukur setidaknya Allah masih memberiku kesempatan untuk bertemu dengannya."
Ada yang menusuk dada ini dengan kuat saat kuucapkan kata itu, nyatanya sedari dahulu aku terus berdoa agar segera bertemu. Tapi hingga usia hampir memasuki kepala lima, hal itulah baru diijabah Allah. Ah, bukankah lebih baik bertemu walau sudah sama-sama menua?
Kuhela napas berat. Setelah cukup berbicara, kembali kaki ini terangkat. Atas ijin Risky, Dina kubawa dalam keadaan tertidur karena pengaruh penenang setelah sempat sadar dari pingsan dan mengamuk ketika kembali melihatku.
Bisa kupastikan penenang yang mengalir di tubuhnya akan membuat ia tertidur hingga kami sampai di Magelang.
*
Aku membawa Dina ke apartemen yang baru kubeli di jantung kota Magelang. Siska tidak tahu tentang apartemen ini. Aku memang sudah mempersiapkan jauh hari, karena selain Mira, aku punya seorang anak meski belum kuketahui keberadaannya.
Dina kunaikkan di atas kursi roda. Dia masih tertidur. Membuat siapa yang kutemui terlihat begitu penasaran. Kuabaikan mereka. Aku sudah melapor pada pihak apartemen akan membawa seorang saudara yang cacat untuk tinggal di apartemen ini. Biarlah berdusta untuk sementara waktu sebelum aku menemukan tempat yang cocok untuk Dina. Tentunya bukan rumah sakit. Aku akan merawat Dina dengan caraku sendiri.
Setelah sampai di kamar kuangkat tubuhnya yang sudah sangat kurusan dan mengeluarkan aroma tak sedap. Kubaringkan Dina di atas ranjang.
Pelan, kududukkan diri di sampingnya. Mengelus pipi serta mengecup kening wanita itu.
Untuk kedua kali air mataku kembali tumpah. Aku merutuki semua yang kulakukan dahulu. Ketidakpekaanku padanya hingga musibah besar ini menimpa.
Semua salahku. Salahku ...
Kubalikkan badan dan menjulurkan kaki ke bawah. Wajah kubawa menunduk sembari menutup dengan kedua telapak tangan.
Tiba-tiba, terasa sesuatu mengenai punggungku dengan kuat. Sakit sekali! Tubuh ini seketika rubuh ke atas ranjang.
"Dina?"
Dia bangkit dari ranjang setelah berhasil memukul punggungku dengan tongkat baseball yang terletak di samping kepala ranjang. Aku berusaha bangkit untuk mengejar, tapi Dina sudah melesat jauh ke luar apartemen. Kubiarkan tubuh sejenak rebah.
Sambil kembali mengumpulkan kekuatan untuk bangkit.
Masih berat. Sepertinya, ponsel menjadi alternatif. Kugerakkan tangan meraih benda pipih itu dari dalam saku celana. Dan segera menelpon satpam.
[Pak, tolong ditahan, wanita yang tadi saya bawa di atas kursi roda.]
[Lho, sebenarnya ada apa Pak Fadly, bukannya dia cacat dan tidak bisa berjalan?]
[Nanti saya cerita detailnya, tolong Bapak tahan saja orangnya.]
[Baik, Pak Fadly.]
Sepuluh menit, akhirnya sedikit-sedikit tubuhku bisa kuangkat. Tapi masih sangat sakit, Dina memukul dengan kekuatan ekstra yang dia miliki.
Setelah sempurna duduk. Kucoba untuk berdiri. Alhamdulillah bisa.
Lekas aku ke lantai bawah untuk menjumpai satpam apartemen ini.
"Bagaimana Pak, apa Bapak berhasil menahannya?"
"Sampai detik ini tidak ada yang keluar melalui pintu keluar utama Pak Fadly, padahal setelah Bapak menelpon saya terus stand by di sini."
"Ya Allah, jadi kemana dia? Kalau tidak ada yang keluar dari pintu ini, berarti wanita itu masih di dalam apartemen ini, betulkan Pak?"
"Bisa jadi."
Kuhela napas. "Atau Bapak bisa mengecek pada operator CCTV di ruang penjaga. Biar saya terus memeriksa di pintu ini."
"Baik Pak, terima kasih. Saya akan segera ke belakang."
Dengan tergesa aku memasuki ruangan penjaga apartemen. Disana seorang sequerity tampak stand by di depan beberapa buah kamera. Aku mendekati lelaki itu dan meminta untuk diputar ulang isi rekaman CCTV.
Detik-detik aku dan Dina masuk masih terekam, lalu lalang manusia keluar masuk apartemen juga tampak pada rekaman. Hingga lima belas menit berlalu. Dina keluar dari apartemen berbarengan dengan sebuah keluarga.
Terlihat satpam penjaga sedang berbicara dengan seseorang yang juga masuk ke apartemen ini.
Ck! Satpam itu lalai!
"Bagaimana, Pak Fadly?"
Aku terhenyak dari lamunan.
"Orangnya sudah keluar, Pak."
"Yah. Lalu bagaimana, Pak Fadly?"
"Saya akan mencarinya. Terima kasih atas bantuannya."
"Sama-sama. Semoga bisa segera ketemu."
Melihatku tergesa, mereka tak memperpanjang pertanyaan. Syukurlah, setidaknya tidak perlu membuang waktu untuk menjelaskan dan tentunya aku akan terbebas dari sangsi yang bakalan mereka beri jika tahu aku sudah membawa pasien jiwa ke dalam apartemen.
*
Mobil kembali berjalan di atas jalanan panjang. Mataku menelisik ke kiri dan kanan dengan teliti. Sudah sejauh seratus meter berjalan, belum juga aku menemukan jejaknya. Hampir menyerah sebab senja kembali melukis langit. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah.
"Ya Allah, salah apa aku sama Dina? Kenapa tak Kau beri kesempatan untukku menebus semuanya?"
Setelah menunaikan shalat magrib di salah satu mesjid, aku kembali ke rumah.
Kepulanganku disambut curhat panjang oleh satu-satunya anak dari hasil pernikahan kedua dengan Siska.
"Pa, besok Mas Fandy balik ke Indonesia. Yuk Pa, kita berkunjung ke rumahnya."
"Lo kok perempuan yang nyamperin, nanti dikira murahan donk."
"Ya nggak donk Pa, zaman ini ni Pa, wanita harus lebih aktif, kan jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah lelaki. Kalau lambat-lambat ya keduluan orang, Pa. Dokter gitu loh. Sayang banget jika berhasil digebet sama anak samping rumah."
Siska istriku ikut menimpali.
"Ya tapi kesannya nggak bagus perempuan duluan yang mengunjungi. Lebih bagus kita menunggu. Kodratnya memang begitu 'kan, Ma. Perempuan itu menunggu dilamar. Kalau Fandy suka sama Mira, pasti dia datang buat ngelamar."
"Kalau dia nggak suka sama aku, Pa?"
"Ya kalau dia nggak suka, berarti jodoh kamu bukan dia."
"Aku nggak mau, pokoknya aku cuma mau nikah sama Mas Fandy! Apapun itu, aku minta Papa cari cara, supaya Mas Fandy bisa nikah sama aku."
"Ya nggak bisa gitu donk, Nak."
Disaat kami sedang panas membicarakan jodoh Mira, gadis itu muncul membawakan makanan kesukaanku. Namanya Sabrina. Dia ART di rumah ini. Baru tiga hari bekerja. Kuperkirakan dia seusia dengan anakku. Tapi dia berbeda dengan Mira, gadis itu rajin ibadah dan sangat pintar memasak.
"Bagaimana kalau Papa mengundang keluarga Alfandy saja untuk makan malam di rumah kita, gimana, Pa?" ucap Siska kembali melerai percakapanku dan Mira.
"Baiklah, besok malam kita undang keluarga mereka untuk makan malam di rumah ini."
"Beneran, Pa? Makasih ya, Pa."
Kuhela napas panjang, melihat Mira dan Mamanya, ingatanku kembali terlempar pada sosok Dina. Andai dia dan anaknya masih bersamaku kini. Tentu perangainya sangat bertolak belakang dengan mereka.
*
Pagi kembali menyapa, semalaman aku tak bisa tidur. Pikiran terus melayang pada sosok Dina yang kini entah dimana keberadaannya sudah.
Andai aku tidak membawa Dina ke Magelang, setidaknya dia aman di Surakarta ...
Penyesalanku kini terasa tak berguna.
Hari ini sepulang dari kerja, aku kembali mencarinya. Bahkan aku sengaja turun untuk menanyakan pada beberapa orang yang kutemui. Andai ada foto, mungkin akan lebih mudah untukku mencari. Ya Allah ...
Senja mulai menghiasi langit. Kuputuskan untuk menyudahi pencarian hari ini, teringat bahwa malam nanti akan ada undangan istimewa untuk keluarga besar Pramudia.
Lekas diri kembali pulang.
Semua sudah disiapkan dengan baik oleh Siska. Menu makanan hingga tatanan ruang makan. Semua demi Mira. Mungkin dia menjadi anak manja sebab didikan kami juga yang selalu memenuhi keinginannya. Semoga, setelah menikah dengan Fandy, dia bisa menjadi pribadi yang lebih dewasa.
Kami sekeluarga sudah menunggu di ruang tamu, hingga dering ponselku membuat semuanya terhenyak. Kuangkat benda pipih itu begitu tahu siapa yang menelpon.
[Hallo Pak Pram.]
[Hallo. Mohon maaf Pak Fadly. Sepertinya kami harus membatalkan kedatangan malam ini.]
[Lo, sebenarnya ada apa, Pak?]
[Mobil yang dijalankan Fandy tadi menabrak seorang wanita gila.]
Hah? Degup di dada seketika berpacu.
[Wanita gila?]
[Iya, sekarang sedang dirawat di rumah sakit Cempaka Putih. Sekali lagi mohon maaf ya, Pak.]
[Tidak apa-apa, Pak. Kalau boleh saya tahu, wanita yang ditabrak Fandy itu berpakaian warna apa?]
[Coklat, Pak. Jilbabnya warna hitam.]
Deg.
[Kenapa, Pak?]
[Hallo. Hallo.]
Apakah yang ditabrak Fandy adalah Dina? Ya Allah, kenyataan apalagi ini?
***
Bersambung.
Utamakan baca Al-Quran ya.
Aku memandangi jas putih yang biasa digunakan suamiku saat bertugas. Dia sangat tampan ketika memakai jas ini. Menjadi istri dari seorang dokter, sungguh tak pernah ada dalam khayalan. Terlahir di panti asuhan, dirawat oleh wanita buta. Memiliki kedua orang tua utuh saja aku tak pernah mau membayangkan. Tapi ternyata, rahmat Allah itu pasti. Kebahagiaan buah kesabaran selama ini sempurna kurasakan sekarang.Tiga bulan sudah pernikahanku dengan Mas Fandy, tak satu kalipun dia membuat perasaan ini terluka. Dia benar-benar suami idaman. Lembut perangainya, santun suaranya bahkan setiap perlakuannya membuatku selalu merindui dan berharap ia cepat-cepat sampai ke rumah. Meski pada kenyataannya semua itu tak mungkin terjadi. Sebab sebagai seorang dokter, dia cukup sibuk dengan segala kerjaannya.Lebih sering sampai di rumah saat matahari sudah hampir tenggelam. Belum lagi kalau kena dinas malam, aku terpaksa tidur bertemankan bantal. Tapi yah sudah resiko menjadi istri seorang dokter. Mau t
Jika aku tahu, pertemuan itu adalah untuk kesempatan terakhir kita bertemu. Aku berjanji tidak akan beranjak, sekalipun di sana, pengantin lelakiku sudah menunggu. Maafkan anakmu, Mama.***Mas Sabri keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih mengenakan kemeja lengan panjang. Dengan wajah yang tampak basah, lelaki itu berhasil membuat degup jantung ini berpacu kencang. Dia berjalan mendekatiku yang hendak membuka berbagai aksesoris di kepala.Mas Sabri menatap wajahku dari pantulan kaca cermin. Kedua tangannya diletakkan pada pundak. Sungguh, sesuatu semakin bergelenyar aneh di dalam dada."Biar Mas bantu."Cekatan tangan Mas Sabri memindahkan mahkota yang ada di puncak kepala. Sambil terus menatap di cermin.Lalu dia sedikit menekuk dan membalikkan posisi dudukku. Mas Sabri mengajak berdiri.Tatapan kami bertemu. Mas Sabri meminta ijin membuka khimar yang kugunakan. Dia menghela napas sesaat setelah penutup jilbab itu berhasil lepas dari kepala ini."Pertama kali lihat bidadari sedeka
"Kita jalan-jalannya naik motor aja mau nggak?"Mas Fandy bertanya setelah kami kembali ke kamar. Sehabis menikmati makan malam bersama. Kami juga baru selesai melaksanakan shalat isya berjamaah."Em, boleh juga Mas.""Asyik. Yuk ah pergi."Seketika Mas Fandy menggandeng tanganku. Membuat diri ini terhenyak dan menatapnya sejenak."Lo kenapa, 'kan udah halal. Seperti ini pun boleh."Tangan Mas Fandy yang tadinya memegang lenganku kini berpindah ke pundak. Aku hanya tersenyum, aneh jika menolak. Sebab benar kata Mas Fandy, kami sekarang sudah halal. Apapun itu boleh, kecuali yang satu itu. Belum siappp ...Kami melangkahkan kaki bersamaan, menuruni tangga namun terhalangi oleh papa dan mama."Lo pengantin baru mau kemana malam-malam?"Aku meremas jemari, ini semua ide konyol Mas Fandy. Harusnya kami di kamar saja, nonton mungkin atau tidur barangkali. Ck! Mbak Mira sama Mas Sabri aja stay di kamar."Kami mau cari angin segar, Pa. Em, pengen jalan-jalan keliling Magelang sama Sabrina.
"Duduknya dekat lagi, Mbak."Kugeser posisi duduk mendekati Mas Fandy, sesuai instruksi dari photografer. Rasa bahagia bercampur haru menyeruak di dalam dada. Ya Allah, inilah hari yang paling kutunggu-tunggu seumur hidup. Memandanginya tanpa takut dosa, menyentuh kulitnya tanpa takut dilaknat malaikat. Serta yang paling tak bisa kubayangkan, sebuah kecupan kening untuk pertama kalinya juga kurasakan di hari ini."Ditahan dulu ya Mas posisinya."Ucapan itu didengungkan oleh sang fotografer saat bibir Mas Fandi menyentuh keningku. Bisa kalian bayangkan gimana rasanya? Saat benda kenyal berwarna ranum itu sedang mengecup penuh keromantisan, namun seseorang justru meminta agar perlakuan tersebut dipertahankan. Seketika suasana romantis digantikan oleh kecanggungan.Mas Fandy menarik wajahnya lalu kami saling terkekeh."Yah Mas, tadi hasil fotonya kurang bagus. Yuk sekali lagi."Sang fotografer kembali menyemangati. Sedang di sekeliling, sanak keluarga termasuk Mira Dan Mas Sabri menan
"Pak Sabiq, lelaki itu adalah ayah kandungku."Kejadiannya sebulan yang lalu, kata papa seorang lelaki yang wajahnya sangat mirip denganku datang menjenguk mama ke rumah sakit. Papa berhasil memergoki lelaki itu.Mereka berbicara. Dan lelaki itupun jujur, perihal rahasia yang tidak pernah dibicarakan mama selama dua puluh tahun lebih pernikahannya dengan papa.Puluhan tahun yang lalu, sebelum mama sah menjadi istri papa, dia dan mama pernah hidup bersama. Ah, sakit hati jika mengingat semua itu. Tapi bukankah Allah saja Maha Pemaaf? Harusnya akupun sudah memaafkan kekhilafan kedua orang tuaku itu. Tapi kadang, syaitan terus membisikkan kata mujarabnya, agar aku membenci mereka. Bersyukur, Alllah memberiku orang-orang terdekat yang kadar imannya sangat terjaga. Saat aku putus asa, papa, mama dan Sabrina, selalu menyemangati. Bahkan saat aku merasa tak lagi ada yang mencintai. Ternyata, Allah kirimkan Mas Sabri, lelaki yang selalu membiusku dengan angan membangun syurga kelak bersaman
POV MiraSiang itu juga kami berangkat ke Solo. Papa dan Mama ikut mengantar. Sepanjang perjalanan aku tak henti menangis. Meski mama sudah minta untuk tenang, tapi tetap saja air mata ini tumpah bagai kucuran air hujan.Dua jam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Papa segera menanyakan keberadaan Mas Sabri pada perawat jaga. Dengan langkah cepat kami segera menuju ruang rawatan.Sesampai di depan ruangan. Mama kembali meminta agar aku menarik napas dan bersikap tenang. Ya Allah, apa mereka tidak tahu bagaimana khawatirnya hati ini? Sungguh, aku tak ingin terjadi sesuatu pada Mas Sabri, aku terlanjur sangat mencintainya. Jika ia tiada, entah bagaimana nasibku ...Papa membuka pintu, hingga nampaklah sosok lelaki yang amat kurindukan selama ini."Mas Sabri ...."Lelaki itu tersenyum menyambut kedatanganku. Kaki ini terangkat hendak berhamburan memeluknya, tapi papa menahan gerakanku."Ingat Mira, kamu masih masa pingitan."Huh!Seketika tubuh ini lemas, papa hanya membole
POV Sabrina[Alhamdulillah Mas lulus ....]Sebuah pesan yang dikirim saat aku berada di rumah Bu Asti, empat tahun yang lalu. Karena penasaran, kubalas juga pesan itu.[Lulus apa, Mas?][Mas ikut program Nusantara Sehat. Dan Alhamdulillah Mas lulus dan akan ditempatkan di Kepulauan Anambas, Riau.]Deg. Jantungku seketika berdegup kencang. Jadi Mas Fandy akan pergi jauh? Untuk berapa lama?[Alhamdulillah selamat ya, Mas. Semoga Mas bisa mempraktekkan ilmu yang sudah ada dengan sebaik-baiknya.]Aku masih bersikap tenang, meski sejujurnya ada rasa berat mendengar berita ini. Kenyataannya, meski mulut sudah menyatakan agar Mas Fandy tak menghubungi selama empat tahun ini, tapi hati seolah berkata lain. Ia ingin terus memberi dan mendapat kabar dari lelaki itu.[Makasih, ya. In Syaa Allah besok kami diberangkatkan. Kamu mau pesan sesuatu nggak untuk Mas?]Aku tercenung sejenak, pesan apa? Masak iya harus meminta agar setelah pergi, ia tidak lupa untuk pulang, atau meminta agar setelah per
POV FadlyBegitulah kiranya anak-anak, ketika lelaki yang diciptakan Allah tidak hanya satu, tapi kenapa dua anak perempuanku terlibat dengan satu lelaki yang sama?Meski terlihat tidak adil karena aku tak membiarkan Sabrina memberi keputusan, justru langsung menolak lamaran Pak Pramudia. Tapi kuharap inilah yang terbaik. Semua kulakukan tersebab tak ingin hubungan kakak beradik itu rusak hanya karena lelaki.Selama sebulan ini, tak ada cacat pada hubungan mereka. Yang kutakutkan sebelumnya akan sering beradu mulut, tapi ternyata mereka justru begitu akur.Sebab itulah aku memutuskan untuk tidak menerima lamaran tersebut untuk saat ini dan meminta waktu hingga empat tahun. Kupikir empat tahun, cukup untuk seseorang melupakan dan mentransfer perasaan cintanya kepada orang lain. Dan harapan besarnya adalah setelah empat tahun itu, Mira sudah move on dari mencintai Fandy. Tapi pada mereka berdua, aku tak perlu jujur bukan? Niatku baik, jika selama empat tahun tersebut ternyata mereka j
Kami duduk di sebuah kursi yang terletak di pinggiran tempat parkir, suasana begitu sejuk sebab disekelilingi oleh pepohonan. Kurasa inilah tempat terbaik untuk berbicara, setidaknya tidak ada satu orangpun yang kemungkinan akan memergoki. Aku tak ingin Mbak Mira tersakiti hatinya jika tahu Mas Fandy sampai menemuiku di kampus ini."Apa kabar?"Dia membuka dengan pertanyaan yang membuat hati berdebar tak menentu."Baik. Mas Fandy sendiri apa kabar?""Alhamdulillah, saya kurang baik.""Kurang baik? Tapi jika dilihat dari luar, sangat baik kok," selorohku yang tak bisa menjaga suara. Aduh ...Dia tersenyum, senyum yang membuat hati meleleh. Bisakah ya Allah aku terus menikmati senyumnya? Huhft ..."Dari luar memang baik, tapi tidak dari dalam. Eh, ohiya, selamat ya," ucapnya kemudian sembari menatapku."Selamat untuk apa, Mas?""Selamat untuk hasil tes DNA-nya. Saya ikut senang.""Alhamdulillah, Mas.""Huh, puluhan tahun, Allah Maha Luar Biasa."Aku tersenyum."Itu Asmaul Husna yang ke