Share

2. Kepergian Dina

"Sudah lama dia tidak begini. Saya bahkan memprediksi pasien ini sudah seratus persen sembuh. Tapi kenapa hari ini bisa kambuh lagi, ya?" 

Sahabatku Rizky yang tak lain adalah Dokter Spesialis Penyakit Jiwa yang menangani Dina berucap padaku.

Sejenak suasana hening. Suster yang tadi berbicara padaku sudah menyatakan siapa Dina pada Rizky.

"Jadi dia istrimu?"

Tak ingin menutupi apapun, kuanggukan kepala.

"Dia pergi dari rumah karena disiksa oleh ibuku serta adik madunya. Istriku sekarang. Puluhan tahun aku hidup dalam penyesalan, kini aku mau menebus semuanya. Aku ingin merawatnya sendiri, Ris. Bisa aku membawa Dina sekarang?"

"Apa kamu yakin? Bagaimana kalau penyakitnya kambuh lalu dia menyerangmu."

"Saya yakin dia tidak akan menyerang. Atau jika memang itu terjadi, saya akan merawatnya di Magelang. Jadi saya bisa rutin mengunjungi."

"Yasudah kalau itu menjadi keputusanmu. Sangat disayangkan kalian baru bertemu setelah dua puluh tahun berlalu."

"Tidak Ris, walau sudah banyak waktu yang terbuang, aku sangat bersyukur setidaknya Allah masih memberiku kesempatan untuk bertemu dengannya."

Ada yang menusuk dada ini dengan kuat saat kuucapkan kata itu, nyatanya sedari dahulu aku terus berdoa agar segera bertemu. Tapi hingga usia hampir memasuki kepala lima, hal itulah baru diijabah Allah. Ah, bukankah lebih baik bertemu walau sudah sama-sama menua?

Kuhela napas berat. Setelah cukup berbicara, kembali kaki ini terangkat. Atas ijin Risky, Dina kubawa dalam keadaan tertidur karena pengaruh penenang setelah sempat sadar dari pingsan dan mengamuk ketika kembali melihatku.

Bisa kupastikan penenang yang mengalir di tubuhnya akan membuat ia tertidur hingga kami sampai di Magelang.

*

Aku membawa Dina ke apartemen yang baru kubeli di jantung kota Magelang. Siska tidak tahu tentang apartemen ini. Aku memang sudah mempersiapkan jauh hari, karena selain Mira, aku punya seorang anak meski belum kuketahui keberadaannya.

Dina kunaikkan di atas kursi roda. Dia masih tertidur. Membuat siapa yang kutemui terlihat begitu penasaran. Kuabaikan mereka. Aku sudah melapor pada pihak apartemen akan membawa seorang saudara yang cacat untuk tinggal di apartemen ini. Biarlah berdusta untuk sementara waktu sebelum aku menemukan tempat yang cocok untuk Dina. Tentunya bukan rumah sakit. Aku akan merawat Dina dengan caraku sendiri.

Setelah sampai di kamar kuangkat tubuhnya yang sudah sangat kurusan dan mengeluarkan aroma tak sedap. Kubaringkan Dina di atas ranjang.

Pelan, kududukkan diri di sampingnya. Mengelus pipi serta mengecup kening wanita itu.

Untuk kedua kali air mataku kembali tumpah. Aku merutuki semua yang kulakukan dahulu. Ketidakpekaanku padanya hingga musibah besar ini menimpa.

Semua salahku. Salahku ...

Kubalikkan badan dan menjulurkan kaki ke bawah. Wajah kubawa menunduk sembari menutup dengan kedua telapak tangan.

Tiba-tiba, terasa sesuatu mengenai punggungku dengan kuat. Sakit sekali! Tubuh ini seketika rubuh ke atas ranjang. 

"Dina?"

Dia bangkit dari ranjang setelah berhasil memukul punggungku dengan tongkat baseball yang terletak di samping kepala ranjang. Aku berusaha bangkit untuk mengejar, tapi Dina sudah melesat jauh ke luar apartemen. Kubiarkan tubuh sejenak rebah.

Sambil kembali mengumpulkan kekuatan untuk bangkit. 

Masih berat. Sepertinya, ponsel menjadi alternatif. Kugerakkan tangan meraih benda pipih itu dari dalam saku celana. Dan segera menelpon satpam.

[Pak, tolong ditahan, wanita yang tadi saya bawa di atas kursi roda.]

[Lho, sebenarnya ada apa Pak Fadly, bukannya dia cacat dan tidak bisa berjalan?]

[Nanti saya cerita detailnya, tolong Bapak tahan saja orangnya.]

[Baik, Pak Fadly.]

Sepuluh menit, akhirnya sedikit-sedikit tubuhku bisa kuangkat. Tapi masih sangat sakit, Dina memukul dengan kekuatan ekstra yang dia miliki. 

Setelah sempurna duduk. Kucoba untuk berdiri. Alhamdulillah bisa.

Lekas aku ke lantai bawah untuk menjumpai satpam apartemen ini.

"Bagaimana Pak, apa Bapak berhasil menahannya?"

"Sampai detik ini tidak ada yang keluar melalui pintu keluar utama Pak Fadly, padahal setelah Bapak menelpon saya terus stand by di sini."

"Ya Allah, jadi kemana dia? Kalau tidak ada yang keluar dari pintu ini, berarti wanita itu masih di dalam apartemen ini, betulkan Pak?"

"Bisa jadi."

Kuhela napas. "Atau Bapak bisa mengecek pada operator CCTV di ruang penjaga. Biar saya terus memeriksa di pintu ini."

"Baik Pak, terima kasih. Saya akan segera ke belakang."

Dengan tergesa aku memasuki ruangan penjaga apartemen. Disana seorang sequerity tampak stand by di depan beberapa buah kamera. Aku mendekati lelaki itu dan meminta untuk diputar ulang isi rekaman CCTV.

Detik-detik aku dan Dina masuk masih terekam, lalu lalang manusia keluar masuk apartemen juga tampak pada rekaman. Hingga lima belas menit berlalu. Dina keluar dari apartemen berbarengan dengan sebuah keluarga. 

Terlihat satpam penjaga sedang berbicara dengan seseorang yang juga masuk ke apartemen ini.

Ck! Satpam itu lalai!

"Bagaimana, Pak Fadly?"

Aku terhenyak dari lamunan.

"Orangnya sudah keluar, Pak."

"Yah. Lalu bagaimana, Pak Fadly?"

"Saya akan mencarinya. Terima kasih atas bantuannya."

"Sama-sama. Semoga bisa segera ketemu."

Melihatku tergesa, mereka tak memperpanjang pertanyaan. Syukurlah, setidaknya tidak perlu membuang waktu untuk menjelaskan dan tentunya aku akan terbebas dari sangsi yang bakalan mereka beri jika tahu aku sudah membawa pasien jiwa ke dalam apartemen.

*

Mobil kembali berjalan di atas jalanan panjang. Mataku menelisik ke kiri dan kanan dengan teliti. Sudah sejauh seratus meter berjalan, belum juga aku menemukan jejaknya. Hampir menyerah sebab senja kembali melukis langit. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah.

"Ya Allah, salah apa aku sama Dina? Kenapa tak Kau beri kesempatan untukku menebus semuanya?"

Setelah menunaikan shalat magrib di salah satu mesjid, aku kembali ke rumah. 

Kepulanganku disambut curhat panjang oleh satu-satunya anak dari hasil pernikahan kedua dengan Siska.

"Pa, besok Mas Fandy balik ke Indonesia. Yuk Pa, kita berkunjung ke rumahnya."

"Lo kok perempuan yang nyamperin, nanti dikira murahan donk."

"Ya nggak donk Pa, zaman ini ni Pa, wanita harus lebih aktif, kan jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah lelaki. Kalau lambat-lambat ya keduluan orang, Pa. Dokter gitu loh. Sayang banget jika berhasil digebet sama anak samping rumah." 

Siska istriku ikut menimpali.

"Ya tapi kesannya nggak bagus perempuan duluan yang mengunjungi. Lebih bagus kita menunggu. Kodratnya memang begitu 'kan, Ma. Perempuan itu menunggu dilamar. Kalau Fandy suka sama Mira, pasti dia datang buat ngelamar."

"Kalau dia nggak suka sama aku, Pa?"

"Ya kalau dia nggak suka, berarti jodoh kamu bukan dia."

"Aku nggak mau, pokoknya aku cuma mau nikah sama Mas Fandy! Apapun itu, aku minta Papa cari cara, supaya Mas Fandy bisa nikah sama aku."

"Ya nggak bisa gitu donk, Nak."

Disaat kami sedang panas membicarakan jodoh Mira, gadis itu muncul membawakan makanan kesukaanku. Namanya Sabrina. Dia ART di rumah ini. Baru tiga hari bekerja. Kuperkirakan dia seusia dengan anakku. Tapi dia berbeda dengan Mira, gadis itu rajin ibadah dan sangat pintar memasak.

"Bagaimana kalau Papa mengundang keluarga Alfandy saja untuk makan malam di rumah kita, gimana, Pa?" ucap Siska kembali melerai percakapanku dan Mira.

"Baiklah, besok malam kita undang keluarga mereka untuk makan malam di rumah ini."

"Beneran, Pa? Makasih ya, Pa."

Kuhela napas panjang, melihat Mira dan Mamanya, ingatanku kembali terlempar pada sosok Dina. Andai dia dan anaknya masih bersamaku kini. Tentu perangainya sangat bertolak belakang dengan mereka.

*

Pagi kembali menyapa, semalaman aku tak bisa tidur. Pikiran terus melayang pada sosok Dina yang kini entah dimana keberadaannya sudah.

Andai aku tidak membawa Dina ke Magelang, setidaknya dia aman di Surakarta ...

Penyesalanku kini terasa tak berguna.

Hari ini sepulang dari kerja, aku kembali mencarinya. Bahkan aku sengaja turun untuk menanyakan pada beberapa orang yang kutemui. Andai ada foto, mungkin akan lebih mudah untukku mencari. Ya Allah ...

Senja mulai menghiasi langit. Kuputuskan untuk menyudahi pencarian hari ini, teringat bahwa malam nanti akan ada undangan istimewa untuk keluarga besar Pramudia. 

Lekas diri kembali pulang. 

Semua sudah disiapkan dengan baik oleh Siska. Menu makanan hingga tatanan ruang makan. Semua demi Mira. Mungkin dia menjadi anak manja sebab didikan kami juga yang selalu memenuhi keinginannya. Semoga, setelah menikah dengan Fandy, dia bisa menjadi pribadi yang lebih dewasa.

Kami sekeluarga sudah menunggu di ruang tamu, hingga dering ponselku membuat semuanya terhenyak. Kuangkat benda pipih itu begitu tahu siapa yang menelpon.

[Hallo Pak Pram.]

[Hallo. Mohon maaf Pak Fadly. Sepertinya kami harus membatalkan kedatangan malam ini.]

[Lo, sebenarnya ada apa, Pak?]

[Mobil yang dijalankan Fandy tadi menabrak seorang wanita gila.]

Hah? Degup di dada seketika berpacu.

[Wanita gila?]

[Iya, sekarang sedang dirawat di rumah sakit Cempaka Putih. Sekali lagi mohon maaf ya, Pak.]

[Tidak apa-apa, Pak. Kalau boleh saya tahu, wanita yang ditabrak Fandy itu berpakaian warna apa?]

[Coklat, Pak. Jilbabnya warna hitam.]

Deg.

[Kenapa, Pak?]

[Hallo. Hallo.]

Apakah yang ditabrak Fandy adalah Dina? Ya Allah, kenyataan apalagi ini?

***

Bersambung.

Utamakan baca Al-Quran ya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status