Share

Anak Yang Terlahir dari Rahim Wanita Gila
Anak Yang Terlahir dari Rahim Wanita Gila
Penulis: Wahyuni SST

1. Bertemu Kembali di Rumah Sakit Jiwa

Dua puluh tahun yang lalu, aku pernah menikahi seorang gadis. Dia gadis yang sempurna. Tapi, usia perkawinan kami tidak bertahan lama, hanya tiga tahun, dia memilih pergi dan meninggalkanku sepucuk surat serta sebuah test pack bergaris dua sebagai pengantar perpisahan.

Suamiku,

Aku bukan istri yang sempurna, aku sangat lelah menerima setiap perlakuan ibumu dan adik maduku sendiri. Sungguh, bukan perihal berbagi cinta dengan orang lain, tapi ini menyangkut harga diriku. 

Maaf, karena aku pergi dengan membawa benihmu yang tertanam di rahim ini. Aku berjanji akan merawat dan menjaganya dengan baik. Aku akan selalu mengenalkan dengan benar siapa kamu sebenarnya. Walau dia tidak pernah melihatmu.

Suamiku.

Maafkan keputusan yang gegabah ini. Tapi aku sudah memberi isyarat padamu, betapa aku terluka oleh perbuatan kasar dan hinaan orang-orang di sekitarmu. Tapi kenapa, engkau selalu menutup matamu? 

Mereka terus menyebutku mandul, sedang aku sudah berbesar hati menerima kehadiran Siska sebagai pelengkap kekuranganku. 

Semoga dengan tidak adanya aku di rumahmu, Siska bisa lebih mengontrol emosinya. Karena aku tak ingin anakmu kelak lahir dengan membawa sifat pemarah selayak ibunya sendiri.

Dari istrimu

Aliya Azkadina

*

Aku menyesal sempat mengabaikannya. Kupikir dia bahagia, sebab dialah yang meminta agar aku menikahi wanita lain, guna memenuhi keinginan ibu untuk segera menimang cucu. Ternyata, semua justru terbalik.

Kepergian Dina membuatku begitu terpukul. Hari berganti hari, bulan berganti bulan hingga puluhan tahun berlalu dan aku terus saja mencarinya. 

Hingga hari ini, wajah yang kurindukan bak purnama itu kembali ada di depan mata. Tapi tidak seperti dahulu, saat senyum merekahnya begitu kucandui, saat tubuh bak biolanya begitu kukagumi. 

Kini dia hanya seorang pasien di rumah sakit jiwa. 

"Dina, benarkah itu dirinya?"

Ke seluruh pulau Jawa aku mencari ternyata disinikah dia? Jika benar, maka sungguh kuasa Allah yang ingin kembali mempertemukan kami. Ini kenapa, niatku untuk mengganti keberangkatan ke rumah sakit ini dengan staf lain, selalu mendapat rintangan. Ternyata, ada seseorang yang menungguku di sini.

Kudekati salah satu perawat untuk menanyakan identitas pasien yang wajahnya sangat mirip dengan istri pertamaku itu.

"Sus, pasien itu namanya siapa?"

"Oh yang itu, namanya Aliya Azkadina, Dok."

Prasangkaku semakin menemukan kebenaran. Jika wajahnya saja yang mirip namun tidak namanya, hati ini masih bisa menyangkali. Tapi kenyataan, nama dan wajah sama. Sudah pasti itu Dina. 

"Itu pasien sudah lama sekali di rumah sakit ini, semenjak pengangkatan pertama saya sekitar dua puluh tahun silam, Dok."

Jantungku berdegup kencang mendengar penuturan suster yang ada di hadapanku kini.

"Apa bisa suster ceritakan sedikit tentang riwayat pasien itu?"

"Banyak kisah pasien yang saya lupakan, karena memang pasien silih berganti masuk dan keluar. Tapi khusus wanita itu, saya ingat betul segalanya, Dok. Dia dibawa ke rumah sakit ini oleh beberapa orang dengan tangan terikat dan beberapa bekas pukulan di tubuhnya. Kalau saya katakan dia habis disiksa."

"Benarkah?"

Dada ini terasa berdenyut kuat, tapi kucoba untuk menguatkan diri.

"Benar, Dok. Yang membawanya kemari mengatakan bahwa dia gila dan mengamuk di kampung."

"Lalu keluarganya kemana?"

"Tidak ada diantara orang tersebut yang mengaku keluarga. Katanya dia pendatang di kampung itu. Saat kami periksa, ternyata dia juga diperkosa."

"Astaghfirullah! Lalu Sus?"

"Oleh pihak rumah sakit, dia dirawat hingga sadarkan diri. Tentang kebenaran dia gila atau tidak, dokter mengambil kesimpulan untuk melakukan beberapa pemeriksaan. Namun kenyataan yang terjadi justru ketika sadar, wanita itu menjerit-jerit ketakutan, memukul siapapun yang berusaha mendekati. Saya pikir dia trauma. Hingga pada akhirnya dokter memutuskan untuk merawatnya di rumah sakit ini. Meski tanpa sanak saudara karena kartu identitasnya tidak ditemukan."

Lagi-lagi tenggorokan ini terasa tercekat, sungguh malang nasibmu, Din. Andai aku menemukanmu sedari dulu, tentu kamu tidak akan semenderita ini.

"Tujuh bulan dirawat, dia melahirkan, Dok," lanjut suster itu.

"Apa? Melahirkan?"

"Kalau diprediksi dia telah lama hamil, bukan saat pertama kali dibawa oleh sekelompok orang dahulu."

Aku menghela napas.

"Tanggal berapa dia dibawa ke rumah sakit ini?"

"Saya lupa, Dok. Saya rasa datanya juga sudah tidak ada lagi, karena memang kejadiannya sudah lama sekali."

"Lalu, anak yang dia lahiran dirawat oleh siapa?"

"Oleh pihak rumah sakit, bayi itu diserahkan kepada sebuah panti asuhan. Sebab tidak ada sanak keluarga yang bisa merawat."

"Bisa saya tahu ke panti asuhan mana bayi itu dibawa?"

"Panti asuhan Anak Bangsa, kalau saya tidak salah. Bayi itu diserahkan dengan identitas bayi Aliya Azkadina. Emang ada apa, Dok?"

Pertanyaan penutup yang diajukan suster tersebut menyentak dadaku dengan kuat. Haruskah aku jujur?

"Dia adalah istri saya yang pergi dari rumah dua puluh tahun silam, Sus. Saya mencarinya kemana-mana, sungguh kuasa Allah bisa menemukannya di tempat ini."

"Masya Allah. Benarkah Dok? Apa dokter mau membawanya pulang? Dia sudah lebih terkontrol saat ini, Dok. Pengobatannya pun sudah dihentikan."

"Iya, tentu. Saya akan membawanya pulang hari ini juga."

*

Entah kenapa ada degup tak biasa saat aku memasuki kamar Dina. Dia terduduk di atas sebuah kursi sembari menatap keluar jendela.

Di tangannya, sebuah boneka tanpa pakaian ditimang-timang sambil sesekali mengecup kepala. Sungguh pemandangan yang menyesakkan dada.

"Kamu jangan takut, Din. Mas akan menemukan anak kita."

Meski ragu, kulangkahkan jua kaki ini. Dia bereaksi saat mendengar seseorang memasuki kamarnya. Saat tubuhnya berbalik, kedua netra Dina tepat menangkap keberadaanku.

Dia terhenyak, kemudian segera naik ke atas ranjang sembari memeluk kedua kaki.

"Pergi! Pergi! Jangan mendekat! Tolong! Tolong!"

Dina melempar bantal ke wajahku, lalu meringkuk di sudut dinding. Menabrak-nabrak dinding tersebut seolah ingin menembusnya.

Diri yang melihat hal itu, tak kuasa membendung tangis. Pasti ia kembali teringat masa dahulu saat ada yang menodainya.

"Din, ini Mas Fadli, Suamimu."

"Pergi! Jangan menyentuhku! Pergi!"

Dia lupa padaku, bahkan mungkin menganggap aku adalah lelaki yang sudah menodainya dahulu. 

"Pergi kau! Pergi! Tolong! Tolong!

"Din, ini saya. Mas Fadli."

Kupegang dua pundaknya, dia semakin menekuk. Kurasakan goncangan hebat pada tubuhnya lalu tak lama, ia kehilangan kesadaran.

***

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
PiMary
Sedih tahu thorr....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status