Share

3. Aku Merindukanmu, Istriku

Hati sudah tak tenang semenjak tahu ternyata Pak Pram telah menabrak seseorang dengan ciri-ciri seperti yang dimiliki Dina. Bagaimana jika itu benar Dina? Aku harus bagaimana, mengakuinya hingga semua ini kembali sampai ke telinga Siska?

Tidak boleh, Siska tidak boleh tahu. Atau jika tidak, dia akan kembali mengganggu ketenangan Dina.

[Hallo, Pak Fadly]

Suara di sambungan telpon seberang sana membuyarkan daya pikirku.

[Eh, iya Pak. Yasudah tidak apa-apa, Pak. Lain kali saja kita susun kembali waktunya.]

[Sekali lagi, saya sekeluarga minta maaf ya Pak.]

[Tidak apa-apa, Pak.]

Kututup telpon sambil menatap dua wanita di hadapan. Mereka terlihat terperangah.

"Ada apa, Pa?" tanya Mira dengan mimik mulai berubah tegang.

"Fandy tadi habis nabrak orang."

"Apa? Kok bisa? Aduh, gagal deh ketemuan, padahal udah pengen banget, Pa. Apa kita samperin aja ke rumah sakit?"

Mira terlihat kecewa.

"Ya jangan, Mira. Udah sabar, kita susun lagi deh jadwalnya, ya."

Siska seketika membujuk. Tapi tak jua membuat wajah yang kadung masam itu kembali ceria. Mira memilih ke kamar, dengan alasan ngantuk. Hingga di ruang tamu, hanya tinggal diriku dan Siska.

Bagaimana caranya meminta ijin pada Siska untuk ke rumah sakit?

"Ma, Papa mau keluar."

Dua bola mata Siska menatapku tajam.

"Papa mau kemana?"

"Papa mau ketemuan sama teman SMA, tadi sore dia minta ketemu. Tapi Papa batalin karena rencana mau menerima kedatangan keluarga Pramudia. Tapi karena nggak jadi, yaudah Papa putuskan untuk ketemu sama teman aja, Ma."

"Em, yaudah. Tapi jangan kemalaman pulangnya."

Kuanggukan kepala menanggapi permintaan Siska.

"Oya Pa, Mama boleh pinjam kartu kredit Papa nggak buat acara besok."

"Acara apa, Ma?"

"Biasa Pa, arisan ibu-ibu komplek. Takutnya ada yang nawari perhiasan seperti bulan kemarin, Mama kan bisa langsung kasih uang panjar."

"Mama Mama ... Jangan lagi terlalu sibuk sama perhiasan, tas, sepatu. Umur sudah tidak muda. Sudah bisa mulai mempersiapkan diri menuju akhirat."

"Ah, Papa aneh. Udah, pokoknya Mama minta kartu kredit. Titik nggak pakai koma. Udah, Mama mau tidur!"

Siska bangkit dari duduknya dan meninggalkan. Hufth! Entah kapan istriku itu bisa berubah. Disuruh pakai jilbab, malah ditaruh dibahu. Katanya panas. Disuruh shalat lima waktu, katanya kurang waktu. Padahal cuma lima menit. Apalagi jika disuruh baca Al-Quran, katanya lupa. Gimana mau ingat, jika tiap saat sibuk sama handphone.

Ah daripada buang waktu memikirkan Siska, lebih baik aku segera ke rumah sakit. Dina lebih penting dari apapun.

*

Lima belas menit perjalanan, akhirnya aku sampai di halaman rumah sakit. Dengan cepat kaki kuangkat untuk menanyakan keberadaan Dina pada bagian resepsionis. 

Setelah mendapat informasi, aku langsung menuju ruang perawatan. Pintu kuketuk perkahan, lalu tak lama pintu tersebut di buka oleh istrinya Pram.

"Wah, Pak Fadly. Silahkan masuk, Pak. Kami tidak menyangka bahwa Bapak akan sampai ke rumah sakit ini."

"Kebetulan tadi ada janji sama teman di rumah sakit ini. Jadi saya putuskan untuk sekalian berkunjung kemari."

"Yasudah silahkan masuk, Pak."

Ketika kaki baru menginjak ruangan itu dua langkah, mataku langsung terlempar pada sosok yang kini terbaring di atas ranjang.

Dina? Ya Allah ...

Kenapa sampai begini, Din?

"Wah, Pak Fadly, silahkan masuk," sapa Pak Pram.

Pram mempersilahkanku masuk sedang Fandy bersiap menyalami. Sopan sekali anak itu, aku tahu dia menyimpan rasa pada Mira. Hanya saja aku tak ingin Mira terlihat murahan di hadapan mereka karena keagresifannya. Maka tak kubiarkan Mira lebih dahulu menemui Fandy. Biarlah Fandy yang berusaha mengejar Mira.

"Jadi gimana ceritanya Pak, sampai bisa kecelakaan begini?"

Basa basi aku mengawali pertemuan malam itu. Dina masih terpejam. Yang jelas aku harus bisa memastikan bahwa Dina akan kembali ikut bersamaku.

"Begini, saat sedang memasuki jalan Kapten Sudirman, dari kejauhan memang sudah terlihat ada beberapa preman seperti hendak menggangu wanita ini. Semua kendaraan lalu begitu saja. Tapi entah kenapa, tiba-tiba wanita itu malah berlari dan turun ke jalanan. Hingga menabrak mobil kami. Untungnya Fandy bisa mengerem. Tapi biar begitu, wanita ini sempat terjatuh dan pingsan."

Ya Allah, jadi dia mau diperkosa kembali.

"Tadi sudah sempat sadar. Tapi dia terlihat seperti orang ketakutan. Terutama jika yang mendekatinya adalah lelaki. Kesimpulan sementara dari Dokter, dia mengalami gangguan jiwa. Mereka menyarankan agar kami membawa kembali dia ke keluarganya. Tapi ya bagaimana, tidak ada kartu identitas yang kami temukan. Jika ditanya diapun seperti orang kebingungan," cerita Pak Pram dengan mimik penuh iba.

"Pokoknya, jangan dibiarkan dia terluntang-luntang di jalanan, Pa. Mama takut nanti dia jadi pelampiasan para preman, mengingat wajahnya termasuk cantik."

Ucapan istri Pram membuat darahku terasa mendidih. Jika dahulu aku gagal menjaganya, maka hal yang sama tidak boleh lagi gagal kulakukan untuk kedua kali. Aku harus jujur, meski setelah kejujuran ini, keluarga Pramudia akan menolak menyambung silaturrahmi dengan keluargaku.

"Maaf Pak Pram, boleh saya jujur perihal wanita ini."

Pram dan istrinya berhenti berdebat.

"Silahkan."

"Dua puluh tahun yang lalu, saya pernah menikahi dua wanita sekaligus. Istri pertama saya bernama Dina. Dan istri kedua saya bernama Siska."

Mereka berdua terhenyak, tak terkecuali Fandy.

"Pernikahan kedua, Saya lakukan atas permintaan istri pertama. Karena dokter telah memvonisnya mandul, sedang ibu saya sangat ingin menimang cucu. Lima bulan pernikahan keduaku berlangsung, tiba-tiba rumah dibuat gempar dengan kepergian istri pertama saya. Saya terus mencarinya, hingga kemarin kami dipertemukan kembali. Dan wanita yang kalian hampir tabrak ini adalah wanita yang saya maksud. Dia, istri saya Pak Pram."

"Subhanallah. Jadi, setelah dua puluh tahun baru bertemu kembali?"

Pram seolah tak percaya. Aku mengangguk meyakinkannya.

"Tapi dia sudah tidak seperti dahulu Pak. Saya menemukannya dalam keadaan yang sudah seperti ini. Dia sudah tidak waras," ucapku dengan suara bergetar. Aku tak mampu meneruskan ucapan, tiap kali mengingat semuanya. Hatiku sakit.

"Yang sabar, Pak. Setidaknya Allah masih sayang sama Bapak. Allah masih berkenan mempertemukan kembali kalian berdua."

Pram berusaha menguatkanku.

"Saya akan merawatnya."

"Itu hak anda, Pak. Lagi pula Bapak seorang dokter Spesialis Jiwa, pasti Bapak lebih tahu apa yang terbaik untuk Ibu Dina."

"Terima kasih bantuannya, Pak. Saya mohon, tolong kejadian ini dirahasiakan dari Siska. Saya akan memberitahukannya secara perlahan."

Pak Pram dan istrinya tampak mengangguk. Entah kenapa malam ini seperti mendapat suntikan penyemangat. Dukungan dari keluarga calon besan ini menjadi kekuatan tersendiri buatku.

Malam itu kubiarkan Dina menginap di rumah sakit, sembari diri ini mulai menyiapkan segalanya untuk menyambut kepulangan Dina. 

Aku kembali sampai di rumah. Kurebahkan tubuh di sisi Siska yang sudah terlelap dalam mimpinya. Kupandangi wajah wanita di hadapanku kini dengan lamat. Dua puluh tahun membersamai, jelas aku sangat mencintainya. Tapi jujur, aku tak bahagia.

Karena cinta pertamaku pergi tanpa pamit. Kini setelah menemukannya kembali, meski sudah tak seperti manusia normal. Aku mulai menemukan kembali bahagiaku.

*

Pagi ini seperti keinginanku, dengan bantuan Yulia istrinya Pram, Dina dipindahkan ke rumah sewa anak angkatku. Dua orang perawat sudah kusediakan untuk menjaga Dina. Tak lupa seorang satpam untuk jaga-jaga.

Karena faktor pencetus amukan Dina adalah lelaki, maka sebaiknya beberapa waktu Dina harus jauh dari yang namanya lelaki. 

Termasuk aku. Lelaki yang sampai detik ini masih berstatus suami secara hukum negara. Meski dalam hukum Islam, mungkin jika Dina ingin berpisah sudah sah-sah saja. Dua puluh tahun dia tak kunafkahi.

Sekian hari berlalu, kesehatannya membaik. Ia sudah mau berbicara dengan perawat yang menjaganya. Sudah mau keluar kamar, dan bahkan pagi ini aku mendapat kabar bahwa Dina sudah mulai melakukan aktivitas ringan seperti menyapu rumah. Dan yang paling membuatku terharu, dia masih bisa mengaji walau terbata dan Maha Suci Allah, Dina masih bisa membaca doa shalat.

Lega rasanya. Meski untuk itu aku harus menahan diri.

Kucoba pejamkan mata. Di sisiku Siska mulai mendengkur halus. Tapi semakin kemarin, jiwa ini semakin gelisah. 

Beberapa hari terus memperhatikan Dina dalam diam, membuat rindu kian menganga. Kuputuskan untuk bangkit, lalu aku menelpon perawat.

Kukabarkan pada mereka bahwa aku ingin pulang. Aku ingin menghabiskan malam ini bersama Dina. Meski nanti harus siap dengan seribu alasan jika Siska bertanya.

Tak kuperdulikan hal itu. Langkah semakin mantap. Hingga kendaraan roda empat milikku benar-benat keluar dari garasi.

Kurang dari tiga puluh menit, mobil yang kukendarai sampai di depan kediaman Dina. Salah satu perawat membukakan pintu.

"Apa dia sudah tidur?"

"Sudah, Dok."

"Saya hanya sebentar."

"Baik, Dok."

Entah kenapa di detik ini, jiwa yang sudah tua ini kembali merasakan debaran aneh. Sama seperti saat pertama kali mengijab qabul namanya. 

Kubuka pintu perlahan. Dan aku melihatnya tertidur dengan memeluk boneka kesayangannya.

***

Bersambung.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
yakin dina lebih penting sementara kamu sangat penakut sama siska. ciri2 laki2 pemuja selangkangan kayak si fadly ini
goodnovel comment avatar
PiMary
Cerita yang sangat bagus,beda dgn yg lain....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status