Hati sudah tak tenang semenjak tahu ternyata Pak Pram telah menabrak seseorang dengan ciri-ciri seperti yang dimiliki Dina. Bagaimana jika itu benar Dina? Aku harus bagaimana, mengakuinya hingga semua ini kembali sampai ke telinga Siska?
Tidak boleh, Siska tidak boleh tahu. Atau jika tidak, dia akan kembali mengganggu ketenangan Dina.
[Hallo, Pak Fadly]
Suara di sambungan telpon seberang sana membuyarkan daya pikirku.
[Eh, iya Pak. Yasudah tidak apa-apa, Pak. Lain kali saja kita susun kembali waktunya.]
[Sekali lagi, saya sekeluarga minta maaf ya Pak.]
[Tidak apa-apa, Pak.]
Kututup telpon sambil menatap dua wanita di hadapan. Mereka terlihat terperangah.
"Ada apa, Pa?" tanya Mira dengan mimik mulai berubah tegang.
"Fandy tadi habis nabrak orang."
"Apa? Kok bisa? Aduh, gagal deh ketemuan, padahal udah pengen banget, Pa. Apa kita samperin aja ke rumah sakit?"
Mira terlihat kecewa.
"Ya jangan, Mira. Udah sabar, kita susun lagi deh jadwalnya, ya."
Siska seketika membujuk. Tapi tak jua membuat wajah yang kadung masam itu kembali ceria. Mira memilih ke kamar, dengan alasan ngantuk. Hingga di ruang tamu, hanya tinggal diriku dan Siska.
Bagaimana caranya meminta ijin pada Siska untuk ke rumah sakit?
"Ma, Papa mau keluar."
Dua bola mata Siska menatapku tajam.
"Papa mau kemana?"
"Papa mau ketemuan sama teman SMA, tadi sore dia minta ketemu. Tapi Papa batalin karena rencana mau menerima kedatangan keluarga Pramudia. Tapi karena nggak jadi, yaudah Papa putuskan untuk ketemu sama teman aja, Ma."
"Em, yaudah. Tapi jangan kemalaman pulangnya."
Kuanggukan kepala menanggapi permintaan Siska.
"Oya Pa, Mama boleh pinjam kartu kredit Papa nggak buat acara besok."
"Acara apa, Ma?"
"Biasa Pa, arisan ibu-ibu komplek. Takutnya ada yang nawari perhiasan seperti bulan kemarin, Mama kan bisa langsung kasih uang panjar."
"Mama Mama ... Jangan lagi terlalu sibuk sama perhiasan, tas, sepatu. Umur sudah tidak muda. Sudah bisa mulai mempersiapkan diri menuju akhirat."
"Ah, Papa aneh. Udah, pokoknya Mama minta kartu kredit. Titik nggak pakai koma. Udah, Mama mau tidur!"
Siska bangkit dari duduknya dan meninggalkan. Hufth! Entah kapan istriku itu bisa berubah. Disuruh pakai jilbab, malah ditaruh dibahu. Katanya panas. Disuruh shalat lima waktu, katanya kurang waktu. Padahal cuma lima menit. Apalagi jika disuruh baca Al-Quran, katanya lupa. Gimana mau ingat, jika tiap saat sibuk sama handphone.
Ah daripada buang waktu memikirkan Siska, lebih baik aku segera ke rumah sakit. Dina lebih penting dari apapun.
*
Lima belas menit perjalanan, akhirnya aku sampai di halaman rumah sakit. Dengan cepat kaki kuangkat untuk menanyakan keberadaan Dina pada bagian resepsionis.
Setelah mendapat informasi, aku langsung menuju ruang perawatan. Pintu kuketuk perkahan, lalu tak lama pintu tersebut di buka oleh istrinya Pram.
"Wah, Pak Fadly. Silahkan masuk, Pak. Kami tidak menyangka bahwa Bapak akan sampai ke rumah sakit ini."
"Kebetulan tadi ada janji sama teman di rumah sakit ini. Jadi saya putuskan untuk sekalian berkunjung kemari."
"Yasudah silahkan masuk, Pak."
Ketika kaki baru menginjak ruangan itu dua langkah, mataku langsung terlempar pada sosok yang kini terbaring di atas ranjang.
Dina? Ya Allah ...
Kenapa sampai begini, Din?
"Wah, Pak Fadly, silahkan masuk," sapa Pak Pram.
Pram mempersilahkanku masuk sedang Fandy bersiap menyalami. Sopan sekali anak itu, aku tahu dia menyimpan rasa pada Mira. Hanya saja aku tak ingin Mira terlihat murahan di hadapan mereka karena keagresifannya. Maka tak kubiarkan Mira lebih dahulu menemui Fandy. Biarlah Fandy yang berusaha mengejar Mira.
"Jadi gimana ceritanya Pak, sampai bisa kecelakaan begini?"
Basa basi aku mengawali pertemuan malam itu. Dina masih terpejam. Yang jelas aku harus bisa memastikan bahwa Dina akan kembali ikut bersamaku.
"Begini, saat sedang memasuki jalan Kapten Sudirman, dari kejauhan memang sudah terlihat ada beberapa preman seperti hendak menggangu wanita ini. Semua kendaraan lalu begitu saja. Tapi entah kenapa, tiba-tiba wanita itu malah berlari dan turun ke jalanan. Hingga menabrak mobil kami. Untungnya Fandy bisa mengerem. Tapi biar begitu, wanita ini sempat terjatuh dan pingsan."
Ya Allah, jadi dia mau diperkosa kembali.
"Tadi sudah sempat sadar. Tapi dia terlihat seperti orang ketakutan. Terutama jika yang mendekatinya adalah lelaki. Kesimpulan sementara dari Dokter, dia mengalami gangguan jiwa. Mereka menyarankan agar kami membawa kembali dia ke keluarganya. Tapi ya bagaimana, tidak ada kartu identitas yang kami temukan. Jika ditanya diapun seperti orang kebingungan," cerita Pak Pram dengan mimik penuh iba.
"Pokoknya, jangan dibiarkan dia terluntang-luntang di jalanan, Pa. Mama takut nanti dia jadi pelampiasan para preman, mengingat wajahnya termasuk cantik."
Ucapan istri Pram membuat darahku terasa mendidih. Jika dahulu aku gagal menjaganya, maka hal yang sama tidak boleh lagi gagal kulakukan untuk kedua kali. Aku harus jujur, meski setelah kejujuran ini, keluarga Pramudia akan menolak menyambung silaturrahmi dengan keluargaku.
"Maaf Pak Pram, boleh saya jujur perihal wanita ini."
Pram dan istrinya berhenti berdebat.
"Silahkan."
"Dua puluh tahun yang lalu, saya pernah menikahi dua wanita sekaligus. Istri pertama saya bernama Dina. Dan istri kedua saya bernama Siska."
Mereka berdua terhenyak, tak terkecuali Fandy.
"Pernikahan kedua, Saya lakukan atas permintaan istri pertama. Karena dokter telah memvonisnya mandul, sedang ibu saya sangat ingin menimang cucu. Lima bulan pernikahan keduaku berlangsung, tiba-tiba rumah dibuat gempar dengan kepergian istri pertama saya. Saya terus mencarinya, hingga kemarin kami dipertemukan kembali. Dan wanita yang kalian hampir tabrak ini adalah wanita yang saya maksud. Dia, istri saya Pak Pram."
"Subhanallah. Jadi, setelah dua puluh tahun baru bertemu kembali?"
Pram seolah tak percaya. Aku mengangguk meyakinkannya.
"Tapi dia sudah tidak seperti dahulu Pak. Saya menemukannya dalam keadaan yang sudah seperti ini. Dia sudah tidak waras," ucapku dengan suara bergetar. Aku tak mampu meneruskan ucapan, tiap kali mengingat semuanya. Hatiku sakit.
"Yang sabar, Pak. Setidaknya Allah masih sayang sama Bapak. Allah masih berkenan mempertemukan kembali kalian berdua."
Pram berusaha menguatkanku.
"Saya akan merawatnya."
"Itu hak anda, Pak. Lagi pula Bapak seorang dokter Spesialis Jiwa, pasti Bapak lebih tahu apa yang terbaik untuk Ibu Dina."
"Terima kasih bantuannya, Pak. Saya mohon, tolong kejadian ini dirahasiakan dari Siska. Saya akan memberitahukannya secara perlahan."
Pak Pram dan istrinya tampak mengangguk. Entah kenapa malam ini seperti mendapat suntikan penyemangat. Dukungan dari keluarga calon besan ini menjadi kekuatan tersendiri buatku.
Malam itu kubiarkan Dina menginap di rumah sakit, sembari diri ini mulai menyiapkan segalanya untuk menyambut kepulangan Dina.
Aku kembali sampai di rumah. Kurebahkan tubuh di sisi Siska yang sudah terlelap dalam mimpinya. Kupandangi wajah wanita di hadapanku kini dengan lamat. Dua puluh tahun membersamai, jelas aku sangat mencintainya. Tapi jujur, aku tak bahagia.
Karena cinta pertamaku pergi tanpa pamit. Kini setelah menemukannya kembali, meski sudah tak seperti manusia normal. Aku mulai menemukan kembali bahagiaku.
*
Pagi ini seperti keinginanku, dengan bantuan Yulia istrinya Pram, Dina dipindahkan ke rumah sewa anak angkatku. Dua orang perawat sudah kusediakan untuk menjaga Dina. Tak lupa seorang satpam untuk jaga-jaga.
Karena faktor pencetus amukan Dina adalah lelaki, maka sebaiknya beberapa waktu Dina harus jauh dari yang namanya lelaki.
Termasuk aku. Lelaki yang sampai detik ini masih berstatus suami secara hukum negara. Meski dalam hukum Islam, mungkin jika Dina ingin berpisah sudah sah-sah saja. Dua puluh tahun dia tak kunafkahi.
Sekian hari berlalu, kesehatannya membaik. Ia sudah mau berbicara dengan perawat yang menjaganya. Sudah mau keluar kamar, dan bahkan pagi ini aku mendapat kabar bahwa Dina sudah mulai melakukan aktivitas ringan seperti menyapu rumah. Dan yang paling membuatku terharu, dia masih bisa mengaji walau terbata dan Maha Suci Allah, Dina masih bisa membaca doa shalat.
Lega rasanya. Meski untuk itu aku harus menahan diri.
Kucoba pejamkan mata. Di sisiku Siska mulai mendengkur halus. Tapi semakin kemarin, jiwa ini semakin gelisah.
Beberapa hari terus memperhatikan Dina dalam diam, membuat rindu kian menganga. Kuputuskan untuk bangkit, lalu aku menelpon perawat.
Kukabarkan pada mereka bahwa aku ingin pulang. Aku ingin menghabiskan malam ini bersama Dina. Meski nanti harus siap dengan seribu alasan jika Siska bertanya.
Tak kuperdulikan hal itu. Langkah semakin mantap. Hingga kendaraan roda empat milikku benar-benat keluar dari garasi.
Kurang dari tiga puluh menit, mobil yang kukendarai sampai di depan kediaman Dina. Salah satu perawat membukakan pintu.
"Apa dia sudah tidur?"
"Sudah, Dok."
"Saya hanya sebentar."
"Baik, Dok."
Entah kenapa di detik ini, jiwa yang sudah tua ini kembali merasakan debaran aneh. Sama seperti saat pertama kali mengijab qabul namanya.
Kubuka pintu perlahan. Dan aku melihatnya tertidur dengan memeluk boneka kesayangannya.
***
Bersambung.
Dua puluh tahun Mama melayani Papa, tidak pernah ada panggilan tengah malam begini. Papa jangan bohong! Papa kemana tadi malam?"-Istri Kedua-***Dina tertidur sembari memeluk bonekanya. Aku kembali melangkah, pelan kaki ini terangkat ke atas ranjang. Lalu merebahkan diri di samping wanitaku. Ia menggeliat dan berbalik. Wajahnya kini tepat ada di hadapanku. Cantik, meski tak seputih dahulu. Aku bangkit dan mencium keningnya perlahan. Hingga tak kuasa air mata ini kembali berderai. Sudah lama memperhatikannya dari kejauhan, tak terkira penyesalan yang kian menghujam. Aku ingin meminta maaf padamu, Din. Bagaimana caranya agar kau mengerti dan memaafkan diri ini?"Sayang ...," lirihnya sembari mengelus kepala bonekanya. Dia mengigau."Kamu merindui anak kita, Din? Mas akan mencarinya dan membawa kembali dia dalam dekapanmu. Tapi kamu harus janji, harus bisa sembuh agar bisa mengenaliku dan anak kita," lirihku dalam hati.Sambil memegang tangannya, aku mencoba memejamkan mata. Niat ha
"Sepuluh tahun yang lalu, panti itu sempat kebakaran. Dan tidak ada satupun yang bersisa melainkan debu. Kini berita kematian pendiri panti akan menjadi berita terlengkap yang akan membumihanguskan harapan unt bertemu anakku."-dr.Fadly.-***Mataku terperangah."Ini rumahnya, Buk?""Eh iya, Pak. Abah Kasim orangnya memang sederhana. Tidak ada sepeserpun dana yang dihadiahkan oleh pemerintah setempat yang tidak ia gunakan untuk keperluan panti. Alhasil, rumahnya dari dulu sampai ia tua ya segini-gini aja," ucap wanita paruh baya yang sudah berjalan terlebih dahulu itu.Kami berhenti tepat di depan pintu, namun dari dalam seperti terdengar suara tangis diiringi lafal syahadat.Wanita bernama Fatimah itu langsung mengetuk pintu. Dan tak lama, pintu rumah tersebut terbuka."Assalamualaikum.""Waalaikum salam.""Ngopo dengan Abah, Teteh?""Abah sedang sakaratul maut."Ibuk Fatimah berhamburan ke dalam. Dan di sini hatiku hancur. Jika satu-satunya lelaki yang kemungkinan masih mengetahui p
Saya ini terlahir di sebuah panti Pak. Lalu seseorang mengambil saya untuk diasuh, tapi tidak diasuhnya sendiri, melainkan dititip ke ibu yang saya ceritakan itu, Pak."***Siska masuk dengan wajah yang terlihat begitu lelah. Aku segera bangkit untuk menyapanya."Mama sudah pulang?""Iya Pa."Dia menyalami tanganku lalu menarik diri ini ke kamar."Mama mandi dulu ya, Pa. Gerah banget ini."Kuanggukan kepala sambil mencoba bersandar pada kepala ranjang. Kuhidupkan televisi dan memilih acara berita. Entah kenapa rasa penasaran menghujam dada. Tatkala terdengar dering ponsel di dalam tas milik Siska. Kuangkat tubuh untuk kemudian membuka tas itu. Hingga mata berhasil menangkap benda pipih yang kini masih menyala dengan sebuah nama tertera di layarnya.Sabiq.Siapa Sabiq? Kenapa aku tidak pernah mendengar nama itu selama ini?Kucoba mengangkat.[Hallo.]Tak terdengar suara jawaban dari seberang hingga tak lama telpon itu justru ditutup. Karena penasaran, aku coba kembali menelpon ke nom
"Darimana kamu tahu kalau Ibu kandungmu gila?""Ibu Asti yang ngomong begitu, Pak. Benar nggaknya saya nggak pernah dan sudah tidak mau tahu. Sebab saya menganggapnya sudah tiada Pak. Sudah hampir dua puluh tahun, jika dia menganggap saya anaknya, pasti dia sudah mencari saya 'kan Pak. Tapi kenyataannya, siang malam saya menunggu, kadang saya jauh berjalan mencarinya hingga saya lupa jalan pulang ke rumah. Tapi Ibu Asti selalu menemukan saya. Kadang rindu ingin melihat seperti apa wajah ibu dan ayah kandung saya, tapi saya percayakan pada Allah, mungkin memang benar mereka sudah tiada."Dua bola mata Sabrina kembali digenangi cairan. Dan di sini hatiku pun ikut terasa pilu. Seperti itukah perasaan seorang anak yang lahir tanpa tahu siapa ayah dan ibunya? Lalu apakah seperti ini pula yang dirasakan oleh anakku? "Saya tahu kamu kuat. Saya hanya ingin memberitahu satu hal padamu. Bahwa Allah Maha Mengetahui. Apa yang terjadi sama kamu, semua sudah Allah kehendaki. Dan hanya Allah pula
POV SabrinaAku tak bisa percaya ada lelaki sebaik Bapak Fadly di dunia ini. Tak seperti majikanku yang lain, dia begitu perhatian. Bahkan berniat memasukkan dan membiayai biaya kuliahku di sebuah universitas.Selain baik, dia juga tampan. Meski sudah memiliki seorang anak yang kutahu seusiaku. Tapi auranya masih tampak begitu menawan. Dan yang lebih membuatku kagum ketika dia mengenakan jas dokternya. Sungguh dia begitu berwibawa.Hari ini, tidak ada angin tidak ada hujan, Pak Fadly mengajakku ke sebuah mall. Sesekali kulihat ia mencuri pandang menatap wajah ini di kaca depan mobilnya. Ya Rabb, apa mungkin beliau menyukaiku? Yang bahkan lebih layak menjadi anaknya?Tapi jujur, sikap istimewanya, membuat sesuatu bermekaran di dalam dada. Huhft, bolehkah aku menyukainya.Lanjut di mall. Ia mengajakku berbelanja pakaian. Dia terus memperhatikan saat diri ini memilih-milih pakaian mana yang kiranya cocok untuk dikenakan tubuhku.Sesekali mata kami bertemu. Debar aneh itu semakin jelas k
"Udah diem, jangan berisik. Ini udah selesai kok."Mbak Mira membiarkanku bangkit lalu dia berjalan ke pinggir ranjang."Ganti bajumu dengan pakaian ini ya.""Baju siapa ini, Mbak?""Pokoknya dipakai aja."Kuulur tangan untuk membuka kantong plastik yang diberikan Mbak Mira. Bau menyengat seketika menguar."Ini baju siapa, Mbak?""Adalah, jika kamu jijik, sebelum pakai baju itu pakai baju lain di dalamnya.""Kok harus segininya Mbak?""Iya, karena saya nggak mau kamu jatuh cinta sama mas Fandy. Eh, salah. Saya nggak mau Mas Fandy ngelirik cewek lain selain saya. Oke paham!"Aku terdiam tanpa kata. Bagaimana caranya menolak, jika kemarin saja dia bersedia aku menumpang di mobilnya. Walau tidak jadi."Yaudah iya, Mbak.""Nah, gitu donk. Baru namanya manusia cerdas. Jika kamu berhasil, nanti kamu bakalan aku kasih hadiah.""Hadiah?""Iya. Nanti semua barang kamu yang udah diambil sama Mama, bakalan aku kembalikan.""Benaran Mbak?""Iya, makanya kamu harus bisa ngambil buku itu tanpa memb
"Pak Fadly?"Serasa ada yang berdegup kencang di dada ini, tatkala melihat seseorang yang sedaritadi amat kukhawatirkan ada di depan mata."Bisa ikut saya sebentar," ucapnya dengan suara bergetar.Aku dapat menangkap dua bola mata majikanku itu tampak basah. Sebenarnya, ada apa dengan beliau?Tanpa banyak bicara, kuikuti langkah Pak Fadly hingga sampai di ruang keluarga. Tadinya yang kukira semua sudah terlelap, sebab tak terdengar suara berisik walau sedikit pun. Ternyata empat pasang mata kini seperti tengah menanti kedatanganku."Duduklah di salah satu kursi," ucap Pak Fadly kembali hingga membuat darah ini terasa membeku. Sebenarnya apa yang sudah terjadi, apa aku melakukan kesalahan hingga membuat mereka memanggil di tengah malam begini?"Maaf Pak Fadly, Nyonya Siska, apa saya melakukan sebuah kesalahan hingga diharuskan menghadap semua orang begini di tengah malam?"Nyonya Siska menghela napas, sedang di sisinya Mbak Mira tampak tegang."Kamu nggak melakukan kesalahan apapun Sa
Kami sampai di sebuah mall. Nyonya Siska menuruni mobilnya seraya menyuruhku ikut turun. Perasaan ini tidak enak, sudah semenjak awal saat aku menginjakkan kaki di kendaraan miliknya. Tapi apa daya, aku tak kuasa menolak ajakan majikanku tersebut.Ia tak berbicara sepatah katapun, kaki jenjangnya lanjut berjalan menaiki lift dan aku mengikuti dari belakang hingga kami sampai di lantai dua. Tempat berbelanja segala jenis pakaian.Nyonya Siska meneruskan langkah memilih tiga pasang pakaian lalu menyerahkannya padaku. Tiba-tiba ponsel wanita itu berdering. Dia mengangkat sejenak lalu menutup layar dengan tangannya dan berbisik pelan padaku."Kamu ganti pakaianmu, saya mau menemui teman sebentar. Jangan kemana-mana, tetap di tempat ini sampai saya menjemput."Aku hanya mengangguk. Di detik ini, entah kenapa rasa takut semakin menguasai diri. Iya, aku takut ditinggalkan. Tapi tak urung kuiyakan perkataannya untuk mencoba pakaian yang dia beri.Ketiga-tiganya sudah aku coba, saatnya mene