Share

3. Aku Merindukanmu, Istriku

Author: Wahyuni SST
last update Huling Na-update: 2022-12-02 10:07:00

Hati sudah tak tenang semenjak tahu ternyata Pak Pram telah menabrak seseorang dengan ciri-ciri seperti yang dimiliki Dina. Bagaimana jika itu benar Dina? Aku harus bagaimana, mengakuinya hingga semua ini kembali sampai ke telinga Siska?

Tidak boleh, Siska tidak boleh tahu. Atau jika tidak, dia akan kembali mengganggu ketenangan Dina.

[Hallo, Pak Fadly]

Suara di sambungan telpon seberang sana membuyarkan daya pikirku.

[Eh, iya Pak. Yasudah tidak apa-apa, Pak. Lain kali saja kita susun kembali waktunya.]

[Sekali lagi, saya sekeluarga minta maaf ya Pak.]

[Tidak apa-apa, Pak.]

Kututup telpon sambil menatap dua wanita di hadapan. Mereka terlihat terperangah.

"Ada apa, Pa?" tanya Mira dengan mimik mulai berubah tegang.

"Fandy tadi habis nabrak orang."

"Apa? Kok bisa? Aduh, gagal deh ketemuan, padahal udah pengen banget, Pa. Apa kita samperin aja ke rumah sakit?"

Mira terlihat kecewa.

"Ya jangan, Mira. Udah sabar, kita susun lagi deh jadwalnya, ya."

Siska seketika membujuk. Tapi tak jua membuat wajah yang kadung masam itu kembali ceria. Mira memilih ke kamar, dengan alasan ngantuk. Hingga di ruang tamu, hanya tinggal diriku dan Siska.

Bagaimana caranya meminta ijin pada Siska untuk ke rumah sakit?

"Ma, Papa mau keluar."

Dua bola mata Siska menatapku tajam.

"Papa mau kemana?"

"Papa mau ketemuan sama teman SMA, tadi sore dia minta ketemu. Tapi Papa batalin karena rencana mau menerima kedatangan keluarga Pramudia. Tapi karena nggak jadi, yaudah Papa putuskan untuk ketemu sama teman aja, Ma."

"Em, yaudah. Tapi jangan kemalaman pulangnya."

Kuanggukan kepala menanggapi permintaan Siska.

"Oya Pa, Mama boleh pinjam kartu kredit Papa nggak buat acara besok."

"Acara apa, Ma?"

"Biasa Pa, arisan ibu-ibu komplek. Takutnya ada yang nawari perhiasan seperti bulan kemarin, Mama kan bisa langsung kasih uang panjar."

"Mama Mama ... Jangan lagi terlalu sibuk sama perhiasan, tas, sepatu. Umur sudah tidak muda. Sudah bisa mulai mempersiapkan diri menuju akhirat."

"Ah, Papa aneh. Udah, pokoknya Mama minta kartu kredit. Titik nggak pakai koma. Udah, Mama mau tidur!"

Siska bangkit dari duduknya dan meninggalkan. Hufth! Entah kapan istriku itu bisa berubah. Disuruh pakai jilbab, malah ditaruh dibahu. Katanya panas. Disuruh shalat lima waktu, katanya kurang waktu. Padahal cuma lima menit. Apalagi jika disuruh baca Al-Quran, katanya lupa. Gimana mau ingat, jika tiap saat sibuk sama handphone.

Ah daripada buang waktu memikirkan Siska, lebih baik aku segera ke rumah sakit. Dina lebih penting dari apapun.

*

Lima belas menit perjalanan, akhirnya aku sampai di halaman rumah sakit. Dengan cepat kaki kuangkat untuk menanyakan keberadaan Dina pada bagian resepsionis. 

Setelah mendapat informasi, aku langsung menuju ruang perawatan. Pintu kuketuk perkahan, lalu tak lama pintu tersebut di buka oleh istrinya Pram.

"Wah, Pak Fadly. Silahkan masuk, Pak. Kami tidak menyangka bahwa Bapak akan sampai ke rumah sakit ini."

"Kebetulan tadi ada janji sama teman di rumah sakit ini. Jadi saya putuskan untuk sekalian berkunjung kemari."

"Yasudah silahkan masuk, Pak."

Ketika kaki baru menginjak ruangan itu dua langkah, mataku langsung terlempar pada sosok yang kini terbaring di atas ranjang.

Dina? Ya Allah ...

Kenapa sampai begini, Din?

"Wah, Pak Fadly, silahkan masuk," sapa Pak Pram.

Pram mempersilahkanku masuk sedang Fandy bersiap menyalami. Sopan sekali anak itu, aku tahu dia menyimpan rasa pada Mira. Hanya saja aku tak ingin Mira terlihat murahan di hadapan mereka karena keagresifannya. Maka tak kubiarkan Mira lebih dahulu menemui Fandy. Biarlah Fandy yang berusaha mengejar Mira.

"Jadi gimana ceritanya Pak, sampai bisa kecelakaan begini?"

Basa basi aku mengawali pertemuan malam itu. Dina masih terpejam. Yang jelas aku harus bisa memastikan bahwa Dina akan kembali ikut bersamaku.

"Begini, saat sedang memasuki jalan Kapten Sudirman, dari kejauhan memang sudah terlihat ada beberapa preman seperti hendak menggangu wanita ini. Semua kendaraan lalu begitu saja. Tapi entah kenapa, tiba-tiba wanita itu malah berlari dan turun ke jalanan. Hingga menabrak mobil kami. Untungnya Fandy bisa mengerem. Tapi biar begitu, wanita ini sempat terjatuh dan pingsan."

Ya Allah, jadi dia mau diperkosa kembali.

"Tadi sudah sempat sadar. Tapi dia terlihat seperti orang ketakutan. Terutama jika yang mendekatinya adalah lelaki. Kesimpulan sementara dari Dokter, dia mengalami gangguan jiwa. Mereka menyarankan agar kami membawa kembali dia ke keluarganya. Tapi ya bagaimana, tidak ada kartu identitas yang kami temukan. Jika ditanya diapun seperti orang kebingungan," cerita Pak Pram dengan mimik penuh iba.

"Pokoknya, jangan dibiarkan dia terluntang-luntang di jalanan, Pa. Mama takut nanti dia jadi pelampiasan para preman, mengingat wajahnya termasuk cantik."

Ucapan istri Pram membuat darahku terasa mendidih. Jika dahulu aku gagal menjaganya, maka hal yang sama tidak boleh lagi gagal kulakukan untuk kedua kali. Aku harus jujur, meski setelah kejujuran ini, keluarga Pramudia akan menolak menyambung silaturrahmi dengan keluargaku.

"Maaf Pak Pram, boleh saya jujur perihal wanita ini."

Pram dan istrinya berhenti berdebat.

"Silahkan."

"Dua puluh tahun yang lalu, saya pernah menikahi dua wanita sekaligus. Istri pertama saya bernama Dina. Dan istri kedua saya bernama Siska."

Mereka berdua terhenyak, tak terkecuali Fandy.

"Pernikahan kedua, Saya lakukan atas permintaan istri pertama. Karena dokter telah memvonisnya mandul, sedang ibu saya sangat ingin menimang cucu. Lima bulan pernikahan keduaku berlangsung, tiba-tiba rumah dibuat gempar dengan kepergian istri pertama saya. Saya terus mencarinya, hingga kemarin kami dipertemukan kembali. Dan wanita yang kalian hampir tabrak ini adalah wanita yang saya maksud. Dia, istri saya Pak Pram."

"Subhanallah. Jadi, setelah dua puluh tahun baru bertemu kembali?"

Pram seolah tak percaya. Aku mengangguk meyakinkannya.

"Tapi dia sudah tidak seperti dahulu Pak. Saya menemukannya dalam keadaan yang sudah seperti ini. Dia sudah tidak waras," ucapku dengan suara bergetar. Aku tak mampu meneruskan ucapan, tiap kali mengingat semuanya. Hatiku sakit.

"Yang sabar, Pak. Setidaknya Allah masih sayang sama Bapak. Allah masih berkenan mempertemukan kembali kalian berdua."

Pram berusaha menguatkanku.

"Saya akan merawatnya."

"Itu hak anda, Pak. Lagi pula Bapak seorang dokter Spesialis Jiwa, pasti Bapak lebih tahu apa yang terbaik untuk Ibu Dina."

"Terima kasih bantuannya, Pak. Saya mohon, tolong kejadian ini dirahasiakan dari Siska. Saya akan memberitahukannya secara perlahan."

Pak Pram dan istrinya tampak mengangguk. Entah kenapa malam ini seperti mendapat suntikan penyemangat. Dukungan dari keluarga calon besan ini menjadi kekuatan tersendiri buatku.

Malam itu kubiarkan Dina menginap di rumah sakit, sembari diri ini mulai menyiapkan segalanya untuk menyambut kepulangan Dina. 

Aku kembali sampai di rumah. Kurebahkan tubuh di sisi Siska yang sudah terlelap dalam mimpinya. Kupandangi wajah wanita di hadapanku kini dengan lamat. Dua puluh tahun membersamai, jelas aku sangat mencintainya. Tapi jujur, aku tak bahagia.

Karena cinta pertamaku pergi tanpa pamit. Kini setelah menemukannya kembali, meski sudah tak seperti manusia normal. Aku mulai menemukan kembali bahagiaku.

*

Pagi ini seperti keinginanku, dengan bantuan Yulia istrinya Pram, Dina dipindahkan ke rumah sewa anak angkatku. Dua orang perawat sudah kusediakan untuk menjaga Dina. Tak lupa seorang satpam untuk jaga-jaga.

Karena faktor pencetus amukan Dina adalah lelaki, maka sebaiknya beberapa waktu Dina harus jauh dari yang namanya lelaki. 

Termasuk aku. Lelaki yang sampai detik ini masih berstatus suami secara hukum negara. Meski dalam hukum Islam, mungkin jika Dina ingin berpisah sudah sah-sah saja. Dua puluh tahun dia tak kunafkahi.

Sekian hari berlalu, kesehatannya membaik. Ia sudah mau berbicara dengan perawat yang menjaganya. Sudah mau keluar kamar, dan bahkan pagi ini aku mendapat kabar bahwa Dina sudah mulai melakukan aktivitas ringan seperti menyapu rumah. Dan yang paling membuatku terharu, dia masih bisa mengaji walau terbata dan Maha Suci Allah, Dina masih bisa membaca doa shalat.

Lega rasanya. Meski untuk itu aku harus menahan diri.

Kucoba pejamkan mata. Di sisiku Siska mulai mendengkur halus. Tapi semakin kemarin, jiwa ini semakin gelisah. 

Beberapa hari terus memperhatikan Dina dalam diam, membuat rindu kian menganga. Kuputuskan untuk bangkit, lalu aku menelpon perawat.

Kukabarkan pada mereka bahwa aku ingin pulang. Aku ingin menghabiskan malam ini bersama Dina. Meski nanti harus siap dengan seribu alasan jika Siska bertanya.

Tak kuperdulikan hal itu. Langkah semakin mantap. Hingga kendaraan roda empat milikku benar-benat keluar dari garasi.

Kurang dari tiga puluh menit, mobil yang kukendarai sampai di depan kediaman Dina. Salah satu perawat membukakan pintu.

"Apa dia sudah tidur?"

"Sudah, Dok."

"Saya hanya sebentar."

"Baik, Dok."

Entah kenapa di detik ini, jiwa yang sudah tua ini kembali merasakan debaran aneh. Sama seperti saat pertama kali mengijab qabul namanya. 

Kubuka pintu perlahan. Dan aku melihatnya tertidur dengan memeluk boneka kesayangannya.

***

Bersambung.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
yakin dina lebih penting sementara kamu sangat penakut sama siska. ciri2 laki2 pemuja selangkangan kayak si fadly ini
goodnovel comment avatar
PiMary
Cerita yang sangat bagus,beda dgn yg lain....
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Anak Yang Terlahir dari Rahim Wanita Gila   35. Awal Bencana

    Aku memandangi jas putih yang biasa digunakan suamiku saat bertugas. Dia sangat tampan ketika memakai jas ini. Menjadi istri dari seorang dokter, sungguh tak pernah ada dalam khayalan. Terlahir di panti asuhan, dirawat oleh wanita buta. Memiliki kedua orang tua utuh saja aku tak pernah mau membayangkan. Tapi ternyata, rahmat Allah itu pasti. Kebahagiaan buah kesabaran selama ini sempurna kurasakan sekarang.Tiga bulan sudah pernikahanku dengan Mas Fandy, tak satu kalipun dia membuat perasaan ini terluka. Dia benar-benar suami idaman. Lembut perangainya, santun suaranya bahkan setiap perlakuannya membuatku selalu merindui dan berharap ia cepat-cepat sampai ke rumah. Meski pada kenyataannya semua itu tak mungkin terjadi. Sebab sebagai seorang dokter, dia cukup sibuk dengan segala kerjaannya.Lebih sering sampai di rumah saat matahari sudah hampir tenggelam. Belum lagi kalau kena dinas malam, aku terpaksa tidur bertemankan bantal. Tapi yah sudah resiko menjadi istri seorang dokter. Mau t

  • Anak Yang Terlahir dari Rahim Wanita Gila   35. Dipenghujung Usia Siska

    Jika aku tahu, pertemuan itu adalah untuk kesempatan terakhir kita bertemu. Aku berjanji tidak akan beranjak, sekalipun di sana, pengantin lelakiku sudah menunggu. Maafkan anakmu, Mama.***Mas Sabri keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih mengenakan kemeja lengan panjang. Dengan wajah yang tampak basah, lelaki itu berhasil membuat degup jantung ini berpacu kencang. Dia berjalan mendekatiku yang hendak membuka berbagai aksesoris di kepala.Mas Sabri menatap wajahku dari pantulan kaca cermin. Kedua tangannya diletakkan pada pundak. Sungguh, sesuatu semakin bergelenyar aneh di dalam dada."Biar Mas bantu."Cekatan tangan Mas Sabri memindahkan mahkota yang ada di puncak kepala. Sambil terus menatap di cermin.Lalu dia sedikit menekuk dan membalikkan posisi dudukku. Mas Sabri mengajak berdiri.Tatapan kami bertemu. Mas Sabri meminta ijin membuka khimar yang kugunakan. Dia menghela napas sesaat setelah penutup jilbab itu berhasil lepas dari kepala ini."Pertama kali lihat bidadari sedeka

  • Anak Yang Terlahir dari Rahim Wanita Gila   33. Malam Pertama

    "Kita jalan-jalannya naik motor aja mau nggak?"Mas Fandy bertanya setelah kami kembali ke kamar. Sehabis menikmati makan malam bersama. Kami juga baru selesai melaksanakan shalat isya berjamaah."Em, boleh juga Mas.""Asyik. Yuk ah pergi."Seketika Mas Fandy menggandeng tanganku. Membuat diri ini terhenyak dan menatapnya sejenak."Lo kenapa, 'kan udah halal. Seperti ini pun boleh."Tangan Mas Fandy yang tadinya memegang lenganku kini berpindah ke pundak. Aku hanya tersenyum, aneh jika menolak. Sebab benar kata Mas Fandy, kami sekarang sudah halal. Apapun itu boleh, kecuali yang satu itu. Belum siappp ...Kami melangkahkan kaki bersamaan, menuruni tangga namun terhalangi oleh papa dan mama."Lo pengantin baru mau kemana malam-malam?"Aku meremas jemari, ini semua ide konyol Mas Fandy. Harusnya kami di kamar saja, nonton mungkin atau tidur barangkali. Ck! Mbak Mira sama Mas Sabri aja stay di kamar."Kami mau cari angin segar, Pa. Em, pengen jalan-jalan keliling Magelang sama Sabrina.

  • Anak Yang Terlahir dari Rahim Wanita Gila   32. Alhamdulillah, Sah

    "Duduknya dekat lagi, Mbak."Kugeser posisi duduk mendekati Mas Fandy, sesuai instruksi dari photografer. Rasa bahagia bercampur haru menyeruak di dalam dada. Ya Allah, inilah hari yang paling kutunggu-tunggu seumur hidup. Memandanginya tanpa takut dosa, menyentuh kulitnya tanpa takut dilaknat malaikat. Serta yang paling tak bisa kubayangkan, sebuah kecupan kening untuk pertama kalinya juga kurasakan di hari ini."Ditahan dulu ya Mas posisinya."Ucapan itu didengungkan oleh sang fotografer saat bibir Mas Fandi menyentuh keningku. Bisa kalian bayangkan gimana rasanya? Saat benda kenyal berwarna ranum itu sedang mengecup penuh keromantisan, namun seseorang justru meminta agar perlakuan tersebut dipertahankan. Seketika suasana romantis digantikan oleh kecanggungan.Mas Fandy menarik wajahnya lalu kami saling terkekeh."Yah Mas, tadi hasil fotonya kurang bagus. Yuk sekali lagi."Sang fotografer kembali menyemangati. Sedang di sekeliling, sanak keluarga termasuk Mira Dan Mas Sabri menan

  • Anak Yang Terlahir dari Rahim Wanita Gila   31. Ayah Kandung Mira

    "Pak Sabiq, lelaki itu adalah ayah kandungku."Kejadiannya sebulan yang lalu, kata papa seorang lelaki yang wajahnya sangat mirip denganku datang menjenguk mama ke rumah sakit. Papa berhasil memergoki lelaki itu.Mereka berbicara. Dan lelaki itupun jujur, perihal rahasia yang tidak pernah dibicarakan mama selama dua puluh tahun lebih pernikahannya dengan papa.Puluhan tahun yang lalu, sebelum mama sah menjadi istri papa, dia dan mama pernah hidup bersama. Ah, sakit hati jika mengingat semua itu. Tapi bukankah Allah saja Maha Pemaaf? Harusnya akupun sudah memaafkan kekhilafan kedua orang tuaku itu. Tapi kadang, syaitan terus membisikkan kata mujarabnya, agar aku membenci mereka. Bersyukur, Alllah memberiku orang-orang terdekat yang kadar imannya sangat terjaga. Saat aku putus asa, papa, mama dan Sabrina, selalu menyemangati. Bahkan saat aku merasa tak lagi ada yang mencintai. Ternyata, Allah kirimkan Mas Sabri, lelaki yang selalu membiusku dengan angan membangun syurga kelak bersaman

  • Anak Yang Terlahir dari Rahim Wanita Gila   30. Kenyataan Pahit Untuk Mira

    POV MiraSiang itu juga kami berangkat ke Solo. Papa dan Mama ikut mengantar. Sepanjang perjalanan aku tak henti menangis. Meski mama sudah minta untuk tenang, tapi tetap saja air mata ini tumpah bagai kucuran air hujan.Dua jam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Papa segera menanyakan keberadaan Mas Sabri pada perawat jaga. Dengan langkah cepat kami segera menuju ruang rawatan.Sesampai di depan ruangan. Mama kembali meminta agar aku menarik napas dan bersikap tenang. Ya Allah, apa mereka tidak tahu bagaimana khawatirnya hati ini? Sungguh, aku tak ingin terjadi sesuatu pada Mas Sabri, aku terlanjur sangat mencintainya. Jika ia tiada, entah bagaimana nasibku ...Papa membuka pintu, hingga nampaklah sosok lelaki yang amat kurindukan selama ini."Mas Sabri ...."Lelaki itu tersenyum menyambut kedatanganku. Kaki ini terangkat hendak berhamburan memeluknya, tapi papa menahan gerakanku."Ingat Mira, kamu masih masa pingitan."Huh!Seketika tubuh ini lemas, papa hanya membole

  • Anak Yang Terlahir dari Rahim Wanita Gila   29. Lamaran

    POV Sabrina[Alhamdulillah Mas lulus ....]Sebuah pesan yang dikirim saat aku berada di rumah Bu Asti, empat tahun yang lalu. Karena penasaran, kubalas juga pesan itu.[Lulus apa, Mas?][Mas ikut program Nusantara Sehat. Dan Alhamdulillah Mas lulus dan akan ditempatkan di Kepulauan Anambas, Riau.]Deg. Jantungku seketika berdegup kencang. Jadi Mas Fandy akan pergi jauh? Untuk berapa lama?[Alhamdulillah selamat ya, Mas. Semoga Mas bisa mempraktekkan ilmu yang sudah ada dengan sebaik-baiknya.]Aku masih bersikap tenang, meski sejujurnya ada rasa berat mendengar berita ini. Kenyataannya, meski mulut sudah menyatakan agar Mas Fandy tak menghubungi selama empat tahun ini, tapi hati seolah berkata lain. Ia ingin terus memberi dan mendapat kabar dari lelaki itu.[Makasih, ya. In Syaa Allah besok kami diberangkatkan. Kamu mau pesan sesuatu nggak untuk Mas?]Aku tercenung sejenak, pesan apa? Masak iya harus meminta agar setelah pergi, ia tidak lupa untuk pulang, atau meminta agar setelah per

  • Anak Yang Terlahir dari Rahim Wanita Gila   28. Mengulang Malam Pertama

    POV FadlyBegitulah kiranya anak-anak, ketika lelaki yang diciptakan Allah tidak hanya satu, tapi kenapa dua anak perempuanku terlibat dengan satu lelaki yang sama?Meski terlihat tidak adil karena aku tak membiarkan Sabrina memberi keputusan, justru langsung menolak lamaran Pak Pramudia. Tapi kuharap inilah yang terbaik. Semua kulakukan tersebab tak ingin hubungan kakak beradik itu rusak hanya karena lelaki.Selama sebulan ini, tak ada cacat pada hubungan mereka. Yang kutakutkan sebelumnya akan sering beradu mulut, tapi ternyata mereka justru begitu akur.Sebab itulah aku memutuskan untuk tidak menerima lamaran tersebut untuk saat ini dan meminta waktu hingga empat tahun. Kupikir empat tahun, cukup untuk seseorang melupakan dan mentransfer perasaan cintanya kepada orang lain. Dan harapan besarnya adalah setelah empat tahun itu, Mira sudah move on dari mencintai Fandy. Tapi pada mereka berdua, aku tak perlu jujur bukan? Niatku baik, jika selama empat tahun tersebut ternyata mereka j

  • Anak Yang Terlahir dari Rahim Wanita Gila   27. Jodoh Untuk Kedua Anakku

    Kami duduk di sebuah kursi yang terletak di pinggiran tempat parkir, suasana begitu sejuk sebab disekelilingi oleh pepohonan. Kurasa inilah tempat terbaik untuk berbicara, setidaknya tidak ada satu orangpun yang kemungkinan akan memergoki. Aku tak ingin Mbak Mira tersakiti hatinya jika tahu Mas Fandy sampai menemuiku di kampus ini."Apa kabar?"Dia membuka dengan pertanyaan yang membuat hati berdebar tak menentu."Baik. Mas Fandy sendiri apa kabar?""Alhamdulillah, saya kurang baik.""Kurang baik? Tapi jika dilihat dari luar, sangat baik kok," selorohku yang tak bisa menjaga suara. Aduh ...Dia tersenyum, senyum yang membuat hati meleleh. Bisakah ya Allah aku terus menikmati senyumnya? Huhft ..."Dari luar memang baik, tapi tidak dari dalam. Eh, ohiya, selamat ya," ucapnya kemudian sembari menatapku."Selamat untuk apa, Mas?""Selamat untuk hasil tes DNA-nya. Saya ikut senang.""Alhamdulillah, Mas.""Huh, puluhan tahun, Allah Maha Luar Biasa."Aku tersenyum."Itu Asmaul Husna yang ke

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status