Hubungan antar manusia memang tak selamanya baik, namun juga tak selamanya buruk. Sedekat apapun kita dengan seseorang, pasti akan selalu ada gesekan yang memicu konflik. Entah itu konflik fisik, maupun konflik batin. Meli menyikut pinggangku. âItu Dian, Fai,â ucapnya seraya menunjuk Dian dengan dagu. âAku tahu,â jawabku. âKalau ada yang mau diomongin sama Dian, sana samperin. Jangan dipendam,â lanjut Meli. Rupanya ia menyadari gelagatku yang tengah menghadapi konflik batin tak kunjung usai ini. âDari mana aku harus mulai bicara?â tanyaku pada Meli. Kali ini aku merasa perlu meminta pendapatnya. âAyo kutemani,â bisiknya. âKau pergi saja bersama Dian. Jalan-jalan kemana kek. Biar aku yang menemani Bu Mardiyah.â Meli tampak yakin. Dia meraih tanganku, mengajakku untuk melangkahkan kaki menghampiri Dian. Aku sempat ragu, karena khawatir Meli keberatan dalam hatinya. Mengingat dia pun pernah mengharapkan Dian di sisinya. âKau yakin, Mel?â tanyaku. âSoal apa?â âKau sudah mengikhla
âPelankan suaramu, Fai!â titah Ibu, panik. Ia kemudian melepaskan tangannya dari mulutku saat aku sudah agak tenang. Ibu menahan isak tangis hingga ekspresi wajahnya sulit kugambarkan. Namun yang pasti, adaberjuta kepedihan tergurat di sana. Lantunan takbir masih menggema, begitu pun suara bedug bertalu-talu di malam takbir itu, harusnya kami menangis bahagia menyambut hari kemenangan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Ibu langsung memelukku dengan erat. Tangisnya mulai pecah, namun dengan suara yang sengaja ditahan. Aku takut sekaligus merasa aman dalam pelukan Ibu. Namun tanda tanya itu masih ada, tentang noda darah yang bau amisnya sangat menusuk. âFai, tadi selelpas buka puasa Ibu menemani Nyonya Guntur membagikan THR pada fakir miskin yang hidup di jalanan. Tiba-tiba mobil yang dikendarai kami ditabrak orang tak dikenal. Mobil kami terguling ke hutan. Nyonya Guntur langsung meninggal, Ibu dan supir yang selamat mengeluarkan Nyonya Guntur dari mobil yang hampir meledak. Mak
Mengapa Dian begitu terpaut padaku, apa istimewanya aku di matanya hingga ia tak bisa lepas dariku? Selama puluhan tahun berpisah, tidakkah Dian menemukan wanita lain selain aku? Semua piring selesai dicuci, dapur juga kembali bersih. Ini pertama kalinya aku bebersih rumah dibantu Meli. Rasanya hari ini spesial, karena beberapa hal terjadi untuk pertama kalinya. Tabuhan bedug dan lantunan suara takbir mulai berkumandang. Aku dan Meli pergi ke teras rumah, melihat anak-anak se-usia sekolah dasar bermain petasan dan kembang api. Suasana seperti inilah yang kami rindukan sepanjang tahun. Suka cita menyambut hari kemenangan dirayakan anak-anak itu dengan cara menyenangkan versi mereka. Menyalakan petasan, melemparnya ke halaman terbuka, kemudian berlari menjauhi petasan tersebut sambil menutup telinga. Sebagian yang lain menyalakan kembang api, cahayanya berkilauan saat dilempar ke atas. Anak-anak kecil itu tampak bahagia. Aku membuka pintu pagar dan keluar rumah mendekati anak-anak i
âSiapa yang godain, Yah? Aku serius, kok, â jawab Haykal. Meli berhenti mengunyah, ia melihat ke arahaku sejenak, lalu pura-pura tak peduli dengan pernyataan Haykal. âKalau begitu, jangan digoda terus, kasihan. â Ayah berseloroh. Kami pun tertawa. Ramadhan terakhir di tahun ini aku menemukan kebahagiaan dapat berkumpul kembali bersama Ayah, Meli, dan juga anggota keluarga baru yaitu Haykal. Hubunganku dengan Dian juga mulai mencair, meskipun di antara kami tidak ada ikatan istimewa lagi, namun setidaknya silaturahmi tetap terjaga. Kami menghabiskan semua menu buka puasa, meskipun masak menu beragam, tapi masing-masing menu itu porsinya sedikit, sengaja kami atur agar cukup untuk makan berempat, sehingga tidak mubazir. Hanya sisa sedikit belalang goreng di atas piring. Ayah meminta kami bertiga untuk mencicipinya. âGak suka, ah. Geli, â balas Meli. âAyo, dicoba dulu. Jangan bilang gak suka kalau belum nyoba. Makanan ini kaya protein, gak kalah dengan daging ayam.â Ayah membujuk
âYa, itu buktinya,â ujar Meli sambil menahan tawa melihat ekspresi geliku. Aku mengambil baskom berisi belalang kecil ini dan mulai mencucinya. Orang kampung sini biasa menyebutnya âsimeutâ. Meski di jaman modern seperti sekarang sudah jarang peminatnya, namun untuk beberapa orang, serangga kecil ini memang biasa dikonsumsi sebagai lauk. Cara memasaknya sangat mudah, tinggal diberi bumbu rempah, lalu goreng hingga kering. Belalang goreng ini bahkan sudah ada yang menjual dalam bentuk kemasan dan siap santap, banyak dijual di marketplace online. âDari mana Ayah dapat belalang ini, Mel?â tanyaku. âTadi pas kami lewat pesawahan di pinggir jalan, Ayah mengajak turun dan menangkap belalang-belalang itu. Seru, lho!â jawab Meli dengan raut wajah gembira. âKatanya, dulu Ayah sering melakukannya sama kamu, waktu kamu berusia dua tahun.â Aku membumbui belalang ini dengan kunyit bubuk, bawang putih bubuk, garam, dan penyedap rasa, lalu menggorengnya dalam minyak panas. âOh ya, aku sama sekal
âSudah, Bu. Tak baik, tak ada sangkut pautnya dengan Fai,â jawab Dian. Aku cukup terkejut dan berkata, âkenapa, Di?â âBenar bahwa kami pindah ke sini karena malu atas utang di desa, namun sebenarnya kepindahan kami ke sini pun adalah keinginan Dian yang ngotot ingin melamarmu, Fai. Dia gadaikan SK-nya untuk pindah ke sini. Kemudian sisa uangnya dipakai untuk biaya lamaran dan persiapan akad nikahmu yang batal itu,â jawab Bu Mardiyah. âSetelah pernikahan kalian batal, rasanya pengorbanan anakku jadi sia-sia.â âBuââ Dian menghentikan Bu Mardiyah, terlihat jelas ia merasa tak enak dengan yang diucapkan ibunya barusan. Aku semakin terkejut, namun berusaha sebisa mungkin agar tak terkecoh. Sedikitnya, aku tahu sifat Bu Mardiyah, ia akan membuat seseorang merasa bersalah agar orang itu mau menuruti keinginannya. Dan sepertinya, ia pun sedang melakukan trik itu padaku. âBenarkah itu, Di?â tanyaku pada Dian. Sekedar untuk menghargai cerita Bu Mardiyah, aku pun menanggapinya. âAh, jangan