"Justru, itu akan membantumu. Setelah Fai pulang sekolah, kamu bisa mengantarnya ke pondok dan menjemputnya kembali saat pulang kerja. Dengan begitu, kamu bisa tenang meninggalkannya mencari nafkah," kata Pak RT."Pekerjaan saya juga gak tetap, Pak," keluhku."Saya dengar, Juragan Guntur membeli dua mesin cuci. Dia hendak membuka usaha cuci baju, dan membutuhkan pegawai. Sepulang dari sini, cepat-cepatlah kamu melamar ke rumahnya. Siapa tahu jadi rezekimu bekerja di tempatnya. Juragan Guntur tak pernah pelit dalam memberi, gajimu nanti pasti lumayan." Pak RT memberiku arahan.Mendengar kabar itu, aku sangat senang. Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan kini terbuka lebar. Aku pun pulang dengan melangkahkan kaki sedikit berlari, agar sampai di rumah Juragan Guntur dengan segera, untuk meminta pekerjaan padanya.*"Untung kamu datang tepat waktu, Nis. Sudah banyak yang datang minta pekerjaan. Tapi saya hanya butuh tiga orang, yang dua orang sudah saya tetapkan. Tinggal satu orang lagi,
Di malam takbir tahun 1998, Nyonya Guntur mengalami kecelakaan sepulang membagi THR kepada fakir miskin yang hidup di jalanan. Ia ditabrak orang tak dikenal dan langsung meninggal di lokasi kejadian.Empat bulan setelahnya, aku diperistri Juragan Guntur setelah mendapat keputusan perceraian dari pengadilan agama, dan selesai masa iddah.Pernikahan itu bukan tanpa pertimbangan. Dahulu, Nyonya Guntur menerimaku bekerja di rumahnya bukan hanya untuk menjadi buruh cuci saja, melainkan sekaligus untuk mengasuh Meli. Sehingga ketika Nyonya meninggal, Meli sangat terpukul. Ia tak mau jauh dariku. Aku pulang ke rumah pun, ia selalu memaksa ikut. Karena itulah akhirnya Juragan Guntur menikahiku demi Meli, agar aku setiap hari bisa tinggal di rumahnya.Aku pun menikah dengan Juragan demi Fai. Karena Juragan menjanjikan hidup yang layak untuk kami. Namun, pernikahanku bukanlah pernikahan yang indah. Walaupun orang mengenalku sebagai Nyonya Guntur yang baru, kenyataannya aku tetaplah Anisa Si Bur
*Pernah ada yang bertanya padaku, kenapa bisa mencintai anak tiri seperti anak sendiri. Jawabanku, mungkin karena aku tak memiliki anak kandung, sehingga tak tahu bedanya menyayangi keduanya.Yang kutahu, manusia dibekali kasih sayang oleh Yang Maha Kuasa. Dan itu tidak dibatasi untuk diberikan kepada orang-orang tertentu saja. Kasih sayang, harus kita berikan pada siapa pun yang membutuhkan.Fai dan Meli sangat butuh kasih sayangku. Maka aku pun harus memberikannya pada mereka. Jika boleh berkata bijak, itulah alasanku yang sesungguhnya.Pagi ini aku duduk di teras rumah, di atas sebuah kursi rotan yang masih kokoh walau sudah berpuluh tahun kududuki. Kursi peninggalan orangtuaku, yang tak pernah bergeser posisinya sejak rumah ini masih berupa gubuk, hingga kini telah direnovasi menjadi rumah kekinian yang sangat layak huni. Di atas kursi inilah aku melihat Meli tengah menyiram bunga di halaman. Sesekali matanya melirik ke rumah Bu Mardiyah, berharap bisa menangkap sosok Dian pujaa
Kedatangan Meli membekukan suasana. Ia bak tamu tak diundang, yang tak diharapkan kehadirannya oleh Fai. Sementara, Meli masih berdiri di sana. Ia menatap lekat pada Dian, tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Cincin emas putih melingkar di jari manis Fai, Meli mengalihkan pandangannya pada itu. Ia pasti sudah mengerti apa yang telah terjadi antara Fai dan Dian.Dari sini aku menyaksikan sendiri perubahan raut wajah Meli. Ia kecewa, marah, dan ingin berontak. Genangan di sudut matanya mulai menetes. Namun, itu bukanlah tangisan kesedihan. Sesuatu pasti pernah terjadi antara Meli dengan Dian. "Inikah jawabanmu?" Meli bersuara, seperti meminta kepastian kepada lelaki yang kini telah resmi menjadi calon suami Fai.Dian tampak menahan kaget melihat kedatangan Meli, apalagi ketika mendapatkan pertanyaan itu, ia sama sekali tak berani mengangkat kepalanya dan terus menunduk. Dan Fai ... tak perlu kuceritakan sehancur apa perasaannya saat Meli merusak momen bahagia yang sudah lama
"Cukup!" Aku menghentikan pertengkaran mereka. "Tidakkah kalian merasa kasihan pada mata tua renta ini, setiap hari harus melihat pertengkaran kalian berdua?"Dua pasang mata yang selalu kutatap penuh kasih itu seketika tertuju ke arahku. Mereka baru menyadari keberadaanku. Seketika keduanya diam membisu. "Apa yang kalian ributkan tengah malam begini? Soal Dian? Dia bahkan mungkin sedang tidur saat ini, dan tak memikirkan satu pun dari kalian." "Maaf, Bu," ucap Fai. Suaranya lemah, ia menunduk dengan perasaan bersalah. Kemudian menghambur kepadaku, memelukku yang mulai merasa tak sanggup mengatur kedua anakku ini. "Padahal Fai sudah berjanji tidak akan ribut lagi dengan Meli, tapi malam ini Fai ingkar. Maafkan Fai yang tak bisa hanya diam saja saat Meli ingin merenggut kebahagiaan Fai," lanjutnya dengan isak tangis."Aku hanya ingin memberitahu Fai satu hal, Bu," kata Meli sambil memandang Fai ragu-ragu. "Tapi ...." Meli tak jadi bicara, ia malah berlari ke kamarnya dengan isak tangi
Kata-kata itulah yang ingin kuucapkan pada Fai. Namun, bibir ini kelu untuk mengungkapkan kebenaran tentang calon suaminya. Air mata masih berjatuhan di pipi Fai, atas kepergian Ibu. Rasanya, aku tak tega memberinya kesedihan yang baru. Jadi, kuurungkan niat ini dan menunggu waktu yang tepat di lain hari."Kenapa kau diam saja, Mel? tanya Fai seraya mengibaskan tangan di depan wajahku. Aku tersadar dari kegalauan."Kau pulanglah lebih dulu. Aku sedang tak ingin bicara denganmu!" titahku dengan nada ketus. Sengaja kupasang muka jutek, agar dia merasa tak nyaman di dekatku dan cepat-cepat pergi. Aku tak ingin melihat kesedihannya, meski aku pun tengah merasakan kesedihan yang sama."Tapi kenapa? Apa kau merasa tersinggung karena tadi aku bicara tentang membeli rumah baru untukmu?" Fai bertanya sambil menyeka air mata dengan ujung jilbabnya, membuatku ingin memeluk dan menenangkannya. Tapi, ah ... aku terlalu gengsi, karena di matanya aku hanyalah 'orang jahat' yang tak punya perasaan. "
🌸🌸🌸Halaman rumah penuh dengan karangan bunga belasungkawa dari rekan kerja Fai dan Dian. Terlihat jelas nama instansi tempat mereka berdua bekerja tertulis di sana. Fai pasti sibuk menerima tamu yang melayat seharian tadi, sebelum berangkat ke acara amal anak yatim piatu.Aku baru pulang sore ini, ketika jam tanganku menunjuk angka lima. Dan sekarang aku duduk di kursi rotan yang biasa dipakai Ibu. Seseorang tengah melihat-lihat karangan bunga itu, punggungnya membungkuk saat membaca tulisan yang ada di sana. Tak lama kemudian, ia menoleh dan tersenyum kepadaku, kemudian membuka pagar rumah dan menghampiriku ke teras."Kamu Meli, ya? Tadi Fai nitip kunci rumah," katanya seraya menyerahkan benda yang sedari tadi kucari-cari. Rupanya Fai menitipkannya pada Bu Mardiyah."Ah, ya. Makasih, Bu," balasku."Fai dan Dian sudah berangkat dari tadi sore. Kalau kamu mau, buka puasa di rumah saya aja yuk," ajaknya. "Terimakasih. Saya buka di sini saja."Wanita yang kuharapkan jadi ibu mertuak
"Keburukanku di masa lalu, tak kubawa ke masa sekarang. Aku sudah meninggalkannya jauh di sana, dan sejak saat itu aku terus memantaskan diri untuk Fai. Karena, sejak awal, dia lah satu-satunya tujuanku." Dian membalas sambil menatapku dengan tenang. "Bukankah, dulu kau yang pergi meninggalkanku? Karena lebih memilih karirmu ketimbang berusaha tetap di sisiku?"Aku menjauhkan tubuhku darinya. Kalimatnya yang terakhir itu sungguh menyesakkan dada, mengorek luka lama yang selama ini ingin kulupakan."Karena, kau selalu menyuruhku memakai jilbab dan berbaju panjang. Sementara, kau tahu aku seorang model yang dituntut untuk menunjukkan keindahan tubuhku di depan kamera. Kau hanya ingin mengubahku menjadi seperti Faihatun, bukan menerimaku apa adanya!" balasku.Dian membuang napas dan memejamkan mata. "Setidaknya, aku sudah memberimu kesempatan," ucapnya pelan. Kemudian pandangannya tertuju ke belakangku, ia sedikit terkejut namun segera ditahannya."Apa yang sedang kalian bicarakan?" Suar