Se connecter
Hujan kembali turun malam itu. Rintiknya menari di atas genting, menciptakan irama lembut yang bagi sebagian orang terdengar menenangkan, namun tidak bagi Arra. Bagi wanita itu, hujan selalu menjadi pengingat tentang sesuatu yang ingin ia lupakan dan tentang seseorang yang tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan.
Dari balik jendela kecil rumah kontrakan sederhananya, Arra memandangi jalanan yang basah. Cahaya lampu jalan berpendar lembut, memantul di permukaan genangan air yang menutup tanah. Aroma tanah basah berpadu dengan wangi kayu lembap, memenuhi ruangan mungil berukuran tiga kali empat meter itu. “Mami, mobil-mobilannya tenggelam!” Suara kecil itu memecah lamunannya. Arra menoleh. Di ruang tengah, seorang bocah laki-laki berusia lima tahun tengah berjongkok, menatap serius ke arah ember berisi beberapa mobil mainan yang terapung di dalamnya. Wajahnya bulat, kulitnya cerah, dan sepasang mata tajam itu begitu mirip dengan milik seseorang yang dulu pernah ia cintai sepenuh hati. “Rafa, sudah malam. Ayo, waktunya tidur,” ucap Arra lembut sambil menghampiri bocah itu. “Tapi mobilnya belum diselamatin, Mami. Kasihan nanti kedinginan.” Arra tak kuasa menahan tawa kecil. “Nanti mereka bisa sakit, ya, kalau kedinginan?” Rafa mengangguk sungguh-sungguh, membuat Arra tersenyum dan menepuk lembut puncak kepalanya. “Baiklah. Mami bantu selamatin mereka, tapi habis itu langsung tidur. Janji?” “Janji!” serunya riang. Mereka pun mengangkat satu per satu mobil mainan itu, mengeringkannya dengan tisu, lalu menatanya di rak kayu di sudut ruangan. Setelah selesai, Arra menggendong Rafa menuju kamar kecil yang dindingnya mulai retak di beberapa bagian. Ia membaringkan bocah itu di atas ranjang mungil yang tertutup selimut biru lusuh. Rafa menggeliat sebentar, lalu memeluk erat boneka dinosaurus kesayangannya. Arra menatap wajah kecil itu dengan lembut dan di balik senyum tipisnya, ada rindu yang diam-diam kembali menyesakkan dada. “Mami…,” panggilnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara kantuk. Arra menoleh lembut. “Ya, sayang?” “Kenapa Mami selalu sedih kalau lihat hujan?” Pertanyaan itu menghantam Arra seperti belati halus yang diselipkan di antara tulang rusuknya. Ia terdiam, menatap wajah polos anaknya yang kini menunggu jawaban dengan mata setengah terpejam. “Mami nggak sedih, kok.” Rafa mengerjap, lalu bergumam lirih, “Bohong …. Mata Mami berair terus setiap hujan datang. Rafa nggak suka hujan yang bikin Mami nangis.” Arra menunduk, jemarinya terulur membelai rambut halus anak itu. “Tidur, ya, sayang. Besok Mami harus kerja pagi.” “Rafa sayang Mami …,” bisiknya pelan, sebelum tenggelam dalam lelap. Hening kembali memenuhi kamar. Arra tetap duduk di sisi ranjang, memandangi wajah kecil itu. Damai, tanpa beban, tanpa tahu berapa banyak luka yang ibunya simpan. “Maafin Mami, Rafa dan terima kasih sudah mau menemani Mami di sini,” ucapnya lirih. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh juga. Ia cepat-cepat menyekanya, takut Rafa terbangun. Sudah lima tahun berlalu sejak malam itu. Malam ketika ia memutuskan pergi, meninggalkan satu-satunya pria yang benar-benar ia cintai. Revan Alendra. Nama yang masih bergema di kepalanya, bahkan setelah bertahun-tahun ia berusaha memadamkannya dari ingatan. Dulu, Arra adalah gadis ceria dengan mimpi sederhana. Bekerja, menikah dengan pria yang ia cintai, dan membangun keluarga kecil yang hangat. Namun semuanya hancur hanya karena satu malam, satu keputusan dan satu rasa takut. Ia masih mengingat dengan jelas wajah Revan malam itu, lelah, tapi tetap lembut. Suaranya hangat ketika menyebut nama Arra, membuat hati wanita itu selalu tenang. Namun dalam hitungan detik, semua berubah menjadi luka. “Kamu akan menikah dengan putri rekan bisnis Papa. Ini bukan tawaran, ini keputusan.” Kalimat itu terus terngiang di kepalanya hingga kini. Ia mendengarnya langsung, tanpa sengaja, dari balik pintu ruang kerja keluarga Alendra. Dan sejak malam itu, Arra tahu, dirinya tidak akan pernah cukup untuk Revan. Maka ia pergi. Tanpa menjelaskan apa pun, tanpa memberi kesempatan bagi Revan untuk memilih, tanpa sempat memberitahunya bahwa di dalam tubuhnya tengah tumbuh kehidupan kecil, buah cinta mereka. Arra menatap tangannya yang kurus, lalu mengusap lembut pipi Rafa. Anak itu tumbuh sehat, ceria, dan pintar. Jauh lebih kuat daripada dirinya. Namun setiap kali Arra menatap mata Rafa, rasa bersalah itu selalu datang kembali. Karena di sana, di dalam sorot mata itu, ia selalu melihat Revan. Jarum jam di dinding menunjuk pukul sembilan malam. Arra berdiri, mematikan lampu kamar, lalu melangkah perlahan ke dapur kecil di sudut rumah. Ia menuang air panas ke dalam cangkir, memandangi uap yang perlahan mengepul, seolah membawa segala kenangan yang ingin ia lupakan. Besok, hari penting menantinya. Perusahaan tempatnya bekerja sebagai staf administrasi akan diakuisisi oleh perusahaan besar. Semua karyawan gelisah, takut akan perubahan. Tapi Arra hanya punya satu harapan sederhana. Semoga hari esok berjalan tenang tanpa kejutan apa pun. *** Pagi itu, Arra tampak sibuk seperti biasa. Ia menyiapkan sarapan dan bekal sederhana untuk mereka berdua, sambil sesekali melirik jam dinding yang terus berdetak seolah mengingatkannya agar tak terlambat. Setelah semuanya siap, ia membantu Rafa mengenakan seragam TK, merapikan kerah bajunya, lalu menyisir rambut halus anak itu dengan penuh kasih. Sedikit parfum disemprotkan di leher kecil Rafa, wangi lembut yang segera memenuhi ruangan. Bocah itu tampak begitu tampan pagi itu. Senyum lebarnya memperlihatkan lesung pipi di sisi kanan, begitu mirip dengan seseorang yang dulu pernah mengisi seluruh hatinya, Revan Alendra. “Mami, Rafa udah ganteng belum?” Nada manja dan menggemaskan itu membuat Arra tak kuasa menahan senyum. Ia menunduk, mengecup pipi kanan Rafa dengan lembut. “Udah dong! Ganteng banget! Anak Mami paling ganteng sedunia!” Arra terkekeh kecil, tapi di balik tawanya, ada semburat haru yang tak bisa ia sembunyikan. Tatapan matanya melembut, di hadapannya kini seolah berdiri Revan dalam wujud kecil yang polos dan penuh cahaya. Air matanya nyaris jatuh ketika Rafa tiba-tiba berkata, “Tuh kan, Mami nangis lagi, kayak kemarin malam pas hujan turun.” Arra menahan tawa yang tercampur isak, mengusap cepat sudut matanya. “Mami nggak nangis, sayang. Mami cuma keinget seseorang ….” “Seseorang? Siapa? Tante Dinda atau Om Niko? Biar Rafa pukul aja! Mereka jahat udah bikin Mami nangis!” Anak kecil itu mencemberut, wajahnya penuh keseriusan yang malah membuat Arra tertawa kecil. “Siapa yang ngajarin pukul-pukul gitu? Mami nggak pernah loh!” “Om Niko!” jawabnya cepat. “Om Niko bilang, kalau ada yang bikin Mami nangis, Rafa harus pukul!” Rafa mengepalkan tinjunya kecil-kecil, seolah siap berkelahi demi Maminya. Arra menggeleng sambil tersenyum, lalu mencubit lembut hidung anaknya. “Jangan dengerin Om Niko. Emangnya kamu mau pukul Papi kamu?” Rafa langsung menatap Arra dengan mata membulat, terkejut. “Papi? Mami kangen Papi, ya?” Pertanyaan itu membuat dada Arra menghangat dan nyeri di saat yang sama. Tangan mungil Rafa menggenggam tangannya, menempelkannya di pipinya yang chubby. “Iya …,” jawab Arra pelan, senyumnya sendu. Ia mengusap lembut pipi Rafa. “Kalau gitu, liat Rafa aja sepuas Mami! Soalnya Rafa kan mirip Papi.” Kalimat polos itu membuat Arra terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. Matanya menatap wajah anak itu dengan rasa syukur yang dalam. Rafa memang sangat perhatian, persis seperti ayahnya. Dan di saat-saat seperti ini, Arra tahu ... bagaimana mungkin ia bisa benar-benar melupakan Revan?Suasana di dalam sedan hitam milik Niko terasa hening, meski suara mesin yang lembut berusaha menembus kemacetan Jakarta siang itu. Di kursi penumpang depan, Arra duduk dengan gelisah. Jemarinya saling meremas di atas pangkuan, sementara pandangannya beberapa kali terarah ke kaca spion tengah, memastikan putra kecilnya baik-baik saja di kursi belakang.Rafa tampak tenang, meski plester menempel di sudut bibirnya. Ia memeluk tas sekolahnya erat-erat, memandangi jalanan dengan tatapan polos yang justru membuat hati Arra semakin perih.“Kamu tenang saja, Ra. Pak Revan memang tegas, tapi dia pasti mengerti ini keadaan darurat,” ucap Niko akhirnya, memecah keheningan. Nadanya lembut, meski matanya tetap fokus ke jalan.Arra tersenyum tipis—tipis sekali. “Aku harap begitu, Kak. Tadi Dinda bilang Pak Revan marah karena kita pergi begitu saja tanpa izin. Aku cuma takut Kak Niko jadi kena imbasnya cuma gara-gara nganterin aku ke sekolah Rafa.”“Sudahlah, jangan pikirkan aku. Yang penting Rafa
"Maaf, Mami .... Rafa udah bikin Mami sedih." Suara kecil itu terdengar bergetar. Mata Rafa berkaca-kaca, seolah menahan tangis yang siap pecah kapan saja. Ia merasa bersalah karena telah membuat Maminya khawatir, bahkan sampai meninggalkan pekerjaan hanya demi dirinya. Arra menggeleng pelan, berusaha tersenyum di tengah perih yang mengiris dada. Ia membelai rambut putranya yang acak-acakan, menatap wajah kecil yang kini dipenuhi luka. "Nggak apa-apa, sayang. Udah ya, jangan nangis. Nanti luka kamu makin sakit," ucapnya lembut, meski suaranya bergetar. Hatinya seperti diremas saat melihat pipi Rafa yang membiru dan sudut bibirnya berdarah. "Sekarang Rafa udah tenang?" Arra menatap mata putranya penuh kasih. "Bisa cerita sama Mami, sayang?" Rafa mengangguk pelan, tapi suaranya kecil sekali saat ia mulai bicara. "Tadi Jefri ngatain Mami jelek. Terus dia bilang, Rafa anak yang nggak diinginkan, makanya Papi ninggalin Mami. Mereka juga bilang Rafa nggak punya Papi kayak mereka
Dengan wajah tegang dan amarah yang nyaris meledak, Revan menjatuhkan diri ke kursinya. Dasi yang melilit lehernya terasa mencekik, membuatnya segera mengendurkan simpul itu agar bisa bernapas lebih lega. Ia masih mencoba menenangkan diri setelah kejadian tadi. Kejadian yang membuatnya benar-benar kehilangan kendali. Tanpa pikir panjang, Revan meraih telepon di meja kerjanya. “Kevin! Segera ke ruangan saya,” ucapnya datar, dingin, tanpa nada emosi yang tersisa. Begitu sambungan terputus, Revan menyandarkan tubuhnya di kursi dan memejamkan mata. Ia tidak salah lihat tadi. Foto itu, seorang bocah laki-laki dengan senyum lebar, dan di sampingnya adalah Arra. Pertanyaan demi pertanyaan berputar liar di kepalanya. Apakah Arra sudah menikah dan memiliki anak? Dan tadi, dia menyebut nama bocah itu Rafa? Apakah itu anaknya? Jika benar begitu, berarti ucapan ibunya selama ini, bahwa Arra berselingkuh dan meninggalkannya demi pria lain adalah kenyataan? Tidak. Revan tidak bisa begitu
Aroma kopi hitam menguar lembut di ruangan itu, tetapi Revan hanya menatap kosong ke arah layar laptop di depannya. Deretan angka dan grafik laporan keuangan yang baru dikirim Niko terpampang jelas di sana, namun pikirannya melayang entah ke mana, jauh dari tumpukan data dan bisnis. Ia bersandar di kursi, menarik napas panjang, lalu menunduk menatap sesuatu di tangannya, selembar foto lama. Pinggirannya mulai kusam, warnanya memudar. Di foto itu, tampak dirinya lima tahun lalu, tersenyum hangat, merangkul seorang gadis berambut panjang yang tersenyum lembut ke arah kamera. Arra. Nama itu bergema di kepalanya, berulang-ulang seperti gema masa lalu yang enggan padam. Lima tahun. Lima tahun ia mencari wanita itu. Lima tahun menghabiskan waktu, tenaga, bahkan uang, menelusuri jejak yang seolah sengaja dihapus. Dan kini, tanpa isyarat apa pun, wanita yang selama ini menghantui pikirannya berdiri di hadapannya seolah tak pernah terjadi apa pun di antara mereka. Revan mengetukkan
Pagi itu, Arra melangkah tergesa memasuki gedung kantor. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambutnya, berpadu dengan suasana tegang yang terasa di setiap sudut. Sejumlah karyawan terlihat sudah berbaris rapi di lobi, seolah tengah bersiap menyambut bos baru mereka. Pemilik perusahaan yang baru saja melakukan akuisisi. Dengan langkah cepat, Arra menuju meja kerjanya yang berada di deretan tengah ruangan. Di sana, Dinda, sahabat sekaligus rekan sekantornya, sedang sibuk merapikan make up tipis di depan cermin kecil. Arra spontan teringat bahwa ia sendiri hanya sempat memoles bedak tipis dan mengikat rambutnya dengan gaya kuncir kuda. Ia pun buru-buru mengurai rambutnya, mengoleskan sedikit pelembap di bibir, lalu merapikan kerah blusnya. “Arra, sumpah ya … aku deg-degan banget! Kira-kira bos barunya galak nggak, sih?” keluh Dinda, menghampiri sambil menatap gugup ke arah pintu utama. “Hsst, kamu jangan ngomong gitu, nanti kedengeran,” bisik Arra sambil menahan seny
Hujan kembali turun malam itu. Rintiknya menari di atas genting, menciptakan irama lembut yang bagi sebagian orang terdengar menenangkan, namun tidak bagi Arra. Bagi wanita itu, hujan selalu menjadi pengingat tentang sesuatu yang ingin ia lupakan dan tentang seseorang yang tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan. Dari balik jendela kecil rumah kontrakan sederhananya, Arra memandangi jalanan yang basah. Cahaya lampu jalan berpendar lembut, memantul di permukaan genangan air yang menutup tanah. Aroma tanah basah berpadu dengan wangi kayu lembap, memenuhi ruangan mungil berukuran tiga kali empat meter itu. “Mami, mobil-mobilannya tenggelam!” Suara kecil itu memecah lamunannya. Arra menoleh. Di ruang tengah, seorang bocah laki-laki berusia lima tahun tengah berjongkok, menatap serius ke arah ember berisi beberapa mobil mainan yang terapung di dalamnya. Wajahnya bulat, kulitnya cerah, dan sepasang mata tajam itu begitu mirip dengan milik seseorang yang dulu pernah ia cintai sepenuh ha







