Accueil / Romansa / Anak dari Sang CEO / Bab 2. Pertemuan yang tak terduga

Share

Bab 2. Pertemuan yang tak terduga

Auteur: Lovely Pearly
last update Dernière mise à jour: 2025-11-01 13:25:53

Pagi itu, Arra melangkah tergesa memasuki gedung kantor. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambutnya, berpadu dengan suasana tegang yang terasa di setiap sudut. Sejumlah karyawan terlihat sudah berbaris rapi di lobi, seolah tengah bersiap menyambut bos baru mereka. Pemilik perusahaan yang baru saja melakukan akuisisi.

Dengan langkah cepat, Arra menuju meja kerjanya yang berada di deretan tengah ruangan. Di sana, Dinda, sahabat sekaligus rekan sekantornya, sedang sibuk merapikan make up tipis di depan cermin kecil.

Arra spontan teringat bahwa ia sendiri hanya sempat memoles bedak tipis dan mengikat rambutnya dengan gaya kuncir kuda. Ia pun buru-buru mengurai rambutnya, mengoleskan sedikit pelembap di bibir, lalu merapikan kerah blusnya.

“Arra, sumpah ya … aku deg-degan banget! Kira-kira bos barunya galak nggak, sih?” keluh Dinda, menghampiri sambil menatap gugup ke arah pintu utama.

“Hsst, kamu jangan ngomong gitu, nanti kedengeran,” bisik Arra sambil menahan senyum.

“Tapi, Ra … aku denger katanya bos barunya tuh ganteng banget. Gaya-nya cool, tapi cuek dan galak gitu,” ucap Dinda penuh semangat.

Arra menatap sahabatnya sambil tersenyum geli. “Yakin? Kamu dapet info dari mana? Kita semua aja belum tahu wajahnya kayak gimana. Jangan buru-buru bikin kesimpulan, Din. Siapa tahu bosnya kayak yang dulu.”

Dinda langsung merinding, membayangkan bos lama mereka yang berkepala botak, perut buncit, dan berjenggot tipis. “Ih, jangan dibayangin, Ra! Tapi katanya nih, yang ngambil alih perusahaan kita tuh orang Alendra!” katanya, kini dengan nada antusias.

Sekejap saja, jantung Arra berdetak kencang. Ia menatap Dinda dengan ekspresi kaget, seolah kata itu baru saja menghidupkan kembali sesuatu yang sudah lama ia kubur dalam-dalam.

“Kenapa? Kok liat aku gitu?” tanya Dinda dengan suara kecil, mulai gelisah.

“Kamu bilang siapa tadi?” tanya Arra pelan, hampir berbisik.

“Orang Alendra. Katanya perusahaan keluarga Alendra yang mengakuisisi tempat kita.”

Darah Arra seolah berhenti mengalir. Kepalanya mendadak ringan, dan tubuhnya limbung. Untung Dinda sigap memeganginya sebelum ia jatuh.

“Arra?! Kamu kenapa?” seru Dinda panik, menatap wajah sahabatnya yang tiba-tiba memucat. Bahunya bergetar halus, matanya tampak kosong dan gelisah. “Hey, Arra!”

Arra mencoba menarik napas dalam-dalam, memaksa dirinya tenang. Perlahan, ia melepaskan pegangan Dinda dan berdiri tegak, berusaha menutupi gejolak di dadanya. Ia tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip upaya menyembunyikan gemuruh.

“Aku nggak apa-apa, Din. Cuma agak pusing aja, belum sempat sarapan,” ucapnya pelan, berbohong. Padahal pagi tadi ia sudah sarapan bersama Rafa. Ia hanya berharap nama Alendra yang dimaksud bukan Revan Alendra.

Dinda mengembuskan napas lega. “Kirain kenapa. Oke, nanti habis acara penyambutan bos baru, kita makan bareng di kantin, ya? Biar kamu nggak pingsan.”

“Nggak usah, aku udah minum Energen tadi pagi,” elak Arra sambil tersenyum.

“Energen doang? Nggak cukup, tau! Pokoknya nanti kamu makan dikit, ya. Aku nggak mau dapet laporan kalo karyawan bernama Arra Prameswari tumbang gara-gara kelaparan. No, no, no!” oceh Dinda heboh.

Arra terkekeh kecil. “Iya, iya, Baginda Ratu. Nurut, deh.”

Dinda mendengus pura-pura sebal, tapi senyumnya lembut. Arra menatapnya dengan rasa hangat di dada. Di tengah segala kekhawatiran yang mulai menyusup, ia tahu satu hal pasti, ia masih punya seseorang yang peduli padanya.

Suasana di lobi pagi itu terasa lebih tegang dari biasanya. Semua karyawan berdiri rapi, berbaris dengan penuh wibawa, menanti kedatangan bos baru mereka, pemimpin perusahaan yang baru saja melakukan akuisisi besar. Arra berdiri di samping Dinda, mencoba menenangkan diri meski jantungnya berdetak tak beraturan.

Dari balik dinding kaca, deretan mobil mewah mulai berhenti di depan pintu utama. Salah satunya menarik perhatian Arra. Pintu mobil itu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok seseorang yang melangkah keluar dengan tenang.

Arra menunduk sopan, menahan napas. Ia tak berani menatap siapa pun. Langkah sepatu kulit terdengar menggema di seluruh aula, mantap dan berwibawa. Dari ujung mata, ia bisa melihat sepintas, jas hitam elegan, kemeja putih bersih, jam tangan mahal, dan sepatu mengilap.

Langkah itu berhenti tepat di depannya. Arra bisa merasakan kehadiran pria itu begitu dekat hingga dadanya terasa sesak. Namun tatapan pria itu tetap lurus ke depan, tak menoleh sedikit pun.

Tiba-tiba, sebuah tepukan ringan di bahunya membuat Arra menoleh kaget. “Ra, kamu bisa bantu saya bentar?” Suara Niko, manager keuangan, memecah ketegangan. Arra hampir berteriak karena refleks gugupnya sendiri.

Pria yang berdiri di depan mereka sempat menoleh ke arah suara itu. Pandangannya tertumbuk pada sosok wanita dengan rambut panjang terurai, berdiri membelakangi nya. Ia tak bisa melihat wajahnya jelas, namun bentuk tubuh itu terasa begitu familiar, seolah pernah sangat ia kenal.

“Mari, Pak. Panggung sudah siap untuk penyambutan,” ucap sang asisten di samping pria itu.

Pria itu mengangguk pelan, lalu melangkah naik ke atas panggung kecil yang telah disiapkan.

Sementara itu, Arra menatap Niko dan menjawab dengan sopan, “Baik, Pak Niko. Saya ambil dulu bunganya di luar.”

Ia berpamitan pada Dinda lalu bergegas keluar. Di depan gerbang, tukang ojek online telah datang membawa bucket bunga untuk seremoni penyambutan. Setelah mengucapkan terima kasih, Arra segera kembali menuju aula utama.

Namun langkahnya tiba-tiba melambat.

Dari kejauhan, di atas panggung, ia melihat sosok yang tak asing. Pria itu berdiri tegap dengan jas hitamnya, berbicara penuh wibawa di depan seluruh karyawan. Suaranya, posturnya, bahkan caranya memegang mikrofon, semuanya terasa terlalu familiar.

Jantung Arra seolah berhenti berdetak. Tatapannya membeku pada satu titik, pada wajah pria itu. Wajah yang sudah lima tahun tak pernah ia lihat, namun tak pernah benar-benar bisa ia lupakan. Revan Alendra. Nama itu bergema di kepalanya. Dunia seakan berhenti berputar.

“Arra! Kemari, bawa bucket bunganya ke sini,” panggil Niko melalui mikrofon.

Revan menoleh ke arah suara itu dan pandangannya langsung jatuh pada sosok wanita yang kini berdiri di tengah ruangan. Ia terpaku. Tubuhnya menegang. Matanya tak berkedip.

“Arra?” panggil Niko lagi.

Arra tersadar dari lamunannya. Ia buru-buru menghapus air mata yang tanpa sadar sudah mengalir di pipi, menarik napas panjang, lalu melangkah perlahan menuju panggung. Setiap langkah terasa berat, seolah membawanya kembali ke masa lalu yang selama ini ia hindari.

Kini, ia berdiri tepat di depan Revan. Untuk sesaat, waktu seperti berhenti.

“Selamat datang di perusahaan kami, Pak,” ucap Arra pelan namun tegas, mencoba bersikap profesional. Ia menyerahkan bucket bunga dengan senyum sopan, senyum yang bergetar halus di ujung bibirnya.

Revan tidak langsung menyambut. Tatapannya menelusuri wajah Arra, wajah yang sama, hanya kini tampak lebih dewasa, lebih lelah, dan lebih kuat. Lalu, dengan gerakan pelan, ia mengambil bunga itu.

“Terima kasih,” ucapnya datar. Suaranya dalam, tenang, namun menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Bagi Arra, mendengar suara itu lagi adalah tamparan perasaan. Lima tahun berlalu, dan nada suaranya masih sama, tegas, menenangkan, dan menyakitkan di waktu bersamaan.

“Saya izin pamit,” ucap Arra cepat, menunduk sopan sebelum turun dari panggung. Ia kembali ke sisi Dinda yang sudah menunggunya dengan mata berbinar.

“Sumpah, Ra! Gimana rasanya?” tanya Dinda bersemangat.

“Rasa apaan, sih! Udah, diam, fokus,” elak Arra cepat, mencoba menahan gejolak dalam dirinya.

“Rasanya ngomong sama Pak CEO gimana? Deg-degan, kan? Ganteng banget, kan? Wangi banget pasti! Parfumnya kayaknya mahal banget tuh, Ra!”

Arra hanya tersenyum kecil, pandangannya kembali terarah pada panggung. Revan tengah berbicara dengan nada tegas, menjelaskan beberapa kebijakan baru perusahaan. Namun bagi Arra, semua suara lain seolah hilang.

Yang tersisa hanyalah aroma parfum yang sama, aroma yang dulu selalu melekat pada Revan, aroma yang kini kembali menembus waktu dan ruang.

“Kamu mau beli parfum yang mana?”

“Yang ini, wangi banget. Aku suka.”

“Yaudah, kita beli yang sama, ya.”

“Tapi mahal, Van. Cukup beli satu aja, nanti aku minta kamu.”

“Buat kamu, nggak ada kata mahal.”

Kenangan itu menghantamnya tanpa ampun. Arra menunduk pelan, berusaha menelan rasa perih yang tiba-tiba datang menyerbu. Wangi itu masih sama. Suara itu masih sama. Hanya jarak di antara mereka yang kini berbeda.

“Maafkan aku, Revan …,” bisiknya nyaris tak terdengar. “Semua ini demi kebaikan kamu.”

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Anak dari Sang CEO   Bab 6. Di Ambang Amarah Revan

    Suasana di dalam sedan hitam milik Niko terasa hening, meski suara mesin yang lembut berusaha menembus kemacetan Jakarta siang itu. Di kursi penumpang depan, Arra duduk dengan gelisah. Jemarinya saling meremas di atas pangkuan, sementara pandangannya beberapa kali terarah ke kaca spion tengah, memastikan putra kecilnya baik-baik saja di kursi belakang.Rafa tampak tenang, meski plester menempel di sudut bibirnya. Ia memeluk tas sekolahnya erat-erat, memandangi jalanan dengan tatapan polos yang justru membuat hati Arra semakin perih.“Kamu tenang saja, Ra. Pak Revan memang tegas, tapi dia pasti mengerti ini keadaan darurat,” ucap Niko akhirnya, memecah keheningan. Nadanya lembut, meski matanya tetap fokus ke jalan.Arra tersenyum tipis—tipis sekali. “Aku harap begitu, Kak. Tadi Dinda bilang Pak Revan marah karena kita pergi begitu saja tanpa izin. Aku cuma takut Kak Niko jadi kena imbasnya cuma gara-gara nganterin aku ke sekolah Rafa.”“Sudahlah, jangan pikirkan aku. Yang penting Rafa

  • Anak dari Sang CEO   Bab 5. Luka

    "Maaf, Mami .... Rafa udah bikin Mami sedih." Suara kecil itu terdengar bergetar. Mata Rafa berkaca-kaca, seolah menahan tangis yang siap pecah kapan saja. Ia merasa bersalah karena telah membuat Maminya khawatir, bahkan sampai meninggalkan pekerjaan hanya demi dirinya. Arra menggeleng pelan, berusaha tersenyum di tengah perih yang mengiris dada. Ia membelai rambut putranya yang acak-acakan, menatap wajah kecil yang kini dipenuhi luka. "Nggak apa-apa, sayang. Udah ya, jangan nangis. Nanti luka kamu makin sakit," ucapnya lembut, meski suaranya bergetar. Hatinya seperti diremas saat melihat pipi Rafa yang membiru dan sudut bibirnya berdarah. "Sekarang Rafa udah tenang?" Arra menatap mata putranya penuh kasih. "Bisa cerita sama Mami, sayang?" Rafa mengangguk pelan, tapi suaranya kecil sekali saat ia mulai bicara. "Tadi Jefri ngatain Mami jelek. Terus dia bilang, Rafa anak yang nggak diinginkan, makanya Papi ninggalin Mami. Mereka juga bilang Rafa nggak punya Papi kayak mereka

  • Anak dari Sang CEO   Bab 4. Mencari tau kebenaran

    Dengan wajah tegang dan amarah yang nyaris meledak, Revan menjatuhkan diri ke kursinya. Dasi yang melilit lehernya terasa mencekik, membuatnya segera mengendurkan simpul itu agar bisa bernapas lebih lega. Ia masih mencoba menenangkan diri setelah kejadian tadi. Kejadian yang membuatnya benar-benar kehilangan kendali. Tanpa pikir panjang, Revan meraih telepon di meja kerjanya. “Kevin! Segera ke ruangan saya,” ucapnya datar, dingin, tanpa nada emosi yang tersisa. Begitu sambungan terputus, Revan menyandarkan tubuhnya di kursi dan memejamkan mata. Ia tidak salah lihat tadi. Foto itu, seorang bocah laki-laki dengan senyum lebar, dan di sampingnya adalah Arra. Pertanyaan demi pertanyaan berputar liar di kepalanya. Apakah Arra sudah menikah dan memiliki anak? Dan tadi, dia menyebut nama bocah itu Rafa? Apakah itu anaknya? Jika benar begitu, berarti ucapan ibunya selama ini, bahwa Arra berselingkuh dan meninggalkannya demi pria lain adalah kenyataan? Tidak. Revan tidak bisa begitu

  • Anak dari Sang CEO   Bab 3. Antara amarah dan rahasia

    Aroma kopi hitam menguar lembut di ruangan itu, tetapi Revan hanya menatap kosong ke arah layar laptop di depannya. Deretan angka dan grafik laporan keuangan yang baru dikirim Niko terpampang jelas di sana, namun pikirannya melayang entah ke mana, jauh dari tumpukan data dan bisnis. Ia bersandar di kursi, menarik napas panjang, lalu menunduk menatap sesuatu di tangannya, selembar foto lama. Pinggirannya mulai kusam, warnanya memudar. Di foto itu, tampak dirinya lima tahun lalu, tersenyum hangat, merangkul seorang gadis berambut panjang yang tersenyum lembut ke arah kamera. Arra. Nama itu bergema di kepalanya, berulang-ulang seperti gema masa lalu yang enggan padam. Lima tahun. Lima tahun ia mencari wanita itu. Lima tahun menghabiskan waktu, tenaga, bahkan uang, menelusuri jejak yang seolah sengaja dihapus. Dan kini, tanpa isyarat apa pun, wanita yang selama ini menghantui pikirannya berdiri di hadapannya seolah tak pernah terjadi apa pun di antara mereka. Revan mengetukkan

  • Anak dari Sang CEO   Bab 2. Pertemuan yang tak terduga

    Pagi itu, Arra melangkah tergesa memasuki gedung kantor. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambutnya, berpadu dengan suasana tegang yang terasa di setiap sudut. Sejumlah karyawan terlihat sudah berbaris rapi di lobi, seolah tengah bersiap menyambut bos baru mereka. Pemilik perusahaan yang baru saja melakukan akuisisi. Dengan langkah cepat, Arra menuju meja kerjanya yang berada di deretan tengah ruangan. Di sana, Dinda, sahabat sekaligus rekan sekantornya, sedang sibuk merapikan make up tipis di depan cermin kecil. Arra spontan teringat bahwa ia sendiri hanya sempat memoles bedak tipis dan mengikat rambutnya dengan gaya kuncir kuda. Ia pun buru-buru mengurai rambutnya, mengoleskan sedikit pelembap di bibir, lalu merapikan kerah blusnya. “Arra, sumpah ya … aku deg-degan banget! Kira-kira bos barunya galak nggak, sih?” keluh Dinda, menghampiri sambil menatap gugup ke arah pintu utama. “Hsst, kamu jangan ngomong gitu, nanti kedengeran,” bisik Arra sambil menahan seny

  • Anak dari Sang CEO   Bab 1. Rindu yang tak pernah padam

    Hujan kembali turun malam itu. Rintiknya menari di atas genting, menciptakan irama lembut yang bagi sebagian orang terdengar menenangkan, namun tidak bagi Arra. Bagi wanita itu, hujan selalu menjadi pengingat tentang sesuatu yang ingin ia lupakan dan tentang seseorang yang tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan. Dari balik jendela kecil rumah kontrakan sederhananya, Arra memandangi jalanan yang basah. Cahaya lampu jalan berpendar lembut, memantul di permukaan genangan air yang menutup tanah. Aroma tanah basah berpadu dengan wangi kayu lembap, memenuhi ruangan mungil berukuran tiga kali empat meter itu. “Mami, mobil-mobilannya tenggelam!” Suara kecil itu memecah lamunannya. Arra menoleh. Di ruang tengah, seorang bocah laki-laki berusia lima tahun tengah berjongkok, menatap serius ke arah ember berisi beberapa mobil mainan yang terapung di dalamnya. Wajahnya bulat, kulitnya cerah, dan sepasang mata tajam itu begitu mirip dengan milik seseorang yang dulu pernah ia cintai sepenuh ha

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status