MasukPagi itu, sisa-sisa badai hujan semalam seolah telah tersapu bersih dari langit Jakarta, berganti matahari yang bersinar terik. Namun, di dalam hati Arra, badai itu masih menyisakan genangan yang dalam.Peristiwa di dalam mobil Revan kemarin terus berputar di kepalanya, seperti rekaman film yang terjebak di satu adegan. Bagaimana Revan menggendong Rafa menembus hujan demi memastikan putranya aman. Dan kata-kata pria itu sebelum pergi…“Mulai sekarang, kita berhenti main petak umpet. Aku bakal memperjuangkan kamu dan Rafa. Kali ini nggak ada yang bisa menghalangiku. Termasuk orang tuaku. Termasuk kamu sendiri.”Arra menghela napas panjang sambil mengaduk teh manis yang telah dingin di atas meja makan. Pandangannya beralih pada Rafa, yang sibuk mengenakan sepatu sekolahnya sendiri. Anak itu tampak begitu bersemangat—bertolak belakang dengan hatinya yang sedang diliputi kegundahan.Arra tak benar-benar berharap Revan akan menepati ucapannya untuk men
Tubuh Arra menegang seketika. Matanya membelalak saat menatap Revan.“Surat?”“Iya. Surat yang disembunyikan Mommy. Aku baru menemukannya kemarin,” jelas Revan dengan suara parau. “Kamu bodoh, Ra. Kenapa kamu nggak dengerin pembicaraanku sama orang tuaku sampai selesai? Kenapa kamu nggak percaya kalau aku bakal membela kamu mati-matian dan menolak perjodohan itu?”Dada Arra terasa sesak mendengar pengakuan itu. Ia tak pernah menyangka bahwa malam itu Revan benar-benar membelanya—menolak perjodohan dengan rekan bisnis Daddy Revan.Saat itu Arra hanya mendengar sepenggal percakapan: perintah Daddy Revan agar Revan menerima perjodohan, serta makian Mommy Revan yang diarahkan kepadanya. Ia tak pernah tahu kelanjutannya.Air mata Arra jatuh begitu saja. Pertahanan yang ia bangun sepanjang hari runtuh seketika oleh pengakuan Revan. Sungguh ingin ia mengatakan bahwa alasan kepergiannya bukan hanya soal itu. Masih ada hal lain—hal yang jauh lebih
Arra menggeleng cepat. “Nggak usah, Pak. Kami nunggu taksi saja.”“Kamu mau nunggu sampai tengah malam?” balas Revan. Suaranya sedikit meninggi agar terdengar di tengah hujan. “Lihat anak kamu. Dia kedinginan dan ketakutan. Jangan keras kepala.”“Om Revan!” panggil Rafa sambil melambaikan tangan mungilnya. Tangannya sedikit bergetar karena dingin.Arra tersentak. Rafa mengenali Revan. Sejak kapan? Apakah mereka sudah bertemu sebelumnya? Kalau iya, kapan? Jangan-jangan sebelum jam istirahat. Tapi kenapa Rafa tak pernah menceritakannya?“Tolong bujuk mami kamu, Boy,” teriak Revan agar suaranya menembus derasnya hujan.“Pulang sama Om. Kalau terus begini, kalian bisa kehujanan dan sakit. Om nggak mau itu.”Revan memberi isyarat pada Kevin. Tanpa ragu, Kevin segera menyerahkan payung. Revan membuka pintu mobil, lalu membentangkan payung itu dan menghampiri Arra yang masih terdiam. Jelas masih syok karena putranya mengenali Revan begi
Arra melirik arloji di pergelangan tangannya, jarumnya sudah menunjuk pukul dua belas siang, tanda jam istirahat akhirnya tiba. Ia sedikit meregangkan tubuh yang terasa pegal, meski baru beberapa jam bekerja. Bukan tanpa alasan, sejak pagi Arra mengerjakan dua pekerjaan sekaligus.Pertama, tugas rutinnya seperti biasa. Kedua, pekerjaan tambahan dari Revan, mengarsipkan data proyek yang tergolong rahasia, Proyek Green Valley, yang berjalan dua tahun lalu.Baru saat itu Arra tersadar bahwa ia bahkan membawa laptop Revan. Mau tak mau, ia mengerjakan arsip tersebut bersamaan dengan pekerjaannya sendiri. Pandangannya kemudian beralih pada Dinda yang sedang bersiap-siap dan merapikan diri.“Ke mana? Nggak jadi ikut aku makan siang bareng Rafa?” tanya Arra penasaran.“Enak aja. Ikut, lah,” jawab Dinda santai. “Aku mau ke kantin dulu beli makanan. Soalnya nggak bawa bekal hari ini. Tungguin, ya. Please!” Dinda memasang wajah memelas seperti anak kecil yan
Rafa memiringkan kepalanya sedikit, menatap Revan dengan rasa penasaran.“Halo, Om. Om siapa? Temannya Mami, ya?”Revan terkekeh pelan. “Bisa dibilang begitu. Nama Om Revan. Kalau kamu?”“Rafa,” jawabnya mantap sambil mengulurkan tangan kecilnya yang sedikit kotor oleh debu lantai.Revan menyambut uluran tangan mungil itu. Telapak tangan Rafa terasa begitu kecil dan rapuh dalam genggaman tangannya yang besar. Saat kulit mereka bersentuhan, ada getaran aneh yang menjalar hingga ke lengannya, sebuah ikatan darah yang tak kasatmata, seolah saling mengenali.“Rafa lagi nunggu Mami?” tanya Revan ringan, enggan segera melepaskan tangan kecil itu.“Iya,” keluh Rafa sambil mengerucutkan bibir. “Mami kerjanya lama banget. Padahal Rafa udah laper. Paman Ujang cuma punya kopi, Rafa kan nggak boleh minum kopi. Akhirnya Rafa dibeliin es krim sama Paman Ujang. Padahal tadi Mami nyuruh Rafa sekolah aja. Sekarang malah bosen. Kalau di sekolah ka
Revan terdiam. Tatapannya tertuju pada Arra yang napasnya masih memburu. Meninggal? Ia tahu itu kebohongan. Ayah Rafa masih hidup, berdiri tegak tepat di hadapan Arra saat ini. Namun mendengar Arra menyebut sosok “ayah” Rafa telah tiada, tepat di depan dirinya, membuat dada Revan terasa sesak luar biasa.“Oke,” ucap Revan akhirnya. Ia mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah, lalu mundur selangkah, memberi ruang bagi Arra. “Maaf kalau saya lancang. Saya tidak bermaksud mengungkit masa lalu.”Arra mengangguk cepat. “Permisi, Pak.”Tanpa menunggu jawaban, Arra berbalik dan tanpa sadar membawa laptop milik Revan. Ia setengah berlari keluar dari ruangan itu. Kakinya terasa lemas, seolah ia baru saja lolos dari terkaman seekor singa.Setelah Arra pergi, Revan kembali duduk di sofa yang tadi ditempati wanita itu. Tangannya menyentuh bantalan yang masih menyisakan kehangatan tubuh Arra. Pandangannya kemudian tertuju pada sesuatu di bawah meja ka







