Share

02

last update Last Updated: 2025-10-15 10:55:02

Suara mesin mobil berhenti di depan rumah, menandakan kedatangan seseorang yang ditunggu.

Arumi, yang baru saja selesai menata hidangan di meja makan, segera berlari kecil menuju pintu.

Hatinya berdebar, bukan karena rindu, melainkan karena beban yang masih menekan pikirannya, ucapan sang mertua siang tadi masih terngiang di telinganya.

Begitu pintu terbuka, suara yang hangat menyambutnya.

“Assalamualaikum,” ucap Raka dengan senyum lelah di wajahnya.

“Waalaikumsalam,” jawab Arumi sambil menunduk mencium punggung tangan suaminya, seperti kebiasaannya setiap kali Raka pulang.

“Capek, Mas?” tanyanya lembut.

Raka tersenyum kecil, menatap wajah istrinya yang tampak teduh.

“Iya, rapat hari ini benar-benar padat. Tapi begitu lihat wajah cantik istri Mas, capeknya langsung hilang,” ucapnya menggoda.

Arumi tersenyum geli, mencoba menutupi kekalutan dalam dadanya.

“Mas pasti lapar, kan? Aku sudah masak makanan kesukaan Mas,” katanya sambil menunjuk meja makan.

“Tunggu sebentar, Sayang. Mas mandi dulu, ya? Badan Mas gerah banget,” ucap Raka sambil berjalan menuju kamar.

Arumi hanya mengangguk, menatap punggung suaminya hingga menghilang di balik pintu.

Di saat-saat seperti ini, beban yang selama ini ia pikul seakan lenyap sejenak.

Raka, suaminya yang penyayang itu, tak pernah menyinggung soal anak. Tidak sekalipun.

Namun, ucapan mertuanya tadi siang mengguncang perasaannya.

Ia tahu Raka pun pasti memendam keinginan yang sama. memiliki buah hati. Ia hanya terlalu mencintainya hingga tak sanggup mengutarakan itu.

Arumi menarik napas panjang. Ia duduk di kursi meja makan, menunggu suaminya bergabung untuk makan malam.

Hening menemani mereka saat makan. Hanya suara dentingan sendok yang memecah kesunyian.

Raka sempat melirik Arumi beberapa kali, wajah istrinya tampak berbeda malam itu, lebih pucat, dan senyumnya tidak setulus biasanya.

“Ada apa, Sayang?” tanya Raka lembut.

“Kau seperti sedang memikirkan sesuatu.”

Arumi menatap suaminya sesaat lalu tersenyum kecil.

“Tidak, Mas. Aku hanya lelah sedikit,” jawabnya pelan, mencoba terdengar meyakinkan.

Raka mengangguk tanpa menekan. Ia tahu, ada sesuatu yang disembunyikan istrinya, tapi memilih diam.

...

Malam itu, kamar mereka diterangi cahaya temaram dari lampu tidur.

Raka sudah terlelap di sampingnya, sementara Arumi masih terjaga.

Ia menatap wajah tenang suaminya dalam diam, lalu menahan isak yang nyaris pecah.

Air matanya jatuh membasahi bantal di bawah kepalanya.

Wajah itu… wajah yang selalu tersenyum hangat padanya, yang tak pernah menyalahkan, meski ia gagal memberinya keturunan.

Namun Arumi tahu, di balik kesabaran itu, ada kerinduan yang tak pernah terucap.

Kerinduan untuk mendengar tawa kecil seorang anak memanggilnya ayah.”

“Apakah aku harus merelakanmu untuk wanita lain… demi seorang anak?” bisiknya dalam hati.

Pertanyaan itu terasa menyesakkan dada.

“Apakah aku sanggup membiarkan cintaku jatuh ke tangan perempuan lain?”

Arumi menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan isak yang ingin pecah.

“Ya Allah…” bisiknya lirih,

“Kenapa Engkau tak memberiku kesempatan menjadi seorang ibu? Apakah doaku terlalu besar untuk Kau kabulkan?”

Ia perlahan bangkit dari ranjang, melangkah pelan ke kamar mandi agar tak membangunkan suaminya.

Air wudhu yang dingin menyentuh wajahnya, membawa sedikit ketenangan

Dalam sujud panjang di sepertiga malam, ia memohon petunjuk. Air matanya membasahi sajadah, menumpahkan seluruh beban yang menyesakkan dada. Antara cinta dan keikhlasan, ia tak tahu harus memilih yang mana.

...

Keesokan paginya, udara terasa hangat. Hari itu Raka tidak bekerja, mereka duduk santai di ruang keluarga, menikmati kebersamaan.

Secangkir kopi hangat sudah disiapkan Arumi di hadapan suaminya.

Ia bersandar di dada Raka, sementara mata keduanya tertuju pada layar televisi.

Namun perhatian Arumi bukan pada tayangan itu, melainkan pada degup jantung suaminya yang terasa tenang.

Hingga tiba-tiba, iklan popok bayi muncul, menampilkan bayi mungil yang tertawa riang di pelukan ibunya.

Pandangan Arumi membeku. Ia melirik ke arah Raka. Suaminya terpaku menatap layar, senyum samar muncul di bibirnya tanpa sadar.

Senyum itu begitu tulus tapi justru menghujam perih ke dalam hati Arumi.

“Mas…” panggil Arumi pelan.

“Hmm?” gumam Raka, masih menatap layar. Tangannya mengelus lembut kepala Arumi yang di tutup hijab.

“Mas Raka… menginginkan anak, ya?” suara Arumi bergetar.

Raka menghentikan gerakannya.

“Kenapa kamu tanya begitu?” tanyanya perlahan.

Arumi menghela napas panjang.

“Kita sudah sepuluh tahun menikah, Mas. Sudah ke banyak dokter, berobat ke berbagai tempat… tapi tetap saja aku tidak bisa memberimu keturunan.”

Air matanya mulai mengalir.

“Sayang…” Raka meraih tangannya.

“Aku memang ingin punya anak, tapi aku juga tahu… semua ada waktunya. Kalau Tuhan belum mengizinkan, kita tidak bisa memaksa. Jangan menyalahkan dirimu.”

Arumi menangis semakin dalam.

“Mas, apa kamu benar-benar bahagia denganku?”

Raka tersenyum lembut, menatap matanya dengan penuh kasih.

“Aku mencintaimu, Arumi. Lebih dari apa pun. Denganmu saja aku sudah cukup bahagia, Sayang.”

Arumi menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, sesuatu yang selama ini ia takutkan.

“Mas… boleh aku minta satu hal?” suaranya nyaris berbisik.

“Tentu. Apa pun yang kamu mau,” jawab Raka tanpa ragu.

Arumi menatap matanya dalam-dalam. “Menikahlah dengan perempuan lain, Mas.”

Raka tertegun. Tubuhnya menegang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Apa yang kamu katakan, Arumi?”

Arumi menunduk, air matanya jatuh membasahi pangkuan.

“Mas, aku ingin kau memiliki anak. Aku ingin mendengar ada yang memanggilmu ‘Ayah’. Aku ingin melihatmu bahagia.”

“Tidak!” potong Raka cepat, suaranya tegas. “Aku tidak bisa, Arumi. Hatiku hanya untukmu. Kalau soal anak, kita bisa adopsi. Aku tak perlu menikah lagi untuk itu.”

Arumi menggeleng lemah.

“Tidak, Mas. Aku ingin darahmu mengalir dalam tubuh anak itu, meskipun bukan aku yang melahirkannya. Itu juga akan jadi anakku, meski tidak lahir dari rahimku.”

“Arumi…” Raka menatapnya tajam.

“Apa Ibu yang menyuruhmu?” suaranya meninggi.

Arumi menggeleng, menatap suaminya dengan mata basah.

“Tidak, Mas. Ini keinginanku sendiri. Aku hanya ingin melihatmu bahagia… meskipun itu artinya aku harus belajar mengikhlaskan.”

Kata-kata itu menggantung di udara, dingin dan perih.

Raka terdiam lama, menatap perempuan yang telah menemaninya sepuluh tahun penuh cinta dan pengorbanan.

Dan di antara mereka, senyap menjelma menjadi jurang antara cinta dan pengorbanan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak untuk suamiku    07

    Dua hari telah berlalu sejak kepergian Raka dan Maya untuk berbulan madu.Pagi itu, Arumi duduk di sisi ranjang kamarnya, menatap foto pernikahannya bersama Raka yang diambil sepuluh tahun lalu. Dalam bingkai besar yang terpajang di dinding itu, keduanya tampak tersenyum bahagia. Namun semakin lama ia menatapnya, dada Arumi terasa semakin sesak. Sejak kemarin, Raka tak memberi kabar. Bahkan saat Arumi mencoba menelepon dan mengirim pesan, tak satu pun mendapat balasan.Apa aku sudah mengganggu kebersamaan mereka, hingga Mas Raka tak mau mengangkat teleponku? batin Arumi pilu.Tak ingin terus larut dalam kesedihan, ia bangkit dari duduknya. Setelah mengambil tas selempang kesayangannya, Arumi memutuskan pergi ke suatu tempat, sebuah kafe di tepi pantai yang dulu sering ia datangi bersama Raka.Ia datang ke sana hanya untuk melepas rindunya pada sang suami, yang mungkin kini tengah bermesraan dengan istri mudanya.Arumi duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke laut. Di hadapannya

  • Anak untuk suamiku    06

    Arumi telah selesai membereskan meja makan. Piring-piring kotor pun sudah ia cuci hingga bersih.Di ruang keluarga, orang-orang di rumah itu masih asik bercengkrama. Arumi memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Ia ingin menenangkan pikirannya di sana. Namun, saat tangannya hendak memutar gagang pintu, langkahnya terhenti.Raka yang menyadari hal itu langsung berniat bangkit untuk mengikuti Arumi ke kamar. Tapi gerakannya dihentikan oleh Maya.“Mas mau ke mana?” tanya Maya dengan suara manja.“Mas mau ke kamar Arumi,” jawab Raka singkat.Ratih yang sedari tadi memperhatikan mereka langsung ikut menimpali.“Raka, bukannya kamu masih tergolong pengantin baru dengan Maya? Kamu harus sering-sering bersamanya, biar cepat kasih Ibu cucu,” ucap Ratih sambil tersenyum tipis.“Lagi pula kamu sudah lama menikah dengan Arumi. Ibu rasa kebersamaan kalian sudah cukup. Sekarang giliranmu untuk bersama Maya,” lanjutnya.Arumi yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa terdiam. Hatinya terasa direm

  • Anak untuk suamiku    05

    Siang itu, Arumi keluar dari kamarnya dengan langkah pelan. Udara rumah terasa hangat dan tenang. Ia berniat menuju dapur untuk mengambil segelas air minum.Namun langkahnya terhenti ketika melewati ruang keluarga. Di sana, Maya dan Ratih tampak duduk berdampingan di sofa. Keduanya tampak begitu akrab, tertawa kecil sambil menatap majalah wisata yang terbuka di pangkuan Ratih. Gambar-gambar pantai dan pegunungan terpampang jelas di halaman majalah itu.Arumi hanya melirik sekilas. Ia tidak berniat untuk bergabung, apalagi ikut dalam percakapan mereka. Tapi sebelum ia melangkah lebih jauh, suara lembut memanggilnya dari belakang.“Mbak Arumi!” panggil Maya, nada suaranya riang dan hangat.Arumi menoleh. Maya tersenyum kecil, penuh semangat seperti biasanya.“Sini deh, coba lihat. Kira-kira tempat wisata mana yang bagus buat bulan madu?” ucap Maya antusias.Deg.Langkah Arumi seketika terhenti. Hatinya mencelos. Bulan madu?Jadi, Raka dan Maya akan berbulan madu?Sekelebat rasa nyeri me

  • Anak untuk suamiku    04

    Malam kian larut, tapi Arumi masih saja terjaga. Matanya menatap kosong langit-langit kamar yang kini terasa begitu sunyi.Ranjang besar yang dulu menjadi saksi kehangatan dirinya dan Raka, kini terasa dingin dan kosong. Tak ada lagi tangan hangat yang memeluknya, tak ada lagi suara lembut yang memanggil namanya sebelum tidur. Sebab malam ini, Raka tak lagi di sisinya.Suaminya kini tengah berada di kamar atas, bersama istri barunya.Awalnya Arumi menolak tinggal satu atap dengan perempuan itu.Ia tahu, hatinya tak sekuat yang orang kira. Ia takut setiap tatapan, setiap langkah kaki, akan menjadi pisau yang menggores dan menumpuk luka di hatinya. Tapi Ratih, mertuanya, memaksanya dengan kalimat yang terus terngiang di kepalanya.“Kalau kau benar mencintai Raka, kau harus belajar hidup rukun dengan adik madumu. Ingat! Semua ini karena kau tidak bisa memberikan Raka keturunan.”Ucapan itu terdengar seperti kutukan yang tidak bisa Arumi hindari. Dan Arumi, dengan hati yang remuk, akhirny

  • Anak untuk suamiku    03

    Hari itu akhirnya tiba.Hari di mana Arumi harus menyaksikan sendiri suaminya duduk bersanding dengan wanita lain, pernikahan yang ia izinkan sendiri, atas restu sang mertua, meski hatinya remuk.Arumi tampak anggun dalam balutan gamis putih bersih, hijab senada membingkai wajah lembutnya. Senyum terukir di bibirnya, senyum yang ia paksakan sekuat tenaga. Ia tahu, satu getaran saja dari suaranya, satu air mata yang jatuh, bisa membuat Raka goyah. Dan itu bukan yang ia inginkan.“Arumi...” suara berat itu memecah kesunyian.Raka berdiri di ambang pintu, tampan dalam balutan kemeja putih dan jas abu lembut. Tatapannya sendu, seolah sedang menahan badai di dadanya.Arumi menoleh, tersenyum kecil. Ia melangkah mendekat dan dengan tangan yang bergetar halus merapikan kerah kemeja suaminya.“Kamu sudah siap, Mas?”Raka memegang tangan istrinya, genggamannya terasa ragu.“Kamu yakin ingin ini, Sayang? Ini kesempatan terakhir. Aku bisa batalkan semua kalau kamu mau.”Arumi tersenyum, meski di

  • Anak untuk suamiku    02

    Suara mesin mobil berhenti di depan rumah, menandakan kedatangan seseorang yang ditunggu.Arumi, yang baru saja selesai menata hidangan di meja makan, segera berlari kecil menuju pintu.Hatinya berdebar, bukan karena rindu, melainkan karena beban yang masih menekan pikirannya, ucapan sang mertua siang tadi masih terngiang di telinganya.Begitu pintu terbuka, suara yang hangat menyambutnya.“Assalamualaikum,” ucap Raka dengan senyum lelah di wajahnya.“Waalaikumsalam,” jawab Arumi sambil menunduk mencium punggung tangan suaminya, seperti kebiasaannya setiap kali Raka pulang.“Capek, Mas?” tanyanya lembut.Raka tersenyum kecil, menatap wajah istrinya yang tampak teduh.“Iya, rapat hari ini benar-benar padat. Tapi begitu lihat wajah cantik istri Mas, capeknya langsung hilang,” ucapnya menggoda.Arumi tersenyum geli, mencoba menutupi kekalutan dalam dadanya.“Mas pasti lapar, kan? Aku sudah masak makanan kesukaan Mas,” katanya sambil menunjuk meja makan.“Tunggu sebentar, Sayang. Mas mand

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status