Share

03

last update Last Updated: 2025-10-15 14:05:10

Hari itu akhirnya tiba.

Hari di mana Arumi harus menyaksikan sendiri suaminya duduk bersanding dengan wanita lain, pernikahan yang ia izinkan sendiri, atas restu sang mertua, meski hatinya remuk.

Arumi tampak anggun dalam balutan gamis putih bersih, hijab senada membingkai wajah lembutnya. Senyum terukir di bibirnya, senyum yang ia paksakan sekuat tenaga. Ia tahu, satu getaran saja dari suaranya, satu air mata yang jatuh, bisa membuat Raka goyah. Dan itu bukan yang ia inginkan.

“Arumi...” suara berat itu memecah kesunyian.

Raka berdiri di ambang pintu, tampan dalam balutan kemeja putih dan jas abu lembut. Tatapannya sendu, seolah sedang menahan badai di dadanya.

Arumi menoleh, tersenyum kecil. Ia melangkah mendekat dan dengan tangan yang bergetar halus merapikan kerah kemeja suaminya.

“Kamu sudah siap, Mas?”

Raka memegang tangan istrinya, genggamannya terasa ragu.

“Kamu yakin ingin ini, Sayang? Ini kesempatan terakhir. Aku bisa batalkan semua kalau kamu mau.”

Arumi tersenyum, meski di balik senyum itu dadanya terasa sesak.

“Aku yakin, Mas,” jawabnya pelan namun mantap.

“Semua ini demi kebahagiaan kita berdua.”

Ia menunduk sedikit agar suaminya tak melihat matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Ya Allah, kuatkan aku... jangan biarkan aku menangis di hadapannya."

Pernikahan itu digelar sederhana di ballroom hotel berbintang lima. Ruangan dihiasi mawar putih dan lampu kristal yang menggantung anggun di langit-langit. Pelaminan megah berdiri di tengah, menjadi saksi dari cinta yang kini harus dibagi dua.

Raka duduk di hadapan penghulu. Di sampingnya, seorang wanita muda dengan kebaya putih tampak menunduk anggun, Maya Puspitasari, gadis 25 tahun, tujuh tahun lebih muda darinya, wanita pilihan Ratih, ibu Raka. Maya adalah anak teman lama sang mertua, muda, cantik, dan lembut. Sosok yang dianggap “layak” untuk memberi cucu pada keluarga Maulana.

Arumi duduk tak jauh dari sana. Di sisinya, sang mertua menggenggam tangannya erat.

“Kuatkan dirimu, Arumi. Semua ini demi kebaikan Raka,” ucap Ratih lirih.

Arumi hanya mengangguk, menahan perih di dadanya yang makin menjadi-jadi. Kata-kata yang dimaksudkan untuk menguatkan justru terasa seperti sembilu yang menusuk lebih dalam.

Acara berlangsung khidmat, tanpa banyak tamu. Hanya keluarga dan beberapa rekan kerja Raka yang hadir, termasuk Erman Javier, CEO muda perusahaan tempat Raka bekerja sebagai manajer. Ratih memang menginginkan acara ini disaksikan orang-orang penting. Ia tak mau putranya dicap berselingkuh bila pernikahan kedua ini dilakukan diam-diam.

Ketika penghulu mulai membaca ijab kabul, dunia Arumi seperti berhenti berputar.

Ia menatap kosong ke arah Raka, yang kini menggenggam tangan penghulu dengan wajah tegang.

“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Raka Maulana bin Harun, dengan Maya Puspitasari binti Raharjo, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan logam mulia sepuluh gram dibayar tunai.”

Raka menarik napas panjang.

“Saya terima nikah dan kawinnya Maya Puspitasari binti Raharjo dengan mas kawin tersebut, tunai.”

Kalimat itu meluncur dari bibir Raka dengan satu tarikan napas, mantap, tanpa jeda.

“Sah,” ujar para saksi serentak.

Tepuk tangan menggema. Musik lembut mengiringi kebahagiaan yang tidak ia rasakan sedikit pun.

Air mata Arumi menetes tanpa izin. Ia tunduk cepat, menyembunyikan wajahnya di balik hijab, namun getaran bahunya tak bisa disembunyikan.

"Selesai sudah… kini aku tak lagi menjadi satu-satunya di hatinya."

Raka dan Maya kini resmi menjadi sepasang suami istri. Mereka duduk di pelaminan menerima ucapan selamat dari para tamu undangan. Raka tampak berusaha tersenyum, tapi matanya terus mencari sosok Arumi di antara kerumunan.

Sementara itu, udara di dalam ballroom terasa sesak bagi Arumi. Ia sulit bernapas. Padahal udara di ruangan itu dingin karena pendingin udara menyala di setiap sudut.

Tanpa bicara pada siapa pun, ia berdiri dan melangkah keluar, mencari udara segar dan ketenangan yang tak bisa ia temukan di dalam sana.

Udara malam menyambutnya di taman belakang hotel. Lampu taman berkelip lembut, sementara suara musik dari dalam terdengar samar. Arumi duduk di bangku kayu, menatap kosong ke arah kolam kecil.

Air matanya jatuh, satu per satu, membasahi gamis putih yang ia kenakan. Dalam hati ingin rasanya ia berteriak.

"Aku tidak ingin ini… aku tidak ingin membagi cintanya pada siapapun... Memang apa salahnya menjadi egois."

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya pecah dalam diam.

“Untuk apa kau menyetujui pernikahan ini kalau ternyata kau terluka karenanya?”

Suara berat seorang pria tiba-tiba memecah keheningan.

Arumi tersentak. Ia buru-buru menyeka air matanya, lalu menoleh ke arah sumber suara.

Di sana berdiri Erman, pria berwajah tegas dengan jas hitam rapi. Sorot matanya tajam namun penuh tanya.

“Maaf,” katanya pelan, sambil melangkah mendekat.

“Aku tak bermaksud mengganggu. Tapi… sejak di dalam, aku melihatmu. Kau tampak begitu… hancur. Aku tak mengerti, mengapa seorang istri rela melihat suaminya menikah lagi?”

Arumi menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang masih berkecamuk.

“Sepertinya, Anda terlalu ingin tahu urusan pribadi bawahan Anda, Tuan Erman,” ujarnya datar, berusaha menahan nada getir dalam suaranya.

Erman menatapnya tanpa bergeming.

“Aku hanya penasaran… karena bukan hal mudah melihat seseorang tersenyum di atas penderitaannya sendiri.”

Arumi menunduk. “Tapi terkadang, penderitaan adalah satu-satunya cara untuk membuat orang yang kita cintai bahagia.”

Kalimat itu meluncur lirih, nyaris seperti bisikan.

Ia menunduk sopan. “Saya permisi.”

Arumi lalu berbalik, melangkah perlahan meninggalkan taman itu.

Erman hanya diam memandangi punggung kecil itu yang perlahan menjauh, langkahnya goyah namun teguh. Ia mengerutkan kening, menatap kosong ke depan.

"Wanita itu... kenapa begitu rumit?" pikirnya.

Ia menjatuhkan tubuhnya ke bangku yang tadi diduduki Arumi, menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya, entah mengapa, wajah perempuan yang merupakan istri bawahan nya itu terbayang di kepalanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak untuk suamiku    07

    Dua hari telah berlalu sejak kepergian Raka dan Maya untuk berbulan madu.Pagi itu, Arumi duduk di sisi ranjang kamarnya, menatap foto pernikahannya bersama Raka yang diambil sepuluh tahun lalu. Dalam bingkai besar yang terpajang di dinding itu, keduanya tampak tersenyum bahagia. Namun semakin lama ia menatapnya, dada Arumi terasa semakin sesak. Sejak kemarin, Raka tak memberi kabar. Bahkan saat Arumi mencoba menelepon dan mengirim pesan, tak satu pun mendapat balasan.Apa aku sudah mengganggu kebersamaan mereka, hingga Mas Raka tak mau mengangkat teleponku? batin Arumi pilu.Tak ingin terus larut dalam kesedihan, ia bangkit dari duduknya. Setelah mengambil tas selempang kesayangannya, Arumi memutuskan pergi ke suatu tempat, sebuah kafe di tepi pantai yang dulu sering ia datangi bersama Raka.Ia datang ke sana hanya untuk melepas rindunya pada sang suami, yang mungkin kini tengah bermesraan dengan istri mudanya.Arumi duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke laut. Di hadapannya

  • Anak untuk suamiku    06

    Arumi telah selesai membereskan meja makan. Piring-piring kotor pun sudah ia cuci hingga bersih.Di ruang keluarga, orang-orang di rumah itu masih asik bercengkrama. Arumi memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Ia ingin menenangkan pikirannya di sana. Namun, saat tangannya hendak memutar gagang pintu, langkahnya terhenti.Raka yang menyadari hal itu langsung berniat bangkit untuk mengikuti Arumi ke kamar. Tapi gerakannya dihentikan oleh Maya.“Mas mau ke mana?” tanya Maya dengan suara manja.“Mas mau ke kamar Arumi,” jawab Raka singkat.Ratih yang sedari tadi memperhatikan mereka langsung ikut menimpali.“Raka, bukannya kamu masih tergolong pengantin baru dengan Maya? Kamu harus sering-sering bersamanya, biar cepat kasih Ibu cucu,” ucap Ratih sambil tersenyum tipis.“Lagi pula kamu sudah lama menikah dengan Arumi. Ibu rasa kebersamaan kalian sudah cukup. Sekarang giliranmu untuk bersama Maya,” lanjutnya.Arumi yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa terdiam. Hatinya terasa direm

  • Anak untuk suamiku    05

    Siang itu, Arumi keluar dari kamarnya dengan langkah pelan. Udara rumah terasa hangat dan tenang. Ia berniat menuju dapur untuk mengambil segelas air minum.Namun langkahnya terhenti ketika melewati ruang keluarga. Di sana, Maya dan Ratih tampak duduk berdampingan di sofa. Keduanya tampak begitu akrab, tertawa kecil sambil menatap majalah wisata yang terbuka di pangkuan Ratih. Gambar-gambar pantai dan pegunungan terpampang jelas di halaman majalah itu.Arumi hanya melirik sekilas. Ia tidak berniat untuk bergabung, apalagi ikut dalam percakapan mereka. Tapi sebelum ia melangkah lebih jauh, suara lembut memanggilnya dari belakang.“Mbak Arumi!” panggil Maya, nada suaranya riang dan hangat.Arumi menoleh. Maya tersenyum kecil, penuh semangat seperti biasanya.“Sini deh, coba lihat. Kira-kira tempat wisata mana yang bagus buat bulan madu?” ucap Maya antusias.Deg.Langkah Arumi seketika terhenti. Hatinya mencelos. Bulan madu?Jadi, Raka dan Maya akan berbulan madu?Sekelebat rasa nyeri me

  • Anak untuk suamiku    04

    Malam kian larut, tapi Arumi masih saja terjaga. Matanya menatap kosong langit-langit kamar yang kini terasa begitu sunyi.Ranjang besar yang dulu menjadi saksi kehangatan dirinya dan Raka, kini terasa dingin dan kosong. Tak ada lagi tangan hangat yang memeluknya, tak ada lagi suara lembut yang memanggil namanya sebelum tidur. Sebab malam ini, Raka tak lagi di sisinya.Suaminya kini tengah berada di kamar atas, bersama istri barunya.Awalnya Arumi menolak tinggal satu atap dengan perempuan itu.Ia tahu, hatinya tak sekuat yang orang kira. Ia takut setiap tatapan, setiap langkah kaki, akan menjadi pisau yang menggores dan menumpuk luka di hatinya. Tapi Ratih, mertuanya, memaksanya dengan kalimat yang terus terngiang di kepalanya.“Kalau kau benar mencintai Raka, kau harus belajar hidup rukun dengan adik madumu. Ingat! Semua ini karena kau tidak bisa memberikan Raka keturunan.”Ucapan itu terdengar seperti kutukan yang tidak bisa Arumi hindari. Dan Arumi, dengan hati yang remuk, akhirny

  • Anak untuk suamiku    03

    Hari itu akhirnya tiba.Hari di mana Arumi harus menyaksikan sendiri suaminya duduk bersanding dengan wanita lain, pernikahan yang ia izinkan sendiri, atas restu sang mertua, meski hatinya remuk.Arumi tampak anggun dalam balutan gamis putih bersih, hijab senada membingkai wajah lembutnya. Senyum terukir di bibirnya, senyum yang ia paksakan sekuat tenaga. Ia tahu, satu getaran saja dari suaranya, satu air mata yang jatuh, bisa membuat Raka goyah. Dan itu bukan yang ia inginkan.“Arumi...” suara berat itu memecah kesunyian.Raka berdiri di ambang pintu, tampan dalam balutan kemeja putih dan jas abu lembut. Tatapannya sendu, seolah sedang menahan badai di dadanya.Arumi menoleh, tersenyum kecil. Ia melangkah mendekat dan dengan tangan yang bergetar halus merapikan kerah kemeja suaminya.“Kamu sudah siap, Mas?”Raka memegang tangan istrinya, genggamannya terasa ragu.“Kamu yakin ingin ini, Sayang? Ini kesempatan terakhir. Aku bisa batalkan semua kalau kamu mau.”Arumi tersenyum, meski di

  • Anak untuk suamiku    02

    Suara mesin mobil berhenti di depan rumah, menandakan kedatangan seseorang yang ditunggu.Arumi, yang baru saja selesai menata hidangan di meja makan, segera berlari kecil menuju pintu.Hatinya berdebar, bukan karena rindu, melainkan karena beban yang masih menekan pikirannya, ucapan sang mertua siang tadi masih terngiang di telinganya.Begitu pintu terbuka, suara yang hangat menyambutnya.“Assalamualaikum,” ucap Raka dengan senyum lelah di wajahnya.“Waalaikumsalam,” jawab Arumi sambil menunduk mencium punggung tangan suaminya, seperti kebiasaannya setiap kali Raka pulang.“Capek, Mas?” tanyanya lembut.Raka tersenyum kecil, menatap wajah istrinya yang tampak teduh.“Iya, rapat hari ini benar-benar padat. Tapi begitu lihat wajah cantik istri Mas, capeknya langsung hilang,” ucapnya menggoda.Arumi tersenyum geli, mencoba menutupi kekalutan dalam dadanya.“Mas pasti lapar, kan? Aku sudah masak makanan kesukaan Mas,” katanya sambil menunjuk meja makan.“Tunggu sebentar, Sayang. Mas mand

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status