Share

Anak untuk suamiku
Anak untuk suamiku
Author: Bachtiar putri

01

last update Last Updated: 2025-10-14 11:51:27

Suasana sore di kediaman Arumi terasa begitu tenang. Rumah bergaya minimalis modern itu berdiri gagah di deretan perumahan elit, dengan taman kecil yang tertata rapi di halaman depan. Dari dapur, aroma masakan yang menggugah selera mulai tercium, berpadu dengan sinar matahari senja yang menembus jendela kaca.

Arumi tampak sibuk di dapur, menyiapkan makan malam untuk suaminya, Raka, yang sebentar lagi akan pulang dari kantor. Wajah cantiknya dihiasi senyum hangat yang seolah tak pernah pudar, meski di balik itu tersimpan kegelisahan yang jarang ia tunjukkan. Ia menyiapkan makanan dengan penuh cinta, cinta yang selama ini menjadi alasan ia bertahan menghadapi semua tekanan.

Tangannya cekatan membolak-balikkan tumisan di atas wajan, ketika tiba-tiba suara bel pintu terdengar.

Ting-tong...

Arumi spontan mematikan kompor, meletakkan spatula, lalu bergegas menuju pintu utama. Senyum lembut masih menghiasi wajahnya, pikirannya penuh bayangan tentang Raka yang mungkin pulang lebih cepat.

Namun, senyum itu perlahan memudar begitu ia membuka pintu. Yang berdiri di hadapannya bukanlah Raka, melainkan Ratih, ibu mertuanya.

“Ibu…” ucap Arumi pelan, sedikit terkejut melihat kedatangan Ratih yang tak ia duga.

“Raka ada di rumah?” tanya Ratih dengan suara datar, tanpa senyum sedikit pun.

“Mas Raka belum pulang, Bu,” jawab Arumi sopan.

“Baguslah,” balas Ratih cepat.

“Berarti Ibu bisa bicara denganmu tanpa gangguan.”

Tanpa menunggu dipersilakan, Ratih melangkah masuk melewati Arumi yang masih berdiri di ambang pintu. Gerak-geriknya anggun tapi tegas. Kebaya hijau zamrud yang melekat di tubuhnya memancarkan wibawa, sementara sanggul rapi di kepalanya menambah kesan elegan. Lipstik merah menyala di bibirnya semakin menegaskan karakter wanita kuat, dan menekan.

Ratih duduk di sofa ruang tamu, menyilangkan kaki dengan anggun. Tatapannya tajam, menusuk. Arumi menyusul dan duduk di seberangnya, jantungnya mulai berdebar tak nyaman. Ia tahu benar arah pembicaraan ini akan mengarah ke hal yang paling ia takuti, soal keturunan.

Dan benar saja...

“Jadi,” Ratih membuka suara, nada suaranya tenang namun penuh tekanan.

“Bagaimana hasil pemeriksaanmu kemarin?”

Arumi menunduk, jemarinya menggenggam ujung celemek yang masih melekat di tubuhnya.

“Masih sama, Bu… dari beberapa dokter yang kami datangi, semuanya bilang kalau tidak ada yang salah. Semua normal. Mungkin memang belum rezeki kami.”

Ratih mendengus pelan. “Kalau semuanya normal, lalu kenapa sampai sekarang kau belum juga hamil, Arumi? Ibu ini sudah menunggu terlalu lama. Ibu ingin cucu.”

Arumi hanya diam, menahan gejolak di dadanya.

“Kamu tahu,” lanjut Ratih dengan nada menusuk.

“Ibu baru saja dari rumah teman Ibu. Anak perempuannya baru menikah beberapa bulan, dan sekarang sudah hamil. Kamu bisa bayangkan bagaimana perasaan Ibu saat mendengar itu?”

Arumi menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang hampir pecah.

“Tapi, Bu. saya dan Mas Raka sudah berusaha. Kami tidak pernah berhenti berdoa, berobat, mencoba segalanya.”

“Berusaha?” suara Ratih meninggi sedikit. “Kalau benar kalian berusaha, seharusnya sudah ada hasilnya, Arumi! Sepuluh tahun pernikahan, tapi masih kosong juga. Apa kamu tahu berapa lama Ibu menantikan seorang cucu?”

Arumi tertunduk. Kata-kata itu seperti duri yang menusuk jantungnya. Ia juga ingin menjadi seorang ibu. Ia juga ingin mendengar tangisan bayi, melihat senyum kecil yang mirip wajah Raka. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Tuhan belum memberinya kesempatan itu. Selama sepuluh tahun ini, ia telah mencoba segalanya, dari rumah sakit ke rumah sakit, dari pengobatan herbal sampai medis. Semua jalan telah ditempuh, namun hasilnya tetap sama.

“Kamu tahu kan,” lanjut Ratih lagi, suaranya mulai terdengar getir,

“ayah mertuamu sudah lama meninggal. Dan satu-satunya penerus keluarga ini hanyalah Raka. Kalau kamu tak bisa memberinya keturunan, berarti garis keluarga ini akan berhenti di tangan kalian.”

Arumi menatap Ratih, matanya mulai berkaca.

“Apa kamu tidak kasihan pada Raka?” Ratih menatap tajam.

“Memang benar dia selalu membelamu. Katanya cinta kalian lebih berharga dari segalanya. Tapi apakah kamu tahu isi hatinya yang sesungguhnya? Ia ingin anak, Arumi. Ia ingin melihat darah dagingnya sendiri. Tapi karena terlalu mencintaimu, ia menekan semua keinginan itu.”

Air mata Arumi menetes tanpa bisa ditahan. Bahunya bergetar.

“Tapi, Ibu… saya harus bagaimana lagi? usaha apa lagi yang harus saya lakukan?” suaranya parau, hampir tak terdengar.

Ratih menarik napas dalam, lalu mengucapkan kalimat yang membuat waktu seolah berhenti.

“Satu-satunya cara yang bisa kamu lakukan adalah merelakannya.”

Arumi tertegun. Nafasnya tercekat.

“Maksud Ibu…?”

“Biarkan Raka menikah lagi,” ucap Ratih mantap.

“Biarkan dia memiliki keturunan. Ibu tahu ini berat untukmu, tapi Ibu juga tidak bisa membiarkan anak Ibu hidup tanpa seorang penerus.”

Air mata Arumi menetes deras.

“Tidak, Bu. Tolong jangan minta itu. Masih ada cara lain.”

“Cara lain?” Ratih menatapnya dengan dingin. “Sepuluh tahun sudah berlalu, Arumi. Sepuluh tahun! Semua cara sudah kau coba. Tapi mana hasilnya? Mana anak itu? Mana cucu Ibu? Tidak ada!”

Ratih kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan.

“Atau jangan-jangan, kau sebenarnya mandul, hanya saja tidak mau mengakuinya?”

Kata-kata itu seperti belati yang menembus jantung Arumi. Nafasnya tercekat, suaranya hilang. Air matanya mengalir tanpa henti.

“Jangan egois, Arumi,” lanjut Ratih pelan namun tajam.

“Raka juga ingin bahagia. Ia ingin melihat darah dagingnya sendiri tumbuh di depannya.”

Ratih berdiri, merapikan kebayanya.

“Ibu tidak meminta kau menceraikan Raka. Ibu hanya meminta kau mengizinkannya menikah lagi.”

Ia berjalan menuju pintu, meninggalkan Arumi yang masih terisak di sofa.

“Pikirkan itu, Arumi,” katanya dingin.

“Jangan hanya memikirkan dirimu sendiri. Pikirkan juga perasaan suamimu, apakah dia benar-benar bahagia dengan kehidupan tanpa tawa seorang anak?”

Ratih melangkah keluar, menutup pintu perlahan. Suara pintu itu terdengar lembut, tapi bagi Arumi, bunyinya seperti guntur yang menghantam hatinya.

Kesunyian memenuhi ruang tamu. Hanya suara tangisan Arumi yang samar-samar terdengar, lirih namun menyayat hati.

Ia menunduk, memeluk dirinya sendiri. Ia juga ingin anak. Ia juga ingin menjadi seorang ibu. Tapi apa yang bisa ia lakukan, kalau semua sudah ia perjuangkan?

Beberapa saat kemudian, setelah tangisnya mulai reda, Arumi berusaha menenangkan diri. Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan, menatap pantulan dirinya di kaca ruang tamu. Matanya sembab, tapi ia memaksa tersenyum.

Ia tidak ingin Raka melihatnya dalam keadaan seperti ini. Ia harus kuat, harus tampak tegar, meski hatinya hancur.

Dengan langkah perlahan, Arumi kembali ke dapur. Ia menata hidangan yang tadi sempat ia masak ke atas meja makan. Tangannya bergetar halus, tapi ia tetap berusaha tersenyum.

Senyum yang menutupi luka.

Senyum seorang istri... yang baru saja diminta merelakan suaminya untuk wanita lain.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak untuk suamiku    07

    Dua hari telah berlalu sejak kepergian Raka dan Maya untuk berbulan madu.Pagi itu, Arumi duduk di sisi ranjang kamarnya, menatap foto pernikahannya bersama Raka yang diambil sepuluh tahun lalu. Dalam bingkai besar yang terpajang di dinding itu, keduanya tampak tersenyum bahagia. Namun semakin lama ia menatapnya, dada Arumi terasa semakin sesak. Sejak kemarin, Raka tak memberi kabar. Bahkan saat Arumi mencoba menelepon dan mengirim pesan, tak satu pun mendapat balasan.Apa aku sudah mengganggu kebersamaan mereka, hingga Mas Raka tak mau mengangkat teleponku? batin Arumi pilu.Tak ingin terus larut dalam kesedihan, ia bangkit dari duduknya. Setelah mengambil tas selempang kesayangannya, Arumi memutuskan pergi ke suatu tempat, sebuah kafe di tepi pantai yang dulu sering ia datangi bersama Raka.Ia datang ke sana hanya untuk melepas rindunya pada sang suami, yang mungkin kini tengah bermesraan dengan istri mudanya.Arumi duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke laut. Di hadapannya

  • Anak untuk suamiku    06

    Arumi telah selesai membereskan meja makan. Piring-piring kotor pun sudah ia cuci hingga bersih.Di ruang keluarga, orang-orang di rumah itu masih asik bercengkrama. Arumi memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Ia ingin menenangkan pikirannya di sana. Namun, saat tangannya hendak memutar gagang pintu, langkahnya terhenti.Raka yang menyadari hal itu langsung berniat bangkit untuk mengikuti Arumi ke kamar. Tapi gerakannya dihentikan oleh Maya.“Mas mau ke mana?” tanya Maya dengan suara manja.“Mas mau ke kamar Arumi,” jawab Raka singkat.Ratih yang sedari tadi memperhatikan mereka langsung ikut menimpali.“Raka, bukannya kamu masih tergolong pengantin baru dengan Maya? Kamu harus sering-sering bersamanya, biar cepat kasih Ibu cucu,” ucap Ratih sambil tersenyum tipis.“Lagi pula kamu sudah lama menikah dengan Arumi. Ibu rasa kebersamaan kalian sudah cukup. Sekarang giliranmu untuk bersama Maya,” lanjutnya.Arumi yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa terdiam. Hatinya terasa direm

  • Anak untuk suamiku    05

    Siang itu, Arumi keluar dari kamarnya dengan langkah pelan. Udara rumah terasa hangat dan tenang. Ia berniat menuju dapur untuk mengambil segelas air minum.Namun langkahnya terhenti ketika melewati ruang keluarga. Di sana, Maya dan Ratih tampak duduk berdampingan di sofa. Keduanya tampak begitu akrab, tertawa kecil sambil menatap majalah wisata yang terbuka di pangkuan Ratih. Gambar-gambar pantai dan pegunungan terpampang jelas di halaman majalah itu.Arumi hanya melirik sekilas. Ia tidak berniat untuk bergabung, apalagi ikut dalam percakapan mereka. Tapi sebelum ia melangkah lebih jauh, suara lembut memanggilnya dari belakang.“Mbak Arumi!” panggil Maya, nada suaranya riang dan hangat.Arumi menoleh. Maya tersenyum kecil, penuh semangat seperti biasanya.“Sini deh, coba lihat. Kira-kira tempat wisata mana yang bagus buat bulan madu?” ucap Maya antusias.Deg.Langkah Arumi seketika terhenti. Hatinya mencelos. Bulan madu?Jadi, Raka dan Maya akan berbulan madu?Sekelebat rasa nyeri me

  • Anak untuk suamiku    04

    Malam kian larut, tapi Arumi masih saja terjaga. Matanya menatap kosong langit-langit kamar yang kini terasa begitu sunyi.Ranjang besar yang dulu menjadi saksi kehangatan dirinya dan Raka, kini terasa dingin dan kosong. Tak ada lagi tangan hangat yang memeluknya, tak ada lagi suara lembut yang memanggil namanya sebelum tidur. Sebab malam ini, Raka tak lagi di sisinya.Suaminya kini tengah berada di kamar atas, bersama istri barunya.Awalnya Arumi menolak tinggal satu atap dengan perempuan itu.Ia tahu, hatinya tak sekuat yang orang kira. Ia takut setiap tatapan, setiap langkah kaki, akan menjadi pisau yang menggores dan menumpuk luka di hatinya. Tapi Ratih, mertuanya, memaksanya dengan kalimat yang terus terngiang di kepalanya.“Kalau kau benar mencintai Raka, kau harus belajar hidup rukun dengan adik madumu. Ingat! Semua ini karena kau tidak bisa memberikan Raka keturunan.”Ucapan itu terdengar seperti kutukan yang tidak bisa Arumi hindari. Dan Arumi, dengan hati yang remuk, akhirny

  • Anak untuk suamiku    03

    Hari itu akhirnya tiba.Hari di mana Arumi harus menyaksikan sendiri suaminya duduk bersanding dengan wanita lain, pernikahan yang ia izinkan sendiri, atas restu sang mertua, meski hatinya remuk.Arumi tampak anggun dalam balutan gamis putih bersih, hijab senada membingkai wajah lembutnya. Senyum terukir di bibirnya, senyum yang ia paksakan sekuat tenaga. Ia tahu, satu getaran saja dari suaranya, satu air mata yang jatuh, bisa membuat Raka goyah. Dan itu bukan yang ia inginkan.“Arumi...” suara berat itu memecah kesunyian.Raka berdiri di ambang pintu, tampan dalam balutan kemeja putih dan jas abu lembut. Tatapannya sendu, seolah sedang menahan badai di dadanya.Arumi menoleh, tersenyum kecil. Ia melangkah mendekat dan dengan tangan yang bergetar halus merapikan kerah kemeja suaminya.“Kamu sudah siap, Mas?”Raka memegang tangan istrinya, genggamannya terasa ragu.“Kamu yakin ingin ini, Sayang? Ini kesempatan terakhir. Aku bisa batalkan semua kalau kamu mau.”Arumi tersenyum, meski di

  • Anak untuk suamiku    02

    Suara mesin mobil berhenti di depan rumah, menandakan kedatangan seseorang yang ditunggu.Arumi, yang baru saja selesai menata hidangan di meja makan, segera berlari kecil menuju pintu.Hatinya berdebar, bukan karena rindu, melainkan karena beban yang masih menekan pikirannya, ucapan sang mertua siang tadi masih terngiang di telinganya.Begitu pintu terbuka, suara yang hangat menyambutnya.“Assalamualaikum,” ucap Raka dengan senyum lelah di wajahnya.“Waalaikumsalam,” jawab Arumi sambil menunduk mencium punggung tangan suaminya, seperti kebiasaannya setiap kali Raka pulang.“Capek, Mas?” tanyanya lembut.Raka tersenyum kecil, menatap wajah istrinya yang tampak teduh.“Iya, rapat hari ini benar-benar padat. Tapi begitu lihat wajah cantik istri Mas, capeknya langsung hilang,” ucapnya menggoda.Arumi tersenyum geli, mencoba menutupi kekalutan dalam dadanya.“Mas pasti lapar, kan? Aku sudah masak makanan kesukaan Mas,” katanya sambil menunjuk meja makan.“Tunggu sebentar, Sayang. Mas mand

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status