Share

Dimarahin Embah

ANAK YANG KUBENCI 7

Dimarahin Embah

"Ibu pergi dulu, Rita,"

Memakai seragam ngaji, Ibu berpamitan padaku. Hari ini Kamis pasaran Pahing jatahnya Ibu mengaji kampung.

"Iya, hati-hati, Bu,"

Masih jam setengah dua siang. Aku yang tidak terbiasa tidur siang merasa bosan bermain HP melulu.

"Assalamualaikum,"

Kudengar suara Kayla mengucap salam, anak itu baru pulang sekolah rupanya. Kulihat jam lagi di HP, jam dua kurang sepuluh. Aku bergegas keluar kamar. Kayla sedang mengambil minum.

"Heh! Jam segini baru pulang, dari mana?" Tanyaku.

"Dari sekolah," gadis kecil berseragam SD itu menjawab. Satu gelas penuh air putih dia teguk sampai tandas. Wajah Kayla berkeringat seperti habis berolahraga.

"Pasti kamu habis main, anak SD itu pulangnya jam satu. Ini sudah jam dua!" Mataku mendelik. Anak bandel ini pasti habis bermain dan menghabiskan uang saku dari embahnya.

"Beneran pulang sekolah, Mah, kan sekolahnya lumayan jauh, Kayla jalan kaki," jawabnya sembari mengusap keringat di dahinya.

Aku diam saja mendengar jawabannya. Anak ini pandai bersilat lidah sepertinya. Awas kamu, Kayla.

Masih menggendong tas, Kayla berjalan masuk ke kamarnya. Aku ke meja makan untuk melihat menu, soalnya perutku lapar.

Kayla keluar sudah berganti baju. Untuk gadis seusia Kayla, postur anak sialan ini cukup tinggi. Itu faktor keturunan mungkin, sebab aku juga tergolong tinggi untuk ukuran perempuan. Kayla mengambil dua piring dari rak di dapur, kemudian dia ke meja makan. Diberikannya satu piring padaku.

"Ini, piring Mama," katanya.

Kutatap Kayla tajam. "Jangan panggil Mama!" Kataku dengan nada tinggi. Kayla mengangguk.

"Kamu itu ya, Kayla, harusnya tahu diri. Jangan minta sekolah di sekolah favorit, itu bayarnya mahal. Belum tetek bengeknya. Nggak kasihan sama Embah yang udah tua?" Ujarku di sela-sela makan siang dengan Kayla.

"Kayla nggak minta sekolah di sana, Mah ..."

"Diam!"

Uhuk uhuk uhuk

Aku batuk-batuk usai membentak Kayla karena keselek, mulutku penuh makanan. Kayla memberiku segelas air.

"Jangan ngomong kalau lagi makan, Mah," katanya. Aku melihat wajahnya yang menahan senyum. Kurang ajar ni anak, harus diberi pelajaran!

"Berapa uang sakumu sehari?" Tanyaku.

"Lima belas ribu,

"Banyaknya!" Seruku kaget. Dulu aku sekolah SD uang sakunya cuma lima ribu.

"Kayla nggak pernah jajan, semua ditabung di sekolah. Nanti kalau tabungannya dibagi, semuanya untuk Embah,"

Kayla berdiri, membereskan piring dan membawanya ke dapur. Suara air kran gemericik, Kayla mencucinya sekalian.

"Kayla, kenapa kamu biarkan Embah jualan sayur?"

"Embah sendiri yang mau jualan. Kata Embah, tanaman sayurnya berlimpah,"

"Dasar kamu ya, nggak punya rasa empati sedikit pun! Siapa yang menanam semua sayuran itu?" Tanyaku sembari menunjuk arah belakang rumah.

"Embah,"

"Yang ngasih makan lele?"

"Embah,"

"Semuanya Embah? Lhah kamu ngapain?!" Kedua tanganku berkacak pinggang di depan Kayla. Begini nih, anak yang kelahirannya nggak diharapkan, kelakuannya songong. Embahnya disuruh kerja keras, dianya enak-enakan. Bikin emosi aja!

"Kayla ..."

Belum selesai dia bicara, aku menarik kasar lengannya dan kuajak ke kebun sayur di belakang rumah. Kuambil cangkul di belakang rumah dan kuberikan pada Kayla.

"Kau lihat gundukan tanah di sana?" Kutunjuk gundukan tanah di pojok pagar batas tanah milik ibuku. Sebidang tanahnya tidak ditumbuhi sayuran, hanya gundukan saja.

"Cangkul tanah di sana itu sampai gembur, cepat!" Kataku berapi-api. Kayla menatapku heran.

"T_tapi, Mah ..."

"NGGAK ADA TAPI!"

"Itu ..."

Dasar anak bandel, ngeyelan. Kudorong tubuh Kayla hingga terhuyung. Gadis itu lalu membawa cangkul dan mulai mencangkul tanah yang kumaksud. Naik ke posisi lebih tinggi, aku mengawasi Kayla mencangkul.

Anak tidak tahu diri. Udah bagus dirawat, dibesarin. Coba dulu dibuang aja atau di taruh di panti asuhan. Tidak tahu terima kasih malah nyuruh ibuku bekerja.

**

"Kayla!"

Apa sih, Ibu pagi-pagi sudah berteriak memanggil anak sialan, Kayla? Aku menggeliat di kasur. Ini hari sudah Minggu, nanti sore aku akan kembali ke Jakarta.

"Kayla, siapa yang mencangkul tanah di pojok sana?" Tanya Ibu.

Duduk di tepi tempat tidur, aku memasang telinga baik-baik. Ibu pasti mau memuji Kayla, padahal itu yang menyuruh aku.

"Kayla, Mbah,"

Bibirku tersenyum sinis. Ntar aku bilang sama Ibu, kalau aku lah yang menyuruh anak malas itu bekerja.

"Ya, Allah, Kayla! Bukannya kamu tahu, Embah lagi deder bibit ~menyemai benih~ bayam merah di sana?" Suara Ibu kesal.

Apa? Ibu lagi deder? Mati aku! Bola mataku melebar.

"Gimana to, Kayla, malah mbok orat-arit nggak karuan. Rusak semua bibitnya!" Ibu memarahi Kayla. Lebih baik aku di sini saja, nguping.

"Maaf, Mbah, Kayla lupa." suara Kayla pelan. Apa dia mau ngomong sama ibu kalau aku yang menyuruhnya? Deg-degan aku.

"Nanti, biar Kayla deder ulang, Mbah."

"Bibitnya sudah habis, Kayla. Mesti beli lagi, tahu? Macul-macul nggak bilang Embah. Biasanya kamu pinter, to?"

"Biar nanti, aku beliin bibit baru, Bu," kataku sambil berjalan mendekat. Kayla masih tertunduk di depan Ibu. Anak itu menangis dalam diam.

"Heran Ibu sama Kayla, sudah tahu di sana itu tempat deder bibit, eh nggak angin gak ada hujan, di cangkuli." Ibu bercerita padaku. Kayla diam seribu bahasa.

Aku menatap anak yang menundukkan kepalanya itu. Sama sekali Kayla tidak menyebut namaku. Padahal, aku lah yang menyuruhnya mencangkul.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Athaya
Baiknya Kayla ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status