Share

Surat Misterius di Kamar Kia

"Kamu bicara sama siapa, Sayang?" 

Aku menoleh. Mendapati Mas Dion yang berdiri di depan pintu kamar Kia. 

"Tadi aku bicara sama—"

Pandanganku kembali beralih ke luar jendela kamar. Tidak ada siapa pun di sana. 

"Sama siapa?" 

Tidak. Aku menggelengkan kepala. Tadi, jelas-jelas aku melihat Kia. Dia tersenyum padaku. Berdiri di depan jendela kamar. 

Ah, atau ini hanya halusinasiku? 

Aku mengusap wajah, lalu berbalik. Memasang wajah biasa saja, agar Mas Dion tidak khawatir. 

"Kamu udah selesai sarapan, Mas?"

"Belum. Berhenti gara-gara kamu bicara sama orang."

Aku tersenyum tipis. Menutup pintu kamar Kia. Berjalan di belakang Mas Dion. 

Hari ini, pembantuku datang. Membantu untuk tahlilan nanti malam. Sebelumnya, sedang pulang kampung. 

Aku menatap kursi yang biasanya setiap pagi ditempati oleh Kia. Sekarang, kursi itu kosong. 

"Mama." 

Astaghfirullah. Aku terlonjak. Sedikit kaget, ketika melihat Kia sekilas duduk di kursi itu. 

"Kenapa, Via?" 

Aku mengusap wajah, kemudian menggelengkan kepala. "Halusinasi aja tadi, Mas."

Selesai Mas Dion sarapan, dia beranjak. "Aku ke rumah sakit dulu. Jenguk Mama sebentar."

Mas Dion mencium kening Tifa, kemudian berjalan ke ruang tamu. 

"Tifa main di ruang keluarga dulu, ya. Mama mau cuci piring."

Tifa mengangguk. Membawa mainannya ke ruang keluarga. 

Saat membereskan piring Mas Dion, aku terpaku. Ada beberapa tetes darah di sana. 

Padahal, aku hanya memasak ikan. Itu pun sudah bersih. Tidak ada lagi darahnya. Lalu ini apa?

Ponselku berdering. Dari Mama Mas Dion. 

"Assalammualaikum, Ma."

"Waalaikumsalam, Via. Dion mana? Kemarin gak kesini, sekarang juga gak kesini? Dia ngambil cuti beberapa hari, 'kan?" 

Mendengar itu, kakiku mendadak lemas. Benar yang aku pikirkan tadi pagi. Mas Dion tidak ke rumah sakit. Tapi dia kemana?

"Pagi ini berangkat ke rumah sakit katanya, Ma. Tunggu aja. Nanti Via telepon juga buat pastiin Mas Dion ke rumah sakit atau enggak."

"Yaudah, makasih, Via. Maaf, ya. Mama jadi ganggu kamu."

Mama mematikan teleponnya. Aku meletakkan ponsel di atas meja makan, membawa piring ke dapur. 

Biasanya, Kia membantuku mencuci piring. Dia yang selalu membuat suasana berbeda. 

"Arghh!"

Eh? Aku berhenti mencuci piring. Terdengar teriakan tadi. Asalnya dari ruang keluarga. 

Aku menelan ludah, langsung berlari ke ruang keluarga. 

Ya Allah, jangan sampai terjadi apa-apa pada Tifa. 

"Tifa? Tifa gak papa, Nak?" 

Tidak ada yang terjadi pada Tifa. Aku menghela napas lega. Menatap anak keduaku ini. 

Jujur saja, aku ingin meminta bantuan pada saudara untuk menjaga Tifa. Tapi mereka pasti punya banyak alasan. 

Kalau mereka datang, mungkin nanti malam. Saat tahlilan untuk Kia. 

"Gelang, Ma."

Aku menatap barang yang ada di tangan Tifa. Gelang milik Kia!

"Tifa dapat darimana, Sayang?" 

Buru-buru aku menyembunyikan gelang itu. 

"Dari Kakak."

Sudahlah. Tidak ada gunanya bertanya pada Tifa. Dia akan menjawab dari Kakak. Begitu terus. 

"Lain kali, jangan sembarangan, ya, Tifa."

Aku mengecup kening Tifa, berjalan ke kamar Kia. 

Sebenarnya, sejak tadi aku penasaran sekali dengan jendela yang dilempari batu. 

Siapa yang iseng melempari kamar Kia dengan batu?

Setelah meletakkan gelang kesayangan Kia ke dalam laci, kemudian menguncinya, aku kembali menatap jendela itu. 

Terdengar lemparan lagi. Aku buru-buru mendekat. 

Tidak. Ini bukan batu, tapi kertas. 

Aku memungut kertas itu, ada satu kalimat. Ditulis menggunakan spidol merah. Ah, bukan. Ini lebih mirip darah. 

"Kia benci Papa."

***

Bab 4 nya besok pagi, yaa. Sekarang mau diedit dulu. Jangan lupa like dan komen.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status