Share

Lemparan Batu

Penulis: Rahma La
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-14 21:52:41

"Kia yang tenang di sana, ya, Nak. Jangan ganggu siapa-siapa di sini. Mama udah ikhlas, Nak." 

Jantungku berdegup kencang sekali. Napasku tersengal. Sekilas, ada bayangan anak kecil di kamar Kia.

Tanganku memegang erat pintu. Menutup mata dengan satu tangan. Jujur saja, ini menakutkan. 

"Mama? Mama kenapa teriak-teriak?" 

Eh? Aku membuka mata. Mendapati Tifa yang berdiri di hadapanku. Depan kamar Kia. 

Aku mengusap dada. Langsung menggenggam tangan Tifa keluar dari kamar Kia. 

"Tifa ngapain ke kamar Kak Kia, Sayang?" 

Baru saja ditinggal sebentar ke ruang tamu, Tifa malah pergi ke kamar Kia. 

Harusnya, ada saudara yang menemaniku. Sayangnya, semua bilang pada sibuk. Banyak alasan, langsung pulang setelah Kia dimakamkan. 

Mas Dion juga harus menjaga Mamanya yang dirawat di rumah sakit, karena serangan jantung ringan. Mama langsung sakit, ketika mendengar kabar Kia meninggal. 

Jadinya, tidak ada yang membantuku di sini. Menjaga dan mengurus Tifa sendirian. 

"Ayo, Tifa tidur. Udah malam banget, Nak."

Tifa mengangguk. Dia menarik tanganku ke kamar. 

"Ma, lihat, deh."

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Tifa. Ah, tadi aku lupa menutup gorden kamar. 

"Mama lupa nutup gordennya, Sayang. Udah, jangan dilihatin lagi."

Anakku tidak memperbolehkan ketika aku berdiri, hendak menutup gorden. 

"Di sana, ada Kak Kia, Ma. Senyum sama kita. Tapi dia kelihatan kedinginan."

Aku menelan ludah, menutup mata Tifa dengan tangan kanan. "Gak ada siapa-siapa di sana. Tifa tidur."

Hampir setengah jam aku menunggu Tifa tidur. 

Ponselku berdering. Hampir saja ketiduran. Dari Mas Dion. 

"Halo, Sayang. Aku di luar rumah, nih. Kamu udah tidur, ya?"

Buru-buru aku beranjak dari tempat tidur. Berjalan ke ruang tamu. 

"Hampir ketiduran, Mas. Kamu malam banget pulangnya. Kenapa gak bermalam di rumah sakit aja?" 

"Enggaklah. Kasian kamu. Aku udah minta tolong ke suster jagain Mama, kok."

Aku tersenyum menatap Mas Dion yang berdiri di depan pintu. 

Namun, ketika Mas Dion masuk, bau tidak sedap tercium. Aku mengernyit. Menutup hidung. 

"Kamu habis dari rumah sakit atau darimana, Mas? Kok bau busuk?" 

Ekspresi Mas Dion berubah. Dia langsung menciumi bau tubuhnya sendiri. 

"Ah, aku tadi lewat tempat pembuangan limbah. Baunya jadi gini, deh."

Aku menggelengkan kepala. Langsung menutup pintu rumah. 

"Mandi buruan, Mas. Udah aku siapin air panas, tapi gak tau udah dingin atau belum."

Mas Dion mengangguk. Dia berjalan ke kamar. 

Entah kenapa, aku merasa ada yang disembunyikan Mas Dion. Dia terlihat aneh sekali. 

***

"Mas, bangun. Udah pagi."

Aku menggoyangkan tubuh Mas Dion. Tifa sudah bangun, sekalian mandi tadi. Menunggu Papanya untuk sarapan. 

Mas Dion berdeham. Beberapa detik kemudian, bangun. Dia berjalan ke kamar mandi. 

Ponsel Mas Dion berdering. Ada pesan masuk. Namun, aku tidak bisa membuka kata sandinya. 

[Gimana kerjaan tadi malam? Beres?]

Eh? Alisku bertaut melihat pesan itu. 

Bukankah tadi malam Mas Dion bersama Mama di rumah sakit? Lalu, apa maksud pesan ini?

Tanganku gatal sekali ingin melihat pesan yang masuk. Entah siapa pengirimnya. Tetap saja tidak bisa. 

Mas Dion baru satu bulan terakhir ini ganti kata sandi. Selama ponselnya aku lihat sebelum ganti kata sandi, tidak ada yang mencurigakan. 

Maka nya aku diam saja. Namun, pesan ini aneh. Mengandung misteri. 

"Sarapannya udah siap?" 

Aku menoleh. Mas Dion sudah keluar dari kamar mandi. 

"Udah, Mas."

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, aku langsung pergi ke ruang makan. 

"Mas makan sama Tifa dulu, ya. Aku mau bukain jendela kamar Kia dulu."

Mas Dion menganggukkan kepala. Duduk di kursi meja makan. Aku sendiri langsung berjalan ke kamar Kia. 

Kia sudah kelas tiga SMP. Sebentar lagi kelulusan. Sayang sekali, kejadian ini terjadi. 

Aku merapikan tempat tidur, baru mematikan lampu kamar. Membuka gorden dan jendela. 

Terdengar batu di lempar. Aku menelan ludah. Jantungku mulai berdegup kencang. 

Itu bukan halusinasi. Aku mendekati jendela yang sudah dibuka sejak awal. Ada batu krikil di lantai. 

Siapa yang melempar batu ini?

"Mama?" 

Tubuhku menegang, ketika melihat sosok hitam di luar jendela kamar. 

"Ki—Kia?" 

***

Jangan lupa like dan komen, yaa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Ledakan Berbahaya

    "Nyumput, Vi." Bang Gery menarik tanganku. Kamu bersembunyi di bawah meja. Pintu terbuka. Ada cahaya masuk, terdengar langkah kaki. Aku menelan ludah, jangan sampai kami ketahuan di sini. "Mana, ya, ditaruh." Terdengar benda beruntung jatuh. Aku tersentak sendiri. Jantungku berdegup kencang, seperti sedang menguji mental di sini. Bang Gery memegangi tanganku. Ini salah kami, kenapa juga berkunjung ke rumah Mama sekarang. Benar-benar berbahaya. Hampir setengah jam kami di sini dan Mas Dion belum juga keluar. Aku mengembuskan napas berkali-kali, kesal. "Ah, akhirnya." Terdengar suara senang di sana. Aku dan Bang Gery berpandangan. Apa yang Mas Dion dapatkan? Kenapa terdengar senang sekali?Mas Dion bergegas pergi setelahnya. Pintu ditutup, kami keluar dari meja itu. Untung tidak ketahuan. Jangan sampai kami ketahuan sebelum waktunya. Begitu kata Bang Gery. Bisa-bisa, kami kalah dari Mas Dion. "Dia ngambil padi itu. Ah, kenapa tadi aku gak sembunyiin berasnya."Aku mendekati Ban

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Mas Dion di Kampung Kematian

    "Orang penting, maksudnya bagaimana, Nek?" Nenek itu tersenyum. Dia beranjak. "Kalian tanya saja sendiri. Nenek ke belakang dulu. Masih ada kerjaan. Anggap rumah sendiri, ya, Nak. Kalau mau istirahat langsung ke kamar aja. Jangan malu-malu."Setelah Nenek itu pergi, aku menoleh ke Bang Gery. Dia harus menjelaskan semuanya, lengkap dan detail. "Ya, kayak kata Nenek itu. Abang kunci di kampung ini, apalagi kalau ada masalah." Suara Babg Gery benar-benar kecil, untung tetap terdengar olehku. "Abang sebenarnya bisa saja menyembunyikan masalah ini, tapi karena si Dion menyebalkan itu, Abang sendiri harus turun tangan."Aku mengepalkan jemari, sedikit demi sedikit, aku bisa menyimpulkan semuanya. "Gak bakalan mudah, apalagi lawannya si Kakek itu. Tapi Abang pernah lawan dia sekali kalau gak salah dan itu seri. Gak ada yang menang atau kalah. Udah biasa di kompetisi itu, mah.""A—apa Bang Gery asli kampung ini? Abang bukan manusia biasa?" tanyaku pelan. Wajah Bang Gery tampak terkejut.

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Bang Gery Sebenarnya adalah ....

    "Kami pamit, Nek."Meskipun masih banyak pertanyaan di kepalaku, tapi aku tetap mengikuti Bang Gery dari belakang.Kami masuk ke dalam mobil. Bang Gery sempat menoleh ke aku sebentar, kemudian tersenyum. Dia menginjak pedal gas."Dion bakalan bunuh siapa aja yang menghalanginya. Termasuk kamu, Vi."Aku menganggukkan kepala. Jangankan aku, membunuh darah dagingnya saja, Mas Dion berani sekali."Abang serius bisa ke kampung itu? Kan, susah kalau mau kesana dengan metode manusia biasa.""Gampang itu, mah."Sikap Bang Gery cukup aneh, tapi aku tetap mengangguk saja. Biarkan dia mencobanya.Perjalanan yang cukup panjang sepertinya. Bahkan, di mobil ini Bang Gery sudah siap sedia makanan.Mobil memasuki wilayah pemakaman umum. Aku mengernyit, menatap area sekitar. Ini tempat makam Kia dan Tifa. Ada apa?"Hubungi Dion dulu, biar dia gak curiga, Dek."Aku menoleh, kemudian mengangguk. Menghubungi Mas Dion dengan ponsel yang diberikan Nenek itu. Terdengar nada sambung."Halo, Sayang.""Halo, M

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Target Berikutnya ....

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Korban-Korban Akan Kembali Berjatuhan

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Tifa Meninggal?

    "Nenek tau aja." Bang Gery nyengir, dia menggaruk kepala, bingung harus bereaksi apa. "Sudah mengenal tabiatmu. Juga kalian, Nak."Nenek itu menatap kami. Dia tersenyum penuh rahasia. "Nenek yakin, kalian bisa menghancurkan kutukan itu."Aku menghela napas lega. Kukira tadi, kami akan dimarahi atau paling parah diusir, apalagi Nenek itu terlihat emosian. "Kami pamit dulu, Nek. Terima kasih atas pinjaman senjatanya."Kami diantar sampai ke depan. Ketika keluar dari rumah itu, pintunya tertutup sendiri, membuatku lompat ke depan. Kaget sendiri."Duh, pintunya ngagetin. Kenapa bisa ketutup kayak gitu, sih. Nyebelin." Sari mendumal sendiri, dia membenarkan jilbabnya, berjalan duluan. "Namanya juga pintu rumah modern. Keren gitu."Bang Gery yang menjawab. Dia menyusulku dan Sari yang sudah duluan. Pistol itu, Bang Gery yang pegang. Aku masuk ke dalam mobil, mengembuskan napas lega. Sesuatu yang awalnya kami kira sulit, ternyata lumayan mudah. Aku membenarkan posisi duduk, Bang Gery sud

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status