Home / Romansa / Anakku Bukan Anakku / Bab 2. Kembali untukmu cantik

Share

Bab 2. Kembali untukmu cantik

Author: Kimmy reana
last update Last Updated: 2025-02-13 16:15:57

Di lokasi yang sama, di sebuah Bar, tiga orang lelaki melangkah beriringan menuju sebuah tempat yang sudah merasa booking sebelumnya. 

Rencananya hari ini salah satu dari mereka bertiga akan melepas masa lajang dalam waktu kurang dari dua bulan lagi akan melangsungkan pernikahan. Sebuah kemajuan yang patut diapresiasi, sebab lelaki yang hendak melepas lajang itu adalah sosok yang menganut hidup bebas dan anti komitmen. 

Dia adalah Dimas Arkan Wijaya. 

“Nggak nyangka banget akhirnya lo sampai di titik sekarang.” Arik, salah satu temannya menatap takjub ke arah Dimas. “Patut dirayakan lebih dari ini sih,” lanjutnya dengan senyum jahil. 

“Keluar dari penjara, langsung dapat jodoh wanita cantik kaya raya. Lo harus bersyukur.” balas Albi. 

“Anggap aja investasi jangka panjang, dapat warisannya, dapat juga anaknya yang cantik.” Albi dan Arik sama-sama tertawa, sementara Dimas hanya menatap malas ke arah dua temannya itu. 

Hubungan persahabatan yang sempat merenggang akibat Dimas pernah melakukan kesalahan fatal hingga ia harus merasakan dinginnya jeruji besi. 

Waktu hukuman yang diterimanya tidak kurang dari lima belas tahun, tapi berkat bantuan dari beberapa orang yang masih peduli padanya, termasuk wanita yang akan dinikahinya saat ini, akhirnya Dimas pun bebas usai menjalani masa tahanan selama tiga tahun. 

Tiga tahun terlama dalam hidupnya, yang membuat Dimas akhirnya berubah. 

Lelaki itu tidak lagi menjadi si tukang celup, julukan yang tersemat untuknya karena sering bercinta dengan wanita manapun, yang dianggap menarik olehnya. Tapi, setelah keluar dari hotel prodeo, Dimas pun tidak lagi sembarangan mencari pasangan. Ia tidak pernah tidur dengan sembarang wanita, kecuali Donna, kekasihnya. 

“Lo beneran nggak pernah tidur sama cewek lain, kecuali si Donna?” Albi penasaran, sekaligus tidak percaya selama ini Dimas bisa menahan hasratnya untuk tidak bermain perempuan. 

“Nggak.” balas Dimas, ia menyesap minuman di gelas kecil hingga habis. 

“Dia udah sadar, Bi. Main perempuan nggak akan ada habisnya.” balas Arik. Hubungannya dan Dimas jauh lebih dekat, ia pun tahu bagaimana Dimas sekarang. Tidak lagi main perempuan dan fokus mengembangkan usaha yang sebelumnya pernah hancur akibat keserakahannya sendiri. 

“Gue udah berubah, percaya atau tidak terserah.” jawab Dimas dengan santai. 

“Lagipula gue mau menikah, mengikuti jejak kalian.” tunjuk Dimas pada Albi dan Arik

 “Tapi gue nggak akan jadi suami bucin macam kalian berdua. Nggak ada harga dirinya banget.” cibir Dimas. 

Albi maupun Arik tidak tersinggung sedikitpun, karena faktanya memang mereka berdua bucin akut. 

“Awas aja kalau akhirnya lo pun bucin akut.” balas Albi tidak mau kalah. 

“Nggak lah!” Dimas tetap menyangkal. 

“Dan nggak akan terjadi sama gue,” 

Memang tidak akan terjadi, Dimas memastikan itu. Hubungan yang terjalin atas dasar balas budi dan belum juga menemukan rasa yang bisa dijadikan pondasi kuat untuk membangun sebuah rumah tangga. Dimas tahu bagaimana perasaannya untuk Donna, tapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Donna adalah penyelamatan hidupnya, setidaknya setelah semua hilang, termasuk harta dan seseorang yang sampai hari ini masih dicarinya secara diam-diam. 

“Besok gue mau balik ke Jakarta, kalian kapan?” tanya Arik. 

“Lusa.” Jawab Albi. “Isyana masih ingin disini satu hari lagi.” 

“Lo kapan, Dim?” tanya Arik pada Dimas, yang tidak kunjung menjawab pertanyaannya. 

“Nggak tahu, gue masih betah disini. Minggu depan, mungkin.” jawabnya tidak pasti. 

“Gue sih masih betah disini, tapi Nadia ada acara reuni sama teman kantornya dulu.” 

“Ngomong-ngomong, lo pernah deket sama temannya Nadia bukan? Siapa namanya, gue lupa.” Albi mengingatkan Dimas, pada sosok wanita yang masih menjadi tanda tanya besar dalam hidupnya selama ini. Kemana perginya? 

Apakah wanita itu masih ada di negeri ini? 

Atau mungkin sudah menikah dan memiliki keluarga baru? 

Memang sudah terlalu lama, enam tahun. Sangat memungkinkan untuknya menikah dan memiliki keluarga. 

“Mila.” balas Arik. “Cewek yang tergila-gila sama playboy cap kadal kayak Dimas.”

“Untung nggak hamil, kalau hamil berabe. Punya anak tanpa suami.” 

Dimas tiba-tiba tersedak, sampai dadanya terasa sakit. 

“Lo kenapa?” Albi menepuk pundak Dimas. 

“Kayak orang kaget,”

“Nggak apa-apa. Gue mau ke toilet dulu.” Dimas beranjak dari tempat duduknya, menuju toilet. 

Mendengar nama Mila dan hamil adalah dua hal yang masih menjadi sesal dalam hatinya. Diam-diam ia merasa sangat menyesal karena telah mengusir wanita itu, saat ia menunjukkan benda putih kecil dengan dua garis biru. 

Dimas mencuci wajahnya, mencoba menghilang pikiran tentang Mila yang semakin hari, makin terus menghantuinya. Apalagi menjelang hari pernikahannya, bayangan Mila justru semakin sering muncul tidak hanya dalam benaknya tapi juga dalam mimpi. 

“Dia pasti baik-baik saja. Bahkan mungkin hidup dengan baik, tanpa mikirin gue!” Dimas berdecak, pantas mengusap wajahnya dengan menggunakan saputangan. 

“Ngapain terus mikirin cewek sialan itu!” umpatnya. 

Dimas hendak keluar, tapi saat tangannya memegang gagang pintu, ia mendengar seseorang memanggil nama yang begitu familiar bahkan baru saja dipikirkannya. 

“Mbak Mila, mau langsung pulang?” 

“Iya. Kerjaan udah selesai, lebih baik kita langsung pulang saja.” 

Wajah dan suaranya benar-benar sama. Bahkan bentuk tubuh dan senyuman pun masih sama, hanya saja ia terlihat sedikit lebih kurus dari terakhir kali bertemu

. Dari balik pintu, Dimas masih memperhatikan Mila yang mungkin tidak menyadari kehadirannya. 

“Ya sudah, kita minta Rian jemput aja, langsung pulang.” 

Hanya sekilas, sebab kedua wanita itu segera pergi meninggalkan area toilet. Jiwa ingin tahu dan penasaran yang kini ada dalam diri Dimas bergejolak, ia bergegas mengikuti kedu wanita itu secara diam-diam.. 

Rupanya mereka masuk ke dalam salah satu ruangan khusus yang ada di Bar, sebuah ruangan VIP. Dimas ingin masuk untuk memastikan apa yang dilakukan Mila di dalam sana, tapi niat tersebut diturunkan Dimas, saat kembali melihat kedua wanita itu keluar dari dalam sana. 

Dimas segera bersembunyi, agar keberadaannya tidak diketahui Mila. 

“Kita langsung pulang ke Jakarta saja.” ucap Mila. 

“Iya.” balas dua rekam lainnya. 

Akhirnya Dimas pun tahu, wanita itu masih tinggal di Jakarta. 

Dimas menghampiri seorang pegawai yang tengah membawa minuman, yang juga keluar dari ruangan sama seperti Mila. 

“Tunggu!” cegat Dimas. 

“Kamu kenal tiga wanita yang keluar tadi? Yang memakai coat hitam?” 

Pegawai itu terdiam sejenak, mencoba mengingat. 

“Yang mana? Saya lupa.”

“Kamu pasti ingat,” Dimas mengeluarkan dua lembar uang kertas berwarna merah dari dalam dompetnya. Pegawai yang berjenis kelmarin lelaki itu langsung tersenyum, “Tentu ingat. Dia adalah LC panggilan dari Jakarta, kalau nggak salah Mila, Ajeng dan Wiwi. Kenapa? Tuan berminat?” 

“Bisa dipanggil?”

“Tentu.” 

Dimas menyeringai. “Berikan kontaknya, aku akan tambah lagi.” tanpa diminta Dimas pun memberikan beberapa uang lembat lagi dan memberikannya pada pelayan itu. 

Dimas menyeringai, usai mendapatkan informasi dimana Mila bekerja saat ini. Niat untuk kembali mempermainkan wanita itu pun kembali muncul. Ia merasa sangat tersinggung, sebab selama ini Dimas selalu berharap Mila hidup dengan baik dan bahagia tapi yang dilakukan wanita itu justru bekerja di tempat seperti ini. Bahkan Dimas pun langsung berasumsi, Mila tidak hanya menjadi LC tapi juga menjual dirinya. 

“Sepertinya kita akan kembali bersenang-senang, cantik. Tunggu aku di Jakarta.” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anakku Bukan Anakku   Bab 15

    Ragu saat menerima pekerjaan baru, sulit juga meninggalkan pekerjaan lama. Bukan karena Mila menikmati pekerjaannya sebagai seorang LC, bukan juga karena ia lebih nyaman berada di dunia hiburan malam, tapi karena teman baik yang dimilikinya. Salah satu hal terberat karena mereka. Wiwi, Ajeng, dan Rian. Mereka bertiga adalah teman yang baik, yang memperlakukan Mila dengan sangat manusiawi. Saling mengenal satu sama lain dengan waktu yang sangat singkat, tidak lantas membuat pertemanan itu hanya sebatas kedekatan di lokasi kerja saja. Di luar pekerjaan pun, mereka berhubungan sangat baik.“Mbak Mila sudah menemukan pekerjaan baru?” Ajeng mendekat, saat Mila dan Wiwi berada di depan teras, di kediaman orang tua Wiwi. Seperti biasanya, tempat itu selalu dijadikan titik pertemuan mereka. “Iya.” Jawab Mila.“Dimana? Di kantoran lagi?” Selidik Ajeng.“Iya.” Mila pun mengangguk.“Mbak Mila memang seharusnya ada di tempat seperti itu, dengan pendidikan dan pengalaman kerja yang dimilikiny

  • Anakku Bukan Anakku   Bab 14

    Saat berada disamping Nadia, Mila memang merasa tidak percaya diri, penampilan keduanya bagai bumi dan langit tapi, saat berdiri di samping Donna, tingkat ketidak percayaan diri itu semakin tinggi. Jika Nadia bagaikan langit, lantas Dona apa?Mars? Atau mungkin Pluto?Mila merasa malu, duduk berdampingan dengan wanita cantik dan ramah itu. Senyum yang terpancar indah di wajahnya semakin menyempurnakan penampilannya yang begitu stunning. “Dia sudah sangat berpengalaman, di bidang desain apalagi, nggak usah diragukan lagi.” Nadia seolah tengah mempromosikan Mila, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu di salah satu cafe, Nadia lah yang terlihat begitu berusaha meyakinkan Donna untuk menerima Mila. “Desain ilustrasi?”“Benar. Kami dulu bekerja sebagai ilustrasi desain sebuah produk iklan dan kemampuan Mila nggak usah diragukan lagi.”Mila hanya tersenyum samar, Nadia memang sedikit berlebihan saat menceritakan riwayat kerjanya dulu. “Kamu butuh asisten sekaligus tim desain grafis,

  • Anakku Bukan Anakku   bab 13

    “Mungkin sebaiknya memikirkan kembali tawaran Nadia kemarin, aku yakin dia pasti sudah mempertimbangkannya dalam segala hal, termasuk kenyamanan dan gaji.” Bagian terakhir adalah yang paling penting. Mila sangat mempertimbangkan segala hal hanya dari uang, seberapa besar resiko dan lelah yang akan dirasakannya nanti, itu hanyalah nomor ke sekian. Yang terutama adalah uang, atau gaji. “Sudah tahu nominal gaji yang ditawarkan temannya Nadia?” Tanto kembali bertanya, memperhatikan ekspresi Mila yang tengah menikmati mie ayam di pinggir jalan, dekat kediamannya. Mila kerap menolak, setiap kali Tano mengajaknya pergi ke tempat yang lebih nyaman atau dengan banyak menu lainnya, wanita itu justru memilih untuk makan di pinggir jalan, sperti mie ayam atau pecel lele. Mila bukan wanita kampungan yang tidak mengerti gaya hidup kekinian, atau makan-makan viral jaman sekarang, tapi wanita itu seolah menarik diri dari dari hal-hal yang berbau trend. Mila seolah membiarkan dirinya terjebak di da

  • Anakku Bukan Anakku   Bab 12

    Nafas tersengal-sengal, dengan sekujur tubuh memanas. Tidak pernah sekeras ini melakukan latihan fisik hanya untuk melupakan bayangan wanita itu. Pikiran Dimas melayang pada pergulatannya dan ciuman panas terakhirnya. Sial! Makinya dalam hati. Seharusnya tidak perlu memikirkan wanita itu lagi dan tidak membiarkan dirinya terus tenggelam dalam kemarahan yang tidak berarti. Tapi bayang-bayang Mila tersus berputar dalam ingatan dan sulit untuk dienyahkan. Terus berlari dengan menaikkan kecepatan, berlari sekencang mungkin sampai ia kesulitan bernafas. Perlahan treadmill melambat, ia langsung menoleh ke arah samping, pada sosok pelaku yang dengan sengaja menurunkan kecepatan. “Apa?!” Dimas keluar dari treadmill.“Lo mau mati?!” Albi pun melakukan hal serupa, keluar dari treadmill. Dimas mendengus, berjalan ke sudut Gym untuk duduk sambil mengusap keringat dengan handuk kecil yang tergantung di bahunya.“Ada masalah?” Albi menyodorkan sebotol minuman dingin padanya. “Nggak.” Dimas

  • Anakku Bukan Anakku   bab 11

    Setelah bersiap dan menikmati salad buah pemberian Nadia, Mila bergegas menuju lokasi dimana Wiwi sudah menunggunya. Lokasi yang kerap dijadikan tempat mereka berkumpul sebelum berangkat ke salah satu kelab atau tempat pesan, tempat tersebut adalah rumah yang ditinggali Wiwi bersama kedua orang tuanya. Kedua orang tua paruh baya itu tidak pernah tahu pekerjaan asli Mila, Wiwi dan Ajeng, yang diketahuinya mereka bertiga bekerja sebagai sales minuman ringan. Perjalanan menuju kediaman Wiwi lumayan jauh. Lima belas menit menggunakan ojek online. Begitu Mila menapakkan kakinya di kediaman Wiwi, wanita itu langsung menyerbunya dengan tatapan yang sulit diartikan, sikap yang sangat membingungkan.“Kenapa Wi?” Tanya Mila bingung, saat Wiwi menyeretnya ke belakang, menjauh dari Ajeng dan Rian yang juga ada di rumahnya.“Mbak Mila open BO?” Tanya Wiwi, langsung pada intinya. Kening Mila langsung mengerut, kenapa wanita itu bisa bertanya seperti itu. “Nggak,” jelas Mila akan menyangkal, seb

  • Anakku Bukan Anakku   Bab 10. Teman baik

    Menatap ragu pada penampilannya hari ini.Tubuhnya hanya dibalut pakai sederhana, kaos oversize warna putih dan celana jeans biru. Sepatu yang dikenakannya pun hanya snickers usang, yang sudah dibelinya sejak tiga tahun lalu. Baginya masih sangat layak pakai, tapi jika digunakan di tempat yang saat ini dikunjunginya jelas tidak cocok. “Kalau bukan karena Nadia, aku nggak akan mau ke tempat seperti ini.” keluhnya, menatap sedih penampilannya yang terlihat di cermin besar, di pintu masuk sebuah hotel mewah. “Nggak apa-apa, kamu tetap cantik ko.” Tanto akan selalu memujinya, tapi tatapan orang yang berpapasan dengannya tidak bisa berbohong. “Aku nggak bisa lama-lama, paling cuman mau ketemu Nadia aja, abis itu mau pulang.” bahkan sebelum bertemu, Mila sudah menyusun rencana untuk pulang.“Belum juga ketemu, udah mau pulang aja. Nadia sengaja pilih tempat mewah ini bukan untuk membuatmu minder, tapi untuk membuat kita merasakan kekayaan yang dimilikinya. Ayo!” ajak Tanto, menarik tanga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status