Sampai Jakarta sekitar pukul delapan pagi, dimana kedatangan Mila disambut hangat oleh senyum Talita.
Gadis kecil itu tengah duduk bersama seorang lelaki yang sudah menemaninya sejak enam tahun lalu. Tanto, rekan kerjanya dulu saat masih di perusahaan Dirgantara. “Ibu sudah pulang,” tunjuk Tanto ke arah Mila, ia pun menggenggam tangan Talita, menghampirinya. “Ibu,” gadis kecil berambut hitam sebahu itu segera memeluk Mila, seolah sudah lama tidak bertemu. “Gadis ibu apa kabar? Nggak nakal, kan?” bukan hanya Talita, Mila juga kerap merasa rindu meski hanya beberapa jam terpisah. “Baik, Ibu.” kedua tangan mungil itu memeluk tubuh Mila. “Anak baik,” Mila membalasnya dengan mencium puncak kepala Talita. “Ayo, masuk.” ajaknya. Secangkir teh panas menjadi teman sebungkus nasi uduk. Porsinya sangat banyak, tapi dijamin, Mila akan menghabiskannya tanpa sisa. “Udah lama? Nggak bilang mau ke sini.” Lelaki di hadapannya tersenyum samar, memperhatikan bagaimana caranya menikmati makanan. Memang sedikit rakus, tapi Mila benar-benar lapar. “Udah bilang, tapi kamu nggak jawab.” “Iya,” Mila mengambil ponsel dalam tas yang sengaja dimatikan. “Oh iya.” Ia melihat banyak pesan masuk, salah satunya dari Tanto. “Hp nya sengaja dimatikan saat jam kerja.” Mila hanya membaca sekilas pesan singkat Tanto, tapi ada nomor baru yang juga mengirimnya pesan. Nomor baru yang tidak dikenal. Ia hanya mengabaikannya saja, kembali fokus pada nasi uduk di hadapannya. “Masih kerja disana?” tanya Tanto. “Nggak mau cari kerja yang lain?” “Kerja apa?” Mila balik bertanya. Dalam situasi seperti saat ini, mencari pekerjaan bukanlah perkara mudah, mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi, ditambah jejak hitam yang pernah dilakukannya dulu. Mila kesulitan mencari pekerjaan yang dianggap layak, bahkan sampai dia nekat terjun ke dunia hiburan malam pun, bukan keputusan mudah. Ia sudah berada di ujung putus asa. Saat seluruh dunia menghakiminya, atas pilihan yang diambil. Keputusan besar itu adalah Talita. Membesarkan anak tanpa seorang ayah sangat berat, tidak hanya berat dalam mencari nafkah untuk membiayai kehidupannya, juga berat menerima banyak hujatan yang tidak pernah ada hentinya, bahkan sampai saat ini, setelah enam tahun berlalu. “Kalau ada kerjaan yang gajinya besar, bisa bawa anak, dan waktu kerjanya sangat fleksibel, kabari ya.” Mila tersenyum jahil. “Aku mau.” “Ada.” Tanto tersenyum, menyuap nasi uduk kedalam mulutnya. “Jadi istriku. Gajinya nggak besar, tapi cukup untuk membiayai kalian berdua dan juga pengobatan Talita.” Mila menatap ke arah Tanto, sebelum akhirnya tertawa. “Candaan kamu masih aja garing kayak dulu.” Mila mengambil kerupuk milik Tanto. “Menghibur sih! Tapi kasihan aja, beli satu dapat dua.” “Nggak apa-apa, aku mau,” “Kerupuknya nggak mau? Aku ambil kalau gitu.” Mila mengambil nyari semua kerupuk yang ada di atas piring milik Tanto, hal tersebut dilakukan bukan karena ia masih belum kenyang. Tidak. Mila sudah lebih dari kenyang, hanya saja ia sengaja mengalihkan pembicaraan dengan menganggap ucapan Tanto hanyalah candaan semata. Padahal Mila tahu, yang diucapkan lelaki itu adalah kesungguhan dari lubuk hatinya. Sadar tidak ada tanggapan serius dari Mila, Tato pun hanya menghela lemah. Tapi, ia tidak akan pernah mundur untuk meyakinkan Mila, bahwa ia benar-benar tulus mencintai wanita itu dan juga Talita. “Kalau ada informasi kerjaan, aku kabari ya. Aku nggak suka kamu ada di lingkungan seperti itu, bikin khawatir terus.” jujur Tanto “Khawatir aku jual diri?” Mila tersenyum samar. “Aku sudah pernah melakukannya dulu, saat usiaku masih sangat muda bahkan aku sudah mendapatkan hadiah dari dari perbuatanku dulu.” Mila menoleh ke arah Talita, yang tengah bermain bersama Ibu. “Di usiaku yang sudah berumur ini, aku nggak mungkin melakukan kesalahan yang sama.” “Syukurlah. Tetap hati-hati dan jaga diri, kalau begitu aku pamit pulang.” Mila mengikuti langkah Tanto, menuju pintu gerbang. “Aku belikan sedikit kebutuhan Talita,” satu tangan Tanto terangkat, saat Mila hendak menyela. “Buat Talita, buka buat kamu. Jadi, nggak ada alasan untuk menolak. Oke?” Mila menghela lemah. “Baiklah, terimakasih.” “Sama-sama. Aku pulang, ya?” Mila mengangguk, melambai tangan ke arah Tanto. Mobil yang dikendarai Tanto perlahan meninggalkan area rumah, lalu menghilang dibalik persimpangan jalan. Mila menatap sedih ke arahnya, dimana lelaki itu tidak pernah berubah sejak dulu. Selalu perhatian, bahkan menolongnya tanpa pamrih. Semua yang dilakukan Tanto adalah bukti ketulusan cinta seorang lelaki, sayangnya Mila tidak berani membuka hatinya untuk lelaki manapun setelah seorang lelaki brengsek menghancurkan hati dan hidupnya hingga tidak tersisa. Karena lelaki itulah ia kerap dihantui trauma. Tidak mau menjalin hubungan baru dan hanya bisa jalan di tempat, bergelut dengan masa lalu. “Istirahatlah, mumpung Talita tidur.” Semalaman Mila belum tidur. Pekerjaan yang mengharuskannya terjaga di waktu orang lain tengah terlelap dalam mimpi. Siang harinya ia tidak bisa tidur dengan tenang, terkadang Talita merajuk dan selalu ingin bersamanya. “Iya. Aku istirahat dulu ya, Bu.” “Iya.” Hari ini lelah yang dirasakan dua kali lipat, sebab ia bekerja di luar kota dan bolak-balik perjalanan di waktu yang sama. Tidak ada jeda istirahat, yang membuat Mila merasa begitu lelah. Tidak membersihkan tubuhnya terlebih dahulu, sebab kantuk dan lelah serta tempat tidur yang terus melambai ke arahnya membuat Mila ingin segera merebahkan tubuhnya. Menenangkan otot-otot dalam tubuh yang terasa begitu tegang. Nyaris tertidur, tapi kedua matanya kembali terbuka saat mendengar suara ponselnya berdering. Awalnya Mila tidak menghiraukan dan lebih memilih untuk tidur saja, tapi suaranya sangat mengganggu. Tidak hanya satu kali, tapi berkali-kali. Dengan kesal dan malas, akhirnya Mila pun mengambil ponsel tersebut dan tanpa ragu menerima panggilan itu. “Halo!” suaranya begitu nyaring. Sengaja ia melakukan itu, agar seseorang di seberang sana yang menghubunginya tahu, bahwa saat ini Mila dalam keadaan tidak ramah. “Dengan ibu Mila Agnesia.” “Iya, siapa ini? Kalau mau nipu jangan ke saya, Pak. Saya miskin, nggak punya apa-apa. Cari aja orang lain yang bisa bapak tipu!” Akhir-akhir ini marak penipuan berkedok undian yang dilakukan dengan cara menghubungi si calon korban. Mila pun berpikir demikian, orang yang menghubunginya adakah salah satu penipu. “Baiklah kalau begitu, semalam siang.” ucap si lelaki misterius dari seberang sana. “Dasar penipu!” umpat Mila, sebelum akhirnya ia memutuskan sambungan secara sepihak. “Ganggu aja!” kesalnya, karena orang tersebut yang diyakini seorang laki-laki telah mengganggu jadwal istirahatnya yang berharga. Mila kembali merebahkan tubuhnya, hendak melanjutkan tidur tapi hanya selang beberapa detik saja, kedua matanya kembali terbuka saat ia teringat akan sesuatu. Suara lelaki yang baru saja menghubunginya terdengar begitu familiar. Mila menyadarinya, tapi rasanya sangat mustahil. “Nggak mungkin,” ia menggeleng, menepis kemungkinan yang dianggap mustahil olehnya. “Nggak mungkin dia! Nggak mungkin!” semakin menyangkal, justru semakin meyakinkan bahwa suara lelaki itu adalah suara seseorang yang sangat dibencinya. Mila tidak mungkin salah mendengar, sebab ia masih mengingat segala sesuatu tentang sosok itu. Dimas..Ragu saat menerima pekerjaan baru, sulit juga meninggalkan pekerjaan lama. Bukan karena Mila menikmati pekerjaannya sebagai seorang LC, bukan juga karena ia lebih nyaman berada di dunia hiburan malam, tapi karena teman baik yang dimilikinya. Salah satu hal terberat karena mereka. Wiwi, Ajeng, dan Rian. Mereka bertiga adalah teman yang baik, yang memperlakukan Mila dengan sangat manusiawi. Saling mengenal satu sama lain dengan waktu yang sangat singkat, tidak lantas membuat pertemanan itu hanya sebatas kedekatan di lokasi kerja saja. Di luar pekerjaan pun, mereka berhubungan sangat baik.“Mbak Mila sudah menemukan pekerjaan baru?” Ajeng mendekat, saat Mila dan Wiwi berada di depan teras, di kediaman orang tua Wiwi. Seperti biasanya, tempat itu selalu dijadikan titik pertemuan mereka. “Iya.” Jawab Mila.“Dimana? Di kantoran lagi?” Selidik Ajeng.“Iya.” Mila pun mengangguk.“Mbak Mila memang seharusnya ada di tempat seperti itu, dengan pendidikan dan pengalaman kerja yang dimilikiny
Saat berada disamping Nadia, Mila memang merasa tidak percaya diri, penampilan keduanya bagai bumi dan langit tapi, saat berdiri di samping Donna, tingkat ketidak percayaan diri itu semakin tinggi. Jika Nadia bagaikan langit, lantas Dona apa?Mars? Atau mungkin Pluto?Mila merasa malu, duduk berdampingan dengan wanita cantik dan ramah itu. Senyum yang terpancar indah di wajahnya semakin menyempurnakan penampilannya yang begitu stunning. “Dia sudah sangat berpengalaman, di bidang desain apalagi, nggak usah diragukan lagi.” Nadia seolah tengah mempromosikan Mila, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu di salah satu cafe, Nadia lah yang terlihat begitu berusaha meyakinkan Donna untuk menerima Mila. “Desain ilustrasi?”“Benar. Kami dulu bekerja sebagai ilustrasi desain sebuah produk iklan dan kemampuan Mila nggak usah diragukan lagi.”Mila hanya tersenyum samar, Nadia memang sedikit berlebihan saat menceritakan riwayat kerjanya dulu. “Kamu butuh asisten sekaligus tim desain grafis,
“Mungkin sebaiknya memikirkan kembali tawaran Nadia kemarin, aku yakin dia pasti sudah mempertimbangkannya dalam segala hal, termasuk kenyamanan dan gaji.” Bagian terakhir adalah yang paling penting. Mila sangat mempertimbangkan segala hal hanya dari uang, seberapa besar resiko dan lelah yang akan dirasakannya nanti, itu hanyalah nomor ke sekian. Yang terutama adalah uang, atau gaji. “Sudah tahu nominal gaji yang ditawarkan temannya Nadia?” Tanto kembali bertanya, memperhatikan ekspresi Mila yang tengah menikmati mie ayam di pinggir jalan, dekat kediamannya. Mila kerap menolak, setiap kali Tano mengajaknya pergi ke tempat yang lebih nyaman atau dengan banyak menu lainnya, wanita itu justru memilih untuk makan di pinggir jalan, sperti mie ayam atau pecel lele. Mila bukan wanita kampungan yang tidak mengerti gaya hidup kekinian, atau makan-makan viral jaman sekarang, tapi wanita itu seolah menarik diri dari dari hal-hal yang berbau trend. Mila seolah membiarkan dirinya terjebak di da
Nafas tersengal-sengal, dengan sekujur tubuh memanas. Tidak pernah sekeras ini melakukan latihan fisik hanya untuk melupakan bayangan wanita itu. Pikiran Dimas melayang pada pergulatannya dan ciuman panas terakhirnya. Sial! Makinya dalam hati. Seharusnya tidak perlu memikirkan wanita itu lagi dan tidak membiarkan dirinya terus tenggelam dalam kemarahan yang tidak berarti. Tapi bayang-bayang Mila tersus berputar dalam ingatan dan sulit untuk dienyahkan. Terus berlari dengan menaikkan kecepatan, berlari sekencang mungkin sampai ia kesulitan bernafas. Perlahan treadmill melambat, ia langsung menoleh ke arah samping, pada sosok pelaku yang dengan sengaja menurunkan kecepatan. “Apa?!” Dimas keluar dari treadmill.“Lo mau mati?!” Albi pun melakukan hal serupa, keluar dari treadmill. Dimas mendengus, berjalan ke sudut Gym untuk duduk sambil mengusap keringat dengan handuk kecil yang tergantung di bahunya.“Ada masalah?” Albi menyodorkan sebotol minuman dingin padanya. “Nggak.” Dimas
Setelah bersiap dan menikmati salad buah pemberian Nadia, Mila bergegas menuju lokasi dimana Wiwi sudah menunggunya. Lokasi yang kerap dijadikan tempat mereka berkumpul sebelum berangkat ke salah satu kelab atau tempat pesan, tempat tersebut adalah rumah yang ditinggali Wiwi bersama kedua orang tuanya. Kedua orang tua paruh baya itu tidak pernah tahu pekerjaan asli Mila, Wiwi dan Ajeng, yang diketahuinya mereka bertiga bekerja sebagai sales minuman ringan. Perjalanan menuju kediaman Wiwi lumayan jauh. Lima belas menit menggunakan ojek online. Begitu Mila menapakkan kakinya di kediaman Wiwi, wanita itu langsung menyerbunya dengan tatapan yang sulit diartikan, sikap yang sangat membingungkan.“Kenapa Wi?” Tanya Mila bingung, saat Wiwi menyeretnya ke belakang, menjauh dari Ajeng dan Rian yang juga ada di rumahnya.“Mbak Mila open BO?” Tanya Wiwi, langsung pada intinya. Kening Mila langsung mengerut, kenapa wanita itu bisa bertanya seperti itu. “Nggak,” jelas Mila akan menyangkal, seb
Menatap ragu pada penampilannya hari ini.Tubuhnya hanya dibalut pakai sederhana, kaos oversize warna putih dan celana jeans biru. Sepatu yang dikenakannya pun hanya snickers usang, yang sudah dibelinya sejak tiga tahun lalu. Baginya masih sangat layak pakai, tapi jika digunakan di tempat yang saat ini dikunjunginya jelas tidak cocok. “Kalau bukan karena Nadia, aku nggak akan mau ke tempat seperti ini.” keluhnya, menatap sedih penampilannya yang terlihat di cermin besar, di pintu masuk sebuah hotel mewah. “Nggak apa-apa, kamu tetap cantik ko.” Tanto akan selalu memujinya, tapi tatapan orang yang berpapasan dengannya tidak bisa berbohong. “Aku nggak bisa lama-lama, paling cuman mau ketemu Nadia aja, abis itu mau pulang.” bahkan sebelum bertemu, Mila sudah menyusun rencana untuk pulang.“Belum juga ketemu, udah mau pulang aja. Nadia sengaja pilih tempat mewah ini bukan untuk membuatmu minder, tapi untuk membuat kita merasakan kekayaan yang dimilikinya. Ayo!” ajak Tanto, menarik tanga