Share

2. ratnaaa

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2025-07-03 09:41:32

❤️❤️

Kutanda-tangani sendiri surat itu dengan perasaan getir tak terkira, jemariku bergetar menahan perasaan kalut, lantas kuserahkan surat pengantaran itu pada supirnya, kebetulan pria yang terlihat pengertian dan baik itu hanya mengangguk mengiyakan. 

"Saya terpaksa tanda tangan sendiri karena suami saya sedang tidak ada," ujarku dengan perasaan membuncah.

"Iya, gak apa-apa, Mbak, saya paham," balasnya.

"Terima kasih ya, Pak."

Mobil minivan itu pun langsung pergi meninggalkan diriku yang masih menggenggam tangan anak.

Tetangga kebetulan melihat keberadaanku langsung menghampiri, namanya Bi Sarni dan Pak Edi, mereka mendekat lalu menyapa.

"Ratna, ya Allah, kamu udah pulang? Kapan sampai?"

"Barusan, Bi, suami saya di mana Bi?"

Wanita itu terlihat saling memandang dengan suaminya, aku agak ragu dengan gestur mereka yang terlihat tidak nyaman dengan pertanyaanku.

"Sekiranya jika ada sesuatu, tolong kasih tahu saya, agar saya bisa siapkan hati," ucapku sambil mendekat dan memegang tangan Bi Sarni.

"Iya, Nak, uhm ... Agusnya memang udah nikah lagi."

Karena tetangga lain juga ikut melihat, dan heboh, akhirnya kedua orang tuaku pun menyadari bahwa aku telah tiba.

Dari halaman belakang tergopoh-gopoh kedua orang tuaku mendekat, aku pun yang sejak tadi menahan air mata, lantas mendekat dan memeluk ibu, lalu melabuhkan kerinduan dan tangis kesedihanku.

Tadinya hati ini riang gembira akan berjumpa, Berharap bahwa akan ada tangis haru dan senyum bahagia, namun, sia sia saja, momen bahagia berubah jadi duka.

"Abah, Kang Agus kemana Bah?"

"Gak, Tahu, Nak, Abah juga gak ngerti."

"Dia nikah sama orang mana, Bah?"

"Sama wanita dari kampung sebelah, janda anak satu," jawab Abah dengan wajah yang menyiratkan gurat kesedihan.

"Mereka tinggal di mana?"

"Ya, di sini, emak gak bisa cegah, dia bilang itu hak dia, karena sebagai laki-laki dia membutuhkan nafkah batin Dia janji akan menceraikan istrinya setelah kamu pulang."

"Mana Mungkin semudah itu, Bah, Kenapa Abah tidak larang?" Perlahan rasa amarah dalam hatiku kian berkecamuk.

"Ya mau bagaimana lagi itu kan uangmu yang dipakai untuk bangun rumah, dia yang pegang semua, Abah dan emak cuman dikasih Rp. 100.000 setiap hari kamu kirim, lagipula kalau abah larang dia tinggal di sini, tentu dia akan bawa pergi cucu cucu Abah," jawab Abah mengusap air mata.

Sungguh iba diri ini melihat kedua orang tuaku, di usianya yang sudah senja di mana wajah dan tubuh mereka mulai kurus dan keriput, tenaga pun telah lemah, mereka harus menanggung kesusahan dan beban yang begitu besar karena harus menimbang antara memastikan keamanan cucu atau menyingkirkan keegoisan menantunya.

Semakin mendengar banyak keterangan semakin sakit hati ini, Aku bekerja dengan serius di negeri rantau demi menaikkan taraf hidup dan mengumpulkan modal untuk membangun usaha agar kehidupan kami tidak lagi morat marit dan diperlakukan tidak adil sebagai buruh rendahan, tapi apa yang dilakukan Kang Agus selama aku tidak rumah? sungguh miris sekali.

Lagi pula setiap kali mengirimkan uang setidaknya aku selalu mengirim di atas 10 juta, tega-teganya Kak Agus hanya menyantuni orang tuaku dengan selembar uang merah, mengapa dia tidak membagi 10 atau dua puluh persennya, alangkah teganya suamiku pada kedua orang tuaku.

"Apakah selama di sini Kang Agus bersikap baik kepada kalian dan anak anak Ratna?"

"Enggak, Nak, Dia jarang pulang dan sekalinya pulang masih dalam keadaan mabuk-mabukan dan kerap memukul Tari, dia juga kasar pada keluarga dan tetangga. Kalau kami tegur dia akan ngamuk ditambah lagi istrinya itu sangat judes dan selalu mau dituruti keinginannya."

"Seperti apa orangnya Mak?"

"Ya .... uhm ... cantik sih, badannya bagus, putih, rambutnya lurus dari salon, baju bajunya bagus dan juga pake emas."

Paham lah diri ini jika uang yang aku kirimkan selama 5 tahun bekerja hanya digunakan untuk membelanjai istri barunya. Jika saja tidak begitu terus saja rumah yang kudapati saat ini sudah mewah dan penuh dengan isinya. Tapi apa yang terlihat saat ini bahkan tembok pun belum diplester. Sementara di ruang tamu hanya ada TV usang dan sebuah tikar yang sudah robek. Tidak ada kursi ataupun lemari seperti yang kerap ia ceritakan padaku ditelepon. Dia juga mengatakan bahwa anak kami sehat dan bahagia.

Namun Apa bukti perkataannya? Anakku terlihat kurus dan tidak terurus, tubuhnya dipenuhi koreng dan lebam bekas pukulan, air mukanya juga terlihat sangat menyedihkan dan takut, artinya selama ini suami dan istri barunya telah menyiksa dan mengancam putriku.

Tiba-tiba saja aku teringat tentang Dimas dan langsung bertanya kepada Emak.

"Mak, Dimas Mana?"

"Dibawa ke rumah emaknya si Rina."

"Buat apa, kenapa nggak dicegah, kenapa paman dan bibinya juga tidak mencegah?" Semakin banyak pertanyaan semakin menggelegak rasanya perasaan ini dengan rasa panas dan emosi, betapa jahat dan dzolimnya Kang Agus terhadap amanah yang sudah kutitipkan baik amanah berupa moral dan anak-anak, juga tanggung jawab menjaga kepercayaan dan kesetiaan.

Dia mencoreng semuanya.

"Gimana mau cegah jika si Agusnya sangat garang dan suka main parang, lagipula teteh-tetehmu itu perempuan semua, mana berani Nak," keluh ibu sambil terduduk lemas di balai bambu depan rumah.

Ya Allah tidak kusangka begitu jahatnya suamiku sudah dibutakan oleh uang yang kukirimkan dan rayuan wanita baru, tega-teganya Dia mencoreng janji yang pernah diucapkan bahwa akan selalu tulus menjaga keluarga dan anak-anaknya. Kelak jika aku telah mengirimkan uang maka perlahan dia akan menggunakan uang itu untuk membangun rumah dan membeli alat-alat pertanian agar kami tidak perlu menyewa atau meminjam. Pun dia juga sudah memberitahu bahwa rumah kami sudah bagus dan dia sudah membeli sawah tempat kami akan mengais penghidupan. Kami juga berencana akan membangun toko kelontong kecil kecilan. Ternyata harapan yang dia berikan hanya kebohongan belaka.

Aku memang syok, sakit hati, kesal, geram, kecewa dan hancur rasanya, kepala ini makin pusing terlebih jika mengingat jumlah nominal uang yang sudah aku kirimkan berkali-kali, dalam durasi 5 tahun. Kang Agus benar-benar sudah menipu dan memanfaatkan ku

"Kalau begitu mereka tinggal di mana?"

"Si kampung mekar sari," balasnya.

"Kalau begitu, ayo ke sana, samperin aja," ajakku.

Dengan menggunakan motor tetangga dan ditemani oleh empat orang sepupu dan juga tetangga lain, aku pergi ke dusun mekar sari mencari suamiku yang khianat.

Sesampainya di sana kami bertanya kepada warga desa setempat dan mereka pun menunjukkan Di mana rumah wanita yang bernama Rina.

"Itu, di belokan depan, rumah warna pink, Teh," ucap pemuda yang kebetulan nongkrong di pinggir jalan dan kutanyai.

"Makasih ya," balasku mohon diri.

Semakin dekat dengan rumah yang berwarna merah muda itu semakin panas rasanya dada ini karena dari tempatku berdiri rumah itu terlihat mentereng dan mewah.

Rumah itu terlihat minimalis modern dengan sebuah toko kelontong dengan rolling door berwarna kuning. Alangkah kurang ajarnya suamiku.

Sebelum mengetuk pintu aku bertanya-tanya dulu kepada tetangga untuk memastikan bahwa rumah yang akan kudatangi benar adalah rumah suamiku dan istri barunya. Pura-pura aku bertanya tentang profil pemilik rumah.

"Iya, Teh, mereka nikahnya udah 4 tahun, Kang Agusnya dari kampung sebelah, dia orang kaya, mereka punya banyak sawah dan sapi, juga baru setahun bangun toko dan itu sangat ramai," jawab seorang wanita yang kebetulan sedang duduk di teras rumahnya.

"Waduh berarti beruntung ya," ucapku pelan.

Meski dalam hati ini sudah berapi-api.

"Iya Teh, kalau begitu mampir dulu ke rumah saya, Teh."

"Nanti aja Bu, Saya harus buru-buru ke rumah Teh Rina," balasku mohon diri dengan sopan.

Baru berjalan beberapa langkah kepalaku sudah pusing karena sejak siang tadi di terminal bandara, aku belum makan apapun, membayangkan di rumah akan makan dengan sambal terasi dan rebusan daun singkong membuatku menahan diri, lagipula kebahagiaanku pagi tadi adalah kebahagiaan yang tidak terbeli rasanya, sampai-sampai lupa untuk merasa lapar.

Diri ini kembali teringat bagaimana masa-masa bahagia kami, semua bayangan manis itu berkelebat, ketika baru menikah dan punya anak, berbagai janji dan impian yang kita rajut bersama, beratnya hidup dan ujian kami hadapi, hingga aku memutuskan untuk merantau demi memperbaiki ekonomi, tapi apa buktinya, aku yang bekerja dan dia yang menghabiskannya, aku yang diberi janji namun wanita itu yang diberi realisasi. Ya Allah, hancur berkeping-keping rasanya hati ini.

Aku berusaha mengambil botol minum yang ada di dalam tas dan meneguk isinya pelan, untuk menjernihkan pikiran dan menambah tenaga. Rasa-rasanya tangan ini gatal dan gemetar karena ingin memukul atau bahkan membunuhnya, tapi ya Allah ... aku harus berpikir panjang.

"Gimana Teh, mau diketuk apa enggak?"

"Iya, biar aku aja, ya," ujarku.

Ketikaku langkahkan kaki menuju pintu utama air mataku kembali tumpah, sungguh Kang Agus setelah menggadaikan harapan dan merampok mimpiku.

Dulu dia katakan, 

"Nyai, kalau kita berhasil membangun rumah maka aku akan pasang pintunya dari gebyok ukiran Jepara. Itu akan memberikan kesan elegan dan berkelas, seakan-akan pemilik rumah memiliki uang yang banyak. Hahahah," ujarnya.

"Ada ada aja, Kang." Aku pun tertawa dan mencubit pipinya atas selorohan tersebut.

Kini pintu itu terlihat megah dan terpampang di rumah Rina.

Ketika aku mengetuk pintu terlihat dari dalam keadaan rumah itu sangat indah, lantainya berkeramik marmer warna Salem, kursi-kursi tertata rapi dan diberi beludru merah. Ada lukisan berukuran besar dan ornamen ornamen berwarna emas. 

Ketika aku mengintip ku lihat pasangan suami istri saling memeluk dari dalam dan bercanda sembari berlomba menuju pintu.

Mereka bercanda dan terdengar sempat bermesraan sebelum membukakan pintu, dan ya ....

Alangkah terkejut Kang Agus ketika melihat bahwa yang datang itu adalah aku.

"Ratna? Ah ....." Mendadak pria itu terkejut, mulutnya menganga dan pucat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   35

    Tahun demi tahun bergulir, anak anak sudah makin besar, keadaan kami membaik dan makin makmur. Usaha sudah cukup berkembang pesat, malah aku sudah pindahkan lokasi tokonya ke depan jalan agar mudah diakses semua orang. Pembeli makin berdatangan, membuat pundi rupiah mengalir deras, kedua orang tuaku juga makin nyaman karena hidup mereka sedikit kutanggung menanggung dan rumah bilik mereka sudah kuubah menjadi rumah petak berdinding tembok yang lebih aman.Semuanya berjalan lancar hingga satu pagi yang mengejutkan. Kang Agus datang!Aku yang sedang sibuk menyapu toko tiba-tiba dikejutkan oleh panggilannya dari belakangku,Entah dia telah bebas lebih cepat karena sikap baiknya selama di penjara atau dia telah menjamin dirinya sendiri, aku tak paham. Yang pasti dia berdiri di depanku sementara diri ini terpana."Ka-kamu?"Hampir saja jantungku terlepas dari rongga dada menatapnya yang tersenyum, mengenakan topi dan jaket hitam yang tebal.Kami saling menatap untuk beberapa saat dia t

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   34

    Salah seorang warga desaku yang adiknya tertahan di penjara karena kasus pencurian datang, dia berkunjung dan mengutarakan niat untuk bertemu. Saat itu aku sedang di toko mengurusi pembeli dan memasang label harga pada barang."Permisi punten, apa boleh saya ketemu Teh Ratna," sapa wanita itu dengan sopan."Ya, ini saya," balasku."Boleh kita bicara sebentar?""Oh, baik, mari masuk, silakan duduk," ajakku masuk ke dalam toko. Wanita itu tersenyum menanggapi, dia memperkenalkan diri sambil berbasa-basi tentang harga bibit sayur."Jadi gimana Teh, ada apa?""Begini? Saya kemarin dari lapas menjenguk adik saya, kebetulan saya melihat Kang Agus," ujarnya dengan mimik serius."Terus kenapa, Teh?""Dia berantem, Teh, melawan empat orang bertato yang mirip preman, Kang Agus babak belur dan dibawah ke kantor lapas, mungkin mau dikasih obat atau dihukum gak tahu juga," imbuhnya."Mungkin sebaiknya Teteh beritahu masalah ini ke Rina, istri barunya di Mekarsari, kalo sama saya gak ada hubung

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   33

    Tahukah, bahwa perkara cerai adalah hal yang dibenci Allah meski diperbolehkan, dalam beberapa kajian Islam, kita yang sudah menikah disarankan untuk selalu berpikir dua kali, menimbang bahwa setiap orang pasti punya sisi baik meski sisi buruk lebih menonjol. Memang kita tak direkomendasikan untuk selalu membawa masalah rumah tangga ke jalur perceraian, tapi jika kebersamaan lebih banyak membawa mudharat, maka hidup ini terlalu singkat demi hanya dibawa makan hati dan menderita. Aku menghargai setiap pendapat dan prinsip yang coba dipaparkan oleh sebagian orang, mereka menasehatiku agar tak bercerai demi anak, agar aku tak sendirian, tapi mayoritas dari mereka yang memberi wejangan adalah mereka yang rumah tangganya dari dulu hingga sekarang bahagia, tak pernah dibohongi, dipukuli, bahkan dikhianati. Timbul pertanyaan dalam hatiku, jika salah satu masalah di atas menimpa mereka, atau serupa dengan yang kualami, sungguh sanggupkah mereka menahan dan bersabar? Kurasa ... tidak.Namun

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   32

    Aku kembali dengan hatiKali ini aku dipertemukan lagi dengan Kang Agus di pengadilan, dia duduk di sampingku, tapi dalam keadaan diborgol, dia mengenakan kemeja putih dengan peci, nampak diam tanpa mengatakan apapun yang duduk berjarak dua meter darinya. Keluargaku dan keluarga istrinya duduk di kursi pengunjung dan menyimak, begitu juga Ratna yang nampak diam di sudut depan, mengenakan dress panjang dan cardigan, menutup perutnya yang mulai membuncit.Tak banyak aku menyimak karena sibuk dalam pikiran sendiri. Sibuk membayangkan episode baru dalam hidupku, lebih berharap aku akan menjalani hidup tentram tanpa gangguan siapa pun, hingga menit demi menit berlalu.Putusannya sama, sama seperti cerita cerita perceraian lain, palu diketuk dan selesai, aku bangun, membungkuk terima kasih pada orang orang di sekitar, menyalami hakim dan bergegas pergi. Kang Agus nampak ingin bicara, tapi tak berkesempatan karena aku sudah pergi meninggalkannya. Hanya wajah bingung dan kecewa yang terl

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   31

    Assalamualaikum, maaf sebelumnya.Mungkin ini pesan terakhir, aku menjamin tak akan ada lagi gangguan atau hal yang membuat kita tak nyaman. Aku akan bercerai dengan Kang Agus, semoga kabar ini melegakan hatimu.Kalimat yang kutulis dengan format pesan singkat itu, terkirim ke nomor Rina. Aku berharap semoga wanita itu membuka dan membacanya sehingga dia tak lagi menjadikan aku atau anak-anakku sebagai penghalang kebahagiaannya. Dia tak perlu mengkhawatirkan hal tak penting, membesarkan kecemasan sehingga selalu berpikir untuk memusuhi kami.Mengapa bercerai? Aku tak menuntut perceraian kalian, aku hanya minta Kang Agus dibebaskan agar dia bisa mendampingi kehamilanku. Tentang berbagi suami dan waktu itu tak masalah untukku.Itu balasan yang masuk lima menit berikutnya.Aku tak tahu jalan pikiran wanita itu, mengapa dia bisa memiliki gagasan untuk mempertahankan cinta segitiga yang tidak akan nyaman untuk kami semua? Tak mengapa bagimu, tapi masalah bagiku, aku tak mau makan hati.

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   30

    "Mengapa kau terlihat sebal sekali dari tadi anakku?""Aku dapat telepon dari petugas kepolisian bahwa, Agus ingin bertemu," jawabku."Apa yang dia inginkan?" tenya Emak mendekatiku, lalu diduk di sebelahku."Tidak tahu.""Mungkinkah, dia ingin minta maaf?""Tidak tahu, juga, Mak.""Jadi, Apa kau mau menemuinya?""Tidak akan?""Biasanya seseorang yang sudah dipenjara mulai merasakan sedih dan penyesalan. Mungkin suamimu juga sedang merasakan hal yang sama, jadi dia ingin mengaku, dan minta pengampuan.""Buat apa? Pengampunan tidak akan mengubah segalanya. Aku sudah rugi dan anak-anakku ... mereka harus mendapatkan bimbingan konseling untuk mengobati mental mereka yang terluka," jawabku."Sebelum menggugat perceraian sebaiknya kau bertemu dengannya," saran Emak dengan belaian lembut di bahuku."Kalau begitu aku akan pergi besok, Mak.""Jaraknya tidak terlalu jauh dan Eman akan menemanimu.""Iya, benar."Ke rumah kan diri lalu menarik selimut dan tidur berharap bahwa besok pagi adalah h

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status