Bismillah
Melihatku berdiri dengan mata berapi-api wajah Kang Agus langsung pucat, wanitanya menatap kami bergantian, melihat ekspresi Kang Agus dan aku lalu menyentuh bahu suamiku dengan lembut. Kukunya yang panjang berwarna merah oleh cat kuku mencengkeram lengan kokoh suamiku dengan sedikit godaan. "Kang ... kenapa diam aja?" "Karena dia gak tahu mau bilang apa, dan aku entah harus mulai marah dari mana? Ayao Kang, jelaskan sesuatu!" "Uhm, ayo kuantar nanti kita bicara," ucapnya sambil tersenyum-senyum tanpa dosa, di saat dia menyentuh lenganku. Di momen itulah emosi diri memuncak ke ubun-ubun, dengan tas yang kupakai, kuhantam pipinya. Plak! Pria itu tersungkur dan kaget, dia menatapku nanar, hendak marah tapi kemudian roman mukanya berubah, takut atau tak enak, entahlah. "Hei, kamu pelakor, begitu banyak hal yang sudah kau rampok dari kehidupan kami, kau manfaatkan si bodoh ini untuk memperkaya diri dan menyamankan hidupmu, padahal itu semua uangku!" tudingku dengan emosi. Sampai di situ warga sana belum menyadari keributan. "Enak saja. Semua yang kudapatkan ini adalah hasil usaha kami sendiri, kenapa dari uangmu, kau pikir aku tak punya usaha?!" Mendengar itu, kepalaku serasa ingin pecah, akan kupukul wanita ini, tapi itu kurang tepat, maka pelampiasannya adalah sekali lagi, Plak! Tas kulit milikku terbuat dari kulit premium yang cukup berat, ada gagang besi yang sukses membuat kening kang Agus lebam, dia melenguh dan mengadu sakit. "Katakan pada gundikmu, uang dari mana yang kau berikan padanya!" "A-aku tentu tidak pake uangmu, uangmu untuk memperbaiki rumah dan bayar tukang, dimakan orang tuamu dan anak-anak, juga biaya sekolah mereka," jawab Kang Agus menyeka darah yang mengucur dari hidungnya. Sampai di situ, aku masih berusaha tidak menghajar orang, masih berdiri mesih lututku sudah gemetar dan tenggorokan ini sudah gondok oleh kemurkaan. "Meski aku TKW dan lulusan SD, tapi aku tak bodoh Mas, bayangkan tiap dua bulan kukirim uang delapan juta, mengapa rumah masih bobrok, bahkan tidak ada isinya, anak anak tidak terurus bahkan sangat menyedihkan, sementara kamu asyik indehoy dengan simpananmu!" "Maaf ya, saya bukan simpanan, saya istri sah!" ucap wanita itu sambil memperlihatkan sebuah foto pernikahan besar yang memperlihatkan betapa megah dan meriahnya pelaminan pesta, di wanita memakai gaun dengan siger merak yang spektakuler di atas kepalanya. "Kang Agus, katakan padaku, apa kau gunakan jerih payahku untuk menikah dan memperkaya wanita ini?!" Kang Agus tak berani menjawab, dia meringkuk di sudut teras, tak berani pula melawan dan bangkit memukul karena segan pada ke empat laki laki yang turut serta denganku. "A-aku tidak pegang uangmu, melainkan ibumu," balasnya. "Ibuku mengaju hanya di beri seratus ribu, jangan berdusta Kang! Total uang yag kukirim itu ratusan juta Kang! Kataya beli sawah dan traktor mana buktinya! Katanya bikin kios kelontong, mana buktinya! Apa buktinya kau realisasikan pada wanita obralan ini?!" "Hei, jangan sembarangan kamu, dia melamarku dengan baik baik, lagi pula ya, kasar banget masuk rumah orang tanpa izin, langsung mencak-mencak, gak sopan!" hardiknya sambil membangunkan Kang Agus. "Beraninya kalian menikmati hasil kerjaku, berani sekali!" Tanpa banyak bicara lagi, aku langsung, menarik rambut wanita itu dari belakang, dia yang tersungkur langsung kutangkis dengan melayangkan pukulan di wajahnya, dia terjatuh dan mengadu tapi aku tak memberinya ruang untuk membalas, kujambak lagi dan menarik tubuhnya dengan kasar, lalu kucekik wanita itu, sampai bola matanya nyaris memutar h kehabisan napas. "Wanita mura***! Sungguhkah? ayo bersumpah bahwa semua itu bukan hasil kerjaku di HK, ayo katakan, uang dari mana? Apa suamiku melakukan pesugihan?! Apa kau menjual dirimu?!" "Ahg ... Ah ... le-lepaskan," ucapnya tersengal-sengal sekuat tenaga ingin melepaskan diri. Kang Agus tentu tak tinggal diam, dia beruaha menyelamatkan istri cantiknya, dia memisahkan kami, memeluk wanita itu dan menjatuhkan diri ini ke lantai dengan kasar. Aku terbelalak, atas sikap kurang ajar yang demikian lancang ini. Aku nyaris tak percaya bahwa ini kenyataan, dia lebih mengutamakan wanitaitu dibanding aku, ibu dari anak-anaknya. Mendengar kegaduhan tiba tiba seorang gadis kecil keluar ke teras, dia terlihat cantik dan terurus, kulitnya bersih dan memakai perhiasan emas di leher dan tangannya. "Pak, ayo dong, Pak, kita main lagi," ujar gadis yang kutaksir seumuran Dimas, lima tahun. "Lihat anak ini, padahal anak tiri dia lebih manja dan kau urus, sementara anak kita terlantar seperti anak gembel yang hidup di kolong jembatan, bahkan tangan anakku tak semulus anak ini, banyak bekas lebam dan cambukan! Demi Allah katakan, kau apakan tari Kang Agus?!" Kali ini aku kalap, berteriak dan tak lama berkumpullah warga, gaduh dan ramai jadinya. "Hei ada apa?!" "Wanita ini dan suami saya sudha menipu, dia memeras hasil keringat saya dari kerja di luar negeri untuk memperkaya istri barunya, saya tak terima, sementar rumah kami masih jelek dan belum rampung! Anak anak tak terurus." Aku mengucapkan kata kata itu sambil tak mampu menahan air mata. "Begini aja, bawa ke rumah Pak RT, agar tak mengganggu warga lain, Teh, gak enak!" "Saya hanya minta penjelasan terkahir dari Kang Agus, selama ini aku sudah mengirim hampir 500 juta ke tangannya dan itu pun ada bukti resi dan nama dia, sekarang aku ingin dia kembalikan uang itu!" "Mana bisa dikembalikan kalo sudah di makan!" ucapnya melengos santai. "Aku oadti punya nota pembslian dan bukti pengeluaran,. Ayo, sekarang list semuanya dan berikan padaku, disertai bukti barang yang kau beli!" "Man beli apa apa, Teh, orang boros dan suka main perempuan dan berjudi kayak dia itu sudah memeras uang Teteh," timpal sepupu jauhku. "Apa, judi?" "Iya, teh, dulu dia suka judi rolet di pasar, terus suka mabuk dan mukul angota keluarga kalo diberi pengertian, anak anak tetah ditelantarkan," jawab yang lain memberi saksi. "Hei, kamu jangan bohong ya, anakku baik baik saja," tudingnya sambil menunjuk saudara jauhku. Pak RT setempat dan warga yang tadinya tak suka dan ingin mengusir kami langsung bungkam mendengar kata kataku. "Kalo begitu mana buktinya, ayo ke kantor polisi, aku ingin kau bersaksi di hadapan petugas, aku ingin uangku kembali, aku ingin daftar barang apa saja yang kau beli selama aku di luar negeri, aku bisa tunjukkan bukti kirim uang ke rekeningmu, dan kau sekarang harus buktikan bahwa tidak menggelapkan uangku!" "M-me-memang tidak kok!" ucapnya gugup. "Berarti uangnya masih ada kan ya? Secara kamu tidak terlihat membeli apa apa di rumah kita! Dan ya ... Mana Dimas, kau kemanakan putraku?!" ucapku dengan napas yang sudah memburu. Tiba tiba mendengar kata Dimas, wajah Kang Agus langsung berubah makin pucat, bibirnya gemetar, mulutnya menganga dan dia terus menatap istrinya yang juga tak kalah paniknya. Diam diam firasatku buruk tentang ini, "Apa anakku dibunuh? Ya Allah ... Dadaku langsung sakit dan aku menangis di hadapan semua orang.Tahun demi tahun bergulir, anak anak sudah makin besar, keadaan kami membaik dan makin makmur. Usaha sudah cukup berkembang pesat, malah aku sudah pindahkan lokasi tokonya ke depan jalan agar mudah diakses semua orang. Pembeli makin berdatangan, membuat pundi rupiah mengalir deras, kedua orang tuaku juga makin nyaman karena hidup mereka sedikit kutanggung menanggung dan rumah bilik mereka sudah kuubah menjadi rumah petak berdinding tembok yang lebih aman.Semuanya berjalan lancar hingga satu pagi yang mengejutkan. Kang Agus datang!Aku yang sedang sibuk menyapu toko tiba-tiba dikejutkan oleh panggilannya dari belakangku,Entah dia telah bebas lebih cepat karena sikap baiknya selama di penjara atau dia telah menjamin dirinya sendiri, aku tak paham. Yang pasti dia berdiri di depanku sementara diri ini terpana."Ka-kamu?"Hampir saja jantungku terlepas dari rongga dada menatapnya yang tersenyum, mengenakan topi dan jaket hitam yang tebal.Kami saling menatap untuk beberapa saat dia t
Salah seorang warga desaku yang adiknya tertahan di penjara karena kasus pencurian datang, dia berkunjung dan mengutarakan niat untuk bertemu. Saat itu aku sedang di toko mengurusi pembeli dan memasang label harga pada barang."Permisi punten, apa boleh saya ketemu Teh Ratna," sapa wanita itu dengan sopan."Ya, ini saya," balasku."Boleh kita bicara sebentar?""Oh, baik, mari masuk, silakan duduk," ajakku masuk ke dalam toko. Wanita itu tersenyum menanggapi, dia memperkenalkan diri sambil berbasa-basi tentang harga bibit sayur."Jadi gimana Teh, ada apa?""Begini? Saya kemarin dari lapas menjenguk adik saya, kebetulan saya melihat Kang Agus," ujarnya dengan mimik serius."Terus kenapa, Teh?""Dia berantem, Teh, melawan empat orang bertato yang mirip preman, Kang Agus babak belur dan dibawah ke kantor lapas, mungkin mau dikasih obat atau dihukum gak tahu juga," imbuhnya."Mungkin sebaiknya Teteh beritahu masalah ini ke Rina, istri barunya di Mekarsari, kalo sama saya gak ada hubung
Tahukah, bahwa perkara cerai adalah hal yang dibenci Allah meski diperbolehkan, dalam beberapa kajian Islam, kita yang sudah menikah disarankan untuk selalu berpikir dua kali, menimbang bahwa setiap orang pasti punya sisi baik meski sisi buruk lebih menonjol. Memang kita tak direkomendasikan untuk selalu membawa masalah rumah tangga ke jalur perceraian, tapi jika kebersamaan lebih banyak membawa mudharat, maka hidup ini terlalu singkat demi hanya dibawa makan hati dan menderita. Aku menghargai setiap pendapat dan prinsip yang coba dipaparkan oleh sebagian orang, mereka menasehatiku agar tak bercerai demi anak, agar aku tak sendirian, tapi mayoritas dari mereka yang memberi wejangan adalah mereka yang rumah tangganya dari dulu hingga sekarang bahagia, tak pernah dibohongi, dipukuli, bahkan dikhianati. Timbul pertanyaan dalam hatiku, jika salah satu masalah di atas menimpa mereka, atau serupa dengan yang kualami, sungguh sanggupkah mereka menahan dan bersabar? Kurasa ... tidak.Namun
Aku kembali dengan hatiKali ini aku dipertemukan lagi dengan Kang Agus di pengadilan, dia duduk di sampingku, tapi dalam keadaan diborgol, dia mengenakan kemeja putih dengan peci, nampak diam tanpa mengatakan apapun yang duduk berjarak dua meter darinya. Keluargaku dan keluarga istrinya duduk di kursi pengunjung dan menyimak, begitu juga Ratna yang nampak diam di sudut depan, mengenakan dress panjang dan cardigan, menutup perutnya yang mulai membuncit.Tak banyak aku menyimak karena sibuk dalam pikiran sendiri. Sibuk membayangkan episode baru dalam hidupku, lebih berharap aku akan menjalani hidup tentram tanpa gangguan siapa pun, hingga menit demi menit berlalu.Putusannya sama, sama seperti cerita cerita perceraian lain, palu diketuk dan selesai, aku bangun, membungkuk terima kasih pada orang orang di sekitar, menyalami hakim dan bergegas pergi. Kang Agus nampak ingin bicara, tapi tak berkesempatan karena aku sudah pergi meninggalkannya. Hanya wajah bingung dan kecewa yang terl
Assalamualaikum, maaf sebelumnya.Mungkin ini pesan terakhir, aku menjamin tak akan ada lagi gangguan atau hal yang membuat kita tak nyaman. Aku akan bercerai dengan Kang Agus, semoga kabar ini melegakan hatimu.Kalimat yang kutulis dengan format pesan singkat itu, terkirim ke nomor Rina. Aku berharap semoga wanita itu membuka dan membacanya sehingga dia tak lagi menjadikan aku atau anak-anakku sebagai penghalang kebahagiaannya. Dia tak perlu mengkhawatirkan hal tak penting, membesarkan kecemasan sehingga selalu berpikir untuk memusuhi kami.Mengapa bercerai? Aku tak menuntut perceraian kalian, aku hanya minta Kang Agus dibebaskan agar dia bisa mendampingi kehamilanku. Tentang berbagi suami dan waktu itu tak masalah untukku.Itu balasan yang masuk lima menit berikutnya.Aku tak tahu jalan pikiran wanita itu, mengapa dia bisa memiliki gagasan untuk mempertahankan cinta segitiga yang tidak akan nyaman untuk kami semua? Tak mengapa bagimu, tapi masalah bagiku, aku tak mau makan hati.
"Mengapa kau terlihat sebal sekali dari tadi anakku?""Aku dapat telepon dari petugas kepolisian bahwa, Agus ingin bertemu," jawabku."Apa yang dia inginkan?" tenya Emak mendekatiku, lalu diduk di sebelahku."Tidak tahu.""Mungkinkah, dia ingin minta maaf?""Tidak tahu, juga, Mak.""Jadi, Apa kau mau menemuinya?""Tidak akan?""Biasanya seseorang yang sudah dipenjara mulai merasakan sedih dan penyesalan. Mungkin suamimu juga sedang merasakan hal yang sama, jadi dia ingin mengaku, dan minta pengampuan.""Buat apa? Pengampunan tidak akan mengubah segalanya. Aku sudah rugi dan anak-anakku ... mereka harus mendapatkan bimbingan konseling untuk mengobati mental mereka yang terluka," jawabku."Sebelum menggugat perceraian sebaiknya kau bertemu dengannya," saran Emak dengan belaian lembut di bahuku."Kalau begitu aku akan pergi besok, Mak.""Jaraknya tidak terlalu jauh dan Eman akan menemanimu.""Iya, benar."Ke rumah kan diri lalu menarik selimut dan tidur berharap bahwa besok pagi adalah h