Share

BAB 6

Pertemuan dengan Aluna

"Wajahmu itu tidak bisa bohong. Kamu sedang tidak baik-baik saja." Satya mengurai kalimatnya yang pertama saat mobilku berada pada kendalinya. Aku memilih mengabaikan kalimatnya dengan memandang ke luar kaca mobil. Rintik-tintik hujan yang perlahan turun membuat suasana hatiku makin tak menentu.

Entah apa yang sedang kurasakan, nyatanya semakin tenggelam menyelami rintikan hujan itu membuat jiwaku makin tersentil, seolah mereka tengah menertawakan kondisiku saat ini.

Nyatanya hampir enam tahun ini aku menghilang dari kehidupan lamaku, rasa rindu pada sosok di masa lalu itu sering muncul. Dalam anganku, ingin sekali melihat sosok ceria yang hanya tahu bagaimana beratnya menggapai cita-cita. Gadis penuh semangat yang mendewakan senyum ayahnya. Rasanya sesak setiap kali mengingat akulah satu-satunya yang harus disalahkan karena gugurnya sosok Rindu yang dulu.

"Aku tahu, ada banyak sesal yang ada di hatimu. Tetapi sampai kapan? Kumohon lepaskanlah semuanya, Rindu. Tataplah Bintang, disanalah masa depanmu berada. Jangan hukum dirimu seperti ini."

Lelaki di sebelahku nampaknya belum menyerah memberi siraman embun yang kuharap mampu mendinginkan hatiku yang membara akibat pertemuanku dengan Giandra untuk ke sekian kali setelah perpisahan kami di masa lalu. Sementara Bintang, nampaknya dia belum mengetahui siapa laki-laki yang baru ditemuinya di mall tadi. Anak lelakiku memilih tertidur pulas di jok mobil belakang.

"Berdamai dan maafkanlah, Rindu."

Kutatap seraut wajah tampan di sebelahku. Tatapannya yang tenang dengan wajah penuh kehangatan yang entah berapa kali kutolak perasaannya. Meski aku tahu dalam dekapannya tak mungkin ada luka yang sengaja dia torehkan nantinya, tetapi tetap saja aku meragu. Bukan meragu padanya, aku meragu dengan diriku sendiri.

Aku ragu luka yang belum sembuh ini membuat Satya kecewa. Aku takut membuatnya menyesal dengan diriku yang belum selesai dengan masa lalu. Berkali-kali Satya meyakinkan semuanya akan baik-baik saja. Bahkan aku mampu melihat istana yang sudah dia bangun untukku dari mata coklatnya.

Entah apa yang membuatku tidak bisa benar-benar membuka hatiku untuknya. Hati dan wajahnya benar-benar seirama. Hampir tak ada cacat dalam dirinya. Apakah aku takut keluarganya menentang kami?

Tidak.

Aku tahu selama ini Satya hidup sendiri. Entah dimana orangtuanya, aku pun tak pernah berusaha mencari tahu selain apa yang dia ceritakan. Sama seperti aku padanya. Dia tak pernah berusaha mengorek masa lalu selain yang kuceritakan padanya.

"Mobil kamu bawa saja dulu. Besok pagi ke restoran aku naik taksi online. Tak perlu menjemputku, ingat itu." Aku memberi ultimatum padanya. Tentu saja aku tahu apa yang ada di benaknya. Lihat saja besok, apakah dia berani menentangku seperti yang sudah-sudah.

"Baiklah," ucapnya sambil tersenyum lebar. Entah dia serius atau tidak lihat saja besok.

"Aku tak suka melihatmu terpuruk. Aku tak suka melihatmu menghukum dirimu sendiri seperti ini. Kau layak bahagia setelah apa yang kau lewati selama ini, Rindu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status