Home / Romansa / Anakku Tak Diakui Ayahnya / Pertemuan Bintang dan Ayahnya

Share

Pertemuan Bintang dan Ayahnya

Author: Yuli Zaynomi
last update Last Updated: 2023-02-09 12:24:04

BAB 5

Pertemuan Bintang dan Ayahnya

Seolah tak mengenal lelah Bintang mengitari area mall ini. Entah apa yang dia cari sebenarnya. Berkali-kali aku bertanya padanya, dia hanya tersenyum sambil menarik tanganku agar mengikuti ritme berjalannya.

"Kenapa? Mama capek?" tanyanya setelah melihatku bergeming di tempatku berdiri.

"Bintang cari apa?"

Anak lelaki memutar matanya sembari berpikir. Aku tahu dia tak benar-benar menginginkan mainan yang kujanjikan tadi pagi. Bintang hanya butuh momen seperti ini, berjalan-jalan menghabiskan sisa sore dengan ibunya tanpa harus berkali-kali menengok ke arah jam di pergelangan tangan kirinya. Sayangnya hari dan hati ini sudah lelah sejak pagi, sejak lelaki bernama Giandra itu dengan begitu lancang merusak semuanya.

"Bintang cuma pengin jalan-jalan sama Mama seperti ini. Tapi kelihatannya Mama lelah?" Nada suaranya yang sendu membuatku tercubit. Aku tak boleh egois. Bintang layak mendapatkan haknya. Kuatur napas dan segera kusunggingkan senyum terbaik yang kupunya. Bintang berbinar melihat senyum yang terbit dari bibirku.

"Bagaimana kalau kita makan?" Kuusulkan sebuah ide dan berharap dia menyetujuinya.

Bintang mengangguk, membuat sorakan dalam hatiku. Berhasil, paling tidak aku tak perlu menyeret kakiku yang memang terlalu lemah untuk berjalan jauh seperti ini. Cedera lutut yang pernah kuderita saat mengejar angkot saat masih kuliah dulu berdampak hingga saat ini.

Kugenggam jemari anakku mencari restoran Jepang kegemarannya. Setelah reservasi, kami duduk berhadapan dengan dibatasi wajan datar. Waitress yang juga berpakaian kimono itu membawakan mangkuk berisi beberapa potong seafood yang diiris kecil-kecil, telur dan beberapa sayuran yang dipotong tipis-tipis.

Bintang dengan antusias mengaduk campuran tersebut sedangkan aku bertugas mengoles minyak pada wajah datar berbentuk persegi empat di depanku kemudian menyalakannya.

Kulihat mata Bintang berbinar seolah menemukan mainan yang diinginkannya. Melihatnya demikian saja cukup membuat dadaku membuncah bahagia. Benar sekali perkataan Satya, aku tak boleh menghabiskan seluruh energi untuk menyembuhkan lukaku di masa lalu, biarkan luka itu sembuh dengan sendirinya.

Bintang berhak mendapatkan perhatian ibunya, aku tak boleh serakah atau tamak untuk sebuah pembuktian pada masa laluku. Bodoh, aku memang sudah menghabiskan waktu sekian lama untuk hal yang pasti hanya akan ada kesia-siaan di dalamnya.

Selepas makan, aku mengajak Bintang mencari mainan mobil remot yang kujanjikan. Aku tetap ingin membelikannya, bukan untuk menebus rasa bersalahku karena sampai kapan pun meletakkan dirinya pada posisi sekarang ini adalah campur tangan kebodohan yang tetap tak bisa kuperbaiki sampai kapan pun. Aku melakukan semua ini karena selalu haus sebentuk sabit di bibirnya. Rasanya jika aku bisa ingin sekali memberikan seluruh isi dunia hanya demi senyumnya yang tak pernah gagal membuatku kuat.

Bintang adalah segalanya bagiku. Tak akan hal lain yang mampu mengalihkan duniaku selain padanya.

***

Mataku menatap tajam pada sosok yang tak sengaja kutabrak punggungnya saat hampir memasuki lift. Aku yang buru-buru saat pintu lift hampir tertutup tak menyadari bahwa lelaki di depanku berhenti mendadak karena lift sudah mencapai batas maksimum. Tak ada celah lagi untuk membawa kami turun.

Saat lelaki yang sama-sama tak bisa masuk ke lift itu menoleh, saat itulah kurasakan aliran listrik masuk ke dalam tubuhku. Wajahku memanas, berlawanan dengan telapak tanganku yang dingin berkeringat dan bergetar hebat. Aku berbalik tanpa berpikir dua kali.

"Ma," ucap Bintang saat aku menarik tangannya menjauhi lift. Aku memilih memutar mendekati eskalator untuk membawa kami ke lantai dasar gedung ini. Tak kupedulikan panggilan dari lelaki yang di tangannya menjinjing paperpag berlogo merk sepatu wanita terkenal. Bodoh sekali aku masih sempat melirik benda yang berada di tangannya itu.

"Ma, om itu panggil nama Mama." Bintang menggoyangkan tanganku. Aku tak menjawab ucapannya. Kubiarkan anakku bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Kujelaskan nanti, saat aku sudah sedikit tenang dan keadaan yang memungkinkan.

"Mama nggak kenal? Omnya ngikutin kita."

Aku makin mempercepat langkahku. Aku tak peduli dengan Bintang yang seperti kuseret langkahnya mengikuti langkahku. Egois, tapi itu lebih baik. Bintang tak boleh bertemu dengan lelaki itu. Apalagi sampai bercakap dengannya. Tak akan kubiarkan itu terjadi.

Hingga bunyi keras dari dus mainan yang dibawa Bintang terjatuh tepat di depan gerai pernak-pernik aksesoris wanita. Terpaksa kuhentikan langkahku, berbalik dan mengambil benda yang dijatuhkan anakku. Giandra bebal, dia benar-benar mengikuti langkahku. Untuk mengindar darinya lagi sudah telat. Aku pun kasihan dengan Bintang yang nampak kepayahan kali ini. Baiklah, kuhadapi lelaki itu dengan kegarangan yang siap kusajikan di depannya.

"Apakah kau sudah gila?" ucapku penuh penekanan meski dengan suara cukup lirih. Aku tak ingin Bintang mendengar makianku untuk lelaki di depannya.

"Maaf, aku hanya ingin memastikan anakmu baik-baik saja setelah kejang kemarin."

"Bullshit," makiku lagi. Lelaki itu mengabaikan laranganku. Dia menggeser tubuhnya hingga berada lurus dengan anakku.

"Bintang, kau baik-baik saja sekarang?" tanyanya dengan suara khas dokter pada pasien anak-anaknya. Meskipun begitu, aku tetap tak bisa menerimanya. Tremorku kembali menyerang. Meski otakku menginstruksikan agar jantungku tak berdetak menggila, tetap saja dia berdetak berlawanan perintah. Kutarik napas perlahan dan meminta diriku sendiri untuk tenang. Tak mungkin aku mengucap sumpah serapah padanya di depan umum seperti ini. Aku harus menekan egoku sebaik mungkin.

"Kita ketemu kemarin waktu di rumah sakit. Bintang sakit, jadi mungkin nggak sempat melihat Om," ucapnya membuat kudukku meremang karena rasa jijik yang begitu kuat. Aku menghadang langkahnya yang hendak mendekati anakku. Lelaki itu menatapku permohonan, tentu saja aku tak peduli. Meski aku mampu menangkap wajah penuh kerinduan pada anak kecil di depannya itu, hal itu tak akan membuatku luluh. Tak akan ada rasa kasihan untuknya, jangan bermimpi.

"Ayo, Nak. Kita pergi, Om Satya sudah nunggu." Aku merangkul tubuh anakku tanpa berucap apapun pada Giandra. Tak mungkin juga aku beramah tamah dengan lelaki itu saat ini. Semuanya berlawanan arah dengan hatiku. Aku tak bisa berpura-pura hanya demi citra baik di depan anakku. Bintang tak butuh ibunya berpura-pura, dia hanya butuh ibunya bahagia.

"Sat, kamu dimana? Bisa ke Rita Mall? Kurasa aku tak bisa menyetir saat ini," ucapku pada Satya melalui sambungan telepon. Bintang menatapku bingung. Aku mengajak Bintang duduk di bangku depan supermarket di lantai dasar. Kusenderkan tubuhku dengan napas yang masih terengah-engah.

Ada ketakutan yang sulit ke jelaskan saat berhadapan dengan lelaki itu. Semacam ketakutan bahwa suatu saat anakku akan mengenal Giandra sebagai ayah kandungnya. Aku takut, dia akan mendapat penolakan dari keluarga ayahnya seperti aku dulu. Tak akan kubiarkan Bintangku merasakan rasa sakit yang pernah menghancurkan ibunya sejahat itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Biarkan giandra dengan penyesalan nya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 93

    "Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 92

    "Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 91

    “Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 90

    Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 89

    Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 88

    Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 87

    Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 86

    Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 85

    “Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status