Share

Pertemuan Bintang dan Ayahnya

BAB 5

Pertemuan Bintang dan Ayahnya

Seolah tak mengenal lelah Bintang mengitari area mall ini. Entah apa yang dia cari sebenarnya. Berkali-kali aku bertanya padanya, dia hanya tersenyum sambil menarik tanganku agar mengikuti ritme berjalannya.

"Kenapa? Mama capek?" tanyanya setelah melihatku bergeming di tempatku berdiri.

"Bintang cari apa?"

Anak lelaki memutar matanya sembari berpikir. Aku tahu dia tak benar-benar menginginkan mainan yang kujanjikan tadi pagi. Bintang hanya butuh momen seperti ini, berjalan-jalan menghabiskan sisa sore dengan ibunya tanpa harus berkali-kali menengok ke arah jam di pergelangan tangan kirinya. Sayangnya hari dan hati ini sudah lelah sejak pagi, sejak lelaki bernama Giandra itu dengan begitu lancang merusak semuanya.

"Bintang cuma pengin jalan-jalan sama Mama seperti ini. Tapi kelihatannya Mama lelah?" Nada suaranya yang sendu membuatku tercubit. Aku tak boleh egois. Bintang layak mendapatkan haknya. Kuatur napas dan segera kusunggingkan senyum terbaik yang kupunya. Bintang berbinar melihat senyum yang terbit dari bibirku.

"Bagaimana kalau kita makan?" Kuusulkan sebuah ide dan berharap dia menyetujuinya.

Bintang mengangguk, membuat sorakan dalam hatiku. Berhasil, paling tidak aku tak perlu menyeret kakiku yang memang terlalu lemah untuk berjalan jauh seperti ini. Cedera lutut yang pernah kuderita saat mengejar angkot saat masih kuliah dulu berdampak hingga saat ini.

Kugenggam jemari anakku mencari restoran Jepang kegemarannya. Setelah reservasi, kami duduk berhadapan dengan dibatasi wajan datar. Waitress yang juga berpakaian kimono itu membawakan mangkuk berisi beberapa potong seafood yang diiris kecil-kecil, telur dan beberapa sayuran yang dipotong tipis-tipis.

Bintang dengan antusias mengaduk campuran tersebut sedangkan aku bertugas mengoles minyak pada wajah datar berbentuk persegi empat di depanku kemudian menyalakannya.

Kulihat mata Bintang berbinar seolah menemukan mainan yang diinginkannya. Melihatnya demikian saja cukup membuat dadaku membuncah bahagia. Benar sekali perkataan Satya, aku tak boleh menghabiskan seluruh energi untuk menyembuhkan lukaku di masa lalu, biarkan luka itu sembuh dengan sendirinya.

Bintang berhak mendapatkan perhatian ibunya, aku tak boleh serakah atau tamak untuk sebuah pembuktian pada masa laluku. Bodoh, aku memang sudah menghabiskan waktu sekian lama untuk hal yang pasti hanya akan ada kesia-siaan di dalamnya.

Selepas makan, aku mengajak Bintang mencari mainan mobil remot yang kujanjikan. Aku tetap ingin membelikannya, bukan untuk menebus rasa bersalahku karena sampai kapan pun meletakkan dirinya pada posisi sekarang ini adalah campur tangan kebodohan yang tetap tak bisa kuperbaiki sampai kapan pun. Aku melakukan semua ini karena selalu haus sebentuk sabit di bibirnya. Rasanya jika aku bisa ingin sekali memberikan seluruh isi dunia hanya demi senyumnya yang tak pernah gagal membuatku kuat.

Bintang adalah segalanya bagiku. Tak akan hal lain yang mampu mengalihkan duniaku selain padanya.

***

Mataku menatap tajam pada sosok yang tak sengaja kutabrak punggungnya saat hampir memasuki lift. Aku yang buru-buru saat pintu lift hampir tertutup tak menyadari bahwa lelaki di depanku berhenti mendadak karena lift sudah mencapai batas maksimum. Tak ada celah lagi untuk membawa kami turun.

Saat lelaki yang sama-sama tak bisa masuk ke lift itu menoleh, saat itulah kurasakan aliran listrik masuk ke dalam tubuhku. Wajahku memanas, berlawanan dengan telapak tanganku yang dingin berkeringat dan bergetar hebat. Aku berbalik tanpa berpikir dua kali.

"Ma," ucap Bintang saat aku menarik tangannya menjauhi lift. Aku memilih memutar mendekati eskalator untuk membawa kami ke lantai dasar gedung ini. Tak kupedulikan panggilan dari lelaki yang di tangannya menjinjing paperpag berlogo merk sepatu wanita terkenal. Bodoh sekali aku masih sempat melirik benda yang berada di tangannya itu.

"Ma, om itu panggil nama Mama." Bintang menggoyangkan tanganku. Aku tak menjawab ucapannya. Kubiarkan anakku bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Kujelaskan nanti, saat aku sudah sedikit tenang dan keadaan yang memungkinkan.

"Mama nggak kenal? Omnya ngikutin kita."

Aku makin mempercepat langkahku. Aku tak peduli dengan Bintang yang seperti kuseret langkahnya mengikuti langkahku. Egois, tapi itu lebih baik. Bintang tak boleh bertemu dengan lelaki itu. Apalagi sampai bercakap dengannya. Tak akan kubiarkan itu terjadi.

Hingga bunyi keras dari dus mainan yang dibawa Bintang terjatuh tepat di depan gerai pernak-pernik aksesoris wanita. Terpaksa kuhentikan langkahku, berbalik dan mengambil benda yang dijatuhkan anakku. Giandra bebal, dia benar-benar mengikuti langkahku. Untuk mengindar darinya lagi sudah telat. Aku pun kasihan dengan Bintang yang nampak kepayahan kali ini. Baiklah, kuhadapi lelaki itu dengan kegarangan yang siap kusajikan di depannya.

"Apakah kau sudah gila?" ucapku penuh penekanan meski dengan suara cukup lirih. Aku tak ingin Bintang mendengar makianku untuk lelaki di depannya.

"Maaf, aku hanya ingin memastikan anakmu baik-baik saja setelah kejang kemarin."

"Bullshit," makiku lagi. Lelaki itu mengabaikan laranganku. Dia menggeser tubuhnya hingga berada lurus dengan anakku.

"Bintang, kau baik-baik saja sekarang?" tanyanya dengan suara khas dokter pada pasien anak-anaknya. Meskipun begitu, aku tetap tak bisa menerimanya. Tremorku kembali menyerang. Meski otakku menginstruksikan agar jantungku tak berdetak menggila, tetap saja dia berdetak berlawanan perintah. Kutarik napas perlahan dan meminta diriku sendiri untuk tenang. Tak mungkin aku mengucap sumpah serapah padanya di depan umum seperti ini. Aku harus menekan egoku sebaik mungkin.

"Kita ketemu kemarin waktu di rumah sakit. Bintang sakit, jadi mungkin nggak sempat melihat Om," ucapnya membuat kudukku meremang karena rasa jijik yang begitu kuat. Aku menghadang langkahnya yang hendak mendekati anakku. Lelaki itu menatapku permohonan, tentu saja aku tak peduli. Meski aku mampu menangkap wajah penuh kerinduan pada anak kecil di depannya itu, hal itu tak akan membuatku luluh. Tak akan ada rasa kasihan untuknya, jangan bermimpi.

"Ayo, Nak. Kita pergi, Om Satya sudah nunggu." Aku merangkul tubuh anakku tanpa berucap apapun pada Giandra. Tak mungkin juga aku beramah tamah dengan lelaki itu saat ini. Semuanya berlawanan arah dengan hatiku. Aku tak bisa berpura-pura hanya demi citra baik di depan anakku. Bintang tak butuh ibunya berpura-pura, dia hanya butuh ibunya bahagia.

"Sat, kamu dimana? Bisa ke Rita Mall? Kurasa aku tak bisa menyetir saat ini," ucapku pada Satya melalui sambungan telepon. Bintang menatapku bingung. Aku mengajak Bintang duduk di bangku depan supermarket di lantai dasar. Kusenderkan tubuhku dengan napas yang masih terengah-engah.

Ada ketakutan yang sulit ke jelaskan saat berhadapan dengan lelaki itu. Semacam ketakutan bahwa suatu saat anakku akan mengenal Giandra sebagai ayah kandungnya. Aku takut, dia akan mendapat penolakan dari keluarga ayahnya seperti aku dulu. Tak akan kubiarkan Bintangku merasakan rasa sakit yang pernah menghancurkan ibunya sejahat itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status