Share

Flashback

BAB 2

Flashback

Gemetar tanganku memegang benda persegi panjang berwarna putih. Garis dua yang menyembul di salah satu permukaannya seperti garis kematian yang terpampang nyata di depan mataku. Garis kematian yang akan membunuh cita-cita dan senyuman orangtuaku. Seolah tak bertulang tubuhku luruh di atas lantai kamar mandi yang setengah basah.

Suara gedoran pintu dari ibu membuat kekuatanku yang semula raib kembali memenuhi setiap jengkal tubuhku. Aku tak mungkin terus-menerus seperti ini. Tak bisa kubayangkan wajah tua ayah setelah tahu anak perempuan kesayangannya melempar kotoran ke wajahnya seperti ini.

"Apakah sekarang kau punya hobi mencari inspirasi di kamar mandi? Menatapi jentik-jentik nyamuk hingga khayalanmu mengubah mereka menjadi ulat sutera bernilai jutaan rupiah?"

Suara sindiran ibu membuatku tersentak. Wanita yang entah kapan berkata manis padaku itu melotot seolah matanya hampir keluar. Aku terbiasa mendapati sikapnya seperti itu, apalagi setelah ayah telah memasuki masa pensiun. Dia tak pernah menghargai lelaki itu lagi. Apalagi padaku, bahkan suara omelannya bak sirine yang terus-menerus berputar tanpa ada tanda-tanda berhenti.

"Jangan banyak menghayal. Lekaslah lulus kuliah hingga uang nafkah ayahmu yang seuprit itu tak perlu dibagi-bagi lagi. Anak dan ayah sama-sama tak tahu diri. Uang tak seberapa masih maksa buat kuliah!"

Suaranya masih terdengar meski wanita itu tengah menuntaskan hasratnya di ruangan berukuran dua kali dua meter itu. Aku menarik napas perlahan, mencoba menenangkan hatiku karena perkataan dan juga benda kecil yang sudah kusembunyikan di saku bajuku. Dengan langkah pelan aku memasuki kamar pribadiku.

"Rindu, kau tak apa-apa? Wajahmu pucat, apakah kau sakit?" Suara ayah membuat pintu yang hampir kututup itu tertahan. Bilur panjang di pipi kirinya sebagai saksi perjuangan hidupnya yang tak ringan itu membuat hatiku tersayat. Aku sadar telah membuat luka lebih dalam dan panjang daripada bilur itu. Bahkan matanya yang menatapku penuh cinta membuat sumbatan kuat di saluran pernapasanku.

"Belilah vitamin di apotek, mungkin kau terlalu lelah dengan tugas kuliah yang sepertinya menyita sekali. Jangan sampai sakit, anak ayah harus sehat dan bahagia."

Deg.

Aku tersenyum sekilas sebelum pintu kamar tertutup sempurna. Aku tak ingin lelaki cinta pertamaku itu menyaksikan tetesan pertama air mata penyesalan dariku. Entah bagaimana jadinya jika dia tahu yang sebenarnya, aku telah mencederai kepercayaan dan harga dirinya sebagai seorang ayah.

Kupukul dadaku berulang kali. Kuharap sesak yang kurasa segera terurai. Kurutuki segala bentuk kebodohan yang sudah kulakukan. Rasa sesal yang tidak berguna sama sekali, apalagi kubayangkan wajah ibu tiriku yang akan makin membuatku tersudut.

Giandra,

Ya, lelaki itu! Dia lelaki yang harus kuhubungi dan tentu saja kumintai pertanggungjawaban. Mahasiswa kedokteran yang merupakan kakak kelasku saat aku SMA itu harus tahu benih kehidupan yang kini bersemayam di rahimku. Persetan soal cita-citanya, aku pun sudah tak mampu mengucap kata itu sekarang.

Cita-cita memberi hadiah ijazah sarjana pada ayah pupus sudah. Aku tak yakin setelah ini dia akan memenangkan perdebatan dengan ibu tiriku yang dari awal melarangku untuk kuliah. Gaji ayah yang hanya pensiunan penjaga sekolah dianggap tak akan pernah cukup untuk membiayai pendidikanku.

Tetapi ayah entah ratusan bahkan ribuan kali terus meyakinkan pada wanita itu bahwa dirinya sanggup melakukan pekerjaan lain demi cita-citaku harus terwujud. Ayah bahkan tak segan menjadi kuli bangunan agar asap dapur kami tetap mengepul, agar wanita yang menjadi istrinya selama sepuluh tahun itu tak banyak bercakap yang menusuk hati.

Hingga luka baret yang didapatnya saat bekerja di sebuah proyek membuat daging di pipinya itu terkikis dan harus mendapat belasan jahitan. Dan apa yang dilakukan ibu tiriku? Dia memakiku dengan kalimat yang tak manusiawi sedikitpun. Dia menganggap akulah orang yang pantas bertanggung jawab karena luka ayahku. Bahkan luka yang masih menganga itu mendapat perlakuan begitu kasar darinya.

Tapi kini apa yang sudah kulakukan? Ingatanku tertuju pada kejadian beberapa minggu lalu.

Sore itu Giandra bersikeras mengantarku pulang. Aku yang menolak mati-matian tak mampu melawan keinginannya. Sayangnya, di perjalanan pulang mendadak hujan turun begitu deras. Giandra tak membawa mantel di motornya. Dia mengajak pulang ke rumahnya dan beralasan akan mengganti kendaraan dengan mobilnya.

Aku menurut, karena memang tak ada niat sedikit pun untuk berbuat nista di rumah megah itu. Entah setan apa yang membisiki kami, peristiwa yang harusnya menjadi bagian terindah hadiah pernikahan bagi kedua pasangan sah itu terjadi.

Tak ada kenikmatan di dalamnya, karena semuanya didasari oleh ketakutan. Aku menangis tersedu mendapati tubuhku polos di atas pembaringan Giandra. Pun lelaki itu, wajahnya merah kacau penuh dengan penyesalan. Bahkan dia hampir menangis melihatku yang menangis tanpa henti.

Aku, si bodoh yang menyerahkan harga diriku pada laki-laki yang bahkan belum pernah bertemu dengan ayahku. Aku, wanita tak berharga diri yang mau diajak ke rumah laki-laki yang tidak ada hubungan kekerabatan apapun denganku. Aku, si bodoh yang sudah mencoreng aib dan membawa ayahku lebih dekat ke api neraka.

Sungguh, berhari-hari aku seperti orang linglung. Jika biasanya aku masih melawan jika ibu tiriku mengamuk atau berkata kasar, kali ini aku diam. Tentu saja sikap lemahku mendapat perhatian khusus dari wanita dengan bibir merah darah itu.

Hingga dia mengendus perubahan tubuhku. Wanita itu memaksaku menggunakan alat tes kehamilan untuk kedua kalinya. Bahkan dia memaksaku masuk ke dalam kamar mandi dan dipaksa menggunakan alat itu di depannya langsung.

Kulupakan sudah harga diri karena aku sendiri yang sudah menenggelamkannya ke lumpur kenistaan. Wanita itu tersenyum penuh kemenangan membuka aibku di depan ayah yang saat itu baru saja pulang kerja menjadi buruh angkut di sebuah truk pasir.

Lelaki yang bahkan belum merasakan nikmatnya air putih membasahi kerongkongannya tak mampu menatap anak perempuannya. Tak ada tangis dari mata lelah itu, tetapi aku tahu segumpal hati miliknya hancur tak berbentuk.

Beberapa menit lamanya dia terdiam. Tak ada kalimat apapun yang keluar dari bibirnya yang menghitam. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Apa yang akan dia lakukan padaku setelah ini. Aku pasrah dengan nasibku setelah ini.

"Anakku adalah sebaik-baik anak. Tak pernah ada kesalahan fatal yang dibuatnya. Tak pernah ada rasa malu yang ditorehkan pada wajah ayahnya. Hidupnya hanya berisi kepatuhan pada titah orang tua.

Rindu adalah nama yang kusematkan pada anak kebanggaanku, namanya adalah cerminan bagaimana sang ayah mengharapkan dirinya memiliki hati selembut sang ibu dimana rasa indah itu bermuara. Rindu adalah cerminan harapan,agar dirinya mewarisi sikap lemah lembut wanita yang telah melahirkannya. Jika kau melakukan hal sekeji itu, maka Rinduku sudah pupus. Anakku sudah mati."

Aku luruh mendengar kalimat yang disyairkan ayahku. Kalimat yang dibentuk dari rasa kecewa sang ayah pada anak perempuan kebanggaannya. Aku tak berharga lagi baginya. Aku telah dianggap mati oleh lelaki yang seharusnya kuhadiahi ijazah sarjanaku. Aku telah mati, bahkan sebelum malaikat pencabut nyawa menghampiriku.

Detik itu, aku menanggung kegagalan dua hal sekaligus.

Gagal menjadi seorang wanita.

Dan gagal menjadi seorang anak perempuan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status