Share

Kemarahan Rindu

Penulis: Yuli Zaynomi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-09 12:19:32

BAB 3

Kemarahan Rindu

"Ma, Bintang nggak mau sama Mba Nini, maunya sama Mama." Anak lelakiku kembali merajuk, kebiasaan yang akhir-akhir ini sering dilakukannya saat aku tengah menyiapkan mobilku. Tubuhnya akan memeluk kakiku dengan erat, tak mengizinkanku beranjak sedikit pun.

"Ma, Bintang ke sekolah sama Mama. Mama nggak boleh kerja hari ini," rajuknya dengan tangan makin erat memeluk kakiku. Jika seperti ini, aku luruh. Duduk di depannya. Menatap sepasang telaga bening milik separuh hidupku.

"Mama harus kerja, kalau nggak kerja siapa yang mau bayar uang sekolah Bintang. Beli mainan Bintang, atau uang untuk jalan-jalan Bintang?" tanyaku berusaha berdiplomasi. Anakku tak mau menatap wajahku. Tentu saja aku tahu hatinya tengah bergejolak. Bintang anak yang cerdas, aku yakin dia akan paham jika kuberi pengertian seperti ini.

"Tapi Bintang pengin ditemenin. Mama Rendra, Mama Tama, Mama Giska… mereka semua ada mamanya. Cuma aku saja yang sama Mba Tini. Mereka bilang Mamanya Bintang lebih sayang uang dari pada Bintang."

Hatiku terasa perih seperti teriris. Aku tak tahu jika anakku merasakan hal seperti itu. Rasa bersalah menyelimutiku. Bintang yang ceria itu mendadak bersikap lain. Ternyata inilah sebabnya. Dia ingin seperti anak-anak lain dimana mama mereka menunggu dengan sabar di ruang tunggu khusus orang tua.

"Bu, Bintang akhir-akhir ini juga susah makan."

Mba Tini, pengasuh yang kuambil dari sebuah yayasan memberi laporan yang membuatku mengernyit heran. Apakah benar aku kehilangan beberapa momen penting pertumbuhan Bintang?

"Bintang kenapa? Mama sedih kalau Bintang seperti ini," ucapku lirih. Anak itu tak menyahut.

"Kenapa Bintang nggak punya Papa? Biar yang kerja itu Papa Bintang. Mama temenin Bintang makan, sekolah, main. Jangan sama Mba Tini terus, Ma. Bintang itu anaknya Mama, bukan anaknya Mba Tini."

Aku menatap anakku dalam. Aku menyadari satu hal. Aku memang kehilangan masa emas anakku. Dia tumbuh begitu cepat tanpa kusadari. Jantungku bertalu-talu menahan gejolak yang membuatku sesak. Pertanyaan Bintang tak akan pernah mampu kujawab.

"Mama minta maaf, Bintang. Ada beberapa hal yang belum Bintang mengerti. Nanti kalau Bintang besar, mama janji akan menjelaskan semuanya. Bintang mau Mama sedih liat Bintang seperti ini?"

Anak itu menggeleng. Tentu ini adalah pertanyaan pamungkas yang membuat anakku kembali tersadar. Aku tahu, sekeras kepala apapun Bintang tak akan mampu merajuk hingga membuatku bersedih. Bintang cukup bisa diatur, dia bukan tipe anak bengal yang membuat pengasuhnya kewalahan.

"Hari ini Mama harus bekerja, Mama janji sebelum jam empat Mama sudah pulang. Mama akan minta Om Satya yang menjaga restoran. Setelah itu kita jalan-jalan beli mainan yang kemarin Bintang ingin beli. Setuju?"

Bintangku mengangguk cepat. Dia luluh seperti biasanya. Aku menarik napas perlahan, begitu pula dengan Mba Tini yang dengan sabar menunggu Bintang selesai merajuk sambil duduk di anak tangga terakhir rumahku. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu benar-benar beruntung aku mendapatkannya.

Mba Tini mengawasi Bintang memakai sepatunya. Meski agak kesulitan, Mba Tini tetap tak mau meladeni anakku. Dia biarkan anak itu memakai sepatunya sendiri sebagai bentuk tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Dan aku setuju sekali dengan pola asuh gadis itu. Apa yang ada di pikirannya sejalan denganku. Itu yang membuatku menyayanginya seperti anggota keluargaku sendiri.

"Mba, makan siang kalau nggak sempat masak beli aja. Jangan maksa buat masak, senyamannya Mba Tini saja," ucapku padanya. Gadis itu mengangguk. Meski aku memperlakukannya seperti adikku sendiri, dia tetap bersikap sopan padaku.

Aku melambaikan tangan pada mereka berdua yang sudah naik bus sekolah. Rasanya sudah lega kalau Bintang dan Mba Tini sudah masuk ke kendaraan itu. Aku tinggal mempersiapkan diri untuk ke restoran tempat usahaku sendiri.

Kukenakan kerudung berwarna merah maroon yang kupadukan dengan blazer coat berwarna hitam dan manset warna putih sebagai innernya. Aku suka sekali dengan warna ini, lebih terlihat cool dan berkharisma. Entahlah, aku tak mampu menjelaskan alasan ketertarikanku pada warna maroon itu.

Suara bel berbunyi. Aku menengok jam yang kupakai di pergelangan tangan kiriku. Kucoba untuk menebak siapa yang sepagi ini sudah bertamu ke rumahku. Aku termasuk jarang sekali menerima tamu di rumah. Bukan tanpa alasan, meski komplek perumahanku tak akan mengusik hal-hal pribadi seperti ini, aku tetap tak suka menerima tamu di rumah.

Kubuka pintu rumah perlahan. Cukup Disanalah jantungku terasa berhenti. Giandra, berdiri dengan raut yang sulit kutebak. Aku mengatur pola napasku agar kembali beraturan. Bahkan aku merasakan tanganku bergetar dan juga berkeringat seketika.

"Maaf, tidak ada urusan apapun lagi denganmu. Lebih baik segera pergi sebelum aku menghubungi satpam komplek," ucapku sambil menutup paksa pintu yang ditahan olehnya. Lelaki itu tak menyerah, dan aku tetap tak bisa menandingi kekuatannya.

"Rindu, kita harus bicara. Aku yakin ada sesuatu yang harus kita selesaikan. Kumohon, tak lama. Lima belas menit," ujarnya penuh nada permohonan.

"Lima menit," ucapku dingin. Lelaki itu mengangguk.

"Boleh aku duduk?" tanyanya. Meski tak kujawab, dia tetap menduduki sofa berwarna abu-abu yang menghiasi ruang tamuku.

"Sudah lama sekali kita tak bertemu. Aku bertanya pada ibumu, dia bilang tak tahu keberadaanmu. Tak kusangka, kita bertemu di kota ini. Apakah kau punya sanak saudara disini?" tanyanya dengan antusias. Aku tak menjawab pertanyaan basa-basi itu.

"Rindu, Maaf. Aku baru tahu ayahmu sudah meninggal, aku sungguh menyesal baru mengetahuinya belum lama saat aku berkunjung ke rumahmu."

Aku menatap lelaki itu penuh tanya. Apakah yang membawanya ke rumah kami?

"Bintang… ."

"Jangan sebut namanya. Kau tak layak menyebut namanya?" ucapku dengan pandangan tajam. Aku memang tak rela dia menyebut nama anakku.

"Apakah dia…"

"Apakah kau memanfaatkan jabatanmu untuk menyelidiki diam-diam data pasien untuk kepentinganmu sendiri? Apakah hal seperti ini sudah lazim? Atau hanya kau saja yang menyalahgunakan jabatanmu, Giandra?" Pertanyaanku membuat lelaki itu mengangguk mengakui tuduhan yang kuarahkan padanya.

"Bintang…"

"Jangan sebut nama anakku! Aku mual mendengarnya!" teriakku. Lelaki itu terdiam sejenak. Aku yakin dia akan terus-menerus mencecarku. Giandra yang kukenal tak akan pernah puas hanya dengan sekali saja penolakan.

"Rindu, tolong. Aku merasa bersalah selama ini. Kumohon, aku mencari keberadaanmu. Aku ingin tahu kabarmu. Apa yang kau lakukan dengan kehamilanmu saat itu. Terkesan terlambat, tapi ketahuilah aku benar-benar mencarimu!"

Aku tersenyum miring. Dia kira aku akan luluh dengan kalimatnya? Dia kira aku akan memaafkan apa yang sudah menimpa kehidupanku dan Bintang selama ini?

"Kenapa? Bukankah kau lebih percaya kalimat orang tuamu dan juga Aluna? Aku hanya gadis rusak yang tengah mengincar kekayaan orang tuamu. Aku gadis rusak yang sedang menipumu dengan kehamilanku. Aku gadis rusak yang sedang meminta pertanggung jawaban pada lelaki yang memiliki masa depan cerah sebagai seorang dokter? Aku yang hamil entah dengan lelaki mana tetapi menjebakmu dan mengatakan bahwa kamu adalah satu-satunya lelaki yang menjamahku?

Kau lebih percaya mereka, Giandra. Kau abaikan aku yang menolak menerima uang puluhan juta dari orangtuamu untuk menggugurkan kandunganku saat itu! Akulah gadis rusak yang melahirkan seorang diri di sebuah puskesmas tanpa uang seperpun! Aku berjuang merangkak sendiri tanpa bantuan dari siapapun! Lalu kau kini datang dengan dalih mencariku selama ini? Kau kira aku bodoh?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Rindu yang malang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 93

    "Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 92

    "Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 91

    “Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 90

    Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 89

    Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 88

    Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status