Share

Anakku Tak Diakui Ayahnya
Anakku Tak Diakui Ayahnya
Author: Yuli Zaynomi

Pertemuan yang Menyesakkan

BAB 1

Pertemuan yang Menyesakkan

Setengah berlari aku masuk ke ruang IGD rumah sakit. Kugendong Bintang--anakku yang berusia lima tahun sambil berteriak meminta pertolongan. Aku tak peduli malam begitu larut, hingga sebagian besar mereka nakes yang bertugas jaga terlelap di meja mereka masing-masing. Bahkan seorang perawat laki-laki berbadan tambun tertidur di kursi yang ditata hingga pas untuk menopang tubuhnya.

"Anak saya kejang, tolong!" ucapku setengah berteriak. Mereka yang sudah terbiasa menghadapi peristiwa seperti ini dengan sigap meraih anakku dan membaringkannya di atas kasur pasien.

"Tenang, Bu. Ibu tunggu di luar," ucap seorang perawat dengan kerudung lebar menjuntai menutupi hampir setengah tubuhnya. Aku beringsut mundur, sadar diri kepanikanku membawa dampak buruk bagi mereka yang butuh konsentrasi tinggi saat memberikan pertolongan untuk Bintang.

Aku menjatuhkan tubuhku di kursi tunggu berbahan stainless yang terletak di depan ruangan IGD. Panik, takut dan banyak sekali pikiran buruk yang menghampiriku. Bintang satu-satunya anakku terbaring lemah menghadapi penyakitnya sendirian.

Aku merasa gagal menjadi seorang ibu. Kusalahkan diriku yang selama ini sibuk dengan pekerjaan, membangun kerajaan bisnis, berusaha menebus kesalahan masa lalu yang bukan hanya diriku saja yang sebenarnya bersalah. Bahkan tanpa kusadari rasa dendam yang semula tak nampak kini terasa menyumbat seluruh aliran darahku.

Aku berusaha membuktikan pada orang-orang itu bahwa aku sudah mampu berdiri setegak ini. Tetapi aku lupa bahwa anakku butuh perhatian lebih yang kadang hanya menguasai sebagian kecil waktu dan tenagaku yang tersisa.

Aku merasa menjadi seorang ibu yang bodoh, mengorbankan waktu membersamai tumbuh kembang anakku untuk sebuah pembuktian yang sebenarnya bisa saja kukesampingkan.

Lamunanku terhenti saat seorang perawat membuka tirai yang menutupi ranjang pasien tempat Bintangku dibaringkan. Segera kulihat keadaan anak lelakiku itu. Wajahnya masih pucat dan lemah. Kesadarannya mulai kembali meski terlihat bingung dimana dirinya sekarang berada.

"Bintang…" Aku memeluknya dengan erat. Kutumpahkan rasa bersalahku tepat di bahu kecil itu. Tangisku membuat guncangan hebat di tubuh kami. Rasanya aku telah melewati lorong panjang hingga kutemukan dirinya lagi dalam keadaan baik-baik saja.

"Bintang lelah, Ma," ucapnya. Aku mengurai pelukanku.

"Bintang istirahat, Mama temui dokter dulu, Sayang." Kuusap lembut rambut anakku. Anak lelakiku itu mengangguk patuh dan membaringkan tubuhnya lagi di atas ranjang. Tak lama kulihat dia memejamkan mata kembali.

Kutuju ruang nakes yang hanya berbentuk ruangan kubikal berdinding kaca. Seorang laki-laki dengan seragam dokter menarik perhatianku. Wajahnya yang tertunduk dengan lembaran kertas di tangan tetap meyakinkan diriku dengan sosok yang masih kukenali.

Ragu, aku berusaha menyadarkan lelaki itu dengan keberadaanku di depannya.

"Maaf, apakah anak saya bisa langsung pulang, Dok?" tanyaku sambil menatap lelaki yang bola matanya membesar saat menyadari keberadaanku. Aku yakin dengan pemilik mata itu, meski kacamata dan masker medis menutupi sebagian besar wajahnya.

Beberapa saat kami terdiam, hanya suara erangan dari sudut ruangan yang berasal dari pasien lanjut usia yang terlihat kepayahan sekadar menarik napas.

"Tunggu beberapa jam lagi, Bu. Kita harus mengobservasi apakah kejang akan berulang dalam beberapa waktu kedepan. Apakah kejadian ini sering terjadi?"

Suaranya membuat lututku lemas tak bertenaga. Rasanya aku ingin luruh ke lantai dan mengumpat sejadi-jadinya pada laki-laki di depanku. Meski kuyakin dia pun sama-sama syok dan tak menyangka pertemuan ini, tapi karena profesinya dia tetap bersikap selayaknya seorang dokter pada orang tua pasiennya.

"Tidak. Baru sekali ini. Karena panik saya bawa kemari."

Aku berbalik tanpa mengucapkan Terima kasih padanya. Kutekan dadaku yang bergemuruh hebat menahan marah. Kulangkahkan kaki secepat mungkin mendekati ranjang Bintang untuk memastikan dia baik-baik saja sementara saat kutinggal menyelesaikan administrasi rumah sakit.

Dengan jantung yang berdetak tak berirama serta tubuh yang bergetar hebat, aku memaksa diriku untuk segera menyelesaikan urusanku di tempat ini. Kurutuki diriku yang harus memilih rumah sakit ini untuk memeriksakan Bintang. Tak ada pilihan lain, memang tempat inilah yang paling dekat dengan tempat tinggalku.

Hanya kebetulan saja harus bertemu dengan lelaki itu yang kuyakin tak akan melepaskanku begitu saja setelah ini. Kutarik napasku yang terasa tersumbat di saluran pernapasan. Luka yang lama sudah kupendam dan kuobati dengan sendirinya kembali menganga karena pertemuan singkat dengan pemberi luka itu.

Hingga pagi menjelang Bintang terlelap dan kejangnya tidak berulang. Perawat yang memeriksa memberi sinyal bahwa aku boleh membawa anakku pulang setelah menyesaikan administrasi.

Tak butuh waktu lama, aku menyelesaikan segala urusan yang dibutuhkan rumah sakit sebagai prosedur penanganan pasien. Aku kembali mendekati ranjang Bintang dan menggendongnya meski sedikit kerepotan. Kulangkahkan kaki tanpa peduli tatapan penuh selidik lelaki yang duduk di ruangan kacanya ke arahku.

Yang ada di benakku hanya keluar secepatnya dari ruangan ini tanpa memikirkan beban dua puluh kilogram di tubuhku. Bahkan tawaran kursi roda untuk membawa Bintang ke mobil dari salah satu perawat pun kutolak demi ingin segera terbebas dari tempat ini.

Erangan kecil dari bibir anakku membuatku mengusap tengkuknya perlahan. Aku yakin apa yang dia lewati hari ini cukup menguras energinya.

Susah payah kukeluarkan kunci mobil dari dompet yang kupegang.

"Biar kubantu," ucap seseorang dari arah belakang. Tanpa menunggu jawabanku dia mengambil alih kunci dan membukakan pintu mobil untukku. Aku tak bisa menolak, kubaringkan Bintang di kursi sebelah kemudian dan memasangkan seatbelt di tubuhnya. Kuambil kunci dari tangan lelaki itu dan membuka pintu sebelahnya tanpa satu kata pun keluar dari mulutku.

"Dia… anakmu?" tanyanya dengan mata penuh penghakiman. Aku menarik napas cukup lama dan menghembuskannya cepat.

Kuputuskan untuk menutup pintu tetapi nahas lelaki itu menahan tangannya hingga pintu tak tertutup sempurna. Kugigit bibirku cukup keras tak peduli gigiku akan membuat luka berdarah disana.

"Rindu!"

Aku mendongak menantang sepasang mata yang dulu pernah kucinta segenap jiwa raga. Rasa cinta yang akhirnya membuat segumpal daging bernama hati menjadi keras dan membatu karena permainan takdir yang menimpaku. Susah payah aku melupakan sosoknya, memaafkan semesta dan berdamai dengan diriku sendiri, tetapi kini pembuat luka itu berdiri nyata di depan mataku.

"Rindu, apakah dia anakmu?" ulangnya lagi. Airmata yang sekuat tenaga kutahan akhirnya luruh tak terbendung.

"Iya. Dia anakku. Kenapa? Kau merasa mengenal wajah kecil itu?" tanyaku dengan suara bergetar dan pandangan mata mengabur. Lelaki itu menyugar rambutnya kasar. Wajahnya terlihat pucat. Aku melihat sebongkah luka bersemayam di kilat matanya. Aku tersenyum miris.

"Rindu… apakah… apakah anak itu… "

"Bintang anakku. Hanya anakku. Kenapa? Lepaskan tanganmu, Giandra. Atau kau akan menanggung malu karena kabar seorang dokter yang mengganggu pasien rumah sakit dimana dia bertugas akan segera beredar luas!"

Tangan itu lepas setelah beberapa saat aku mengucapkan kalimat penuh ancaman. Aku yakin sebagai seorang dokter dia sangat memperdulikan nama baiknya.

Sama seperti kedua orang tuanya yang demi nama baik tanpa ragu menjadikan seorang gadis kehilangan keluarga dan juga harapannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status